PHK Massal di Awal 2025, Akankah Ekonomi Baik-Baik Saja?
Mohammad Faizal
Jumat, 14 Maret 2025, 11:35 WIB
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang menerjang di awal tahun 2025 telah merenggut sumber nafkah puluhan ribu pekerja. Pemerintah harus waspada.
Badai PHK di Awal 2025, Pertanda Apa?
“
Peningkatan angka pengangguran dan menurunnya daya beli masyarakat bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dalam jangka menengah
”
Ekonom Achmad Nur Hidayat
Bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di awal tahun 2025 menjadi pukulan bagi industri pertekstilan serta sektor ketenagakerjaan nasional. Runtuhnya raksasa tekstil asal Solo itu diikuti dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) puluhan ribu pekerjanya.
Berdasarkan laporan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), hingga Februari 2025 secara total, jumlah buruh yang terdampak PHK Sritex mencapai 10.665 orang. PHK ini sebagai tindak lanjut status pailit perusahaan yang diputuskan inkracht oleh Mahkamah Agung.
Gelombang PHK itu terdiri dari bulan Januari sebanyak 1.065 orang di PT Bitratex Semarang. Di Bulan Februari PHK sebanyak 8.504 orang pada PT Sritex Sukoharjo, lalu PT Primayuda Boyolali 956 orang, PT Sinar Panja Jaya Semarang 40 orang, PT Bitratex Semarang 104 orang.
Belum usai gonjang-ganjing bangkrutnya Sritex, kabar PHK kembali muncul dari dua pabrik sepatu yang berlokasi di Tangerang, Banten. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea mengungkapkan, dua pabrik sepatu yakni PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh baru saja melakukan PHK massal terhadap ribuan karyawannya.
"Saya sudah menerima laporan dari pimpinan SPSI tingkat perusahaan dan terus memantau perkembangan perundingan antara serikat pekerja dan manajemen perusahaan," kata Andi Gani dalam keterangan resminya dikutip Jumat (7/3/2025).
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten, Septo Kalnadi, PHK dilakukan PT Adis Dimension Footwear terhadap 1.500 karyawan. Sementara PT Victory Ching Luh sedang dalam proses PHK terhadap 2.000 pekerja.
Susul-menyusulnya kabar PHK buruh tersebut membuat SPSI gelisah. Andi pun mendesak pemerintah bergerak cepat menangani masalah PHK yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Bahkan, dia menyarankan agar pemerintah membentuk Satuan Tugas Khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Sebelum itu, di penghujung bulan Februari, kabar PHK juga menyeruak dari Yamaha Music yang akan menutup dua pabriknya di Indonesia. Dua pabrik Yamaha Music yang akan ditutup adalah PT Yamaha Music Product Asia yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat dan PT Yamaha Music Indonesia yang berlokasi Pulo Gadung, Jakarta Timur. Keduanya merupakan pabrik divisi piano.
Setidaknya 1.100 orang buruh terkena PHK akibat penutupan pabrik alat musik tersebut. Tutupnya kedua pabrik ini ditengarai akibat sepinya pemesanan. Di luar industri-industri tadi, startup eFishery pun dikabarkan memangkas hampir 90% dari total tenaga kerjanya, yakni sekitar 1.350 orang.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, gelombang PHK ini tak semata mencerminkan masalah internal di perusahaan. Akan tetapi, ini juga menunjukkan adanya persoalan struktural yang lebih besar dalam perekonomian nasional.
Penyebab utama gelombang PHK ini, kata dia, bukan hanya satu faktor tunggal, melainkan gabungan dari berbagai dinamika ekonomi yang terjadi baik di tingkat domestik maupun global. Namun apapun itu, tegas dia, pemerintah perlu segera bertindak agar gelombang PHK ini tak membesar menjadi tsunami yang menggoyang ekonomi nasional.
"Peningkatan angka pengangguran dan menurunnya daya beli masyarakat bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dalam jangka menengah," tandasnya. Pemerintah, tegas dia, perlu untuk segera menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya gelombang PHK.
Marak PHK Massal, Lampu Kuning Ekonomi Nasional
Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil kembali terjadi. Setelah sebelumnya menerpa Sritex, dua pabrik sepatu di Kabupaten Tangerang, Banten, juga terpaksa mem-PHK sekitar 3.000 karyawannya.
Menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda, fenomena ini menjadi indikator bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ia bahkan menyebut fenomena PHK massal ini sebagai "lampu kuning" bagi perekonomian dalam negeri.
Huda mengatakan, maraknya PHK massal lantaran industri dalam negeri sedang babak belur dihajar oleh kondisi global dan domestik yang tidak stabil. Permintaan dari China dan AS menurun drastis dalam dua tahun terakhir.
