Kelas Menengah Ambruk, Tabungan Dikeruk
Kelas Menengah Ambruk, Tabungan Dikeruk
Mohammad Faizal
Selasa, 01 Oktober 2024, 12:27 WIB

Di penghujung pemerintahan Jokowi, tanda-tanda memburuknya ekonomi kian sulit ditutupi. Dari deflasi berulang kali, hingga kelas menengah yang terdegradasi.

9,8 Juta Kelas Menengah Turun Kasta, Ekonomi dalam Bahaya

9,8 Juta Kelas Menengah Turun Kasta, Ekonomi dalam Bahaya

Quotes: "Jika tren ini terus berlanjut tanpa intervensi kebijakan yang signifikan, kita akan menyaksikan kemunduran ekonomi besar-besaran" (Achmad Nur Hidayat)

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR terkait RAPBN 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan data bahwa selama
lima tahun terakhir (2019-2024), jumlah kelas menengah Indonesia mengalami penyusutan.

BPS mencatat, kelas menengah Indonesia yang pada tahun 2019 berjumlah 57,33 juta orang, pada2024 menyusut menjadi 47,85 juta orang. Artinya, sepanjang periode tersebut, sebanyak 9,48 juta penduduk kelas menengah turun kelas. Sementara, jumlah kelas menengah rentan (aspiring middle class) pada periode yang sama naik 8,65 juta orang, dari 128,85 juta orang di 2019, menjadi 137,5 juta orang pada tahun 2024.

Kenaikan juga diikuti kelompok masyarakat rentan miskin yang pada periode yang sama bertambah sebanyak 12,72 juta orang. Dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang, meningkat menjadi 67,69 juta orang pada 2024.

Baca Juga: 5 Kali Beruntun, Deflasi Sentuh 0,12% di September 2024

Untuk diketahui, ukuran kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang pengeluarannya 3,5-17 kali garis kemiskinan yang
sebesar Rp582.932 per kapita, atau mereka yang memiliki pengeluaran sekitar Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulan.

Naiknya jumlah penduduk kelas menengah rentan dan rentan miskin, dinilai mengindikasikan bahwa banyak masyarakat golongan kelas menengah kini turun kelas ke kedua kelompok tersebut. Padahal, kelas menengah adalah mesin pertumbuhan ekonomi. Tak heran jika pemerintah berharap proporsi kelompok masyarakat ini mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045.

Dalam rapat dengan Komisi XI DPR tersebut, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa perubahan itu merupakan efek bekas luka (scarring effect) dari pandemi Covid-19 terhadap kelas menengah. "Bahwa Kami identifikasi memang masih ada scarring effect dari pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kelas menengah," ucap Amalia kala itu.

9,8 Juta Kelas Menengah Turun Kasta, Ekonomi dalam Bahaya

Terlepas dari benar-tidaknya pernyataan itu, kekhawatiran mengenai terpuruknya kelas menengah telah ada jauh sebelumnya. Salah satu indikasinya adalah deflasi yang terjadi selama empat bulan beruntun, dari Mei hingga Agustus tahun ini. Sejumlah
ekonom mewanti-wanti hal itu menunjukkan turunnya daya beli.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin misalnya, mengatakan bahwa deflasi empat bulan berturut-turut itu adalah berita buruk bagi ekonomi Indonesia. Hal ini menurutnya jelas merupakan indikasi terjadinya penurunan daya beli. "Hal ini sejalan dengan fenomena turunnya penerimaan PPN, deindustrialisasi dini, peningkatan kasus PHK, dan penurunan penjualan sektor retail," kata Wijayanto kepada SINDOnews.

Baca Juga: Jokowi Lantik Gus Ipul Jadi Mensos, Ekonom Ingatkan Nasib Miris Kelas Menengah

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Deflasi beruntun ini menurutnya adalahalarm tanda bahaya ekonomi karena menjadi indikator terjadinya pelemahan daya beli, khususnya pada kelas menengah. Indikasi itu, kata dia, juga terlihat dari penurunan penjualan kendaraan bermotor, naiknya non-performing loan (NPL) kredit pemilikan rumah (KPR), dan melambatnya pertumbuhan tabungan perorangan.

