Efektifkah Tanggul Raksasa Jakarta Sampai Gresik ?
Efektifkah Tanggul Raksasa Jakarta Sampai Gresik ?
Eko Edhi Caroko
Senin, 09 September 2024, 20:49 WIB

Pemerintah berencana membangun tanggul laut raksasa yang membentang dari Jakarta hingga Gresik di Jawa Timur. Tujuannya  untuk melindungi Pantura dari banjir   

Menyelamatkan Pantura dengan Tanggul Raksasa


Menyelamatkan Pantura dengan Tanggul Raksasa

Pembanguan infrastruktur nampaknya masih menjadi fokus pemerintah. Jika di era Presiden Joko Widodo lebih senang membangun jalan dan waduk, lain lagi yang jadi perhatian di era pemerintahan Prabowo Subianto. Salah satu proyek infrastruktur yang akan dikerjakan di era Prabowo adalah membangun tanggul raksasa di Pantai Utara Jawa (Pantura), yang membentang dari Jakarta hingga Gresik di Jawa Timur.

Rencana tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo. Hasim mengatakan mengatakan Prabowo ingin pembangunan proyek ini segera dimulai pada saat memimpin. "Pak Prabowo ingin segera dimulai yaitu Tanggul Laut Raksasa. Tanggul Laut Raksasa pada intinya adalah untuk melindungi Pantai Utara Jakarta," katanya dalam pertemuan APEC Business Advisory Council di Hutan Kota by Plataran, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (31/8).

Baca Juga : Pemkot Jakut Cari Solusi Kebocoran Tanggul Laut di Muara Baru

Hasim menjelaskan pembangunan tanggul raksasa tersebut sebenarnya sudah direncanakan dan dirancang Bappenas sejak 1994, dirancang oleh Bappenas. Namun, realisasi pembangunan proyek tanggul ratusan kilometer (km) ini tidak ada kemajuan.
Proyek ini bertujuan untuk melindungi kawasan pesisir pantai utara Pulau Jawa yang selama ini rentan terhadap banjir setiap tahunnya. Jika banjir tak bisa diatasi maka akan berpotensi merusak lahan-lahan subur yang ada di Pantura.

Berdasarkan perkiraan Hashim, sekitar 40 persen lahan yang subur , seperti sawah, di sekitar Pantura berpotensi tenggelam. Selain itu, tanggul ini untuk melindungi Jakarta yang diprediksi akan tenggelam. Untuk itu harus segara dilundungi kawasan ini. "Maka Pak Prabowo ingin membangun tanggul laut dari Jakarta sampai Gresik di Jawa Timur," ujarnya.

Pembangunan tanggul di Pantura ini tergolong proyek besar. Oleh karena itu, Hashim memperkirakan pengerjaan pembangunan tanggul raksasa ini akan memakan waktu yang cukup lama sekitar 10-20 tahun. Untuk skema pembiayaan pembangunan proyek ini, Hashim mengatakan, pengembangan proyek ini bakal dilakukan program gabungan seperti partnership hingga kemitraan antara pemerintah dan swasta. Kesempatan itu juga dibuka tidak hanya untuk pihak swasta lokal tetapi juga asing.

Pemerintah akan membuka kesempatan bekerja sama dengan investor asing, kemitraan antara pemerintah, Asosiasi Perumahan Indonesia (Real Estate .Indonesia) dan perusahaan swasta. Menurut Hasim, Prabowo pun sudah mengajak investor dari berbagai negara seperti Hong Kong Korea Selatan, Singapura, Abu Dhabi, bahkan Rusia dan Ukraina untuk ikut berpartisipasi membangun mega proyek ini. Mereka para investor asing itu pun bisa tinggal di Indonesia dengan menggunakan Golden Visa.

Rencana membangun tanggul laut di Pantura ini sudah dibahas di era Presiden Joko Widodo. Tepatnya pada Januari 2024 lalu, Kantor Kementerian Kordinator Bidang Ekonomi pernah menggelar seminar tentang rencana ini. Beberapa Menteri turut hadir dan menyampaikan pendapatnya. Seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menko Perekonomian saat itu Airlangga Hartarto dan juga Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pembangunan tanggul laut raksasa itu diperlukan demi mencegah penurunan tanah dan kenaikan air laut.

"Giant Sea Wall itu sangat diperlukan, karena kita ingin untuk menyelesaikan penurunan permukaan tanah yang terus-menerus terjadi dan juga banjir rob yang juga selalu terjadi," ucap Airlangga usai acara seminar nasional 'Strategi perlindungan Kawasan Pulau Jawa, Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut', di Jakarta, Rabu (10/1).

Di acara yang sama Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto mengatakan, proyek Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall ini diklaim bisa menyelamatkan 50 juta jiwa khususnya di wilayah Pantura."Kita harus kumpul bersatu segera kita percepat pembangunan giant sea wall ini untuk selamatkan bangsa Indonesia terutama 50 juta rakyat kita yang hidup di Pantai Jawa," ungkapnya.

Prabowo juga memperkirakan pembangunan tanggul laut raksasa membutuhkan dana sebesar US$50 miliar hingga US$60 miliar atau sekitar atau Rp 778-934 triliun. "Nanti selalu akan ada yang mengatakan Apakah bisa? Ini masalah bukan apakah bisa atau tidak bisa, ini harus kalau tidak pantai utara tenggelam," katanya.

Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, pembangunan tanggul raksasa ini sangat penting karena Kawasan Pantura Jawa menyumbang sekitar 20,7% produk domestik bruto (PDB) Indonesia melalui kegiatan industri, perikanan, transportasi, dan pariwisata. Disamping itu, wilayah Pantura Jawa juga merupakan tempat tinggal penduduk yang cukup padat, dengan estimasi jumlah penduduk lebih dari 50 juta jiwa.

