Mengurai Persoalan Kriminalitas Anak Muda yang Makin Meresahkan
Eko Edhi Caroko
Senin, 30 September 2024, 14:27 WIB
Kejahatan yang dilakukan anak anak dan remaja makin sadis .Semua pihak harus peduli dengan tingkat kriminalitas kaum muda yang makin meresahkan ini
Sudah Bukan Kenakalan Remaja Biasa
Bagaimana
remaja zaman sekarang sangat sulit dikontrol perilakunya? Apa yang menjadi penyebab persoalan tersebut? Bagaimana kenakalan remaja atau juvenile delinquency bisa dihentikan? Siapa yang harus bertanggung atas kondisi tersebut?
Tumpukan pertanyaan tersebut belakangan mengemuka di tengah masyarakat merespons kenakalan remaja yang terbilang sangat memprihatinkan.Apalagi kenakalan yang ditunjukkan bukan level biasa, tapi juga sudah mengganggu ketertiban masyarakat, menjurus pada kriminalitas dan bahkan mengancam keselamatan mereka sendiri dan orang lain.
Penemuan 7 mayat yang meninggal di Kali Bekasi pada Minggu (22/09) bisa disebut sebagai puncak gunung es kenakalan remaja saat ini.Dugaan sementara, sebelumnya mereka sempat berencana tawuran, namun keburu kepergok patroli perintis presisi Polres Kota Bekasi hingga lari kocar-kacir, di antaranya nekad memilih menyeberang sungai hingga musibah datang.
Baca Juga: Remaja SMP Tewas Dibacok saat Tawuran di Bekasi Fenomena tawuran dan geng motor memang kian hari kian meresahkan. Bahkan laporan realitas tersebut terjadinya hampir di seluruh penjuru Tanah Air. Di antara yang mengemuka baru-baru ini adalah aksi sekelompok remaja anggota geng motor berkonvoi di Jalan Diponegoro, Kota Medan sambil mengacung-ngacungkan clurit panjang, pedang, dan aneka senjata lain. Belakangan setelah markas digrebek kepolisian, mereka juga terlibat dalam kriminalitas seperti merampas sepeda motor.
Yang memprihatinkan, kasus tawuran ini tidak jarang menimbulkan korban jiwa, seperti menimpa mahasiswa Udinus, Semarang, Muhammad Tirza Nugroho Hermawan (21). Dia meninggal setelah disabet senjata tajam geng motor All Star yang kala itu tawuran dengan geng Witchsel019 pada Selasa dini hari (17/09). Selain tawuran, beberapa kasus kenakalan remaja lain yang viral di bulan September ini adalah bullying yang dilakukan 8-10 remaja perempuan terhadap gadis SMP berinisial R, 14, di Jambi. Kenakalan yang dilakukan mulai menyiram air, menjambak, memukul, menginjak-injak, menyundut rokok, hingga membenturkan kepala korban ke aspal sampai berdarah.
Remaja mengalami pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial yang pesat, hal ini memengaruhi cara mereka berpikir
World Health Organization
Lebih parah lagi terjadi di Palembang. Sebanyak empat remaja ditangkap sebagai pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap AA (13) yang mayatnya ditemukan di Kuburan China Kota Palembang. Mirisnya, tindakan bejat dan keji yang dilakukan para pelaku -masing-masing berinisial IS (16), MZ (13), AS (12), dan NS (12)- telah direncanakan sebelumnya.
Jika dirunut, kenakalan remaja yang terjadi belakangan ini jauh melampaui jenis-jenis kenakalan yang dipahami sebelumnya, seperti bolos sekolah, melanggar aturan sekolah atau orang tua, mencuri buah tetangga, merokok atau mengonsumsi alkohol, berkelahi atau tawuran, dan lainnya. Kekerasan, perkosaan, dan pembunuhan seolah sudah menjadi kelaziman kenakalan remaja jaman now. Siapa tidak mengelus dada mengetahui fenomena kenakalan separah ini?
Masa remaja yang merupakan fase kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa -dari usia 10 hingga 19 tahun- merupakan fase krusial.Menurut WHO, masa ini merupakan tahap perkembangan manusia yang unik dan waktu yang penting. Remaja mengalami pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial yang pesat. Hal ini memengaruhi cara mereka merasa, berpikir, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Kenakalan bisa menjadi bagian proses hidup yang mereka alami.
Mengapa kenakalan remaja yang begitu brutal bisa terjadi? Persoalan kompleks tentu dipicu latar belakang yang kompleks pula. Pemantiknya mulai dari faktor keluarga seperti ketidakharmonisan keluarga dan kurangnya perhatian orang tua; terpengaruh pergaulan teman sebaya; dan luputnya pendidikan dari sekolah; hingga kurang cepat dan tegasnya aparat keamanan dalam merespons kenakalan remaja hingga mereka kian berani.
