Link Copied
Ambang Batas Parlemen Diubah, Berapa Angka Idealnya?

Ambang Batas Parlemen Diubah, Berapa Angka Idealnya?

By Dzikry Subhanie
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), ambang batas parlemen 4 persen harus diubah sebelum Pemilu 2029. Berapa angka idealnya?

Ambang Batas Parlemen Harus Diubah sebelum Pemilu 2029

Ambang Batas Parlemen Harus Diubah sebelum Pemilu 2029

Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto/Dok MPI


MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen yang tertuang dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ambang batas parlemen 4 persen harus diubah sebelum Pemilu 2029.

Gugatan ini diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam hal ini diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati (Ketua Pengurus Yayasan Perludem) dan Irmalidarti (Bendahara Pengurus Yayasan Perludem). Perkara terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 pada 11 September 2023.

Diketahui, Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".

Dikutip dari laman MK, Kamis (29/2/2024), Perludem mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa "paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional". Pemohon menyebut hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional. Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Menurut Perludem, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Perludem mengaitkan ketentuan ambang batas parlemen ini dengan tidak konsistennya atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4% dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional.

MK yang kini dipimpin Suhartoyo pun telah mengucapkan putusannya terkait gugatan ini. Berikut ini amar putusan MK, dikutip dari laman MK:

Mengadili:
Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi Pemohon

Dalam Pokok Permohonan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan;
3. Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dikutip dari laman MK, putusan MK terkait gugatan Perludem ini diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, 5 Februari 2024.

Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, 29 Februari 2024, selesai diucapkan pukul 12.53 WIB oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. Dzikry Subhanie

Kenapa Tidak Diberlakukan pada Pemilu 2024?

Kenapa Tidak Diberlakukan pada Pemilu 2024?

Gedung Kura-Kura Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Foto/Dok MPI

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas parlemen 4 persen yang harus diubah sebelum Pemilu 2029 menuai polemik. Kenapa tidak diberlakukan pada Pemilu 2024?

Meski menyambut baik putusan soal diubahnya ambang batas parlemen 4 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menilai seharusnya putusan ini bisa berlaku sekarang, tidak menunggu Pemilu 2029.

Ketua Majelis Pertimbangan PPP M Romahurmuziy (Rommy) menilai, putusan ini seharusnya diberlakukan pada Pemilu 2024. Apalagi, kata Rommy, tahapan penghitungan seperti ketentuan ambang batas parlemen ini belum berjalan.

"Semestinya dengan semangat yang sama, putusan ini berlaku prospektif, yakni berlaku ke depan mulai hari ini diputuskan. Toh tahapan penghitungan sebagaimana ketentuan PT (parliamentary threshold) ini diputuskan belum berjalan," ujar Rommy.

Rommy pun menyarankan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) berkonsultasi kepada MK. Tujuannya, untuk meramu PKPU menyambut putusan itu agar dapat diterapkan pada Pemilu 2024. "KPU sebaiknya segera berkonsultasi kepada MK, untuk melakukan perubahan peraturan KPU menyambut putusan ini, untuk segera diterapkan pada Pemilu 2024," tandasnya.

Senada, Ketua Bidang Politik DPP Partai Perindo Yusuf Lakaseng menilai, putusan MK terkait penghapusan ambang batas parlemen sebesar 4 persen mengandung ambiguitas dan inkonsistensi. Menurutnya, pemberlakuan putusan itu tak tepat dilakukan pada Pemilu 2029.

"Putusan MK itu sudah tepat namun mengandung ambiguitas dan inkonsistensi. Mestinya bukan hanya berlaku pada Pemilu 2029, tapi juga mulai diberlakukan pada Pemilu 2024 saat ini, karena Pemilu 2024 masih sedang berlangsung," kata Yusuf saat dihubungi, Kamis (29/2/2024).