Di tengah kondisi padat penduduk dan aktivitas ekonomi yang kuat, kawasan pantura Jawa menghadapi ancaman penurunan permukaan tanah atau Land Subsidence bervariasi antara 1-25 cm/tahun, di sisi lain ancaman yang juga menanti, yaitu kenaikan permukaan air laut sebesar 1-15 cm/tahun di beberapa lokasi serta fenomena banjir Rob.

Kawasan Pantura Jawa juga menurutnya berisikan 70 Kawasan Industri, 5 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), 28 Kawasan Peruntukan Industri, 5 Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri, dan wilayah perekonomian lainnya yang akan terdampak apabila penanganan permasalahan degradasi di Pantura Jawa tidak segera ditangani dengan baik.

Baca Juga : Atasi Banjir Demak-Kudus, BNPB Perbaiki Tanggul Sungai Wulan yang Jebol

Estimasi kerugian ekonomi secara langsung akibat banjir tahunan khusus di Pesisir Jakarta saja kata Airlangga telah mencapai Rp 2,1 triliun per tahun dan dapat meningkat terus setiap tahunnya hingga mencapai Rp 10 triliun per tahun dalam 10 tahun ke depannya. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya proyek Giant Sea Wall.

Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berpesan, supaya pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall) di wilayah Pantura Jawa dilakukan dengan memperhatikan aspek ekologi, agar pemanfaatannya betul-betul dirasakan.

"Ketika pembangunan Giant Sea Wall tidak diberikan kanal-kanal, ya tinggal tunggu waktu pasti akan ada kehancuran juga. Artinya pesan yang ingin saya sampaikan adalah membangun Giant Sea Wall harus betul diperhatikan aspek ekologi," katanya.

Trenggono menambahkan laut harus ada kanal yang masuk dan kemudian di pesisir harus tetap dibiarkan mangrove-nya hidup. Karena di situ ada yang namanya ekosistem yang memberi kehidupan.

Trenggono juga menjelaskan terkait tantangan sektor kelautan dan perikanan di Pantura. Adanya rata-rata penurunan muka tanah di Pantura sebanyak 1-20 cm/tahun dan banjir pesisir setinggi 5-200 cm.

"Sebenarnya dari semua ini kita lupa bahwa kita selama ini tidak pernah menjaga yang namanya ekologi. Ekologinya agak sedikit diabaikan karena ngurusin ekologi adalah sesuatu yang nggak ada apa-apanya, tetapi itu sangat penting sebetulnya untuk kepentingan ekonomi," imbuhnya.

Padahal terdapat peluang yang bisa dikembangkan di Pantai Utara Jawa. Berdasarkan data KKP, terdapat 200 ribu nelayan dan pembudidaya ikan dengan produksi perikanan mencapai 2,3 juta ton senilai Rp 45 triliun.

Rencana Pembangunan tanggul raksasa di Pantura ini dengan tegas ditolak Walhi (Wahana Lingkungan Hidup). Menurut Walhi rencana pemerintah yang akan membangun kembali tanggul laut dengan cara mereklamasi laut adalah sesat pikir pembangunan. Proyek tersebut tidak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau kecil.

Pembangunan proyek giant sea wall ini akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional. Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit.

Sebagai contoh, pada tahun 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388.200.000 meter kubik. Jumlah ini sangat besar untuk kebutuhan reklamasi di Jakarta saja.Ambisi pembangunan tanggul laut raksasa bakal mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang ada di perairan pulau Jawa bagian utara.

Secara umum, sumber daya perikanan di perairan Pulau Jawa telah berada pada situasi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, sumber daya ikan telah mengalami fully exploited sebesar 67 persen, dan over exploited sebesar 22 persen.

Dengan kata lain, data tersebut mengatakan bahwa perairan utara Jawa perlu dipulihkan karena selama ini telah dieksploitasi tanpa henti. Tetapi pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall justru akan semakin mengancam stok sumber daya ikan sebagai sumber protein masyarakat. (Eko Edhi Caroko)

Akankah Jadi Solusi Banjir Pantura?

Akankah Jadi Solusi Banjir Pantura?
(Sejumlah prajurit Yonif 400/Banteng Raiders membantu evakuasi warga terdampak banjir di kawasan jalan pantura Kaligawe, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu-Minggu,16-17/3/2024)

Great Sea Wall di sepanjang Pantura Jawa sebenarnya isu lama yang telah didengar warga, terutama bagi mereka para korban banjir atau langganan rob. Isu tanggul laut raksasa semakin menghangat di awal 2024 ini, ketika sejumlah daerah di pantura dilanda banjir hebat.

Kabupaten Kudus, Jawa Tengah misalnya, banjir tak henti menerjang wilayah ini pada periode Januari hingga Maret. Puluhan ribu rumah terendam dan tujuh orang kehilangan nyawa. Pada 2020, 2021, 2022 dan 2023, Kudus juga rutin dilanda banjir. Namun banjir pada 2024 disebut-sebut menjadi yang terparah dalam 40 tahun terakhir.

Tak hanya warga Kudus yang dipaksa ‘bersahabat’ dengan banjir atau rob setiap tahun. Di wilayah Jawa Tengah lainnya, nasib tak jauh beda dialami warga Demak, Jepara, Pati, Kota Semarang, Tegal, Batang, Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Demikian di Jawa Barat, banjir selalu menghantui warga Subang, Cirebon dan Karawang.

