Tak Ada Pengecualian bagi Israel, Sekolah dan RS pun Dibom
Foto/Reuters
Serangan Israel di Gaza semakin menggila tanpa pandang bulu. Sehari setelah menyerang konvoi ambulans yang mengangkut pasien yang terluka parah dari Rumah Sakit al-Shifa ke perbatasan Rafah, tentara Zionis meningkatkan pengeboman di Jalur Gaza, menghantam sekolah, masjid, dan rumah sakit.
Pada Sabtu (4/11/2023) pagi, sebuah rudal Israel menghantam sekolah al-Fakhoora yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) di kamp pengungsi Jabalia. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, serangan di sekolah tersebut menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai 54 lainnya. "Jumlah (kematian) diperkirakan akan meningkat," kata Direktur Rumah Sakit Al-Shifa Muhammad Abu Silmeyeh.
Ribuan orang yang mengungsi akibat pengeboman Israel di Jalur Gaza berlindung di sekolah al-Fakhoora. Seorang saksi penyerangan yang kehilangan anggota keluarga dalam pengeboman tersebut mengatakan kepada Al Jazeera bahwa empat orang di keluarganya tewas atau pun terluka. "Kami tidak ada hubungannya dengan apapun dengan gerakan Hamas. Ruang ini hanya ada anak-anak dan perempuan," kata saksi tersebut.
Serangan terhadap sekolah tersebut merupakan serangan besar ketiga terhadap Kamp Jabalia. Serangan ini terjadi beberapa jam setelah serangan mematikan di Sekolah Osama bin Zaid yang menampung keluarga-keluarga pengungsi di daerah Al-Saftawi di utara Kota Gaza, yang menewaskan sedikitnya 20 orang.
Pada Sabtu pagi, pintu masuk RS Anak Al-Nasser di bagian barat Kota Gaza juga diserang, dan beberapa media lokal melaporkan adanya korban sipil. Kementerian Kesehatan setempat mengatakan sekitar 2.200 orang, termasuk 1.250 anak-anak, terkubur di bawah reruntuhan bangunan yang hancur di Gaza.
Pasukan Israel juga menyerang generator listrik dan panel surya di Rumah Sakit Al-Wafa di Kota Gaza. Seorang koresponden kantor berita Anadolu melaporkan bahwa pengeboman tersebut mengakibatkan kebakaran besar di halaman rumah sakit. Serangan rumah sakit itu terjadi sehari setelah tentara Israel menyerang pintu masuk Rumah Sakit Al-Shifa dan area sekitar Rumah Sakit Al-Quds dan Rumah Sakit Indonesia.
Menurut jurnalis Hani Mahmoud di Khan Younis di selatan Gaza, serangan udara Israel juga menghantam rumah-rumah penduduk yang memiliki panel surya. “Sepertinya ini adalah paku terakhir di peti mati,” katanya kepada Al Jazeera. "Apa yang tentara Israel ingin agar orang-orang lakukan adalah pergi. Sumber terakhir yang menahan mereka di Gaza adalah sedikit listrik yang mereka peroleh dari panel surya," cetusnya.
Sementara itu, tangki air di Rafah bagian timur juga hancur. “Tampaknya ini merupakan cara lain untuk memberitahu masyarakat, ‘Kami akan mengebom segala sesuatu yang Anda andalkan untuk kelangsungan hidup Anda’," tambahnya.
Stasiun televisi Al-Aqsa yang berbasis di Gaza melaporkan bahwa tangki air umum digunakan untuk memasok beberapa lingkungan. Secara terpisah, seorang koresponden Anadolu melaporkan bahwa tentara Israel mengebom dua masjid - Masjid Ali bin Abi Thalib dan Masjid Al Istijabah - di lingkungan Al Sabra, di selatan Gaza.
Tamer Qarmout, asisten profesor kebijakan publik di Doha Institute for Graduate Studies, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ini adalah bagian dari strategi perang Israel. "Ada diskusi di media Israel bahwa tentara Israel akan memasuki tahap kedua operasinya di Gaza mulai minggu depan. Ini berarti operasi darat taktis di dalam Gaza. Jadi apa yang Israel ingin lakukan sebelum itu adalah mengusir seluruh warga sipil ke selatan," paparnya.
"Jadi apa yang mereka lakukan adalah merampas mata pencaharian warga sipil yang terjebak di Gaza utara. Jadi mereka menyerang tangki air, menyerang fasilitas sipil, rumah sakit dan bahkan sekolah UNRWA tempat orang-orang mengungsi. Sebentar lagi, masyarakat tidak punya pilihan selain pergi ke selatan," kata Qarmout.
Dia mencatat bahwa meskipun tentara Israel telah memerintahkan warga sipil di Gaza untuk sementara waktu pindah ke selatan sejak awal operasinya di Jalur Gaza yang terkepung, banyak orang yang tetap tinggal karena masalah keamanan di tengah pengeboman terus-menerus yang dilakukan tentara Israel terhadap seluruh wilayah kantong tersebut.
"Orang-orang mencoba melarikan diri ke selatan tetapi jalan tersebut telah dibom. Bagaimana mereka bisa merasa aman jika tidak ada koridor kemanusiaan menuju ke selatan?" kata Qarmout. Qarmout menambahkan, Israel juga memiliki sejarah mengingkari panjang janji dalam peperangan.
"Apa jaminan bahwa Israel tetap tidak akan melakukan pengeboman saat melarikan diri ke selatan? Tidak ada penjamin internasional seperti PBB yang memantau dan memastikan bahwa orang-orang tidak akan diserang," tandasnya.