Satu lagi penyebabnya adalah sosial media. Para remaja yang hari ini melakukan ontran-ontran adalah mereka yang tergolong generasi Z. Remaja yang terlahir para 1995-2009 ini merupakan generasi yang merasakan manfaat kemajuan teknologi dan teknologi. Selain sisi positif, akses informasi global yang terbuka lebar membuat mereka bersinggungan dengan budaya-budaya seperti kekerasan, seksualitas, glamorasi perilaku tidak pantas, dan lainnya. Minimnya filtrasi dari keluarga, sekolah, lingkungan dan pemerintah menjebol batas-batas perilaku generasi sebelumnya atau tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
Selain itu, sosial media telah mendorong secara hebat fenomena eksistensi diri. Banyak di antara anggota masyarakat, termasuk para remaja, mencari jati diri dengan mengeksploitasi berbagai perilaku, termasuk yang tidak umum, bertentangan dengan tradisi, norma agama, hingga hukum, dan kemudian mengunggahnya ke media sosial. Kira-kira, perilaku inilah yang mendorong para anggota geng motor konvoi di jalan raya dengan membawa senjata tajam dan kemudian meng-upload-nya ke media sosial sebagai kebanggaan.
Bila kondisi sudah demikian parah, siapa yang harus bertanggung jawab dan menghentikannya? Sekarang sudah tidak cukup waktu untuk saling menyalahkan. Keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, aparat pemananan, pemerintah daerah dan pusat harus duduk bersama mencari solusi juvenile delinquency yang sudah menabrak batas-batas kewajaran.
Namun di antara pihak-pihak terkait, peran orang tua merupakan hal paling karena kewajiban yang melekat padanya, baik secara konstitusi maupun agama.Di Indonesia, kewajiban orang tua terhadap anak diatur dalam UU No 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Baca Juga : Bubarkan Tawuran, 2 Tim Patroli Polda Metro Jaya Luka Akibat Siraman Air Keras Pasal 26 undang-undang tersebut menyebut kewajiban orang tua terhadap anak meliputi: 1) Mengasuh, memelihara, melindungi dan mendidik anak; 2) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan minat dan bakatnya;3) Mencegah anak menikah pada usia dini; serta 4) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti anak. Apalagi secara agama, dalam hal ini Islam, tanggung jawab orang tua berdimensi dunia-akhirat.
Berangkat dari pemahaman ini, para orang tua harus berbenah untuk kembali kepada kewajiban jangan sampai anak-anak terjebak pada perilaku dan pergaulan salah. Bila sang anak melakukan kenakalan, para orang tua mesti berkomtemplasi akan mereka kurang memberikan pendidikan, luput menanamkan nilai sosial, serta tidak sabar untuk selalu mengawasi buah hatinya dalam pergaulan sehari-hari.
Pada saat bersamaan, pihak-pihak terkait lain secara bahu-membahu mencari solusi kenakan remaja. Jika tidak ada respons dari tindakan serius untuk mengatasi persoalan tersebut, tidak bisa dibayangkan bagaimana para remaja akan berperilaku ke depannya. Bila tidak ada perubahan, akan seperti apa jadinya negeri ini pada 2045 yang diharapkan menjadi Indonesia Emas jika banyak generasi Z yang diharapkan memegang tampuk kepemimpinan, ternyata perilaku tidak seperti diharapkan?(alex aji s)
Sosial Media Menjelma Menjadi Sumber Masalah
Sosial media (sosmed) selama ini sudah menjadi ruang untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Namun sayangnya, ruang ini justru sering berubah menjadi lingkungan yang seakan tanpa norma dan etika. Ajang eksistensi diri yang berlebihan dari aktivitas pendek berupa gerakan jari. Bahkan viral pun dianggap tujuan utama walaupun tampak tak bermoral. Sosial media menjelma menjadi pemantik beragam kejahatan. Mulai penipuan, perampokan hingga pemerkosaan.
Hal itu terjadi lantaran masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar. Tak jarang, masyarakat terprovokasi dengan konten-konten bernarasi adu domba di media sosial.
Banyak konten-konten provikatjf menyasar masyarakat dari segala level sosial maupun ekonomi. Umumnya konten-konten yang diproduksi menunggangi momen atau kejadian tertentu. Bahkan penyebaran konten provokatif dan mengadu domba itu kini juga dilakukan oleh media arus utama.
Baca Juga : WHO Vonis Remaja di Eropa Alami Gangguan Mental Akibat Kecanduan Medsos Konten pornografi, kekerasan seksual, cyber bullying, sikap antisosial, berita bohong atau hoax hingga ujaran kebencian dan penyebaran paham terorisme menjadi sebagian kecil ancaman anak yang doyan berkelana di jejaring sosial.