Baca Juga : 13 Jam Terjebak Banjir, Evakuasi Warga Demak Diwarnai Isak Tangis

Meski pahit karena hidupnya langganan dikepung banjir atau rob, mereka tak bisa berbuat banyak. Infrastruktur pengendali banjir atau rob seperti polder, pompa atau tanggul yang ada selama tak memberikan banyak arti.

Kehadiran penangkal rob atau banjir yang lebih efektif pun menjadi impian warga, utamanya yang tinggal sangat berdekatan dengan pantai. Ini seperti diharapkan Hasyim, warga Tambakbulusan, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak. Sejak lahir, Hasyim tinggal di Tambakbulusan yang hanya sekitar 1 kilometer dari bibir pantai. Namun dalam kurun 10 tahun terakhir, rob yang menerjang daerahnya kian sulit dikendalikan.

Hasyim pun terpaksa meninggikan rumahnya hingga sekitar 2 meter dari ketinggian asal agar selamat dari rob. “Setiap hari rob datang. Tapi terkadang kalau parah air bisa masuk ke rumah. Tak ada pilihan lain kecuali meninggikan rumah kalau pas ada duit,” ujar Hasyim kepada Sindonews.

Hasyim tentu senang jika ada sarana penangkal rob seperti tanggul raksasa. Dengan adanya tanggul besar, maka rob bisa dikendalikan lebih baik. Ujungnya, para petambak udang atau bandeng di wilayahnya bisa menjalankan usahanya lebih mudah. Tidak seperti sekarang yang selalu dihinggapi rasa was-was.

Gambaran tak jauh beda juga menjadi Impian warga di Gresik, Jawa Timur. Hampir tiap tahun, warga di Kecamatan Manyar, Kebomas, Ujungpangkah dan Bungah tak bisa lepas dari banjir rob. Meski sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, mereka hanya pasrah. Untuk pindah rumah juga bukan perkara mudah karena butuh biaya besar. Di sisi lain, hidup dalam kepungan rob juga menyedihkan karena menjadikan banyak hal menjadi terbatas. Bahkan tambak-tambak yang selama ini menjadi andalan perekonomian warga juga tak bisa lagi menjadi tumpuan.

Dalam pandangan Ketua Program Studi Budidaya Perikanan Universitas Muhammadiyah Gresik Farikhah, beberapa waktu lalu, banjir rob di Gresik hakikatnya adalah peristiwa alam. Rob terjadi karena fenomena kenaikan muka air laut hingga masuk ke daratan akibat dari gaya pasang surut air laut.

Namun banjir rob ini juga tak bisa dianggap enteng. Sebab tingkat banjir rob mengalami tren meninggi, bahkan potensi kerusakannya besar. Kondisi ini, tandas Farikhah, tentu harus disadari oleh masyarakat dan direspons bijak pemerintah. Masyarakat semakin paham bahwa bahaya rob kian mengancam sehingga perlu langkah mitigasi yang tepat. Demikian bagi pemerintah, perlu ada kebijakan yang komprehensif dan efektif. Selain penanaman mangrove untuk penahan banjir dan abrasi, pemerintah membuat kebijakan holistik dan berkelanjutan agar bencana bisa dikelola dengan baik.

Baca Juga : Tangani Banjir Demak, BNPB Fokus Perbaiki Tanggul Jebol dan Teknologi Modifikasi Cuaca

Awal 2024, program tanggul laut raksasa kembali mengemuka seperti disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Bahkan Airlangga telah merinci awal kebutuhan anggarannya, yakni mencapai sekitar Rp900 triliun. Bukan hanya di Demak atau Gresik saja, pemerintah merencanakan sepanjang Pantura Jawa perlu dibangun tanggul raksasa segera.

Belum ada kepastian bagaimana konstruksi tanggul ini. Apakah mirip dengan yang ada di sebagian Pantai Jakarta atau Demak saat ini, atau dengan model lain? Yang pasti, proyek sepanjang ratusan kilometer itu jelas juga butuh waktu tidak singkat. Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto memprediksi setidaknya butuh waktu hingga 40 tahun untuk menuntaskan proyek besar.

Meski akan menelan dana besar waktu yang sangat lama, namun tanggul laut raksasa baginya adalah keniscayaan agar Kawasan Pantura Jawa tidak tenggelam. “Ini masalahnya bukan apakah bisa atau tidak bisa, ini harus, kalau tidak, pantai utara tenggelam,” kata Menhan, yang bakal dilantik sebagai Presiden RI pada 20 Okotober 2024 mendatang tersebut. (abdul hakim)

Mengembalikan Hutan Mangrove, Melindungi Garis Pantai

Mengembalikan Hutan Mangrove, Melindungi Garis Pantai

Taman Hutan Raya (Tahura) Bali seolah sudah menjadi kebanggaan Indonesia. Bagaimana tidak, hampir di setiap even internasional yang digelar di Pulau Dewata, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah absen mengajak tamunya mengunjungi hutan mangrove yang berada di Ngurah Rai, Denpasar itu. Hal ini seperti ditunjukkan saat momen KTT G-20 yang digelar medio November 2022. Tahura Bali menjadi salah satu destinasi utama para tamu negara-negara dengan produk domestic bruto (PDB) terbesar di dunia itu.

Terbaru, prosesi sama ditunjukkan saat Jokowi di sela KTT World Water Forum ke-10 yang digelar pada Mei 2024 kemarin. Dia mengajak para pemimpin delegasi ke suaka yang memiliki lebih dari 1.300 hektare hutan mangrove yang tumbuh subur. Selain hutan asri, di tempat tersebut juga terdapat tempat pembibitan dan persemaian tamanan yang juga dilazim dikenal sebagai bakau. Untuk pembibitan, setiap tahun mampu dihasilkan 6 juta bibit mangrove.

