RUU TNI Tuai Polemik, Tetap Dikebut atau Dilanjut setelah Reses?
Dzikry Subhanie
Senin, 17 Maret 2025, 10:20 WIB
Revisi UU TNI yang tengah dibahas DPR dan Pemerintah menuai polemik. Pembahasannya bakal tetap dikebut atau dilanjutkan setelah Lebaran?
UU TNI Direvisi setelah Lebih dari 20 Tahun Diteken Megawati
Prajurit TNI saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta, Sabtu (5/10/2024). Foto/Arif Julianto
UU TNI yang kini tengah direvisi telah berusia hampir 21 tahun. Diketahui, pada 16 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU tersebut diundangkan pada tanggal yang sama oleh Sekretaris Negara Bambang Kesowo.
"Ini yang akan kita revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang ditandatangani tanggal 16 Oktober 2004 oleh Presiden Ibu Megawati Soekarnoputri, terdiri dari 11 bab dan 78 pasal," kata Ketua Komisi I DPR Utut Adianto saat membuka Rapat Kerja dengan Panglima TNI dan Kepala Staf di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Jauh sebelum diteken Megawati, UU TNI telah menjadi kontroversi sejak diwacanakan pada pertengahan 2003. Dikutip dari buku Dinamika Reformasi Sektor Keamanan yang diterbitkan Imparsial pada tahun 2005, pemerintah pada 30 Juni 2004 mengajukan RUU TNI ke DPR.
"RUU ini banyak melahirkan pertanyaan dan spekulasi politik, karena masa pembahasannya praktis hanya 45 hari. Ditambah lagi dengan konsentrasi nasional saat itu tercurah pada pemilihan presiden tahap II," demikian dikutip dari buku tersebut.
Meski ada kontroversi yang muncul, RUU TNI kemudian disahkan DPR pada 30 September 2004, kemudian diteken Megawati Soekarnoputri pada 16 Oktober 2004, empat hari sebelum masa jabatan putri Proklamator RI Soekarno itu berakhir.
Kini, UU yang berusia hampir 21 tahun itu tengah direvisi. Hal ini menyusul adanya surat dari Presiden Republik Indonesia Nomor R12/Pres/02/2025 tanggal 13 Februari 2025 tentang penunjukan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Untuk diketahui, pada DPR Periode 2019-2024, pembahasan RUU TNI dibatalkan oleh Badan Legislasi (Baleg). Rencana revisi UU TNI juga dilakukan sejak 2010, tetapi baru terealisasi sekarang.
“
Ini yang akan kita revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang ditandatangani tanggal 16 Oktober 2004 oleh Presiden Ibu Megawati Soekarnoputri
”
Utut Adianto
Menurut Utut, dalam surat tersebut Presiden Prabowo Subianto menunjuk empat menteri yakni Menteri Hukum, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Sekretaris Negara untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
Pimpinan DPR pada tanggal 18 Februari 2025 pun menugaskan Komisi I untuk membahas RUU ini, kemudian menggelar rapat internal. Komisi I lalu mengundang beberapa pihak terkait seperti kalangan LSM dan Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri) untuk meminta masukan.
Panja RUU TNI Dipimpin Anak Buah Megawati
Komisi I DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU TNI. Pemerintah pun sepakat atas keputusan adanya Panja RUU TNI tersebut.
“Berdasarkan rapat intern Komisi I, 27 Februari, Komisi I DPR telah membentuk Panja dan mohon izin bukan narsis, Pak Menteri. Kami disepakati, saya Utut Adianto menjadi ketua Panja. Apakah ini Bapak juga setuju," tanya Utut kepada peserta rapat.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang mewakili pemerintah menyetujuinya. "Sangat setuju, Pak," jawab Sjafrie.
Selain Utut, jajaran pimpinan Komisi I lainnya yakni Dave Laksono dari Fraksi Partai Golkar, Budi Djiwandono dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Heryawan dari Fraksi PKS, dan Anton Sukartono Suratto dari Fraksi Partai Demokrat menjadi wakil ketua Panja RUU TNI.