Partai Ummat pun menyuarakan hal yang sama. Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani merasa janggal putusan gugatan yang dilayangkan Perludem terkait dengan ambang batas parlemen itu dilakukan pascapemungutan suara Pemilu 2024. Apalagi, putusan itu tidak berlaku surut.

"Pengumuman penghapusan yang dilakukan setelah pencoblosan serta baru bisa diberlakukan pada Pemilu 2029 sangat kental bernuansa politis dan kepentingan kelompok tertentu. Mengapa tidak diproses jauh-jauh hari sehingga bisa diberlakukan langsung pada Pemilu 2024? Itu pertanyaannya," jelas Buni saat dihubungi, Sabtu (2/3/2024).

Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Juanda mempertanyakan putusan MK soal ambang batas parlemen tidak diberlakukan pada tahun 2024. Dia menilai, seharusnya putusan itu bisa diberlakukan pada Pemilu 2024.

"Kenapa ini tidak diberlakukan pada 2024? Menurut saya tidak ada kata terlambat. Sebab begini, putusan KPU itu secara nasional kan belum, itu kan nanti 20 Maret 2024," ujar Prof Juanda dalam tayangan SINDOnews TV, Jumat (1/3/2024).

Dia menilai, proses rekapitulasi suara nasional yang sedang berjalan saat ini belum diketahui berapa peesentase yang akan diraih partai politik peserta pemilu. Oleh sebab itu, selayaknya putusan MK itu bisa diberlakukan pada Pemilu 2024.

"Saya pikir bahwa MK memutuskan untuk berlaku 2024 juga, kan belum melewati batas waktu, karena kenapa? Kita belum tahu siapa mendapat persentasenya berapa dari beberapa partai itu, sehingga di sini agak setengah hati ya putusan ini," ujarnya.

Di sisi lain, mantan Ketua MK Mahfud MD setuju dengan putusan perubahan ambang batas parlemen dilakukan sebelum Pemilu 2029. "Bagus, memang harus begitu, berlakunya itu harus di dalam tradisi hukum di seluruh dunia kalau ada perubahan aturan, yang memberatkan atau menguntungkan seseorang harus pada periode berikutnya," kata Mahfud MD saat ditemui di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024).

Mahfud kemudian menyinggung soal Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres 40 tahun. Seharusnya, kata Mahfud, putusan tersebut juga berlaku untuk Pemilu 2029. Diketahui, akibat adanya putusan tersebut, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa maju menjadi calon wakil presiden meski kini usianya 36 tahun.

"Termasuk misalnya seharusnya usia calon presiden, calon wakil presiden, itu kalau mau diubah berlaku pemilu yang akan datang seharusnya ya, dan itu sudah disuarakan," ujarnya. Achmad Al Fiqri, Danandaya Arya Putra, Riana Rizkia

Merumuskan Ulang Ambang Batas Parpol yang Berhak Masuk Senayan

Merumuskan Ulang Ambang Batas Parpol yang Berhak Masuk Senayan

Parpol Peserta Pemilu 2024. Dok SINDOnews

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa ambang batas parlemen 4% (4 persen) harus diubah sebelum Pemilu 2029. Muncul pertanyaan: berapa ambang batas parlemen yang ideal diterapkan?

Diketahui, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) secara sederhana didefinisikan sebagai syarat minimal perolehan suara yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu, agar bisa diikutkan di dalam konversi suara ke kursi di pemilu legislatif atau sebagai syarat untuk mendapatkan kursi legislatif

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, atau tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

Pada Pemilu 2014, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Namun, setelah digugat oleh 14 partai politik, MK kemudian menetapkan ambang batas 3,5 persen tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.

Pemilu 2019 dan 2024, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4 persen.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen hanya membuat banyak suara menjadi terbuang sia-sia.

"Karena banyak suara terbuang dan berdampak pada tidak dapat terkonversinya sebagian besar kursi," kata Ihsan kepada iNews Media Group, Kamis (29/2/2024) malam.