Merosotnya jumlah kelas menengah di dalam negeri, tegasBhima, berisiko tinggi terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga.
Dia mewanti-wanti, Kondisi ini berpotensi mengganggu pertumbuhan makroekonomi.

Terhadap kondisi ini, ekonom Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (Core) bahkan menyarankan pemerintah agar segera memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat kelas menengah dan calon masyarakat kelas menengah
(aspiring middle class). "Baik dalam bentuk bantuan tunai atau subsidi, (bantuan ini) dapat diberikan kepada (penduduk) kelas
menengah dan calon kelas menengah, jika tidak, tren penurunan kelas menengah akan terus berlanjut," tuturnya.

Kekhawatiran juga diungkapkan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat. Achmad
menuturkan, salah satu dampak yang paling mengkhawatirkan dari keterpurukankelas menengah ini adalah ancaman turun kasta ke kelompok rentan miskin.

"Jika tren ini terus berlanjut tanpa intervensi kebijakan yang signifikan, kita akan menyaksikan kemunduran ekonomi besar-besaran,
yang tidak hanya berdampak pada daya beli masyarakat, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan," tandasnya.

PHK Merajalela, Kelas Menengah Semakin Merana

PHK Merajalela, Kelas Menengah Semakin Merana

Gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri masih terus terjadi hingga tahun ini. Data dari Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK sepanjang Januari hingga Agustus 2024
meningkat 23,72% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Jika pada 2023 terdapat 37.375 pekerja yang kehilangan pekerjaan, angka tersebut melonjak menjadi 46.240 pada 2024. Provinsi dengan jumlah PHK terbesar sepanjang semester pertama 2024 adalah DKI Jakarta, dengan 7.469 pekerja terdampak, diikuti oleh Banten (6.135 pekerja), Jawa Barat (5.155 pekerja), Jawa Tengah (4.275 pekerja), Sulawesi Tengah (1.812 pekerja), dan Bangka Belitung (1.527 pekerja).

Baca Juga: Banyak Pekerja Tersapu Badai PHK, Pemerintah Perlu Bertindak Cepat

PHK yang terjadi sebagian besar dipicu oleh krisis di berbagai lini pada sektor manufaktur. Kementerian tenaga Kerja (Kemnaker) mencatat, setiap bulan, mulai dari Januari hingga Mei 2024, rata-rata terjadi sekitar 3.500-4.200 PHK.

Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah Ida mengatakan, pihaknya tengah melakukan mitigasi atas maraknya PHK ini. "Ya, memang kita akhir-akhir ini banyak mengalami PHK ya," ungkapnya di Kompleks DPR Senayan, awal bulan ini. "Kita terus melakukan mitigasi agar jangan sampai PHK itu terjadi. Kita pertemukan, antara manajemen dengan pekerja, itu bisa menekan terjadinya PHK," sambungnya.

PHK Merajalela, Kelas Menengah Semakin Merana

Menurut Ida, mayoritas PHK masih berasal dari industri manufaktur tekstil dan produk tekstil (TPT). "Yang terbanyak manufaktur
tekstil. Industri pengolahan ya. Industri pengolahan itu tekstil garmen dan alas kaki," jelasnya.

Terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah Liliek Setiawan mengungkapkan, jumlah kasus PHK di
lapangan kemungkinan lebih besar dari angka yang dicatat oleh Kemnaker. Berdasarkan data API, kata dia, per awal Agustus 2024,
sekitar 15.000 buruh terkena PHK akibat penutupan 10 pabrik tekstil di wilayah Jawa Tengah, termasuk Ungaran, Karanganyar, dan
Boyolali.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyebut, lemahnya industri manufaktur menjadi faktor utama merebaknya PHK. Hampir sebagian besar kinerja manufaktur pada kuartal ke II/2024 mengalami tekanan, terutama pada sektor padat karya.