"Akibatnya produksi TPT (tekstil dan produk tekstil dalam negeri dirasionalisasikan dengan permintaan ekspor," jelas Huda saat dihubungi SINDOnews, Rabu (12/3/2025).
Ditambah persaingan keras yang dihadapi industri TPT dalam negeri dari produk impor murah dari China dengan dikeluarkannya Permendag No.8/20204 yang mempermudah arus impor barang dari luar negeri, membuat kondisi semakin sulit.
Huda berpendapat aturan tersebut membuat masyarakat lebih memilih produk dari China yang lebih murah, dibandingkan dengan produk lokal. Apalagi belakangan juga banyak beredar impor China ilegal yag semakin menggerus industri nasional.
"Kemungkinan PHK akan bertambah sangat terbuka mengingat PMI kita masih belum membaik. Permintaan dalam negeri mungkin akan membaik dalam beberapa bulan ke depan namun tidak akan signifikan saya rasa," lanjut Huda.
Selain itu, jelas Huda, hal lain yang menyebabkan maraknya PHK di Indonesia karena pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak berkualitas. Salah satu indikatornya menurut dia adalah sektor industri tidak optimal dalam menyerap tenaga kerja.
Huda mengatakan, jika dahulu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap hingga lebih dari 400.000 tenaga kerja, maka saat ini 1% ekonomi hanya menyerap sekitar 100.000 tenaga kerja saja. Sehingga, dalam jangka menengah dan panjang, kondisi ini akan memperparah kemiskinan dan ketimpangan.
"Kemudian, ada deindustrialisasi prematur yang menunjukkan kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal. Proporsi industri manufaktur terhadap PDB hanya 18%. Padahal 10 tahun yang lalu, proporsi pernah mencapai 20% lebih," tuturnya.
Huda juga menyoroti PMI yang terus melambat dalam beberapa bulan terakhir yang terus menekan sektor manufaktur. Kondisi itu ditambah serbuan produk impor yang semakin menekan industri dalam negeri.
"Ketika dari sisi supply terganggu dan sisi demand belum pulih, maka pertumbuhan ekonomi akan stagnan dan tidak berkualitas," lanjutnya. Menurut Huda, jika kondisi ini dibiarkan sampai setahun atau dua tahun ke depan, akan lebih banyak tenaga kerja yang ter-PHK.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan bahwa pemerintah sudah seharusnya mengambil langkah konkret, mengingat PHK massal di industri tekstil dalam negeri semakin marak terjadi.
Langkah yang sepatutnya diambil pemerintah menurutnya adalah dengan memberikan insentif fiskal seperti penangguhan bayar pajak agar industri bisa tetap bertahan dengan diharapkan tidak lagi terjadi kebangkrutan pabrik.
"Ke depan agar terjadi kebangkrutan pabrik maka sebaiknya memberikan insentif fiskal seperti penangguhan bayar pajak, yang penting mereka survive dulu," ungkapnya.
Kemudian, insentif moneter menurutnya juga bisa diberikan berupa subsidi bunga dan mendorong kredit murah. "Sehingga, bila pengusaha mengalami kesulitan keuangan maka mereka bisa utang dengan bunga yang lebih murah," tambahnya.
Di sisi lain, pemerintah menurutnya juga perlu mendorong pemberdayaan lebih banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sebab, UMKM adalah penopang ekonomi yang lebih banyak menyerap pekerja dibanding sektor lainnya. "Kontribusi UMKM untuk penciptaan lapangan pekerjaan lebih besar daripada industri besar," Esther mengingatkan.
(Tangguh Yudha)
Serbuan Barang Impor Ilegal, Musabab PHK Tekstil Nasional
Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) berlanjut di awal tahun 2025. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat, tren PHK di industri TPT sudah terjadi sejak tahun 2023 dan 2024.
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta mengatakan persoalan PHK di industri TPT ini disebabkan oleh adanya serbuan barang impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Namun hingga saat ini penindakan hukum atas barang impor ilegal dinilai belum secara serius dilakukan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri.
"Gampang (mengatasi PHK industri TPT), saya bilang gampang karena pemerintah sudah tahu (masalahnya). Kita sudah bicarakan masalah ini sejak bulan Februari 2023 dengan Kemenko Perekonomian, kesimpulannya masalah pasar domestik adalah impor dan impor ilegal," kata Redma Gita saat dihubungi SINDOnews, Rabu (12/3/2025).
Menurutnya terkait pembatasan barang impor yang masuk ke Indonesia, komitmen Pemerintah sudah mulai terlihat sedikit lewat terbitnya aturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Seiring perjalanannya, regulasi tersebut sudah 3 kali dilakukan revisi karena dinilai belum mengakomodir kebutuhan industri. Pada awal tahun 2024, Permendag 36/2023 dilakukan revisi dan lahir Permendag 3/2024, tidak lama berselang diubah kembali menjadi Permendag 7/2024, dan terakhir diubah menjadi Permendag 8/2024.
