Siap-siap PPN 12%, Beban Rakyat Makin Berat
Siap-siap PPN 12%, Beban Rakyat Makin Berat
Mohammad Faizal
Rabu, 20 November 2024, 13:02 WIB

Pemerintah bersikeras menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tahun depan di tengah ketidakpastian ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat.

Bertameng UU, Tarif PPN Naik Menjadi 12% per 1 Januari 2025

Bertameng UU, Tarif PPN Naik Menjadi 12% per 1 Januari 2025

Pemerintah memastikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12% mulai tahun depan, sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Hal itu termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11% pada 1 April 2022 dan 12% pada 1 Januari 2025.

Berdalih merupakan amanat undang-undang, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% akan diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

"Dapat kami sampaikan bahwa penyesuaian tarif PPN menjadi 12% merupakan amanat UU HPP," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti beberapa waktu lalu.

Dwi menambahkan, ketentuan PPN menjadi 12% ini akan berlaku mengikuti kebijakan pemerintah Presiden Prabowo Subianto. "Penyesuaian tarif PPN tersebut akan mengikuti kebijakan pemerintah baru," imbuh Dwi.

Baca Juga: PPN naik 12% di 2025, Ekonom Wanti-wanti Bisa Kerek Inflasi

Penegasan tersebut memantik reaksi dari banyak kalangan, mulai dari ekonom hingga pelaku usaha. Secara umum mereka menyuarakan kekhawatirannya jika PPN naik menjadi 12% tahun depan. Selain menggerus daya beli, kenaikan inflasi hingga stagnasi pertumbuhan ekonomi juga menjadi alasan ekonom dan pelaku usaha yang tak setuju atas kebijakan itu.

Terkait dengan suara suara penolakan itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun akhirnya buka suara. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Sri Mulyani menegaskan, kenaikan PPN menjadi 12% juga berkaitan dengan kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sri Mulyani mengatakan, APBN sebagai instrumen shock absorber harus tetap dijaga kesehatannya.

"Sudah ada UU-nya kita perlu siapkan agar itu (PPN 12%) bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024) lalu.

Menkeu beralasan, APBN yang sehat akan mampu merespons jika terjadi guncangan, semisal krisis finansial global. Karena itu, Sri Mulyani setuju jika pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih baik kepada masyarakat mengenai kebijakan kenaikan PPN tersebut.

Dia menambahkan, pemerintah tidak membabi buta dalam memungut pajak dari masyarakat. Pemerintah, kata dia, juga telah memberikan banyak insentif, termasuk membebaskan pajak-pajak di sektor-sektor tertentu.

"Artinya walaupun kita buat policy tentang perpajakan, termasuk PPN, bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan dan bahkan makanan pokok," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menambahkan, pihaknya akan memastikan untuk tetap melaksanakan tugas sesuai mandat undang-undang, dan di saat yang sama tetap waspada terhadap kondisi perekonomian.

Sebagai catatan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun untuk tahun 2025, naik 13,9% jika dibandingkan dengan outlook 2024. Pertumbuhan pajak pada 2025 tersebut akan ditopang oleh pertumbuhan penerimaan PPh nonmigas, serta PPN dan PPnBM.

Jadi yang Tertinggi di ASEAN, PPN Indonesia Kalahkan Singapura

Jadi yang Tertinggi di ASEAN, PPN Indonesia Kalahkan Singapura

Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan pajak secara bertahap hingga maksimal 15%. Setelah naik dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, PPN akan kembali naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut kenaikan tarif PPN tersebut tidak dilakukan secara membabi buta, melainkan telah dipertimbangkan dan demi menjaga kesehatan APBN. Terlepas dari alasan-alasan itu, kenaikan tersebut akan menempatkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.

Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus dalam sebuah diskusi publik Maret lalu mengatakan bahwa jika diterapkan, Indonesia akan menjadi negara dengan tarif PPN teratas di ASEAN bersama dengan Filipina. "Jadi kalau Indonesia mencapai 12%, maka Indonesia akan menjadi negara dengan PPN tertinggi di Asia Tenggara," katanya.