Apalagi, kata dia, Perludem sebagai pihak pemohon dalam gugatan ke MK ini, telah berhasil menunjukkan bukti banyak suara yang terbuang. Dia mengatakan, dalam bukti yang disampaikan, ada partai politik yang sebenarnya mendapatkan kursi di beberapa daerah pemilihan (dapil).

Dalam Tabel 11 Perolehan Kursi Partai Politik Lolos Ambang Batas Parlemen Efektif 1% Tetapi Tidak Lolos Ambang Batas Parlemen Menurut Undang-Undang, pada Pemilu 2019 Partai Solidaritas Indonesia mendapat tiga kursi di Dapil Banten III, DKI Jakarta II, dan DKI Jakarta III. Sementara, Partai Persatuan Indonesia mendapat dua kursi di Dapil NTT II dan Sumut III. (Salinan Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, diakses dari laman mkri.id),

Akan tetapi, karena partai politik tersebut tidak mendapatkan atau melampaui ambang batas parlemen sebesar 4 persen secara nasional, akhirnya kursi-kursi yang berhasil didapatkan itu hangus lantaran tak bisa dikonversi. "Nah itu kan jelas tidak berkepastian hukum dan membangkangi aturan yang ada di konstitusi," ujarnya.

Perludem sebagai pihak pemohon atas gugatan ambang batas parlemen di MK memiliki angka ideal yang sebenarnya bisa diturunkan dari angka sebelumnya. Ihsan Maulana menyampaikan bahwa angka ideal ini tidak begitu saja muncul. Menurutnya, ada perhitungan yang dilakukan oleh ahli yang juga turut dihadirkan dalam sidang di MK.

"Ahli yang kami hadirkan menyebutkan bahwa idealnya untuk Indonesia saat ini 1 persen," kata Ihsan kepada iNews Media Group, Kamis (29/2/2024) malam.

Ia menyadari, meskipun dianggap ideal, angka ini juga tetap memiliki implikasi terhadap hilangnya suara. Namun, kata Ihsan, angka ini tentunya jauh lebih baik dibandingkan ambang batas minimal parlemen yang ada sekarang ini.

"Kalau satu persen saja dikonversi, itu masih ada 2,3 juta suara yang terbuang begitu ya. Tapi angka itu jauh lebih baik dibanding 4 persen, yang angka (suara) terbuangnya bahkan sampai dengan 13 juta, tentu ini sangat tidak efektif sekali," ujarnya.

Kini, berapa ambang batas parlemen yang akan diterapkan pada Pemilu 2029 tergantung pada pembahasan revisi UU Pemilu di DPR. Revisi itu dilakukan DPR bersama pemerintah.

MK telah memberikan petunjuk terkait pembahasan ambang batas parlemen sebelum Pemilu 2029. Menurut peneliti Perludem Heroik M Pratama, putusan MK mengandung lima prinsip yang haris dipegang oleh DPR RI untuk tentukan besaran ambang batas parlemen.

Pertama, ambang batas parlemen harus dilakukan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas termasuk besaran angka pesrentasenya dalam hal ini harus kedepankan prinsip proporsionalitas.

"Karena sistem pileg kita adalah proporsional, artinya harus berimbang antara jumlah suara dengan jumlah perolehan kursi yang didapatkan, sehingga harus meminimalisir disproporsionalitas dari hasil pemilu," ucapnya.

Ketiga, perubahan dari sisi parliamentary threshold ke depan untuk menuju Pemilu 2029 itu harus juga dalam rangka menyederhanakan parpol. Keempat, telah selesai harus dibahas sebelum Pemilu 2029. Terakhir, melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.

"Untuk Pemilu 2029 perlu dilakukan perbaikan oleh pembentuk UU, salah satunya mengedepankan prinsip proporsionalitas hasil pemilu. Secara sederhana proporsionalitas hasil pemilu adalah perolehan suara partai harus berbagi lurus dengan perolehan kursi," jelasnya. Felldy Utama, Achmad Al Fiqri
(zik)