Berikut ini daftar lengkap anggota Panja RUU TNI: 1. Fraksi PDIP: Hasanuddin, Junico BP Siahaan, Rudianto Tjen, Rachmat Hidayat 2. Fraksi Partai Golkar: Nurul Arifin, Yudha Novanza Utama, Gavriel P Novanto 3. Fraksi Partai Gerindra: M Endipat Wijaya, Rachel Maryam Sayidina, Sabam Rajagukguk 4. Fraksi Partai Nasdem: Andina Thresia Narang, Amelia Anggraini 5. Fraksi PKB: Oleh Soleh, Taufiq R Abdullah 6. Fraksi PKS: Jazuli Juwaini 7. Fraksi PAN: Farah Puteri Nahlia, Slamet Ariyadi 8. Fraksi Partai Demokrat: Rizki Aulia Rahman Natakusumah. (Dzikry Subhanie, Felldy Utama)
Ini Alasan UU TNI Perlu Direvisi
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto didampingi para kepala staf menghadiri Raker di Komisi I DPR, Kamis (13/3/2025). Foto/Arif Julianto
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI belum pernah mengalami revisi atau perubahan sejak ditetapkan. Diketahui, UU TNI diteken pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
"Pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa sudah lebih dari 20 tahun sejak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ditetapkan, belum pernah dilakukan revisi atau perubahan," ujar Panglima TNI dalam raker dengan Komisi I DPR, Kamis (13/3/2025).
Panglima TNI juga menyoroti tantangan yang dihadapi TNI di era modern, khususnya dalam menghadapi ancaman perang multidimensional, termasuk di dunia maya. Menurutnya, TNI harus mampu mengantisipasi perang multidimensional, khususnya di dunia maya.
"Penguatan koordinasi yang semakin baik antara TNI dengan Kementerian Pertahanan dilaksanakan melalui mekanisme yang terstruktur. TNI mendukung kemandirian alutsista secara bertahap untuk mengurangi ketergantungan dari produk luar negeri dalam hal pengadaan alutsista, perlengkapan, dan peralatan," jelas Panglima.
Panglima TNI menekankan bahwa perubahan strategi, teknologi, dan kebijakan sejak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 diberlakukan menuntut penyesuaian dalam tubuh TNI. Reformasi diperlukan untuk meningkatkan profesionalisme dan kesiapan TNI dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Panglima TNI juga menegaskan pentingnya revisi undang-undang agar tetap relevan dengan kebijakan dan keputusan negara.
Dalam menghadapi ancaman non-militer, TNI juga memiliki konsep penempatan prajurit aktif di kementerian/Lembaga dengan tetap menjaga keseimbangan antara peran militer dan otoritas sipil. "TNI berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara peran militer dan otoritas sipil dengan tetap mempertahankan prinsip supremasi sipil serta profesionalisme militer dalam menjalankan tugas pokoknya," tegasnya.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI merupakan langkah strategis untuk memperkuat pertahanan negara, meningkatkan profesionalisme prajurit, serta memastikan supremasi sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal tersebut disampaikan Kapuspen TNI Mayjen TNI Hariyanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/3/2025)
“
TNI berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara peran militer dan otoritas sipil dengan tetap mempertahankan prinsip supremasi sipil serta profesionalisme militer dalam menjalankan tugas pokoknya
”
Jenderal TNI Agus Subiyanto
Kapuspen TNI menegaskan bahwa revisi UU TNI ini bertujuan menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih efektif tanpa tumpang tindih dengan institusi lain, dan juga penyesuaian dalam menghadapi ancaman baik ancaman militer maupun nonmiliter. "Revisi UU TNI adalah kebutuhan strategis agar tugas dan peran TNI lebih terstruktur serta adaptif terhadap tantangan zaman," ujar Kapuspen TNI.
Salah satu poin penting dalam revisi ini adalah pengaturan yang lebih jelas terkait penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga (K/L) di luar struktur TNI. Kapuspen TNI menegaskan bahwa mekanisme dan kriteria penempatan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan nasional dan tidak mengganggu prinsip netralitas TNI. "Penempatan prajurit aktif di luar institusi TNI akan diatur dengan ketat agar tetap sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan," tegas Kapuspen TNI.
Selain aspek tugas dan peran, revisi ini juga mencakup penyesuaian batas usia pensiun prajurit, mengingat meningkatnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia. Kapuspen TNI menyatakan bahwa aturan mengenai batas usia pensiun dilihat dari harapan hidup orang Indonesia yang semakin panjang dan masih produktif sehingga masih dapat berkontribusi bagi negara, sekaligus menjaga keseimbangan regenerasi dalam tubuh TNI.