Bongkar pasang regulasi soal impor ini dijelaskan Kementerian Perdagangan dikarenakan banyaknya kontainer yang akhirnya tertahan di pelabuhan karena belum mampu memenuhi dokumen impor yang diatur dalam regulasi tersebut. Sebab pemerintah mencoba mengetatkan barang impor yang masuk, namun malah berujung pada penumpukan kontainer di pelabuhan dan barang tidak terdistribusi dengan baik di pasar.
"Kalau regulasi soal pengetatan barang impor legal, akhirnya keluar Permendag 36/2023, tapi cuma berlaku 3 bulan, dan direvisi menjadi Permendag 8/2024. Jadi itu menurut saya ada relaksasi," kata Redma.
Di balik aksi bongkar pasang revisi aturan impor barang legal, Redma menilai pemerintah lalai untuk mengatasi atau menindak tegas praktik masuknya barang impor yang ilegal. Padahal barang impor ilegal inilah yang justru paling merusak pasar. Pertama karena harganya yang murah, dan bebas pajak, kedua penegakan hukum masih lemah sehingga praktik demikian masih langgeng sampai saat ini.
"Jadi kan kita punya prasangka buruk, apakah banyak oknum pemerinta yang terlibat (barang impor ilegal masuk), atau memang banyak yang mendapat benefit. Karena ini sudah 2 tahun dibiarkan, bahkan sampai banyak pabrik yang tutup. Kenapa ini impor ilegalnya kok tidak diapa-apain," sambungnya.
Berdasarkan catatan APSyFI, sejak tahun 2023 hingga 2024 setidaknya sudah ada 60 pabrik tekstil yang tutup di seluruh Indonesia. Sebanyak 250.000 orang menjadi korban PHK imbas adanya penutupan pabrik-pabrik tersebut. Bahkan jika dihitung dengan jumlah karyawan yang terdampak pengurangan jam kerja, total pekerja yang terdampak impor ilegal dan ilegal menurutnya mencapai 500.000 orang selama kurun waktu 2 tahun.
Jumlah itu belum termasuk karyawan PT Sritex Group yang tutup pada awal tahun 2025 dan berdampak pada PHK massal hingga 10.000 orang. "Kematian" industri tekstil di dalam negeri menurutnya ibarat bom waktu jika pemerintah tidak ada langkah konkret melidungi pasar dalam negeri.
Cashflow para pelaku usaha terus tergerus karena harus menjual barang di bawah harga produksi, hal ini dilakukan agar produk bisa bersaing dengan barang murah impor ilegal.
"Ini masalahnya bukan biaya produksi saja, ini masalahnya ilegal. China over stok produk tekstil, Pemerintah mereka memberikan insentif bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor, jadi ada peran pemerintah di situ, itu saja sudah murah. Ditambah barang ilegal masuk tanpa kena pajak," cetus Redma.
Dia mengatakan, Pemerintah China memberikan semacam insentif itu untuk mendorong devisa ekspor. Sementara di Indonesia tidak ada insentif semacam itu untuk industri TPT. "Kita harus bayar pajak. Sebetulnya kalau mau fair, impor ilegal itu dihentkan, jadi kan dia harus bayar PPN, harus bayar bea masuk, kalau dia bayar, sampai sini saya kira sama-sama fair harganya," tandasnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan masalah kelebihan stok yang ada di China terkait produk tekstil diakibatkan oleh kebijakan trade barrier yang dilakukan banyak negara di dunia untuk melindungi pasar domestik.
Pemerintah India mengeluarkan kebijakan trade barier dalam bentuk non tarif maupun tarif. Mengingat India merupakan pasar potensial dengan populasi penduduk salah satu yang terbanyak di dunia. Senada, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang lebih ketat, dengan istilah new sction to protect American consumers, worker, and bussines by cracking down on the minimus shipment with unsafe, unfairly, traded product.
"Sedangkan Indoensia, justru memberikan relaksasi terhadap barang impor yang masuk atas dasar kontainer yang menumpuk di pelabuhan," cetusnya.
Jemmy menegaskan, perlu disadari kenapa di negara dengan populasi yang banyak, seperti di China, India, Bangladesh, Vietnam, hingga AS, industri TPT justru sangat dijaga. Karena, jelas dia, industri ini dapat menyerap angkatan kerja lulusan SMA bahkan SMP di sektor formal, dalam jumlah yang banyak.
