Gaduh Subsidi KRL Berbasis NIK
Gaduh Subsidi KRL Berbasis NIK
Mohammad Faizal
Selasa, 10 September 2024, 10:01 WIB

Mulai 2025 pemerintah berencana menerapkan subsidi KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Berpotensi menaikkan tarif, rencana ramai ditolak masyarakat.

Subsidi KRL Berbasis NIK, DJKA: Agar Tepat Sasaran

Subsidi KRL Berbasis NIK, DJKA: Agar Tepat Sasaran

Mulai 2025, pemerintah berencana menerapkan subsidi KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Rencana tersebut mengemuka dalam dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.

Rencana tersebut dipaparkan pada bagian subsidi public service obligation (PSO) untuk bidang transportasi, khususnya bagi PT Kereta Api Indonesia (Persero). Disebutkan, subsidi PSO akan diberikan sebesar Rp4,79 triliun untuk pelayanan kelas ekonomi bagi beberapa angkutan kereta api.

Dalam dokumen itu disebutkan pula bahwa akan ada perbaikan yang akan dilakukan untuk skema PSO Kereta Api. Salah satunya adalah perbaikan pada sistem tiket elektronik KRL Jabodetabek. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa perbaikan akan dilakukan dengan menerapkan tiket elektronik berbasis NIK bagi pengguna KRL Jabodetabek.

Baca Juga: Dekati Tokoh dan Warga demi Menjadi Jawara di Jakarta

Rencana tersebut lantas menuai beragam reaksi dari masyarakat, khususnya para pengguna KRL Jabodetabek. Pasalnya, dengan skema subsidi berbasis NIK, tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga seperti saat ini. Kendari mekanismenya belum sepenuhnya jelas, masyarakat beranggapan ke depan hanya kelompok orang tertentu saja yang masih bisa menikmati layanan KRL dengan harga murah.

Setelah ramai menjadi diskusi publik, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun angkat bicara. Pemerintah membenarkan bahwa rencana yang ada dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2025 tersebut tengah digodok pemerintah dengan tujuan utama agar subsidi lebih tepat sasaran kepada kelompok yang membutuhkan.

"Rencana ini merupakan bagian dari upaya DJKA dalam melakukan penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dengan subsidi yang lebih tepat sasaran," ujar Direktur Jenderal Perkeretaapian Risal Wasal dalam keterangan resmi, Kamis (29/8/2024).

Dia menambahkan, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) juga akan membuka diskusi publik dengan akademisi dan perwakilan masyarakat untuk memastikan skema tarif yang akan diberlakukan tidak memberatkan pengguna jasa layanan KRL Jabodetabek. Diskusi publik ini, kata Risal, akan dilakukan setelah skema pentarifan selesai dibahas secara internal.

Menurut Risal, tarif KRL berbasis NIK akan diterapkan secara bertahap. Hal itu, jelas dia, merupakan bagian dari sosialisasi kepada masyarakat sekaligus transisi untuk menetapkan tarif baru KRL yang akan naik dalam waktu bersamaan.

"Guna memastikan agar skema tarif ini betul-betul tepat sasaran, saat ini kami masih terus melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait. Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan," kata Risal lagi.

Baca Juga: Setelah Gaza, Zionis Lanjutkan Genosida ke Tepi Barat

Lewat proses sosialisasi tersebut, kata Risal, pemerintah juga terus membuka ruang diskusi untuk menerima berbagai macam masukan baik dari para akademisi maupun masyarakat.

Risal juga menuturkan bahwa rencana penetapan tarif KRL berbasis NIK ini tidak akan diterapkan dalam waktu dekat. "Kementerian Perhubungan memastikan belum akan ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dalam waktu dekat. Dalam hal ini, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan segera diberlakukan," tandasnya.

Berdasarkan data KAI Commuter, tren volume pengguna KRL Jabodetabek terus meningkat. Pada semester I-2024, total volume pengguna KRL Jabodetabek tercatat sebanyak 156.816.151 orang. KAI Commuter mencatat, jumlah pengguna tertinggi per hari pada periode tersebut mencapai 1.042.066 orang. KAI Commuter sendiri mengoperasikan sebanyak 1.048 perjalanan commuter line mulai pukul 04.00-24.00 WIB.

Skema Subsidi KRL Diubah, Presiden dan Menteri BUMN Belum Tahu?

Skema Subsidi KRL Diubah, Presiden dan Menteri BUMN Belum Tahu?

Rencana penerapan subsidi KRL berbasis NIK ramai menjadi perbincangan masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun telah membenarkan rencana perubahan skema subsidi untuk salah satu moda transportasi publik murah andalan masyarakat Jabodetabek tersebut.

Namun demikian, bakal kebijakan yang akan mempengaruhi jutaan pengguna KRL di Jabodetabek tersebut ternyata belum diketahui Kepala Negara. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikonfirmasi media massa terkait rencana penerapan subsidi KRL berbasis NIK tersebut mengaku belum tahu.

"Saya nggak tahu, karena belum ada rapat mengenai itu," kata Jokowi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (30/8/2024). "Belum tahu, saya belum tahu, masalah di lapangan seperti apa," tegasnya lagi.