Hal itu, lanjut dia, pasti akan membebani masyarakat. Dampak kebijakan ini menurutnya akan berbeda-beda terhadap masyarakat, di mana masyarakat kelas bawah akan lebih terkena dampaknya dibandingkan masyarakat kelas menengah-atas.

Mengutip data tax summaries dari PwC, saat ini negara ASEAN yang menerapkan tarif PPN 12% adalah Filipina. Indonesia akan menjadi yang kedua jika awal tahun depan jadi menyesuaikan PPN dari 11% saat ini menjadi 12%.

Sementara itu, Negeri Jiran Malaysia menerapkan tarif sales tax 10% dan service tax sebesar 8%. Kemudian, Laos, Vietnam dan Kamboja masing-masing juga menerapkan PPN sebesar 10%.

Selanjutnya, Singapura menerapkan tarif 9% untuk goods and service tax. Sementara, Thailand menerapkan PPN hanya 7%. Sedangkan Myanmar dan Timor Leste masing-masing menerapkan tarif (commercial tax) 5% dan (sales tax) hanya 2,5%.

Jadi yang Tertinggi di ASEAN, PPN Indonesia Kalahkan Singapura

Satu-satunya negara ASEAN yang tak menerapkan PPN dan PPh adalah Brunei. Hal itu dimungkinkan karena negara kecil dengan penduduk hanya 455.858 jiwa ini kaya minyak dan gas, sehingga pemerintahnya tak perlu lagi mengutip banyak pajak pada penduduknya untuk membiayai anggaran negara.

Terkait kenaikan PPN tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) belum lama ini mengeluarkan laporan yang di dalamnya disebutkan bahwa meskipun kenaikan tarif PPN akan mendongkrak penerimaan negara, kebijakan ini juga berisiko menimbulkan berbagai dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.

Mengutip laporan tersebut, kenaikan tarif PPN ini akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung. Hal itu kemudian akan mengerek naik biaya hidup secara keseluruhan dan berisiko memperburuk tekanan inflasi.

"Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," ungkap laporan tersebut.

Rumah tangga berpenghasilan rendah disebut paling berisiko mengalami penurunan daya beli. Situasi ini dikhawatirkan akan mengurangi pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan, yang kemudian menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Kendati masyarakat berpenghasilan rendah hanya membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak, pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani kelompok rumah tangga ini. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial.

Efek Ngeri Kenaikan PPN, inflasi Tinggi hingga Stagnasi Ekonomi

Efek Ngeri Kenaikan PPN, inflasi Tinggi hingga Stagnasi Ekonomi

Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tahun depan dikritisi banyak pakar ekonomi. Sebab, meski akan mendongkrak penerimaan negara, kebijakan ini berisiko menimbulkan berbagai dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menganjurkan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN ini. Menurut dia, kenaikan PPN akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi.

"Sepertinya memang belum tepat waktunya," ujar Tauhid saat dihubungi, Jumat (15/11/2024). Tauhid mengatakan, belajar dari pengalaman kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, meski ada tambahan penerimaan negara di atas Rp100 triliun, kenaikan itu juga mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi, juga konsumsi masyarakat di tahun 2024. "Ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya," kata dia.

Menurut dia, pemerintah sebaiknya menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global bisa diantisipasi lebih baik lagi. Tauhid menambahkan, di banyak negara, tarif PPN juga tidak harus tinggi untuk mendongkrak penerimaan negara. Dia mengatakan, ada upaya lain untuk menaikkan penerimaan pajak tanpa harus mengerek naik PPN. Di antaranya, dengan melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi.

"Jadi diperluas, bukan pada kenaikan tarif PPN itu sendiri, tetapi ada upaya Kementerian Keuangan melakukan intensifikasi," cetusnya. Tauhid menambahkan, Kemenkeu juga bisa memperluas basis wajib pajak dengan penggunaan teknologi, sehingga penerimaan PPN bertambah tanpa harus menaikkan tarif dari 11% menjadi 12%.