Sejatinya, anak-anak sejak usia 8-10 tahun sudah bisa diarahkan dan diajarkan untuk mengikuti aturan untuk tidak membuat akun medsos sebelum waktunya. Kalaupun sudah terlanjur kedapatan punya tanpa izin, orangtua bisa mengawasi isi postingan dengan ikut mem-follow atau membuat batasan waktu anak untuk bersentuhan dengan dunia maya.
Cyber bullying, pornografi dan privasi adalah masalah terbesar penyalahgunaan internet saat ini. Sementara, kebocoran informasi serta akun yang di-hack menjadi pintu penyalahgunaan internet.
Di era digital yang penuh informasi tanpa sekat, masyarakat dituntut tidak hanya sekadar harus bisa membaca, namun juga berpikir kritis untuk menganalisis masalah. Selain itu taraf ketersediaan akses informasi yang tepat bagi seluruh kalangan, akses informasi yang berimbang utuh dan tidak sepotong-potong (tidak clickbait), serta konten informasi yang mudah dicerna oleh masyarakat harus terus ditingkatkan.
Viralnya suatu konten memang memiliki manfaat ekonomi yang cukup signifikan. Namun bukan berarti kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak tepat, termasuk menyebarkan hoaks.
Cyber bullying, pornografi dan privasi adalah masalah terbesar penyalahgunaan internet saat ini
Anton Chrisbiyanto
Selain kelompok terdidik, masyarakat yang fanatik beragama pun turut menjadi incaran para penyebar kabar bohong. Jika masyarakat tidak mau berubah, maka persebaran hoaks akan semakin sulit dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. Karenaynya masyarakat untuk lebih skeptis ketika melihat sebuah informasi yang belum tentu benar.
Penyebab lain mengapa gampang percaya isu-isu yang beredar. Setiap orang mungkin menganggap dirinya cukup pintar dan kritis saat menyaring informasi. Namun, secara tak sadar sebenarnya setiap orang memiliki bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan berita yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki seseorang. Bias konfirmasi inilah yang mengaburkan pikiran saat menerima informasi yang beredar melalui situs berita, media sosial, atau aplikasi chatting.
Baca Juga : Media Sosial Bawa Dampak Psikologis dan Stereotip pada Perempuan Sedangkan untuk mencegah jebakan berita-berita bohong yang disebarkan maka lebih baik masyarakat bisa membaca terlebih dahulu dan tidak langsung dicerna. Biasanya berita bohonga di media sosial sering memakai judul yang heboh dan memancing emosi. Padahal ketika dibaca isinya dari awal sampai akhir, beritanya tidak masuk akal atau mengada-ada. Selalu baca beritanya sampai habis, terutama soal isu-isu hangat yang sedang ramai diperbincangkan. Selain itu, jangan sembarangan membagikan (sharing) berita yang belum di baca isinya. (ANTON C)
Terpapar Konten Pornografi lewat HP
KEKERASAN seksual yang berakibat pada kematian siswi SMP (AA) di Palembang, di mana diduga para pelakunya masih usia anak bukti nyata kerusakan perilaku dan mental yang dialami anak-anak. Berdasarkan bukti temuan video bermuatan pornografi di hand phone (HP) milik salah satu pelaku berinisial IS, disinyalir pemicu kejadian ini akibat terpapar konten pornografi.
Pelaku yang masih usia anak menjadi sinyal serius yang dapat berimbas pada kemungkinan terjadi pelanggaran hak anak. Karena Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) memiliki kerentanan- kerentanan. Oleh karena itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam pengawasan kasus ini memberikan perhatian serius.
KPAI juga menekankan pada pihak-pihak terkait untuk memastikan pemenuhan hak anak tidak terhambat, termasuk menemui keluarga korban dan ABH bersangkutan untuk memastikan hal tersebut. Dari hasil pertemuan dengan beberapa pihak, KPAI akan memastikan pemenuhan hak dan proses hukum berjalan sesuai dengan prosedur.
Baca Juga : 5 Fakta Pembunuhan dan Pemerkosaan Siswi SMP Palembang: Kecanduan Video Porno “Kami juga mendapatkan informasi bahwa faktor anak melakukan tindakan kriminalitas karena terpapar konten pornografi dan minimnya pengawasan penggunaan gadget di lingkungan keluarga,” kata Dian Sasmita, Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster Anak Berhadapan dengan Hukum.
Dian juga menyampaikan bahwa para ABH dalam kasus ini mengakui pernah mengonsumsi konten pornografi. Tetapi dalam situasi ini belum bisa dikatakan bahwa mereka masuk kategori kecanduan, karena harus ada telaah lebih lanjut dari ahli.