Penurunan Purchasing Managers' Index (PMI) ke level 48,9 pada Agustus 2024 menjadi indikator nyata pelemahan sektor manufaktur Tanah Air. Turunnya kinerja industri manufaktur di dalam negeri membuat banyak perusahaan melakukan efisiensi. "Deindustrialisasi prematur atau menurunnya porsi industri terhadap PDB berimbas ke PHK massal," ujar Bhima.

Baca Juga: Badai PHK Melanda Indonesia, Menaker Bilang Begini

Maraknya PHK ini juga disinyalir sebagai salah satu penyebab maraknya kelompok menengah yang turun kasta kekelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC), bahkan ke kelompok rentan miskin.

Di bagian lain, kebijakan pajak pemerintah, khususnya penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11% ikut menekan kelas
menengah. Kenaikan pajak ini berkontribusi terhadap naiknya harga barang di tingkat ritel. Bhima menyebut, disposable income
per kapita berkurang karena berbagai pungutan dan iuran, termasuk pajak yang agresif menyasar kelas menengah.

Menurut Bhima, sejauh ini antara beban kenaikan biaya pangan, perumahan, pendidikan, dan kesempatan kerja belum sebanding dengan insentif yang diberikan pemerintah ke kelas menengah.

"Bansos yang naik tinggi saat pemilu kemarin juga hanya menyasar kelompok di bawah garis kemiskinan. Sementara insentif
pajak yang diberikan saat pandemi kan sudah dicabut seperti PPH 21 karyawan DTP. Kelas menengah bahkan harus menanggung kenaikan tarif PPN 11% yang membuat harga barang ritel naik," tutupnya.

Makan Tabungan, Kelas Menengah dalam Mode Survival

Makan Tabungan, Kelas Menengah dalam Mode Survival

Salah satu indikasi merosotnya kondisi kelas menengah negeri ini terungkap dari fenomena "mantab" alias makan tabungan, yang terjadi 3-6 bulan terakhir. Fenomena itu antara lain diutarakan Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Santoso.

Menurut petinggi salah satu bank swasta terbesar Indonesia tersebut, fenomena makan tabungan di BCA terjadi sejak 3 hingga 6 bulan belakangan, baik untuk segmen atas atau yang memiliki saldo besar, maupun segmen bawah. Santoso menilai hal itu terjadi
lantaran kondisi makroekonomi yang belum cukup pulih, sehingga banyak nasabah yang mengambil uang yang sebelumnya disimpan di bank untuk menambal keperluan sehari-hari.

Fenomena ini menurutnya terjadi tidak hanya terjadi di masyarakat, tapi juga dilakukan oleh korporasi. "Bisnis memang masih bekerja, namun pertumbuhannya mulai agak berat, karena kebanyakan, banyak pebisnis lingkup bisnisnya mengalami slow down," ujarnya, baru-baru ini.

Baca Juga: Kejatuhan Kelas Menengah Indonesia, Makan Tabungan Jadi Pertanda

Sejumlah ekonom menilai bahwa hal yang disampaikan oleh petinggi Bank BCA itu merupakan bukti nyata bahwa penurunan daya beli tengah melandamasyarakat. Menurunnya nilai tabungan rata-rata nasabah BCA dinilai merupakan cerminan turunnya kemampuan menabung masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, kelompok menengah hingga kelompok bawah banyak yang terpaksa "makan tabungan" karena banyak dari merekatengah mengalami penurunan pendapatan, baik karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau bisnis yang bangkrut. "Tabungan adalah cerminan daya beli mereka karena kemampuan daya belinya mereka ada di situ," ujarnya kepada SINDOnews.

Piter menambahkan, deflasi dalam 4 bulan beruntun belakangan ini menegaskan bahwa fenomena yang disampaikan oleh BCA itu adalah nyata. "Konsumsi masyarakat menurun, karena daya beli juga menurun. Jika daya beli menurun maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Hal ini akan bergulir seperti bola salju dan kita akan mengarah kepada perekonomian yang semakin memburuk," cetusnya.