"Kami melihat bahwa penyesuaian batas usia pensiun dapat menjadi solusi agar prajurit yang masih memiliki kemampuan optimal tetap bisa mengabdi, tanpa menghambat regenerasi kepemimpinan di TNI," jelas Kapuspen TNI. (Dzikry Subhanie)
Pasal Krusial RUU TNI yang Menjadi Sorotan
Prajurit TNI saat Upacara HUT ke-79 TNI di Monas, Jakarta Pusat. Foto/Arif Julianto
Beberapa pasal dalam RUU TNI mendapat sorotan publik. Pasal tersebut antara lain soal tugas pokok TNI, penempatan prajurit TNI di Kementerian/Lembaga (K/L), dan batas usia pensiun prajurit.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada Kamis (13/3/2025), Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto memaparkan kronologi pembahasan RUU TNI yang merupakan usul inisiatif DPR RI. Panglima mengatakan, pada 4 Maret 2025, Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI melaksanakan pembahasan RUU TNI. Rapat tersebut dipimpin Sekjen Kemhan.
"Hasil perubahan berupa perubahan tiga pasal dalam RUU TNI, yaitu Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53," kata Panglima.
Selanjutnya, pada 11 Maret 2025, Tim Teknis RUU TNI mengadakan rapat dalam rangka persiapan Perubahan UU TNI di Komisi I. Hasil pembahasan yakni berupa perubahan tujuh pasal dalam RUU TNI, yaitu Pasal 3, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 47, Pasal 53, dan penambahan Pasal II tentang Ketentuan Peralihan Mengenai Pengaturan Pasal 53.
Adapun isi pasal tersebut sebagai berikut: A. Perubahan Pasal 3 tentang Kedudukan B. Perubahan Pasal 7 tentang Tugas TNI C. Perubahan Pasal 8 tentang Tugas TNI AD D. Perubahan Pasal 9 tentang Tugas TNI AL E. Perubahan Pasal 10 tentang Tugas TNI AU F. Perubahan Pasal 47 tentang Penempatan Prajurit TNI di K/L G. Perubahan Pasal 53 tentang Batas Usia Pensiun H. Penambahan Pasal II tentang Ketentuan Peralihan Mengenai Pengaturan Pasal 53.
Dari beberapa pasal di atas, ada yang banyak mendapat sorotan publik. Misal, Pasal 7 tentang Tugas Pokok TNI.
Diketahui, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 2004 berbunyi: Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Selanjutnya, ayat (2) berbunyi: Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. operasi militer untuk perang; b. operasi militer selain perang , yaitu untuk: 1. mengatasi gerakan separatis bersenjata; 2. mengatasi pemberontakan bersenjata; 3. mengatasi aksi terorisme; 4. mengamankan wilayah perbatasan; 5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; 6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7. mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; 8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9. membantu tugas pemerintahan di daerah; 10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan."
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Dalam DIM RUU TNI yang diajukan pemerintah dapat terlihat adanya penambahan klausa terkait ketentuan OMSP, seperti membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber, membantu pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, dan membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.
Selain itu, kata Anton, terkait pelaksanaan OMSP, pemerintah tidak lagi menggunakan frasa perlunya kebijakan dan keputusan politik negara, melainkan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres).
"Penambahan ini tentu saja berimplikasi pada perluasan cakupan dari OMSP itu sendiri. Secara umum, penambahan cakupan ini tentu saja adalah sesuatu yang wajar mengingat adanya perubahan karakteristik ancaman yang lintas batas negara dan pentingnya memastikan kehadiran negara dalam melindungi WNI," ujarnya kepada SindoNews, Jumat (14/3/2025).
Anton mengatakan, jika dilihat karakteristik OMSP yang tercantum dalam DIM RUU TNI, sebenarnya dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni operasi yang bersifat permanen/jangka waktu lama dan temporer. OMSP yang bersifat permanen seperti penjagaan terhadap presiden. Sementara, yang bersifat temporer seperti membantu SAR, bencana, penanganan terorisme, dan lain-lain.
Akan tetapi, lanjut Anton, ketiadaan pengelompokan jenis OMSP ini akan dapat berpotensi berkembangnya anggapan dwifungsi TNI. Hal ini mengingat karakter OMSP yang bersifat sementara menandakan pelaksanaan tugas perbantuan. Tugas membantu pemerintah daerah misalnya, memiliki cakupan yang luas.