“Semua pihak tentu berharap proses hukum dalam kasus ini dapat berjalan dengan lancar, maka KPAI memastikan bahwa kasus ini harus berjalan sesuai prosedur di undang-undang SPPA dan memberikan keadilan terhadap keluarga korban, sehingga tidak ada lagi hak anak yang terabaikan atas keadilan,” tegas Dian.
Sejalan dengan hal itu, KPAI berharap kepada masyarakat dan media agar tidak menyebarluaskan identitas anak, baik korban maupun ABH. Terlebih KPAI akan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk menindaklanjuti pihak-pihak terkait yang memanfaatkan situasi sebagai bahan promosi produk perusahaan.
Patut disadari, kriminalitas yang dilakukan anak tidak pernah berdiri sendiri. Sama halnya dalam kasus ini bahwa anak terpengaruhi perilakunya akibat terpapar konten pornografi. Paparan pornografi pada usia dini memiliki dampak serius pada perkembangan psikologis dan moral anak, sehingga pencegahan dan penanganan yang tepat sangat diperlukan untuk melindungi mereka dari bahaya tersebut.
Pengasuhan efektif dalam keluarga dan pendidikan menjadi sangat penting dalam mendukung tumbuh kembang anak dan daya nalarnya. Seluruh pihak juga diimbau untuk dapat berperan dalam menciptakan upaya-upaya pencegahan dan edukasi agar anak-anak tidak menjadi korban kekerasan dan tidak melakukan kekerasan.
“Pengawasan di lingkungan keluarga dalam penggunaan gadget anak-anak ini berkaitan terhadap fenomena kriminalitas dan media sosial menjadi salah satu faktor anak-anak melakukan tindakan kriminalitas,” ujar Wakapolrestabes Palembang, AKBP Andes Purwanti.
AKBP Andes menambahkan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum tentu akan dilakukan penegakan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, begitupun dengan ABH akan dilakukan penegakan sesuai undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak maupun ABH menjadi sebuah kekhawatiran bagi generasi selanjutnya, maka diperlukan peran semua pihak untuk dapat merespon maupun intervensi dalam pencegahan. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPAI mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat 356 kasus anak korban kejahatan seksual dan 48 kasus anak berhadapan dengan hukum, tentunya jumlah kasus tersebut hanyalah sebagian data yang terlapor ke KPAI.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Sumatera Selatan, Fitriana, mengataka, koordinasi seluruh pihak terkait penting dilakukan dalam melakukan sinkronisasi, kolaborasi, sinergi dan integrasi terhadap penanganan kasus yang melibatkan anak. “Karena dalam pemenuhan hak anak membutuhkan berbagai pihak termasuk juga media untuk sama-sama melakukan upaya pencegahan dan sosialisasi,” tukas Fitriana.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 64 huruf i menyatakan bahwa: “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui: penghindaran dari publikasi atas identitasnya.”
Anak yang terpapar pornografi tanpa mendapatkan pendidikan yang tepat tentang pentingnya persetujuan (konsen) dalam hubungan seksual mungkin tidak memahami pentingnya menghargai batasan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan mereka melakukan kekerasan seksual tanpa menyadari bahwa tindakan mereka salah.
Untuk itu, mari bersama-sama berperan dalam mencegah dan mengatasinya dengan memberikan edukasi seksual yang sehat, mengawasi dan membatasi akses anak ke konten dewasa atau tidak pantas di internet. Dan jika seorang anak terpapar konten pornografi atau menunjukkan perilaku seksual yang tidak wajar, bantuan dari psikolog atau konselor bisa sangat penting untuk memberikan pemahaman yang benar dan mengatasi dampak negatifnya.
KPAI Perkuat KelembagaanKPAI, sebagai lembaga negara independen yang bertanggung jawab dalam pengawasan perlindungan anak, berupaya meningkatkan perannya di tengah tantangan kompleks yang dihadapi terkait perlindungan anak di era modern ini. Terkait hal itu, KPAI berupaya memperkuat kapasitas kelembagaan dalam menyelenggarakan pengawasan yang efektif terhadap pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak di seluruh wilayah Indonesia melalui workshop yang diselenggarakan di Hotel Onih Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (26/9/2024).
Dalam workshop ini menyepakati beberapa output penting, antara lain tindak lanjut arahan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengenai penguatan kelembagaan KPAI, serta penyusunan bahan penyiapan materi advokasi kelembagaan yang akan menguatkan konsepsi dari usulan revisi Peraturan Presiden ini.
KPAI akan terus berkomitmen untuk memastikan adanya perhatian dari berbagai pihak terkait upaya-upaya perlindungan anak, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga masyarakat. Anggota KPAI sekaligus pengampu sub-komisi advokasi, Diyah Puspitarini menekankan pentingnya penyatuan perspektif di antara tim Pokja yang berasal dari luar lembaga.