Langkah tersebut menunjukkan komitmen Indonesia terhadap pengelolaan mangrove berkelanjutan dan pelestarian ekosistem yang berharga. Benarkah Indonesia memegang komitmen tersebut dengan kuat yang diimplementasikan lewat kebijjakan kongkrit dan berkesinambungan? Atau jangan-jangan, hal tersebut berrhenti sebatas prosesi untuk menyambut para tamu negara?

Baca Juga : Jababeka Targetkan Tanam 50.000 Mangrove di Muaragembong

Pertanyaan demikian muncul karena faktanya luasan lahan mangrove di Tanah Air, terutama di Pulau Jawa, setiap tahun menunjukkan tren penurunan. Padahal keberadaan tanaman pantai tersebut sangat urgen bukan hanya untuk penghijauan, tapi juga mencegah meluasnya abrasi di sepanjang pantai, terutama di pantai utara. Sedangkan program penanaman mangrove yang banyak dilakukan pemerintah maupun swasta skalanya masih kecil.Itupun lazimnya dilakukan dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh 6 Juni.

Bila penanaman mangrove dianggap sebagai urgensi dan solusi persoalan yang kini mengancam ekologi sekaligus esksitensi wilayah pesisir, mestinya pola pikir yang selalu menggantungkan pendekatan infrastruktur untuk mencegah abrasi pantau utara Jakarta, Jawa Barat hingga Jawa Tengah yang sudah sangat memprihantinkan bisa dihindari. Apalagi, pendekatan fisik tersebut sangat mahal, tidak berkesinambungan, dan pasti justru merusak lingkungan.

Pilihan bersifat instan ini ternyata yang dikedepankan, termasuk oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto, seperti disampaikan sang adik, Hashim Djojohadikusumo, beberapa waktu lalu. Menurut dia, proyek ini memiliki urgensi tinggi dengan alasan permukaan air laut terus mengalami kenaikan, kian menurunnya permukaan tanah, sementara di sisi lain pesisir utara Pulau Jawa harus dilindungi.

Dengan demikian proyek yang dikawal Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas dan memiki nama resmi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau lazim disebut sebagai mega proyek Giant Sea Wall yang peletakan batu pertama sudah dilakukan pada akhir Pemerintahan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono akan digeber lagi. Malahan, proyek yang awalnya diinisiasi Bappenas pada 1994 itu bukan hanya digarap di Jakarta saja, tapi diproyeksikan untuk membetengi garis pantai di sepanjang pantura Jawa.

Mengapa mangrove bisa menjadi solusi? Hal ini terkait posisi mangrove sebagai ekosistem pesisir yang mampu tumbuh di wilayah pasang surut. Keberadaan sistem akar yang kuat dan rimbun mampu mengikat dan menahan sedimen pantai, mencegahnya dari terbawa arus laut dan ombak yang kuat. Melalui penanaman mangrove yang tepat, material sedimen akan terperangkap di antara akar mangrove dan lantas membentuk semacam tanggul alami yang dapat melindungi garis pantai dari abrasi.

Selain itu, mangrove yang memiliki akar kompleks bisa membantu memperlambat aliran air dan gelombang, membantu mengendalikan laju sedimentasi dan mengurangi kerusakan pantai. Dalam konteks mitigasi bencana, mangrove juga bisa mengurangi intensitas angin laut, dan lebih dahsyat lagi terbukti efektif menghadang laju gelombang tsunami yang destruktif.
Dengan demikian, mangrove memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan garis pantai dan mencegah erosi. Lebih penting dari itu, keberadaan hutan mangrove menjadi ‘pabrik’ untuk memproduksi oksigen yang dibutuhkan manusia dan mahluk hidup lainnya, serta menyediakan habitat yang penting bagi beragam spesies hewan dan tumbuhan pesisir yang bisa bermanfaat untuk mendukung perekonomian masyarakat pesisir.

Selain itu, hutan mangrove bisa memiliki manfaat ekonomis untuk mendukung pengembangan pariwisata, seperti dapat disaksikan di beberapa kawasan mangrove di sekitar Jabodetabek, yakni Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Hutan Mangrove Muara Gembong Bekasi, Hutan Mangrove Desa Muara Teluk Naga, maupun Wisata Hutan Mangrove Desa Ketapang, Mauk, Kabupaten Tangerang.

Baca Juga : Peringati Hari Mangrove Sedunia, Gadis Antariksa Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan

Sayangnya, walaupun manfaat mangrove sangat besar, ternyata kondisi mangrove di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sedang tidak baik-baik saja. Data ini seperti terungkap dalam laporan Walhi Jatim bertajuk ‘’Hutan Mangrove di Jawa Timur dalam Ancaman’’ yang dirilis pada Juli 2023. Merujuk data yang diekspose Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020, pada rentang 1980 hingga 2020 luas hutan mangrove berkurang 9,36 juta Ha pada 2020 menyusut 3,31 Ha. Dari jumlah tersebut, 80,74 persen di antara hutan mangrove dalam kondisi baik, dan sekitar 19,26 persen kritis.

Bahkan data yang disampaikan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BGM) mengungkapkan luasan hutan mangrove mengalami penurunan hampir ribuan hektare setiap tahunnya. Diproyeksikan, jika skenario kehilangan hutan mangrove, yakni sekitar seluas 104.450 Ha pada tahun 2024, dan pada 2030 sebesar 261.000 Ha, dengan rincian rata-rata kehilangan sekitar 26.100 Ha per tahun. Berdasar hitungan itu pula, sebaran hutan mangrove perlahan mengalami penurunan cukup drastis sekitar 6 juta Ha selama hampir 40 tahun.