"Artinya, bisa saja tugas tersebut di luar tugas pokok TNI sebagai alat pertahanan negara. Dan, jika tugas perbantuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama, dikhawatirkan pelaksanaan perbantuan dalam waktu lama dapat memengaruhi profesionalisme dan kesiapsiagaan prajurit itu sendiri," katanya.
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini menambahkan, dihapusnya ketentuan penggunaan keputusan dan kebijakan politik negara guna pelaksanaan OMSP sejatinya tidak menjadi soal. "Tentu saja, ada baiknya pengaturan pelaksanaan OMSP diatur dalam ketentuan setingkat undang-undang. Dengan demikian, pengaturan OMSP hanya merujuk pada satu ketentuan payung, yang nantinya dapat bisa secara detail."
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mengganggap bahwa berbahaya pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur Pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana tertera dalam draf RUU TNI. Draf pasal dalam RUU TNI, menurut Koalisi, secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat.
Poin selanjutnya yang juga menarik perhatian adalah perubahan Pasal 47. Merujuk pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pasal 47 ayat (1) RUU TNI, ada penambahan Kementerian/Lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
Berikut ini isi Pasal 47 ayat (1) DIM RUU TNI: Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, Siber dan/atau Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Keamanan Laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
Terkini, dalam pembahasan yang dilakukan Panja RUU TNI, jabatan yang bisa diduduki oleh prajurit aktif ditambah menjadi 16. Tambahan pos baru tersebut adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
"Sekarang ada ditambah satu, yaitu Badan Pengelola Perbatasan," kata anggota Panja RUU TNI Tubagus Hasanuddin di sela-sela rapat, Sabtu (15/3/2025).
Legislator PDI Perjuangan ini menjelaskan, kesepakatan diambil lantaran daerah perbatasan itu punya tingkat kerawanan tinggi. Atas dasar itu, ia menilai, perlu keterlibatan TNI dalam menjaga daerah perbatasan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun mengkritisi adanya penambahan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI aktif. Koalisi menilai sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Akan tetapi justru penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.
"Jadi, jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi, bukan malah ditambah. Selain itu, penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan," demikian pernyataan Koalisi.
Poin lainnya yang menjadi perhatian adalah soal batas usia pensiun prajurit yang tercantum dalam Pasal 53. Dalam Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama.
Nantinya, pasal ini akan diubah menjadi dua ayat. Pertama, Pasal 53 ayat (1) berbunyi "Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai dengan batas usia pensiun".
Selanjutnya, dalam Pasal 53 ayat (2) diatur rincian batas usia maksimalnya, yakni: a. Tamtama 56 tahun b. Bintara 57 tahun c. Perwira sampai dengan Letnan Kolonel 58 tahun d. Kolonel paling tinggi 59 tahun e. Perwira bintang 1 paling tinggi 60 tahun f. Perwira bintang 2 paling tinggi 61 tahun g. Perwira bintang 3 paling tinggi 62 tahun.
Nantinya, pelaksanaan ketentuan di atas diatur dalam Penambahan Pasal II tentang Ketentuan Peralihan Mengenai Pengaturan Pasal 53. Intinya, usia pensiun di tiap pangkat tersebut hanya berlaku bagi prajurit yang pada tanggal UU ini diundangkan belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengungkap alasan yang mengharuskan adanya penambahan masa usia pensiun prajurit TNI yang diatur dalam revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Relevansi batas usia pensiun TNI tetap konsisten mempertahankan keseimbangan antara kesiapan tempur dengan regenerasi kepemimpinan TNI," kata Agus, Kamis (13/3/2025).
Tak hanya itu, kata dia, kesejahteraan karier prajurit dan pengembangan karier harus berjalan seimbang antara kepastian jenjang karier bagi prajurit muda dan manfaat bagi prajurit senior.
Oleh karenanya, terkait penambahan usia pensiun yang tertuang dalam RUU TNI ini bukanlah tanpa sebab. Agus memastikan, sudah ada kajian yang dilakukan sebelumnya.
"Keputusan ini dibuat berdasarkan analisis berbasis data yang mempertimbangkan kebutuhan operasional, kesejahteraan prajurit, kebutuhan organisasi, serta dampaknya pada APBN 2025-2030," pungkasnya.
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menanggapi kekhawatiran kembalinya dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru (Orba) melalui revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurutnya, tak ada yang bisa mengembalikan jarum jam ke era Orba.