Baca Juga: PPN Naik Jadi 12%, Pengusaha Hotel dan Restoran Bunyikan Alarm Bahaya

Tauhid mengatakan, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN, pada akhirnya produk akhir akan mengalami kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen. Secara otomatis hal ini akan menambah pengeluaran para pembeli. Menurut Tauhid, hal ini memiliki konsekuensi seperti meningginya inflasi, turunnya daya beli, dan juga berdampak negatif bagi industri.

Rencana kenaikan tarif PPN ini juga disoroti Chief Economist Permata Bank Josua Pardede.Menurut dia kenaikan tersebut akan mendorong kenaikan inflasi yang lebih besar, sedangkan pertumbuhan ekonomi akan tetap di tingkat 5%.

"Pemerintah kemungkinan besar akan menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% dan ini memang akan mendorong kenaikan inflasi," ujar Josua dalam acara Permata Bank Wealth Wisdom 2024 di Park Hyatt Jakarta, Senin (18/11). Dia memproyeksikan inflasi akan berada di kisaran 3% dengan mempertimbangkan potensi penurunan suku bunga yang cenderung terbatas tahun depan.

Hal senada diungkapkan Ekonom Celios Lailul Huda. Menurut dia, kenaikan PPN dari 11% ke 12% memiliki multiplier effect yang cukup signifikan. "Ketika PPN naik 1%, hal itu akan menaikkan harga, ada expected inflation," tuturnya.

Hal ini menurutnya cukup signifikan dampaknya terhadap daya beli. Dia mewanti-wanti agar kondisi ini jangan sampai tidak menjadi pertimbangan sebelum menaikkan PPN tahun depan. Menurut dia, pemerintah lebih baik mengoptimalkan sumber penerimaan pajak lainnya sebelum menaikkan PPN.

"Memang yang paling mudah adalah (menaikkan) PPN. Tapi ada (sumber lain) yang potensial, dari pertambangan misalnya, ini dulu, sebelum menaikkan PPN 12%. Kalau ingin menyehatkan APBN, bisa juga dari sisi belanjanya, kita lebih hemat, atau terapkan prioritas belanja," tegasnya.

Sementara itu, laporan terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyebutkan, kenaikan tarif PPN berpotensi membebani masyarakat berpenghasilan rendah secara tidak proporsional. Kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN ini juga akan meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi.

Efek kenaikan PPN juga disebutkan akan sangat membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, dan dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial. Hal ini berpotensi mendorong lebih banyak orang jatuh di bawah garis kemiskinan, dan akan semakin membebani kelompok rentan.

Kenaikan tarif PPN juga dinilai berpotensi menurunkan daya saing Indonesia, terutama di sektor pariwisata. Kenaikan harga barang dan jasa akibat tarif PPN yang lebih tinggi dapat menghalangi pengunjung internasional, yang mungkin akan memandang Indonesia sebagai destinasi wisata yang kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang tarif pajaknya lebih rendah.

Meningkatnya biaya produksi yang terkait dengan kenaikan tarif PPN juga bisa menggerus daya saing ekspor Indonesia. Sebab, biaya produksi yang lebih tinggi akan menaikkan harga produk Indonesia di pasar internasional, sehingga daya saing turun dibandingkan dengan produk negara lain.

Pengusaha dan Buruh Kompak, PPN 12% Bebani Masyarakat

Pengusaha dan Buruh Kompak, PPN 12% Bebani Masyarakat

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% bakal membebani konsumen. Pasalnya, produk yang dijual di pasar dipastikan bakal ikut naik.

Ketua Umum terpilih Aprindo periode 2024-2028 Solihin mengatakan, kenaikan PPN jadi 12% di awal 2025 akan memberatkan pembeli di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi saat ini. "Kalau ditanya siapa yang berat? Ya tadi yang saya bilang, yang mau beli barang itulah (konsumen),” ujar Solihin saat konferensi pers Musyawarah Nasional Aprindo ke-VIII, Minggu (17/11/2024).

Konsumen, tegas dia, akan menjadi subjek utama yang menanggung dampak dari kenaikan PPN. Dia memperkirakan harga produk di pasar ritel akan terkerek naik 5-10% seiring dengan kenaikan tarif PPN.