“Acara ini bertujuan untuk merefresh kembali upaya advokasi terhadap Perpres 61 dan Perpres 85, serta mengumpulkan dan membangun perspektif yang sama di antara tim Pokja yang sebagian besar berasal dari luar lembaga,” jelas Diyah.
Baca Juga : 5 Bulan Berlalu Kasus Pencabulan-Pembunuhan Remaja Belum Juga Disidangkan, Ini Kata Polisi Ia juga berharap dengan penyatuan pemikiran dan perspektif ini, langkah-langkah advokasi akan lebih mudah, sehingga kemudian upaya yang dilakukan oleh KPAI lebih bersifat strategis. Diyah juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara KPAI dan lembaga lain dalam melakukan advokasi.
“Selama ini, KPAI sering memperjuangkan kelembagaan sendiri, padahal idealnya advokasi ini dilakukan bersama-sama dengan kementerian/lembaga lain yang bisa berkontribusi besar dalam proses advokasi,” tambahnya.
Setali tiga uang, anggota KPAI, Ai Rahmayanti selaku pengampu sub-komisi kelembagaan menyampaikan pentingnya penguatan kelembagaan KPAI dari berbagai aspek. Melalui kegiatan ini, KPAI berharap dapat memperkuat perannya sebagai lembaga pengawas yang kredibel, akurat, dan profesional dalam melindungi hak anak di Indonesia.
“Pertemuan ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat kelembagaan KPAI, baik dari sisi struktur kelembagaan maupun operasionalnya. Penguatan ini akan berdampak langsung pada efektivitas kerja KPAI dalam melaksanakan pengawasan,” ungkapnya.
Penting untuk menganalisa bersama memahami akar penyebab tingginya tingkat kriminalitas di kalangan anak-anak, terutama di era digital
Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah
Di kesempatan yang sama, Kepala Biro Hukum dan Humas KemenPPPA, Margareth Robin menekankan bahwa peran Kemen PPPA sebagai Kementerian yang menaungi KPAI adalah memfasilitasi proses advokasi ini.
“Posisi Kemen PPPA hanya berwenang meneruskan permohonan KPAI ke Kemen PANRB yang disertai naskah kajian terkait latar belakang (urgensi) serta mekanisme tata kerja dan tata kelola KPAI yang komprehensif dan aktual, sebagaimana surat Menteri PANRB Nomor: B/529/M.KT.01/2024 tanggal 2 Mei 2024,” pungkasnya.
Butuh Upaya Bersama untuk Perlindungan AnakSelain turun langsung menangani permasalahan di lapangan dan menggelar workshop, belum lama ini KPAI juga telah melakukan pertemuan dengan Bareskrim Polri guna memperkuat kerja sama, terutama membahas langkah-langkah perlindungan anak yang lebih komprehensif, khususnya dalam menangani dan mencegah kasus kekerasan dan kriminalitas yang melibatkan anak-anak sebagai korban maupun pelaku.
“Tantangan yang dihadapi dalam perlindungan anak memerlukan kerja sama seluruh pihak. Kami berharap langkah preventif dan penanganan kejahatan terhadap anak dapat diperkuat melalui regulasi dan kebijakan yang ramah anak,” ungkap Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah.
Ia juga menyampaikan apresiasi atas langkah cepat kepolisian dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Adapun kejahatan yang dilakukan oleh anak, seperti tindakan kekerasan, pencurian, atau perilaku merusak lainnya, sering kali bisa ditelusuri dari latar belakang pola pengasuhan yang tidak optimal.
Salah satu faktor yang berkontribusi adalah kurangnya apresiasi dan perhatian dari orang tua. Ketika anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak memberikan penghargaan positif, atau bahkan penuh kritik dan kekerasan, mereka cenderung mengembangkan perilaku bermasalah sebagai bentuk pelarian atau cara untuk mencari perhatian.
“Sehingga, penting untuk menganalisa bersama memahami akar penyebab tingginya tingkat kriminalitas di kalangan anak-anak, terutama di era digital. Kolaborasi antara KPAI dan Bareskrim dinilai penting untuk membentuk lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak, termasuk dalam memberikan perlindungan di dunia digital,” papar Ai Maryati.