"Kalau TNI ditakutkan akan kembali seperti zaman Orba, saya udah usia 60 tahun. Supaya dipahami di dunia ini nggak ada yang bisa membalikkan jarum jam," kata Utut saat ditemui di sela-sela Rapat Panja RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
Utut menjelaskan, saat ini adalah zaman berbeda dengan Orba. Wartawan dari latar belakang apa pun saat ini bisa mewawancarai narasumber, hal yang tidak ada di era Orba. "Semangat zamannya beda. Ini contoh nih, teman-teman wartawan nggak kenal saya. Congor saya dicocok gini. Kalau zaman dulu rapi, dari mana, keluarganya siapa, itu zaman Orba. Saya ngomong sedikit ke kiri diparanin Laksus," katanya.
Legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun memastikan keberadaan RUU TNI tetap akan membatasi prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil.
"Ini kan atas permintaan kementerian, atau misalnya presiden. Presiden itu kan memang istimewa. Di Pasal 10 UUD, Presiden itu pemegang kekuasaan tertinggi," imbuhnya.
Utut meminta publik tidak khawatir dengan keberadaan RUU TNI. Namun, ia tak bisa memberi kepastian bagi pihak yang punya keberpihakan dalam merespons RUU TNI, seperti orang yang punya trauma masa lampau.
"Yang masa lampaunya traumatis, pasti kontra. Tapi kalau kita melihat ke depan, moving forward, dugaan saya ini oke-oke," ujarnya. (Dzikry Subhanie, Achmad Al Fiqri, Felldy Utama, Rico Afrido Simanjuntak).
Pentingnya Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU TNI
Prajurit TNI saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta, Sabtu (5/10/2024). Foto/Arif Julianto
Poster berisi kritik atas RUU TNI dibentangkan dua orang yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ketika menggeruduk salah satu ruangan Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025) sore. Ruangan tersebut digunakan anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau lebih populer disebut RUU TNI, untuk melakukan konsinyering atas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah.
Kehadiran perwakilan koalisi di ruangan tersebut membuat suasana sempat memanas. Sejumlah poster dibentangkan, antara lain bertuliskan "Kayak kurang kerjaaan aja, ngambil double job" dan "Gantian aja gimana? TNI jadi ASN, sipil angkat senjata".
Perwakilan koalisi, Andrie Yunus, membentangkan poster di dalam ruang rapat. Tak lama, sejumlah petugas keamanan langsung menarik Andri yang juga wakil koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu keluar ruangan. Petugas pun langsung menutup rapat pintu. Kemudian, perwakilan koalisi berteriak untuk meminta Panja RUU TNI dan Pemerintah menghentikan rapat RUU TNI.
"Hentikan Bapak Ibu, prosesnya sangat tertutup, tidak ada pelibatan rakyat di sini," kata Andrie, berteriak di depan pintu rapat.
Tak ada satu pun anggota Panja RUU TNI menemui koalisi. Alhasil, Andrie dan dua orang lainnya berjalan keluar.
Sementara, Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU TNI Utut Adianto menilai, sikap KontraS terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI merupakan bentuk keberpihakan. "Kalau KontraS memang dari awal nggak setuju. Nah ini kan keberpihakan, pertanyaannya begini terus," kata Utut saat ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025).
Legislator PDI Perjuangan itu tak mempersoalkan bila sikap KontraS tak setuju RUU TNI. Ia pun mengaku telah mengundang pihak KontraS untuk meminta aspirasi, tetapi diabaikan. "Kita undang dia nggak mau karena merasa akan jadi stempel saja bahasanya," kata Utut.
Sebelumnya, Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengkritisi penyelenggaraan rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI yang digelar di hotel bintang 5 di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.
"Masyarakat pada akhirnya tidak bisa mengakses apa saja isi pertemuan, apa aja yang dilakukan gitu ya, karena sifatnya tertutup gitu, kan. Padahal masyarakat juga berhak tahu apa yang dibahas," kata Dimas kepada wartawan, Sabtu (15/3/2025).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar mengungkapkan alasan pemilihan Hotel Fairmont sebagai tempat rapat Panja RUU TNI bersama pemerintah. "Teman-teman sekretariat itu memang menjajaki beberapa hotel, ada 5-6 hotel ya, tapi yang available itu satu ya. Pertimbangannya yang available dengan format Panja RUU ini," kata Indra saat dihubungi wartawan, Sabtu (15/3/2025).
