Link Copied
Ekonomi Gerah Terimbas Panas Konflik Timur Tengah

Ekonomi Gerah Terimbas Panas Konflik Timur Tengah

By Mohammad Faizal
Imbas memanasnya konflik di Timur Tengah sulit terbendung, terpuruknya rupiah hingga naiknya harga minyak dunia membayangi geliat ekonomi di dalam negeri.

Jokowi Gelar Ratas Bahas Rupiah hingga Efek Perang Iran-Israel

Jokowi Gelar Ratas Bahas Rupiah hingga Efek Perang Iran-Israel


Pemerintah bereaksi cepat merespons gejolak perekonomian beberapa waktu belakangan ini akibat imbas meningkatnya risiko geopolitik dunia. Salah satunya, eskalasi konflik di Timur Tengah yang dampaknya disebut bisa terasa dalam jangka menengah-panjang.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (16/4) menggelar rapat terbatas membahas antara lain pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang terus melemah hingga menembus Rp16.000. Kemudian, pasar modal yang sempat merosot tajam hingga lebih dari 2% di tengah sentimen negatif serangan Iran terhadap Israel Sabtu (13/4) lalu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, rapat tersebut antara lain dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Sebelumnya, Kemenko Perekonomian juga telah menjalin komunikasi dengan sejumlah Duta Besar yang ada di Timur Tengah, seperti Lebanon, Jordania, dan juga Teheran.

"Kita membahas situasi terkini dan insyaAllah situasi Indonesia saat sekarang, kita masih wait and watch. Namun kalau kita lihat situasi baik itu rupiah maupun pasar modal, relatif terkendali," ujar Airlangga.

"Pelaksanaan Rapat Koordinasi ini merupakan assesment untuk upaya deeskalasi dampak konflik di kawasan Timur Tengah terhadap perekonomian Indonesia," ungkap Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya, Selasa (16/4/2024).

Peningkatan konflik Iran dan Israel pada akhir pekan lalu telah berdampak terhadap kondisi perekonomian global. Harga minyak mentah global masih berfluktuasi. Pada perdagangan Senin (15/4) harga minyak mentah jenis Brent melemah 0,18% (dtd) ke level USD90,29 per barel, jauh lebih tinggi jika dibandingkan posisi 1 Januari 2024 sebesar USD77,4 per barel dan minyak mentah jenis WTI turun 0,28% ke level USD85,42 per barel, lebih tinggi dibandingkan posisi 1 Januari 2024 sebesar USD71,65 per barel.

Eskalasi konflik geopolitik tersebut juga membuat indeks dolar AS meningkat, yang menyebabkan melemahnya indikator finansial sejumlah negara, terutama emerging market. Mayoritas nilai tukar di Kawasan Asia Pasifik pada Senin (15/4) bergerak melemah terhadap dolar AS, seperti baht Thailand dan won Korea yang terdepresiasi sebesar 0,24% (dtd), dan ringgit Malaysia sebesar 0,24% (dtd).

Untuk Indonesia, berdasarkan data pasar spot luar negeri (Trading Economics), nilai tukar rupiah berada di level Rp16.060 atau mengalami apresiasi 0,31% (dtd), lebih baik dibandingkan negara- negara lain seperti Korea, Filipina, dan Jepang.

Airlangga mengatakan, guna meredam dampak kenaikan harga minyak global akibat konflik geopolitik Iran dan Israel, Pemerintah juga mencermati kondisi APBN agar dapat menjalankan perannya secara optimal sebagai shock absorber. "Koordinasi lebih lanjut akan dilakukan bersama otoritas moneter dan fiskal untuk menghasilkan bauran kebijakan dalam menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi," tandasnya.

Rupiah dan IHSG Ambruk, Menko Perekonomian: Masih Relatif Aman

Rupiah dan IHSG Ambruk, Menko Perekonomian: Masih Relatif Aman


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melihat pergerakan indeks harga saham melemah dan nilai tukar rupiah (kurs) rupiah yang mencapai Rp16.200 per USD relatif masih aman dibandingkan negara peer countries.

Menurut Airlangga rupiah masih lebih baik karena fundamental Indonesia yang relatif kuat meskipun ada sentimen dari global seperti perang Israel dan Iran. Sementara pelemahan IHSG juga masih lebih baik dibandingkan peer countries.

"Tentu kita perlu melakukan beberapa kebijakan, antara lain bauran fiskal dan moneter, menjaga stabilitas nilai tukar, menjaga APBN, dan memonitor kenaikan harga logistik dan minyak," ujar Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Airlangga melanjutkan, dari sektor riil, dampak depresiasi nilai tukar dan kenaikan indeks dolar menjadi salah satu yang dilihat dan tentu sangat berpengaruh terhadap impor dan efek eksportir mendapatkan devisa lebih banyak.

"Tentu plus minus harus diperhatikan. Pemerintah terus melihat reform struktural dan menjaga ekspektasi investor dan juga memperkuat daya saing dan juga menarik investasi jangka panjang ke Indonesia. Kepastian-kepastian ini harus dijaga," jelasnya.