Di antara kerusakan terparah terjadi di sepanjang pesisir Jawa Timur.Pada 2023, luasan hutan mangrove tinggal 27.221 Ha, yang ersebar di sepanjang pesisir selatan dan utara, dari Pacitan hingga Banyuwangi, dan Tuban sampai pulau Madura. Padahal sebuah laporan ‘’ Indonesian Mangroves: an Update on Remaining Area and Main Management Issues, menyebut luasan mangrove di Jawa Timur’ pada 1995 seluas 57.500 ha.Namun pada 2022, luasnya pada 2022 hanya tersisa 27.221 Ha.

Mengapa bisa mengalami kerusakan begitu parah? Realitas yang terjadi bisa disaksikan dengan mata telanjang di sepanjang pantura Jawa Timur. Di sepanjang pesisir utara Tuban, Lamongan hingga Madura yang terlihat pasir, dan batas pantai sudah meringsek ke daratan. Di Gresik, Madura dan Surabaya sebagian besar hjutan mangrove berubah menjadi tambak, dan khusunya di Surabaya ada yang beralih fungsi menjadi perumahan elite.

Jika melihat fakta demikian, bagaimana tidak ekologi di sepanjang pantura tidak hancur dan abrasi pun semakin mengancam daratan Pulau Jawa. Karena itu, sebenarnya tidak ada pilihan lagi selain mengembalikan keseimbangan ekosistem di sepanjang pantai demi menjaga lingkungan dari ancaman kerusakan lebih parah akibat abrasi yang tidak bisa dibendung.

Tentu pilihan tersebut tidak mudah. Tetap bukan berarti tidak bisa dilakukan bila ada sinergi yang kuat antara pemerintah, swasta, dan terutama keterlibatan aktif masyarakat lokal. Keberhasilan ini di antaranya ditunjukkan masyarakat Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Seperti diungkapkan laporan ‘’Mengatasi Perubahan Garis Pantai melalui Penanaman Mangrove: Upaya Mitigasi Terhadap Abrasi Pantai di Pesisir Utara Banten’’ yang dirilis Universitas Sultan Ageng Tirtayas.

Penanaman mangrove yang diinisasi seorang aktivis lingkungan bernama Ropin dan didukung masyarakat setempat sukses menghijaukan pesisir pantura daerah tersebut. Berdasarkan observasi menggunakan aplikasi Google Earth, terlihat bahwa garis pantai di lokasi penanaman mangrove pada tahun 2023 telah maju sekitar 65 meter dari kondisi tahun 2012 sebelum ada penanaman mangrove. Yang menarik, hutan mangrove Desa Lontar kini menjadi kawasan wisata Jembatan Pelangi yang viral. Alam Lestari, pantai terlindungi, dan kesejahteraan masyarakat pun menghampiri.(alex aji s)

Giant Sea Wall, Ikhtiar Menjaga Ekologi dan Ekonomi


Giant Sea Wall, Ikhtiar Menjaga Ekologi dan Ekonomi

Sebagai negara maritim, lautan Indonesia lebih luas dibandingkan dengan daratan.Hampir seluruh daratan Indonesia dikelilingi garis pantai. Badan Informasi Geospasial menyebutkan, total panjang garis pantai negara Indonesia mencapai 99.093 kilometer. Namun, garis pantai Indonesia mulai mengalami penyusutan. Penyusutan garis pantai Indonesia sudah terjadi di beberapa tempat, salah satunya di pulau Jawa sebagai pusat perekonomian nasiomal.

Catatan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jawa masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional dan memiliki kontribusi signifikan dengan share mencapai 57,12% terhadap PDB nasional. Namun demikian, Pulau Jawa sendiri juga masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan seperti erosi, abrasi, banjir, kenaikan permukaan air laut, hingga penurunan permukaan tanah (land subsidence) di sepanjang daerah Pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa. Kawasan pesisir Pantura Jawa sendiri ditinggali oleh sebanyak 48% dari penduduk Pulau Jawa dengan aktivitas ekonomi yang berkontribusi sebesar 20% dari PDB nasional.

Baca Juga : Program Teman Nelayan Diharapkan Mampu Berdayakan Masyarakat Pesisir Jakarta

Wilayah pesisir pantai merupakan daerah peralihan laut dan daratan. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah pesisir mendapatkan tekanan dari berbagai aktivitas dan fenomena yang terjadi di darat maupun di laut. Fenomena-fenomena yang terjadi di daratan seperti erosi banjir dan aktivitas yang dilakukan seperti pembangunan pemukiman,pembabatan hutan untuk persawahan, pembangunan tambak dan sebagainya pada akhirnya memberi dampak pada ekosistem pantai.

Pemerintah memiliki rencana besar membangun Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Raksasa. Infrastruktur ini direncanakan membentang dari Jakarta hingga Gresik, Jawa Timur. Konsep tanggul laut sejatinya diinisiasi sejak tahun 1994 di era Presiden Soeharto oleh Badn Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Konsepa tersebut ditujuka sebagai solusi untuk menyelamatkan pesisir utara Jakarta. Kini, manfaat tanggul raksasa itu diperkirakan akan menyelamatkan pesisir utara Pulau Jawa.

Saat ini, abrasi membuat penduduk kehilangan lahan tempat tinggal dan lahan pertanian. “Untuk abrasi yang terjadi di Indonesia, terutama di pantura Jawa, banyak merugikan masyarakat, juga menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Di Jakarta, penurunan kualitas air sudah lama terjadi,”ungkap Pakar Maritim Prof. Marcellus Jayawibawa kepada SINDOnews Senin (9/9/2024).