Selain itu, kata Indra, harga sewa Hotel Fairmont terjangkau lantaran telah bekerja sama dengan pemerintah. Indra mengungkapkan pembahasan RUU TNI ini intensif sehingga diperlukan tempat yang memadai.
“Karena rapat-rapat ini sifatnya maraton, bisa jadi selesai bukan malam tapi dini hari gitu, ya. Jadi butuh waktu istirahat dan paginya harus mulai lagi gitu, ya. Jadi memang harus dicari tempat-tempat yang memungkinkan untuk ada waktu untuk beristirahat juga," jelas Indra.
Indra menyebut DPR juga melakukan efisiensi. "Jadi kalau keterkaitan dengan penghematan, ini kita masih punya anggaran cadangan dari yang 50 persen dengan sangat hati-hati tentu kita menghitung RUU, apalagi yang harus diselesaikan dengan format konsinyir," tandasnya.
Terkini, peristiwa penggerudukan tersebut dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, laporan diterima pada Sabtu (15/3/2025) kemarin yang teregister dengan nomor LP/B/1876/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA.
"Polda Metro Jaya menerima laporan dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum dan atau perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan dan atau penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia, yang dilaporkan oleh RYR," kata Ade Ary kepada wartawan, Minggu (16/3/2025).
Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ketika menggeruduk salah satu ruangan Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Sabtu (15/3/2025) sore. Foto/Achmad Al Fiqri
Ade Ary menuturkan, terlapor dalam kasus ini masih dalam penyelidikan. Dia mengatakan pasal yang diadukan dalam laporan ini yakni Pasal 172 dan atau Pasal 212 dan atau Pasal 217 dan atau Pasal 335 dan atau Pasal 503 dan atau Pasal 207 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP. "Pelapor RYR, korban anggota rapat pembahasan revisi UU TNI, terlapor dalam lidik," ujarnya.
Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menyesalkan perlakuan beberapa orang yang berjaga terhadap dua orang aktivis yang hendak menyampaikan protes damai atas rapat tertutup RUU TNI di Hotel Fairmont. "Padahal aksi berjalan damai, tidak menyerang orang maupun fasilitas acara, seperti aksi pembubaran diskusi di Hotel Grand Kemang tahun lalu," ujarnya, Minggu (16/3/2025).
Menurut Usman, aksi tersebut bukan hanya kembali mengkritik substansi RUU terkait perluasan jabatan sipil bagi militer aktif hingga kabar penghapusan larangan berbisnis dan berpolitik praktis, tetapi juga memprotes agenda pembahasan yang janggal karena tidak transparan dan partisipatif, terburu-buru, berlangsung di saat libur akhir pekan, dan memakai hotel mahal yang tidak konsisten dengan anjuran efisiensi.
"Mengapa tidak terbuka, partisipatif, dan efisien dengan diadakan di hari-hari kerja dan bertempat di Gedung Wakil Rakyat? Mengapa terkesan terburu-buru?" katanya.
Usman menilai aksi Koalisi Masyarakat Sipil itu konstitusional dan legal karena bagian dari pelaksanaan hak warga untuk berpendapat, berkumpul secara damai, dan berekspresi. "Kami mendesak agar proses pembahasan RUU TNI berjalan sesuai asas-asas pemerintahan yang baik," pungkasnya.
Menurut pengamat militer Anton Aliabbas, UU TNI yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri pada Oktober 2004 memang membutuhkan perubahan, mengingat ada sejumlah perkembangan yang membutuhkan respons dan semestinya diatur dalam peraturan yang baru.
Anton mengatakan, setidaknya ada tiga isu krusial yang paling urgen mendapatkan perhatian. Pertama, perkembangan medan perang masa depan yang semakin kompleks, yang tidak lagi hanya mencakup darat, laut, dan udara, tetapi juga siber dan antariksa. Kedua, pengaturan jabatan sipil yang dapat diduduki TNI aktif mengingat ada beberapa instansi yang melibatkan TNI aktif seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ketiga, pengaturan karier prajurit terutama mengatasi fenomena maraknya perwira nonjob di pangkat kolonel ke atas, sementara di sisi lain ada defisit perwira, terutama pada pangkat letnan satu-letnan kolonel.