Airlangga juga mengatakan bahwa pemerintah akan mempersiapkan berbagai skenario yang sudah dibahas guna menjaga agar defisit berada di rentang yang diperbolehkan Undang-undang (UU).

Harga Minyak Melonjak, Sulit Tahan Subsidi BBM Tidak Bengkak

Harga Minyak Melonjak, Sulit Tahan Subsidi BBM Tidak Bengkak


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui sulit menahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) agar tidak membengkak akibat memanasnya konflik Timur Tengah. Dampak perang Iran dan Israel diproyeksikan akan mengerek harga minyak dunia lebih tinggi.

"Ini susah, karena itu kan balik ke faktor yang sulit kita kendalikan ya. Harga minyak sama kurs, dua-duanya," jelas Arifin ketika ditemui usai rapat terbatas (ratas) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Oleh sebab itu, Arifin menyebutkan pemerintah perlu melakukan langkah alternatif meredam kenaikan subsidi dan kompensasi BBM. "Jadi kita harus lakukan satu efisensi. Alternatif energi apa yang bisa kita manfaatkan di dalam negeri untuk bisa menggantikan itu. Dampak subsidi itu bisa kita redam tapi tidak bisa dalam waktu pendek. Tapi program itu sudah ada juga dijalankan dan mungkin kecepatannya ditambah," jelasnya.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji telah mengungkapkan harga minyak mentah atau Indonesia crude price (ICP) diprediksi bakal meroket hingga USD100 per barel imbas memanasnya perang antara Iran-Israel. Tutuka mengatakan, naiknya ICP itu tentunya bakal berdampak terhadap anggaran subsidi serta kompensasi BBMdan LPG 3 kg.

Sebab, lonjakan ICP lebih besar dari asumsi ekonomi makro yang dipatok dalam APBN 2024 sebesar USD82 per barel. Menurut Tutuka, apabila ICP naik sesuai dengan perkirakan yakni USD100 per barel dengan kurs Rp15.900, maka subsidi dan kompensasi BBM akan naik menjadi Rp250 triliun dari sebelumnya yang diasumsikan dalam APBN 2024 sebesar Rp161 triliun.

"Nah tentunya totalnya ini akan sangat besar kalau kita totalkan itu bisa sampai Rp213 triliun, total subsidi kompensasi baik BBM maupun LPG. Kalau (ICP) naik ke USD110 per bharel, ini akan menjadi jauh lebih besar," tegasnya.

Dia menambahkan, belakangan ICP memang menunjukkan tren kenaikan harga sekitar USD5 per barel setiap bulan bahkan sebelum adanya konflik antara Iran dan Israel memanas. Untuk setiap kenaikan ICP sebesar USD5 per barel setiap bulan itu, yang paling terpengaruh adalah subsidi LPG yang akan bertambah sekitar Rp5 triliun.

"Kemudian yang kedua yang paling besar dengan kenaikan ICP USD5, kompensasi dolar bertambah Rp6,42 triliun. Jadi itu 2 yang paling besar kenaikannya," papar Tutuka.

Ekonom: Konflik Iran-Israel Punya 4 Dampak Serius ke Indonesia

Ekonom: Konflik Iran-Israel Punya 4 Dampak Serius ke Indonesia


Kendati Iran menyatakan bahwa serangannya ke negeri Zionis telah berakhir, potensi konflik lebih lanjut masih sangat terbuka. Pasalnya, Israel menegaskan akan melakukan pembalasan, dan Iran bersumpah bahwa setiap provokasi lebih lanjut terhadap negara tersebut akan dibalas secara keras.

Terkait tensi geopolitik yang masih tinggi di Timur Tengah tersebut, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa serangan Iran ke Israel punya empat dampak serius terhadap ekonomi Indonesia.

"Pertama, memicu lonjakan harga minyak mentah ke USD85,6 per barel atau meningkat 4,4% year on year," kata Bhima saat dikonfirmasi MNC Portal, Minggu (14/4/2024).

Menurut Bhima, pengaruh terhadap harga minyak sangat wajar mengingat Iran adalah negara penghasil minyak ke 7 terbesar di dunia. Konflik berkelanjutan atau perang terbuka bisa mengganggu produksi dan distribusi minyak dari Negeri Mullah tersebut. "Harga minyak yang melonjak akan berimbas ke pelebaran subsidi energi hingga pelemahan kurs rupiah lebih dalam," kata Bhima.

Dampak kedua, lanjut dia, adalah keluarnya aliran investasi asing dari negara berkembang karena meningkatnya risiko geopolitik. "Investor mencari aset yang aman baik emas dan dolar AS sehingga rupiah bisa saja melemah hingga Rp17.000 per USD," cetusnya.

Dampak ketiga, lanjut dia, kinerja ekspor Indonesia ke Timur Tengah, Afrika dan Eropa akan terganggu. Hal ini bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat ke kisaran 4,6-4,8% tahun ini.

Dampak yang keempat, konflik tersebut dapat menimbulkan dorongan inflasi karena naiknya harga energi sehingga tekanan terhadap daya beli masyarakat bisa semakin besar. "Rantai pasok global yang terganggu perang membuat produsen harus mencari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen," jelasnya.
(fjo)