Sementara itu, Kabareskrim Komjen Pol Wahyu Widada, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kasus kekerasan anak yang semakin meningkat baik di dunia nyata maupun dunia digital. Menurut Wahyu, anak-anak yang menjadi korban teknologi, termasuk eksploitasi di ruang digital, memerlukan peran keluarga, masyarakat, dan instansi dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
“Kami juga sudah sering mengimbau anak-anak agar dapat meningkatkan resistensi terhadap digitalisasi, serta konsekuensinya,” tegas Wahyu. Dalam menangani kasus yang melibatkan anak baik menjadi pelaku maupun korban, sambung Wahyu, kepolisian sudah mengedepankan standar yang ada. Kasus-kasus yang memerlukan atensi Bareskrim juga menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini, KPAI dan Bareskrim berencana mengembangkan SOP yang lebih ramah anak dalam menangani kasus kekerasan dan kriminalitas yang melibatkan anak-anak. Kedua pihak juga akan meningkatkan program pencegahan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak melalui pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Orangtua Sibuk Bekerja, Makin Banyak Anak yang Menjadi Tersangka
Akhir-akhir ini sering sekali pemberitaan yang menyampaikan berbagai peristiwa kriminalitas dengan pelaku atau tersangka yang masih anak-anak. Prilaku kriminal yang dilakukan anak-anak ini makin meresahkan sampai pada taraf yang tak terbayangkan sebelumnya. Tawuran, duel maut, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan menjadi berita viral yang hampir tersaji setiap hari.
Salah satu contoh kasus adalah pembunuhan bocah berusia 6 tahun yang ditemukan tewas di bawah jurang di daerah Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Diungkapkan oleh Polres Sukabumi kota, bahwa korban tersebut mengalami pelecehan seksual berupa sodomi, lalu kemudian dibunuh dengan cara dicekik, dan mayatnya dilempar ke jurang. Setelah melalui penyelidikan dan pembuktian, polisi menetapkan pelaku kejahatan tersebut adalah seorang pelajar berusia 14 tahun.
Pelaku kejahatan yang dilakukan anak-anak juga mengalami tren peningkatan. Menurut data yang disampaikan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri sepanjang tahun ini setiap bulan lebih dari 1000 anak ditetapkan sebagai tersangka kejahatan anak. Sampai Mei 2024 menjadi bulan dengan jumlah terbanyak anak yang ditetapkan sebagai tersangka kasus kejahatan, 1.481 anak.
Hingga 12 Juli 2024, jumlah anak dan anak binaan berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan berjumlah 2.153 orang. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjenpas Kemenkumham), jumlah tahanan anak di Indonesia pada 2023 sebanyak 1.475 (Agustus 2023).Di tahun 2022 ada 1530 tahanan anak dan di 2021 tahanan anak berjumlah 1365 orang.
Baca Juga : 7 Remaja Tewas di Kali Bekasi, Polisi: Mereka Belum Tawuran, Baru Janjian Banyak yang berpendapat bahwa maraknya kriminalitas anak, terjadi akibat kurangnya pengawasan dan pendidikan dari keluarga, mandulnya peran orang tua sebagai pendidik terutama dalam hal agama, sehingga tak mampu mengarahkan tumbuh kembang anak, menjaga moral dan tingkah lakunya, menyebabkan anak kini bukan hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi pelaku kejahatan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan kejahatan yang dilakukan pelaku diduga disebabkan dari pola pengasuhan orang tua yang kurang memperhatikan kebutuhan perkembangan anak. "Selain itu juga kurangnya kemampuan kita sebagai orang dewasa memberikan edukasi terhadap anak-anak,”ujarnya. Seperti sering kali pelaku dalam kasus tindakan kekerasan seksual akibat melihat konten pornografi di telepon genggam milik orang tuanya.
sepanjang tahun ini setiap bulan lebih dari 1000 anak ditetapkan sebagai tersangka kejahatan anak
Pusiknas Bareskrim Polri
Menurut Menteri PPPA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), meskipun pelaku masih berusia anak, tetapi mereka harus diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini harus memperhatikan UU SPPA. Dalam kasus criminal yang dilkukan oleh anak pihak kepolisian sudah berkomitmen untuk segera menuntaskan kasus ini dan dalam segera mengambil keputusan bersama yang hasilnya diserahkan ke pengadilan.
Idealnya memang pendidikan dan pengawaan terhadap prilaku anak menjadi tangung jawab orangtuanya. Faktanya banyak orangtua yang karena tuntutuan ekonomi, baik ibu maupun ayah harus bekerja di luar rumah.
Dalam kondisi ekonomi seperti saat ini sulit menemukan keluarga yang mampu mendidik dan mengawasi anak-anaknya secara ideal. Artinya peran orangtua, seperti ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya di rumah makin berkurang. Sempitnya lapangan kerja bagi kepala keluarga, berbanding terbalik dengan kesempatan kerja yang terbuka lebar bagi para wanita termasuk ibu rumah tangga.
Kenyataannya peran ibu di rumah semakin tergerus, karena saat ini, kebanyakan ibu tidak hadir di rumah. Waktu ibu habis terkuras untuk bekerja di luar rumah. Membantu ayah dalam mencari nafkah bagi keluarga.