Rupanya bukan hanya Kepala Negara yang tak mengetahui ihwal rencana perubahan skema subsidi KRL tersebut. Menteri BUMN Erick Thohir yang membawahi semua perusahaan negara, termasuk PT KAI yang menjadi induk usaha KAI Commuter juga mengaku belum tahu.

Sementara, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menerapkan subsidi tarif KRL berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025 mendatang, hanya tinggal beberapa bulan lagi. Kendati, kebijakan ini rencananya bakal diberlakukan secara bertahap.

Erick mengaku, rencana tersebut belum dibahas dalam rapat terbatas (ratas) antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri terkait. Karena itu, informasi perihal subsidi KRL berdasarkan NIK baru diperolehnya lewat media massa.

"Kami belum, belum. Kan biasanya ada ratas-nya dan biasanya, kan kami mengikuti. Sepertinya, saya nggak tahu, soalnya saya baca di media juga,” ujarnya usai rapat kerja (raker) bersama Komisi VI DPR, Senin (2/9/2024).

Terlepas dari itu, Erick memastikan dirinya mendukung penuh aturan subsidi tarif KRL berbasis NIK. Namun, kata dia, perubahan sistem tersebut harus dibahas bersama sebelum resmi ditetapkan.
"Kalau memang ada kebijakan seperti itu, ya saya rasa harus duduk bersama. Dan saya selalu mendukung kebijakan apapun yang diambil pemerintah, karena kami kan bagian dari pemerintah, jadi kita tidak pernah bilang salah dan benar," tegasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Risal Wasal menyebutkan bahwa penetapan tarif KRL berbasis NIK bertujuan agar subsidi lebih tepat sasaran dan untuk mengurangi beban public service obligation (PSO) yang ditanggung pemerintah.

"Guna memastikan skema tarif ini betul-betul tepat sasaran, saat ini kami masih terus melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait. Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan," kata Risal dalam keterangan resminya.

Subsidi Bebasis NIK, Langkah Mundur Pembenahan Transportasi Umum

Subsidi Bebasis NIK, Langkah Mundur Pembenahan Transportasi Umum

Rencana pemerintah mengubah skema subsidi KRL menjadi berbasis NIK tak hanya menuai kecaman para pengguna. Pakar transportasi publik pun menilai hal itu sebagai sebuah bentuk kemunduran pembenahan sistem transportasi umum di Indonesia.

Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas menilai penetapan tarif KRL berbasis NIK tidak selaras dengan cita-cita penurunan emisi karbon, serta mengatasi kemacetan dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.

"Saya pribadi, lebih suka dan lebih mendukung subsidi transportasi daripada subsidi tepat sasaran. Karena jauh lebih banyak keuntungannya dibandingkan subsidi tepat sasaran," ujarnya saat dihubungi MNC Portal, Minggu (31/8/2024).

Darmaningtyas menjelaskan, keuntungan subsidi tepat sasaran hanya dirasakan oleh golongan tidak mampu saja. Sementara, subsidi transportasi keuntungannya dinikmati oleh seluruh masyarakat yang menggunakan angkutan umum. Tak hanya itu, polusi udara juga dapat dikurangi karena berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke KRL.

Dengan memprioritaskan subsidi untuk transportasi publik, tegas Darmaningtyas, kemacetan wilayah Jabodetabek juga dapat dikurangi karena sebagian motor dan mobil diparkir di stasiun sementara penggunanya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan KRL. Dengan begitu, kata dia, anggaran negara mungkin juga bisa dihemat karena subsidi untuk bahan bakar bisa ditekan.

"Sungguh langkah mundur dan tidak punya visi yang jelas bila pemerintah justru akan memberikan subsidi (harga khusus BBM bagi ojol), tapi akan menerapkan subsidi tepat sasaran untuk pengguna moda kereta api perkotaan," cetusnya.

Darmaningtyas menegaskan, jika Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan hendak mengurangi anggaran PSO untuk KRL agar tidak membebani ruang fiskal, maka bisa dilakukan kenaikan tarif KRL yang memang belum pernah naik sejak tahun 2016.

Dengan menyesuaikan tarif KRL, kata dia, maka hal itu secepatnya akan berdampak pada pengurangan subsidi, sekaligus mendorong layanan KRL menjadi lebih baik karena perusahaan akan memiliki arus kas yang cukup untuk operasinya.

Menurutnya, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan sebelumnya juga sudah membuat perhitungan mengenai besarnya subsidi yang akan dapat dihemat dengan penyesuaian tarif Rp2.000,- pada 15 km pertama saja.

"Kalau orang naik KRL sepanjang 15 km dan membayar Rp5.000, itu masih amat terjangkau. Yang betul-betul tidak mampu, baru mengajukan permohonan keringanan, dan saat itulah penggunaan NIK baru relevan. Tapi kalau penggunaan NIK untuk semua pengguna KRL Jabodetabek dan layanan KCI lainnya jelas tidak tepat," tandasnya.