Meski demikian, kata Anton, alasan adanya kebutuhan revisi UU TNI tidak menjadikan pembahasan revisi legislasi tersebut harus dikejar target segera. Memang benar, rencana revisi UU TNI sudah ada sejak tahun 2015. Akan tetapi, pengerjaan revisi UU yang singkat hanya akan menjadikan proses tidak memenuhi kaidah 'meaningful participation' dan hati-hati.
"Padahal, semestinya, untuk isu yang penting seperti ini, keterlibatan publik yang lebih luas dan mengedepankan kehati-hatian serta kecermatan menjadi kunci agar perubahan UU tidak terjadi berulang kali," ujarnya kepada SindoNews, Minggu (16/3/2025).
Anton menambahkan, pelaksanaan revisi UU yang singkat dan tertutup hanya akan memperkuat dugaan adanya maksud tertentu di balik proses pemutakhiran legislasi. Apalagi, masih ada beberapa ganjalan isu yang dibahas seperti penambahan usia pensiun yang tidak berdasar, serta tidak adanya respons memadai terkait perkembangan peperangan masa depan dan pengaturan karier kedua (second career) bagi personel TNI.
Oleh karena itu, lanjut Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini, ada baiknya DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dan memasang target penyelesaian revisi ini.
"Sudah semestinya, revisi UU TNI dilakukan dengan kepala dingin dengan mengedepankan kehati-hatian dan kecermatan serta melibatkan publik yang lebih luas. Sebab, UU TNI merupakan jantung dari cita-cita mewujudkan TNI yang profesional. Dan, itu adalah komitmen bersama, bukan hanya sekadar pemerintah dan DPR," pungkasnya.
Pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi mengatakan, proses legislasi yang menyangkut revisi UU TNI memang tidak boleh dilakukan secara terburu-buru, terutama karena dampaknya terhadap struktur dan peran TNI. Namun, ini bukan hanya soal cepat atau lambat, melainkan soal bagaimana pembahasan ini dilakukan.
"Revisi ini memang bertujuan memperkuat pertahanan nasional serta menyesuaikan aturan dengan dinamika kompleksitas ancaman modern dan kebutuhan pemerintahan, maka tentu ada urgensi untuk segera disahkan," katanya, Minggu (15/3/2025).
Namun, Khairul Fahmi mengatakan percepatan ini mestinya tidak sampai mengorbankan transparansi dan partisipasi publik. "Penting bagi DPR untuk lebih mendengar dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan tentu saja institusi terkait, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau persepsi negatif," ujarnya.
Jadi, kata dia, yang terpenting bukan sekadar soal memperlambat atau mempercepat, tetapi memastikan prosesnya di DPR berjalan secara lebih terbuka, partisipatif, dan akuntabel, sehingga hasil akhirnya benar-benar bisa sesuai urgensi dan tidak menimbulkan kekhawatiran berlebihan.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir memastikan revisi UU TNI tidak mungkin diselesaikan pada masa sidang ini. Hal ini lantaran DPR sudah memasuki waktu reses pada pekan depan.
"Ini kan lagi berjalan, kalau dalam waktu dekat ini mungkin tidak mungkin, sebentar lagi mau Idulfitri, ada reses dan sebagainya. Tanggal 20 kita udah akhir, reses. Saya rasa tidak mungkinlah," kata Adies di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Menurut Adies, kemungkinan paling cepat revis UU TNI diselesaikan pada masa sidang berikutnya. "Kemarin saya sempat ngomong, paling kalau mau cepat ya masa sidang berikutnya, dua masa sidang, itu kalau paling cepat, kalau tidak ada perdebatan ya," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin berharap pembahasan RUU TNI bisa selesai sebelum DPR menjalani masa reses. DPR akan mulai masuk masa reses pada 21 Maret mendatang.
"Sekjen Kementerian Pertahanan untuk memimpin kelompok kerja yang akan membahas tiga pasal yang akan dibahas, dengan harapan ini bisa selesai pada bulan Ramadan. Kita harapkan ini selesai sebelum reses para anggota DPR," kata Sjafrie seusai Rapat Kerja di Komisi I DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Kini, bola ada di tangan DPR dan Pemerintah. Apakah pembahasan RUU TNI tetap dikebut dan disahkan sebelum masa reses, atau dilanjutkan seusai Lebaran. Waktu yang akan menjawabnya. (Dzikry Subhanie, Achmad Al Fiqri, Riyan Rizki Roshali, Rico Afrido Simanjuntak)
Follow WhatsApp Channel SINDOnews untuk Berita Terbaru Setiap Hari