Senada dengan Piter, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan bahwa Bank BCA yang memiliki 32 juta nasabah yang tersebar di seluruh negeri, bisa mewakili apa yang tengah terjadi pada masyarakat Indonesia. "Apa yang terjadi pada nasabah BCA itu seperti survei dengan sample sebesar 11% populasi, sehingga kondisinya sangat mewakili Indonesia," tuturnya.

Wijayanto pun meyakini, tak hanya BCA, bank-bank lain juga juga menghadapi situasi yang sama. "Penurunan penjualan mobil, penjualan semen, peningkatan kredit macet cicilan kendaraan bermotor dan peningkatan jumlah PHK di berbagai sektor juga
mengkonfirmasi situasi tersebut," ujarnya.

Baca Juga: Jaga Daya Beli Kelas Menengah Kunci Stabilkan Pertumbuhan Ekonomi

Dia juga memperkirakan bahwa kondisi itu bisa memburuk karena masyarakat kelas menengah semakin terjepit. Sebabnya, kelas menengah menurutnyatidak mendapat benefit yang memadai dari pemerintah. Bahkan, kelas menengah berpotensi semakin
terbebani dengan sulitnya mendapat pekerjaan, kenaikan biaya kuliah/sekolah, kenaikan harga BBM dan listrik, serta tarif pajak
yang juga akan naik.

"Daya beli memang sudah melemah, deflasi 4 selama bulan terakhir mengkonfirmasi itu. Jika tidak segera diatasi, penurunan daya
beli ini akan menjadi awal lingkaran setan yang berujung pada deflasi berkepanjangan dan penurunan pertumbuhan ekonomi."
tegasnya.

Sementara, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyebut fenomena "mantab" belakangan ini menunjukkan bahwa kelas menengah tengah berada dalam mode survival alias bertahan hidup. "Ini menunjukkan kelas menengah Indonesia tampaknya mulai beralih ke mode survival," kata Achmad.

Dia mengatakan, tekanan inflasi pada barang-barang kebutuhan pokok dan energi, ditambah dengan PHK di berbagai sektor, membuat kelas menengah semakin bergantung pada tabungan untuk bertahan hidup. Hal itu, kata dia, ditegaskan oleh
riset yang menunjukkan bahwa tabungan kelas menengah menurun, sementara di sisi lain pengeluaran relatif stabil untuk kebutuhan pokok.

Meski penurunan tabungan di kelas menengah belum sebesar di kalangan bawah, dalam jangka panjang pola ini menurutnya menjadi sinyal awal bahwa kelas menengah sedang berjuang untuk mempertahankan hidup. "Mereka tidak lagi fokus pada
konsumsi barang sekunder atau tersier seperti rekreasi atau hiburan, melainkan mengalihkan anggaran ke barang-barang esensial. Ini menjadi indikasi jelas bahwa mereka sedang berada dalam mode survival," tandasnya.

Jaga Daya Beli, Insentif dan Subsidi Bisa Jadi Solusi

Jaga Daya Beli, Insentif dan Subsidi Bisa Jadi Solusi

Quotes: "Pemerintah harus memprioritaskan spending pada proyek yang menyentuh langsung ekonomi rakyat" (Wijayanto Samirin)

Dihadapkan pada kondisi tidak ideal dimana ambruknya kelas menengah berpotensi memurukkan ekonomi lebih dalam di masa depan, para ekonom berharap Presiden terpilih Prabowo Subianto segera bertindak saat menjabat nanti. Prabowo diharapkan menyelesaikan masalah turunnya daya beli agar tak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Saat kampanye Pilpres 2024, Prabowo percaya bahwa di bawah kepemimpinannya pertumbuhan ekonomi negara ini bisa mencapai 8%. Namun, para ekonom memastikanbahwa hal itu bakal sulit terwujud jika masyarakat kelas menengah Indonesia kehilangan daya belinya.

"Jika (penurunan kelas menengah) ini dibiarkan, target pertumbuhan ekonomi 8% tidak akan terwujud karena tiang penyangga utama dari pertumbuhan ekonomi itu kelas menengah. Kalau kelas menengahnya terus turun, enggak mungkin kita bisa mencapai pertumbuhan 8%," ujar Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam kepada SINDOnews.