Pro dan Kontra Masyarakat Atas Subsidi KRL Berbasis NIK

Pro dan Kontra Masyarakat Atas Subsidi KRL Berbasis NIK

Rencana pemerintah menerapkan subsidi tarif KRL berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) pada 2025 secara bertahap menuai pro-kontra di masyakarat. Banyak masyarakat yang menolak, ada pula yang mendukung rencana tersebut.

Pemerintah beralasan, tarif KRL berdasarkan NIK diperlukan agar subsidi lebih tepat sasaran bagi masyarakat kurang mampu. Namun, skema baru itu dinilai akan memberatkan masyarakat pengguna KRL secara umum, serta bertolak belakang dengan upaya mendorong perluasan penggunaan transportasi publik.

Komunitas pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) yang tergabung dalam KRLMania adalah menjadi penentang pertama rencana ini. KRLMania menilai rencana ini merupakan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan berpotensi mendisinsentif kampanye penggunaan transportasi publik.

Perwakilan KRLMania, Nurcahyo berpendapat bahwa penerapan subsidi tarif berbasis NIK tidak akan menghasilkan kebijakan yang adil dan tepat sasaran. Ia menegaskan bahwa konsep KRL adalah sebagai layanan transportasi publik yang seharusnya tidak didasarkan pada kemampuan ekonomi atau domisili penggunanya karena konsep subsidi transportasi publik berbeda dengan konsep bantuan sosial yg didasarkan pada kemampuan ekonomi.

"Subsidi pemerintah pada transportasi publik seharusnya dimotivasi oleh kepentingan untuk mendorong penggunaan transportasi publik yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara, sehingga subsidi selayaknya diberikan semata untuk pengadaan sarana transportasi publik tersebut," kata Nurcahyo.

Menurutnya, transportasi publik seperti KRL dirancang untuk melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kelas sosial atau ekonomi. Pengguna KRL terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, pekerja, ibu rumah tangga, hingga lansia, yang semuanya membutuhkan akses yang terjangkau dan adil terhadap transportasi publik.

"Kebijakan subsidi berbasis NIK berisiko mengubah prinsip transportasi publik yang inklusif dan terbuka untuk semua kalangan. Oleh karena itu, KRLMania menolak usulan subsidi berbasis NIK karena bertentangan dengan esensi dari layanan publik," cetusnya.

Nurcahyo menegaskan, jika pemerintah merasa perlu memberikan tarif khusus untuk kelompok tertentu, KRLMania merekomendasikan agar rujukan tarif khusus tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. "Undang-undang ini telah memberikan pedoman yang jelas bahwa tarif khusus dapat diberikan kepada kelompok pelajar, lansia, dan penyandang disabilitas," tandasnya.

Dari wawancara SINDOnews di lapangan, rencana subsidi KRL berbasis NIK ini juga banyak ditolak oleh pengguna. Salah satunya adalah seorang pegawai swasta bernama Naomi. Dia menyebut pengenaan tarif tersebut akan memberatkan karena banyak pekerja sengaja memilih KRL sebagai alternatif transportasi publik yang murah. Dengan begitu, pekerja dapat menghemat pengeluarannya.

"Menurut aku itu kurang adil karena kita juga kan dapat uang sudah ditimbang-timbang untuk apa saja. Jadi kalau tarifnya naik kan tujuan kita naik KRL itu biar murah, kalau tarifnya naik ya mending naik kendaraan pribadi," ujar Naomi.

Pengguna KRL lainnya yang bernama Alvito, kendati memuji tujuan pemerintah untuk membantu kalangan bawah melalui subsidi transportasi, dia juga meragukan pelaksanaannya di lapangan.

Alvito mengaku skeptis hal itu bisa dijalankan secara tepat. Dia mengacu pada banyak kasus penerima bantuan sosial dari pemerintah yang ternyata termasuk orang mampu. "Mungkin kayak gini aja udah baik ya. Kalau mau ada perubahan, bisa lebih diperketat lagi pengkategorian kondisi ekonomi masyarakatnya jangan sampai lagi-lagi salah sasaran," ujarnya.

Sementara, beberapa pengguna KRL menyatakan setuju dengan rencana pengenaan tarif KRL berdasarkan NIK. Salah satunya adalah mahasiswi bernama Dini. Dia menilai bahwa rencana itu baik karena untuk membantu kaum kurang mampu.

"Kalau ada program seperti itu aku setuju karena lebih memudahkan bagi warga yang kurang mampu. Yang punya penghasilan lebih tinggi pun harusnya bisa menerima karena dia lebih mampu jadi bisa mengurangi beban warga yang kurang mampu," ujarnya saat diwawancarai di Stasiun Pondok Cina, Depok.

Hal senada dikatakan mahasiswi bernama Syifa. Menurutnya, dengan skema ini masyarakat secara tidak langsung bisa saling bantu satu sama lain. "Kalau aku sih setuju aja, karena kan (tarif) tergantung kondisi ekonomi masing-masing orang yah. Kalau misal disubsidiin ke orang yang membutuhkan itu gak apa-apa sih, bagus," tuturnya.
(fjo)