Baca Juga : Ini Tampang Bejat Ayah Kandung yang Rudapaksa dan Siksa Anak Perempuan 10 Tahun di Sleman Demikian juga dengan ayah yang seharian bekerja bahkan hingga larut malam. Membuat jarang bertemu dan menyapa anak, sehingga proses pendidikan keluarga tak terjadi di sana. Akhirnya, menurut Hani Iskandar pemerhati pendidikan keluarga, ibu dan ayah sebagai pendidik utama dan pertama telah meninggalkan kewajiban dan peran penting mereka dalam mendidik dan mengurus segala kebutuhan anak. Tuntutan hidup yang memaksa mereka harus keluar dari rumah meninggalkan anak-anak mereka.
Di sisi lain sistem pendidikan di negeri ini, harus diakui tak mampu mencetak peserta didik yang mandiri dan kuat dari berbagai sisi. Generasi saat ini cenderung lemah baik secara mental, moral, materi, apalagi spiritual. Kebanyakan pelajar saat ini jauh dari nilai agama. Daya juang dan motivasi yang sangat rendah terhadap ilmu, kurangnya adab terhadap guru, ditambah sulitnya mendapatkan akses pendidikan bagi kebanyakan anak, menambah sederetan permasalahan pendidikan.
Kurikulum yang terus berganti tanpa jelas tujuannya. Gempuran pemikiran lewat multimedia yang mempertontonkan kebiasaan dan perilaku hedon memberikan efek yang luar bisa dalam menyempurnakan kerusakan moral generasi saat ini.
Dampaknya pun terlihat saat ini, pelaku kejahatan yang dilakukan anak-anak makin meningkat. Dengan mudahnya anak-anak melakukan kejahatan yang kadang tak pernah terpikirkan orang dewasa.
Ini yang harus segera dicarikan solusinya. Semua pihak harus segera mengambil peran untuk menyelamatkan anak-anak dari korban kejahatan maupun menjadi pelaku kejahatan. (Eko Edhi Caroko)
Menteri Silih Berganti, Kurikulum Tak Banyak Arti
Perilaku keblablasan generasi muda yang membuat banyak pihak sangat prihatin ini perlu menjadi ruang refleksi dan evaluasi terhadap model pendidikan di Indonesia. Pendidikan menjadi kata kunci karena di titik inilah segala perilaku yang dianggap tak normal bermula. Pendidikan yang baik akan memuarakan anak didik berkualitas serta berkarakter. Sebaliknya, model pendidikan yang serampangan dan tak menjangkar di benak siswa tentu menjadi biang masalah bangsa.
Rumusan terbaik untuk mencetak pendidikan Indonesia berkualitas telah terwadahi dalam sebuah kurikulum. Uniknya, Indonesia tergolong negara yang sering bongkar pasang kurikulum. Sejak bangsa ini merdeka dan berumur 79 tahun, setidaknya sudah ada 12 kurikulum yang dibuat. Yakni Rencana Pelajaran (1947), Rencana Pendidikan Sekolah Dasar (1964), Kurikulum Sekolah Dasar (1968), Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1973).
Dua tahun berikutnya, yakni pada 1975 Indonesia juga membuat Kurikulum Sekolah Dasar, kemudian Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Revisi Kurikulum 1994 (1997), Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004). Kurikukum terbaru ini tak berumur lama, karena dua tahun kemudian yakni pada 2006 lahir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013. Baru pada 2024, ada Kurikulum Merdeka yang diluncurkan resmi menjadi kurikulum nasional oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, 27 Maret 2024 lalu.
Baca Juga : Perlunya Analisis Dampak Merdeka Belajar Tidak ada yang salah dengan kebijakan bongkar pasang kurikulum. Sebab hal itu adalah sebuah keniscayaan agar pendidikan di Indonesia mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman yang juga tak henti bergerak. Lewat rekayasa kurikulum ini, pendidikan Indonesia selain mampu membekali anak didik yang bertakwa dan memiliki pengetahuan serta watak kuat. Dari jalur pendidikan juga diharapkan Indonesia memiliki generasi cerdas, terampil dan bermartabat sebagaimana tujuan luhur yang termaktub di Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lantas lahirnya Kurikulum Merdeka di ujung masa tugas Mendikbudristek Nadiem akan menggaransi pendidikan nasional lebih bermutu dibanding kurikukum sebelumnya? Tidak ada jawaban pasti. Sebab berkaca di periode sebelumnya, hampir setiap menteri berganti, berubah pula kurikulumnya. Seringnya pergantian kurikulum ini menyisakan banyak pertanyaan karena ternyata tidak berdampak luas terhadap Pendidikan nasional. Geger Kurikulum 2013 misalnya yang membuat kekacauan metode pembelajaran di ribuan sekolah dan disebut-sebut menjadi pemicu pencopotan Mendikbud Anies Baswedan menjadi bukti bahwa aspek politis lebih kental ketimbang subtansif.