Baca Juga: Anggaran Subsidi Energi Turun di 2025, Tarif Listrik hingga BBM Naik?

Dia mengatakan, kondisi daya beli masyarakat saat ini sudah lampu kuning bagi Prabowo. Untuk itu, Pemerintahan baru nanti harus segera melakukan sesuatu agar penurunan kelas menengah tidak berlanjut. Menurut Piter, pemerintah harus memberikan insentif yang sifatnya ekspansif. Dengan begitu, insentif itu bisa menstimulus perekonomian agar bisa bangkit kembali.

"Pemerintah harus melakukan sesuatu, misalnya memberikan insentif bagi industri. Harus ada program-program perlindungan bagi masyarakat dan industri," tuturnya.

Sementara, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berharap pemerintah baru tidak mengeluarkan kebijakan yang justru "mencekik" kelas menengah. Misalnya saja, pemotongan gaji untuk asuransi, kenaikan tarif pajak, tarif angkutan umum dan listrik serta menghindari tambahan pungutan, seperti Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).

Tak hanya itu, kata Wijayanto, pemerintah juga harus berani menunda/membatalkan proyek-proyek besar yang tidak berdampak pada ekonomi. Dia mencontohkan proyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, dan Giant Sea Wall."Pemerintah harus memprioritaskan spending pada proyek yang menyentuh langsung ekonomi rakyat, seperti jalan desa dan kabupaten, irigasi sawah rakyat, makan bergizi gratis, dan lain-lain," tandasnya.

Kemudian, Wijayanto menyarankan, pemerintah perlu mengakhiri penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) secara berlebih karena hal itu menimbulkan crowding out yang menyebabkan sektor riil kesulitan mendapatkan kucuran dana dari perbankan.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat juga mengingatkan betapa besarnya peran kelas menengah sebagai penggerak utama konsumsi domestik. Jika daya beli kalangan ini terus menurun, kata dia, maka sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi, seperti ritel, properti, dan jasa, akan merasakan dampak serius. "Pada akhirnya, ini dapat menghambat pemulihan ekonomi yang seharusnya mulai terlihat pasca-pandemi," jelasnya.

Baca Juga: Wajah Kelas Menengah Lesu, Thomas Djiwandono Sebut Jadi PR Prabowo

Untuk menghindari potensi krisis lebih lanjut, Achmad mengatakan, pemerintahan Prabowo harus mengambil sejumlah kebijakan yang tepat. Kebijakan-kebijakan itu, saran dia, antara lain perlindungan sosial yang tepat sasaran. Perlindungan sosial tidak hanya penting bagi masyarakat kelas bawah, tetapi juga bagi kelas menengah yang terancam turun kelas. "Bantuan berupa subsidi pendidikan, kesehatan, dan energi yang lebih terjangkau dapat memberikan ruang bagi mereka untuk menjaga tabungan dan menghindari kondisi yang lebih buruk," jelasnya.

Kebijakan lainnya, dukungan lapangan kerja. Achmad menegaskan, pemerintah perlu mendorong kebijakan yang menciptakan lapangan kerja lebih banyak di sektor-sektor yang sedang tumbuh, seperti teknologi dan ekonomi hijau. "Ini akan mengurangi ketergantungan pada pekerjaan tradisional yang mungkin sedang mengalami penurunan," tuturnya.

Kebijakan lainnya, membuat program yang mendukung inovasi dan diversifikasi penghasilan. Di era digital ini, kata dia, kelas menengah harus didorong untuk memanfaatkan peluang baru, seperti kewirausahaan digital dan pekerjaan lepas, yang dapat meningkatkan pendapatan dan memberikan stabilitas keuangan di tengah ketidakpastian.

"Kebijakan yang tepat dan terukur perlu diambil untuk memastikan bahwa kelas menengah dapat kembali berkontribusi secara optimal terhadap perekonomian, bukan sekadar bertahan hidup. Meskipun belum sebesar dampak yang dialami oleh kelas bawah, jika tidak ditangani dengan baik, kelas menengah bisa beralih menjadi kelompok rentan, yang pada akhirnya memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia," tutupnya.
(fjo)