Dia melihat, rencana pemerintah membangun tanggul itu merupakan langkah antisipatif. “Permukaan air laut sudah semakin naik. Dibuktikan dengan wilayah Indonesia banyak yang terendam,”imbuhnya. Namun demikian, Marcellus menyarankan agar pemerintah melakukan mapping, termasuk kesiapan pendanaan yang membutuhkan sekitar Rp800 triliun, juga teknologinya.

“Belanda sudah melakukan ini 100 tahun yang lalu. Kalau dilihat dari hal positifnya banyak. Luas daratan akan bertambah, tentu ruang kegiatan ekonomi kita akan bertambah pula,”paparnya.

Dia meyakini, pemerintah sudah melakukan berbagai mitigasi. Secara ekonomis, masyarakat akan merasakan dampak positif dari pembangunan tanggul di pesisir Jawa tersebut, terutama para nelayan. Terlebih, sektor perikanan menjadi salah satu penopang perekonomian nasional.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, ada 2023, pertumbuhan PDB perikanan mencapai 5,49% dengan kontribusi ke PDB nasional 2,7% atau senilai Rp 244,8 triliun.
Sedangkan tahun ini di kisaran 5-6%

Selain dari sektor perikanan, pembangunan tanggul raksasa juga akan bermanfaat untuk para nelayan. Dengan ditanggulanginya abrasi, masyarakat bisa membangun kawasan permukiman yang layak di sekitar pesisir pantai. ”Untuk jangka pendek, perlu diperbanyak semacam penahan ombak yang sifatnya portable. Sehingga bisa menahan abrasi,”sarannya.

Selain itu, reklamasi berupa penanaman mangrove dinilai menjadi salah satu solusi jitu. Karena selain menjadi solusi ekologi, juga menghadirkan manfaat ekonomi. Hal itu lantaran selain mencegah terjadinya abrasi, daun mangrove rupanya bisa diolah menjadi keripik. Bahkan, limbah akarnya bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang digunakan sebagai pewarna batik.

Untuk memitigasi risiko bencana di sepanjang pesisir Pantura Jawa, pemerintah terus berupaya melakukan intervensi melalui sejumlah kebijakan strategis yang komprehensif. Salah satu kebijakan tersebut dengan pembangunan tanggul pengaman pantai dan sungai serta pembangunan sistem polder dan pompa di wilayah utara Provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang juga menjadi salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional.

Pemerintah juga melakukan pembangunan Major Project Pengaman Pesisir 5 Perkotaan Pantura Jawa yakni Jabodetabek, Cirebon Raya, Kedungsepur, Petanglong, dan Gerbangkertosusila (Jawa Timur). Pemerintah juga menyediakan akses air minum perpipaan, pemantauan penurunan tanah dan kualitas air, pembangunan tanggul pantai, serta pengolahan air limbah.

Selain itu, sebagai solusi jangka panjang, Pemerintah telah menyiapkan konsep pembangunan Giant Sea Wall yang salah satunya berada pada Jalan Tol Semarang – Demak. Konsep pembangunan Giant Sea Wall nantinya tidak hanya berperan sebagai bangunan pelindung, namun sekaligus juga sebagai sarana konservasi lingkungan kelautan dan perbaikan kehidupan masyarakat, peningkatkan penyediaan sanitasi, air bersih, konektivitas dan aksesibilitas, penciptaan lapangan kerja, serta penataan kawasan yang lebih adaptif dan inklusif.

Pulau Jawa menghadapi sejumlah tantangan daya dukung dan daya tampung seperti ancaman erosi, abrasi, banjir, penurunan permukaan tanah (land subsidence) di sepanjang daerah Pesisir Pantura Jawa yang be rvariasi antara 1-25 cm/tahun, serta kenaikan permukaan air laut sebesar 1-15 cm/tahun di beberapa lokasi. Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pertumbuhan di kawasan Pantura 20% dari GDP Indonesia dengan kegiatan industri, perikanan, transportasi, dan pariwisata.

Jumlah penduduk di Pantura itu 50 juta, jadi yang terdampak 50 juta orang. Nah, tentu tidak hanya membahayakan kelangsungan ekonomi dan infrastruktur tetapi juga kelangsungan hidup masyarakat,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan opening speech pada Seminar Nasional: Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa, Melalui Pembangunan Tanggul Pantai Dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall), Rabu (10/01).

Medskipun akan memberikan keuntungan ekologi dan ekonomi, namun pemerintah disarankan agar tetap cermat dalam mengeluarkan kebijakan. Sebab, pembangunan Giant Sea Wall tak sekadar memberikan dampak ekologi dan ekonomi saja, namun perlu diperhatikan dampak geo politiknya. Hal ini lantaran, konsep Giant Sea Wall yang diusung berbeda dengan konsep yang digagas di era Presiden Soeharto. Di rezim Orde Baru, pembangunan Giant Sea Wall difokuskan di pesisir pesisir pantai atau di coastal area. “Yang sekarang ada reklamasinya. Jaman Orde Baru, hanya dibikin tembok tinggi. Sekarang Giant Sea Wall akan menjadi connecting ke pulau-pulau baru,”ungkap Pakar Infrastruktur Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII) Leny Maryouri.

Dia mengakui, dri sisi ekonomi, pembangunan Giant Sea Wall mempercepat dana investasi yang masuk. Bahkan, roda ekonomi diperkirakan berputar dua kali lebih cepat dibandingkan nilai investasi yang ditanamkan. “Itu karena pulau-pulau seperti reklamasi di teluk jakarta bisa dijual langsung ke asing dnegan harga mahal,”imbuhnya. Dengan adanya pulau-pulau baru dengan Giant Sea Wall sebagai jembatan interkoneksi, dikhawatirkan, pihak asing akan menguasai sebagian besar kawasan-kawasan baru yang terbentuk saat pengembangan Giant Sea Wall. “Jangan sampai hal itu terjadi, karena ini menyangkut kedaulatan negara,”sebutnya.