Terkait dengan itu, saat ini para pelaku usaha menurutnya menunggu ketegasan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah kongkret terkait trade barier untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang impor ilegal. "Seperti India, mereka menerapkan nontarif barrier dalam bentuk sertifikasi industri atau lebih dikenal dengan BIS (Bureau of India Standards) certification. Tujuannya untuk meyakinkan produsen dan produknya memenuhi kriteria yang ditentukan," tutup Jemmy.
(Iqbal Dwi Purnama)
Cegah PHK Meluas, Pemerintah Harus Bertindak Cepat
Meluasnya fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di awal tahun ini membuat semua pihak prihatin. Sebab, jika terus berlanjut, dikhawatirkan bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dalam jangka menengah.
Seperti diketahui, baru-baru ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tangerang melakukan PHK massal, menambah duka PHK puluhan ribu karyawan pabrik Sritex di Solo. Agar tak terus meluas, ekonom menegaskan bahwa dibutuhkan intervensi pemerintah untuk menghentikan tren PHK yang mengancam ribuan pekerja.
"Pemerintah sudah seharusnya bergerak cepat mengambil langkah konkret, mengingat PHK massal semakin marak terjadi. Agar tidak terjadi kebangkrutan," ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti saat dihubungi SINDOnews, baru-baru ini.
Dia meminta pemerintah untuk memastikan hak-hak pekerja terpenuhi. Langkah ini penting agar korban PHK bisa tetap bisa menyambung hidup. Selanjutnya, kata dia, para korban PHK perlu didampingi agar bisa membuka usaha sendiri. "Atau disediakan lapangan kerja di industri lain yang masih bergairah," tuturnya.
Sri menambahkan, intervensi pemerintah juga bisa dilakukan dengan memberikan insentif fiskal. Misalnya, berupa penangguhan pembayaran pajak untuk membantu industri.
Hal senada dikemukakan ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Pemerintah menurutnya perlu memberikan insentif yang lebih besar bagi sektor manufaktur, seperti subsidi energi dan keringanan pajak, agar industri dapat bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit ini.
Selain itu, sambung dia, kebijakan perdagangan juga harus lebih berpihak pada industri dalam negeri. "Pengawasan terhadap impor perlu diperketat agar industri lokal tidak semakin tergerus oleh produk asing yang lebih murah," cetusnya.
Untuk sektor teknologi, lanjut dia, pemerintah perlu memastikan adanya dukungan bagi startup yang memiliki model bisnis berkelanjutan. "Banyak startup yang tumbuh cepat tetapi tidak memiliki fundamental keuangan yang kuat, sehingga rentan terhadap krisis," ujarnya.
Selanjutnya, pemerintah perlu memperluas program pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja yang terkena PHK agar mereka dapat beradaptasi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang terus berubah. "Kemudian, perlu ada sinergi yang lebih kuat antara pemerintah, dunia usaha, dan serikat pekerja untuk mencari solusi yang lebih komprehensif terhadap lonjakan PHK," tambahnya.
Dialog sosial yang lebih intensif menurutnya dapat membantu menciptakan mekanisme mitigasi yang lebih baik sebelum PHK massal terjadi.
Di bagian lain, menyikapi perkembangan saat ini, Presiden Prabowo Subianto telah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menjadi PP Nomor 6 Tahun 2025. Aturan yang berlaku mulai 7 Februari 2025 ini mengubah beberapa poin ketentuan dalam aturan sebelumnya.
Yang pertama adalah terkait adanya perubahan tingkat iuran program JKP. Diketahui pada pada pasal 11 PP Nomor 37 Tahun 2021, iuran JKP sebesar 0,46% dari upah sebulan. Kini dalam PP Nomor 6 Tahun 2025, iuran JKP ditetapkan sebesar 0,36% dari upah sebulan.
Perubahan kedua terletak pada pasal 21 PP Nomor 37 Tahun 2021 yang mengatur manfaat uang tunai diberikan setiap bulan paling lama enam bulan dengan ketentuan sebesar 45% dari upah untuk 3 bulan pertama dan 25% dari upah untuk 3 bulan berikutnya. Dalam pasal 22 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2025, ketentuan itu diubah menjadi 60% dari upah dengan jangka waktu paling lama enam bulan.
Perubahan ketiga adalah adanya penambahan pasal 39A yang mengatur ketentuan manfaat JKP tetap dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan apabila perusahaan dinyatakan pailit atau tutup sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Perubahan keempat, pasal 40 PP 6/2025 mengatur bahwa hak atas manfaat JKP hilang jika pekerja tidak mengajukan klaim dalam waktu enam bulan sejak pemutusan hubungan kerja, telah mendapat pekerjaan baru, atau meninggal dunia.
Follow WhatsApp Channel SINDOnews untuk Berita Terbaru Setiap Hari
Follow