"Ya, nanti jangan dibilang, 'wah 1% aja kecil', bukan itu, tapi itu yang nanggung nantinya pembeli pada umumnya," jelasnya. "Sekarang kan 11%? Naik 1% jadi berapa persen tuh dari 11? 1 per 12, kan? Jadi naiknya bukan 1%, 1 per 12, itu naiknya, berat nggak? Ya, beratlah," cetusnya.

Keberatan juga diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani. Dia memperingatkan, kebijakan PPN 12% yang bakal diberlakukan tahun depan dapat membuat usaha hotel dan restoran tercekik.

"Jadi kalau kenaikan 1% itu memang sensitif juga di masyarakat. Saya rasa yang memberikan masukan atau warning dari dunia usaha banyak ya, bukan hanya hotel-restoran, semua sektor rasanya sudah memberikan warning bahwa itu akan berdampak kepada penurunan penjualan," katanya.

Padahal, lanjut Hariyadi, bisnis hotel dan restoran memiliki mata rantai yang sangat luas, mulai dari vendor yang bergerak di sektor peternakan dan pertanian yang memasok kebutuhan pangan hingga UMKM di sektor amenities. Karena itu, kebijakan PPN 12% akan merugikan banyak pihak.

Terlebih lagi, menurut Hariyadi saat ini pemasukan di bidang hotel dan restoran sudah menurun akibat melemahnya konsumsi masyarakat, khususnya untuk pasar menengah ke bawah. Ia berharap agar situasi ini tidak diperparah dengan adanya kebijakan PPN 12% pada 2025 mendatang.

"Kami berharap kebijakan ini dapat ditinjau kembali, karena dampaknya tidak hanya pada pelaku usaha, tapi juga pada tenaga kerja dan ekosistem pariwisata secara keseluruhan," tandasnya.

Tak hanya pengusaha, penolakan juga ditegaskan kaum buruh yang bahkan mengancam siap melakukan mogok nasional jika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12% di 2025. KSPI bersama serikat buruh lainnya berencana menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia untuk menolak kebijakan yang diyakini akan semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh.

"KSPI bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam pernyataan resminya.

Dia mengungkapkan, aksi tersebut akan menghentikan produksi selama minimal 2 hari pada rentang waktu 19 November hingga 24 Desember 2024. Aksi itu dilakukan jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% dan tidak menaikkan upah minimum sesuai dengan tuntutan.

Kebijakan tersebut dinilai berpotensi menambah ketimpangan sosial. Dengan beban PPN yang meningkat, rakyat kecil harus mengalokasikan lebih banyak untuk pajak tanpa adanya peningkatan pendapatan yang memadai.

Terkait dengan itu, KSPI dan Partai Buruh menuntut 4 hal kepada pemerintah. Pertama, menaikkan upah minimum 2025 sebesar 8-10% agar daya beli masyarakat meningkat. Kedua, menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan tiap sektor. Ketiga, membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Keempat, meningkatkan rasio pajak bukan dengan membebani rakyat kecil, tetapi dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak pada korporasi besar dan individu kaya.

Sebelumnya, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan bahwa bagi dunia usaha, penundaan kenaikan tarif PPN merupakan kebijakan yang rasional. Menurut dia, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat dan mendorong efisiensi produksi.

Hal itu bertujuan agar penawaran dan permintaan ekonomi dapat terjaga dengan baik. Dia menilai, masyarakat secara umum juga masih membutuhkan insentif, alih-alih diberikan beban tambahan melalui kenaikan tarif PPN.

"Kenaikan tarif yang dipaksakan akan menjadi bumerang bagi pemerintah. Sebab, kenaikan PPN bakal mendorong kenaikan harga-harga barang dan jasa. Itu berpotensi mendorong penurunan konsumsi," tandasnya. Turunnya konsumsi, lanjut dia, akan memicu penurunan produksi dan mengakibatkan stagnasi, bahkan penurunan pertumbuhan ekonomi.
(fjo)