Selain itu, dari aspek ekologi, pemerintah juga disarankan untuk melakukan evaluasi dari sisi hulu. Leny memberikan contoh, di Jakarta, ada 13 sungain yang bermuara di teluk Jakarta. Apabila mutu air yang dibuang di teluk jakarta itu tidak baik, dikhawatrkan akan menyebabkan pencemaran. “Di Jakarta contohnya, jika air kotor akan menjadi racun untuk seluruh area. Kalo misalnya dibangun Giant Sea Wall dibangun, kebersihan air yang bermuara ke teluk Jakarta airnya harus bersih,”tutupnya.

Giant Sea Wall memang tak sekadar menghadirkan solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat abrasi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi pesisir. Namun, dari aspek geopolitik juga berpotensi menghadirkan ancaman bagi masyarakat dan bangsa. Karenanya, pemerintah yang akan datang harus cermat dan berhati-hati dalam menerbitkan kebijakan turunan yang mendukung pengembangan tanggul raksasa itu. (Anton Chrisbiyanto)

Bendungan Raksasa Selamatkan Masa Depan Belanda

Bendungan Raksasa Selamatkan Masa Depan Belanda
(Dam laut di Belanda bukan hanya untuk menyelamatkan daratan semata, tetapi juga digunakan untuk pariwisata. Foto/AP)

Setelah beberapa banjir dahsyat di awal abad ke-20, pemerintah Belanda memutuskan untuk membangun bendungan buatan besar di Laut Utara untuk melindungi negara tersebut dari banjir di masa mendatang. Belanda adalah salah satu negara paling inovatif di Eropa dalam menanggulangi naiknya permukaan air laut.

Orang Belanda tidak asing lagi menghadapi pasang surut. Selama bertahun-tahun, negara yang tergenang air ini telah menanggulangi ancaman naiknya permukaan air laut dengan infrastruktur ambisius yang dirancang untuk menahan air laut agar tidak naik.

Penghalang gelombang badai Maeslant di Nieuwe Waterweg di Belanda Selatan merupakan salah satu keberhasilan besar. Dibangun antara tahun 1991 dan 1997, penghalang ini merupakan bagian dari Delta Works, yang dirancang untuk menanggapi prediksi ketinggian air yang dihitung oleh sistem komputer terpusat.

Penghalang ini menutup secara otomatis ketika Rotterdam terancam banjir, melindungi satu setengah juta orang. Gerbang akan ditutup jika air diperkirakan naik tiga meter atau lebih.

Baca Juga : Menangani sampah mengatasi banjir

Menurut Marc Walraven, Penasihat Senior Penghalang Gelombang Badai, penghalang ini dirancang dengan mempertimbangkan naiknya permukaan air laut - dibangun agar dapat bertahan sekitar 100 tahun. Ia mampu menahan kenaikan lima meter sebelum perubahan signifikan diperlukan.

"Pada kenyataannya, kami telah menutup dua kali dalam 25 tahun. Kami berharap untuk menutup lebih sering di masa mendatang tentu saja kami memperhitungkan kenaikan permukaan laut sekitar 50 cm. Namun tentu saja, kami tidak dapat memprediksi masa depan secara tepat, jadi kami berharap kami perlu melakukan perubahan yang memungkinkan antara tahun 2060 dan 2090," katanya, dilansir Euro News.

Penghalang tersebut diuji setahun sekali, menarik perhatian ratusan orang.
Apakah permukaan laut naik? Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, permukaan laut saat ini naik lebih dari dua kali lebih cepat daripada di abad ke-20.

Pada bulan Oktober 2021, Institut Meteorologi Kerajaan Belanda (KNMI) merilis laporan yang menunjukkan bahwa tingkat perhitungan awal kenaikan air diremehkan.

"Jika kita tidak mengurangi emisi gas rumah kaca, permukaan laut di lepas pantai Belanda dapat naik hingga 1,2 meter sekitar tahun 2100 dibandingkan dengan awal abad ini. Jika pencairan Lapisan Es Antartika di Kutub Selatan semakin cepat, kenaikan permukaan laut hingga 2 meter pada tahun 2100 pun sudah di depan mata. Pada tahun 2014, KNMI menghitung bahwa batasnya akan menjadi satu meter pada tahun 2100. Jadi, kenaikan permukaan laut yang dihitung kini telah direvisi ke atas."

Namun, strategi bendungan, tanggul, dan gelombang badai yang telah ada selama berabad-abad mungkin bukan satu-satunya solusi untuk melindungi masa depan Belanda.

Inovasi juga dilihat sebagai jawaban oleh seorang pengusaha lokal.
Terletak di Merwehave, Peternakan Terapung Rotterdam adalah peternakan terapung pertama di dunia. Peternakan ini menampung 40 sapi, yang susunya diproses di bawah dek. Idenya lahir setelah Badai Sandy melanda New York pada tahun 2012 - saat makanan cepat habis.

Baca Juga : Belajar dari Belanda, Bagaimana Berteman dengan Air dan Mengatasi Banjir

"Penyediaan makanan di kota sangat bergantung pada logistik. Dan jika terjadi banjir, tidak ada lagi logistik," jelas Minke van Wingerden, salah satu pendiri Peternakan Terapung.
"Lalu kami punya ide bahwa jika Anda membangun dengan cara yang adaptif terhadap iklim, artinya Anda bergerak naik dan turun mengikuti pasang surut, di atas air, Anda tidak terlalu bergantung pada logistik."