Tidak semua lancar, ada kebingungan, kebimbangan, kekhawatiran, itu hal yang baik. Guru merasa tertantang akan perubahan
Mendikbudristek NadiemAnwar Makarim
Demikian juga Kurikulum Merdeka usungan Mendikbudristek Nadiem masih cenderung kuat dari sisi penamaan (naming) semata. Memang kurikulum ini berupaya memberi ruang yang luas terhadap model pendidikan dengan memadukan situasi kebutuhan serta lingkungan belajar peserta didik. Namun bagaimana mempraktikkan kemerdekaan pendidikan di Indonesia, sejatinya masih meraba-raba. Belum terlihat langkah progresif untuk membangun sistem pendidikan yang mengedepankan cara berpikir strategis, yakni mengacu metode higher order thinking skills (HOTS) sebagaimana kreasi Benjamin Samuel Bloom, psikolog pendidikan asal asal Amerika Serikat
.
Kendati demikian, bagi Nadiem, kebingungan para siswa dan peserta didik adalah kewajaran. Baginya, situasi tersebut adalah lumrah dialami ketika terjadi transisi. “Tidak semua lancar, ada kebingungan, kebimbangan, kekhawatiran, itu hal yang baik. Guru merasa tertantang akan perubahan," katanya seperti ditulis Sindonews, Kamis (28/3/2024).
Di tengah kondisi ini, lagi-lagi siswa, para pendidik dan tenaga kependidikan seolah menjadi korban. Sebab mereka diposisikan sebagai objek bahkan terkesan menjadi kelinci percobaan dari sebuah kurikulum. Kebijakan-kebijakan lain seperti zonasi misalnya, jelas sekali kurang disiapkan dengan matang. Selain menghadirkan kebingungan, perubahan yang cenderung tanpa melihat situasi lapangan secara komprehensif ini membuat siswa menjadi pihak yang paling dirugikan. Ironisnya, meski sorotan dan kritikan tajam terus berdatangan, hal ini tak membuat kebijakan dikaji ulang.
Selain kebijakan kurikulum yang masih kental aspek politis, lemahnya pendidikan Indonesia diakibatkan kegagapan dalam merespons teknologi. Indikasi ini antara lain terlihat begitu mudahnya anak kecil yang sudah terbiasa mengakses piranti elektronik (gadget) semacam smartphone. Tidak ada regulasi jelas dan pengawasan lemah membuat informasi dengan berbagai karakter mudah membanjiri kognisi anak kecil. Mereka sebelumnya belum cukup umur, namun karena tercekoki tiap hari membuat seolah cepat dewasa. Ini yang membuat aksi kekerasan seksual dengan korban dan pelaku anak menjadi fenomena lumrah.
Demikian juga, lemahnya kontrol membuat anak didik menggunakan perangkat untuk hal negatif. Aplikasi jejaring whatsapp misalnya, digunakan sebagian peserta didik untuk aksi saling tantang-tantangan sebelum tawuran. Jika model pendidikan Indonesia ketat terhadap adopsi teknologi disertai dengan literasi yang memadai, diyakini kasus-kasus kenakalan remaja bisa dihindari. Ini setidaknya berkaca di sejumlah negara maju yang tergolong minim munculnya kasus-kasus kekerasan dengan melibatkan para siswa.
Baca Juga : Sekolah Diberi Masa Transisi 3 Tahun untuk Implementasi Kurikulum Merdeka Faktor lain yang membuat kurikulum pendidikan nasional seolah tak berdaya adalah masih lemahnya praktik-praktik nilai keagamaan. Kurikulum pun akhirnya sebatas baris-baris huruf yang harus digugurkan oleh para pendidik dalam rentang masa pembelajaran. Praktik nilai keagamaan ini tidak mudah karena membutuhkan aspek keteladanan, konsistensi dan sekaligus objektivikasi. Lemahnya keteladanan nilai keagamaan ini bisa dilihat dengan munculnya kasus hubungan seksual antara guru dan murid di MAN Gorontalo, baru-baru ini.
Terus munculnya kasus-kasus penyimpangan anak sekolah ini jelas kian membuat bangsa ini prihatin. Apalagi anggaran pendidikan untuk membangun generasi yang bermartabat ini sangatlah besar, mencapai sekitar Rp660 triliun.
Evaluasi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh dengan berbasis representasi sosial adalah menjadi keniscayaan. Dengan cara ini, kebijakan-kebijakan yang lahir mampu menjangkar kuat ke masyarakat karena ada aspek diskusi, partisipasi dan deliberasi. Bukan semata ambisi, apalagi kepentingan politik sempit seorang menteri. (abdul hakim)