Ide itu menyebar - Singapura dan Dubai telah menyatakan minatnya untuk membuka peternakan terapung mereka sendiri.
Sementara itu, Belanda terus beradaptasi dengan krisis iklim, penghalang seperti Maeslantkering memberi orang keyakinan bahwa mereka dapat menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti.(Andika Hendra Mustaqim)

Jakarta Tenggelam Bukan Lagi Ancaman

Jakarta Tenggelam Bukan Lagi Ancaman
(Bangunan Masjid Wal Adhuna yang berada di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, salah satu saksi bisu bagaimana kawasan pesisir Ibu Kota perlahan tenggelam. Foto: MPI/Yohannes Tobing)

BANYAK pihak bahkan riset yang menyebutkan bahwa Jakarta akan tenggelam dalam beberapa dekade mendatang. Sinyal Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan pernah disampaikan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Hal ini selaras dengan laporan Badan Antariksa AS (NASA) pada 2019 dan laporan analisis Greenpeace yang memprediksi banjir akan menenggelamkan Jakarta. Sementara itu merujuk pada laporan analis bisnis Verisk Maplecroft (12/5) menempatkan Jakarta di peringkat teratas kota paling rentan krisis iklim dari 576 kota besar di dunia.

Sesungguhnya tanda-tanda Jakarta akan tenggelam bukan lagi ancaman atau isapan jempol belaka. Sebuah masjid yang berdiri kokoh di kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara menjadi salah satu bukti atas riset tersebut karena strukturnya ambruk akibat naiknya permukaan air laut. Masjid Wal Adhuna yang terletak di belakang tanggul besar yang menampung air di pelabuhan Sunda Kelapa, tenggelam dalam 12 tahun terakhir. Separuh bangunan masjid terendam air laut, cat mulai terkelupas dan dilumuri lumut, selain itu sebagian atapnya sudah hancur. Sebelumnya, masjid sering menjadi fokus jamaah untuk menunaikan salat lima waktu dan salat Idul Fitri.

Baca Juga : Deretan Kota Pesisir yang Paling Cepat Tenggelam, Jakarta Peringkat Berapa?

Menghimpun data dan riset dari berbagai sumber, Litbang MPI menyebutkan saat ini ada tiga wilayah di Jakarta Utara terancam tenggelam pada 2050. Pertama, wilayah Muara Baru yang diprediksi akan tenggelam sedalam 4,6 meter jika tidak segera dilakukan pencegahan banjir rob. Tahun 2020 saja Muara Baru sudah minus 1 meter di bawah permukaan air laut.
Kedua, wilayah Pluit juga diprediksi tenggelam sedalam 4,35 meter. Pada Oktober 2021, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, Pluit adalah kawasan dengan penurunan muka tanah paling parah. Pluit lokasinya dekat dengan pesisir laut, selain juga banyak air tanah yang diambil. Karena itu, Menteri PUPR mengimbau masyarakat mengurangi penggunaan air tanah.

Ketiga, wilayah Kamal Muara yang diprediksi tenggelam dan berada 3 meter di bawah permukaan laut. Sejauh ini, Pemprov DKI berupaya mengendalikan wilayah pesisir dengan pembangunan tanggul pantai guna memitigasi kenaikan muka air laut. Selain itu, diterapkan pula sistem polder guna membuang air tergenang di permukaan yang berada di bawah permukaan air laut.

Peneliti Geodesi dan Geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menjelaskan bahwa sekitar 9.000 hektare lahan Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. Namun, lahan tersebut tetap kering saat ini karena adanya tanggul laut dan tanggul sungai. Pada tahun 2021, sebanyak 14 persen wilayah Jakarta sudah berada di bawah laut. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 28 persen pada 2050. Fenomena ini disebabkan oleh kombinasi dua faktor. Faktor utama adalah naiknya level air laut akibat pemanasan global yang melelehkan gunung es di kutub utara serta selatan.

Merujuk data satelit yang dikumpulkan ITB selama 20 tahun, kenaikan permukaan air laut di perairan Indonesia diperkiraan sekitar 3 - 8 mm per tahun. Sementara itu, faktor kedua adalah turunnya permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan. Beberapa tempat di Jakarta, seperti Muara Baru, sudah turun sejauh 1 meter. “Perlu intervensi dari pemerintah agar ancaman Jakarta tenggelam bisa diatasi. Jika usaha kita tidak maksimal, maka pada tahun 2050 penurunannya akan mencapai 4 meter,” kata Heri, seperti dilansir dari itb.ac.id.

Sementara itu, sebagai solusi cepat mengatasi banjir dan supaya Jakarta tidak tenggelam, para pihak terkait terutama Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono segera mempercepat pembangunan megaproyek Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Raksasa yang membentang di sepanjang Pantai Jakarta. Diketahui, Proyek Strategis Nasional (PSN) pembangunan tanggul laut Teluk Jakarta sepanjang 1.458 meter ditargetkan rampung pada akhir 2024. Proyek ini merupakan upaya dalam melindungi wilayah sekitar dari ancaman banjir rob, terutama di area permukiman warga ketika air laut sedang pasang karena terjadi penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut.

Baca Juga : Ancaman Jakarta Tenggelam Nyata, DPRD DKI Minta Penggunaan Air Tanah Diatur Ulang

Executive Vice President (EVP) Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya (Persero), Adjib Al Hakim mengatakan, pihaknya menggarap pembangunan Pengaman Pantai di Pesisir Teluk Jakarta Tahap 6 Paket 4 yang terletak di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, serta Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, senilai Rp297 miliar. "Proyek Strategis Nasional ini dikerjakan untuk perkuatan serta peninggian tanggul laut, tanggul muara sungai maupun penataan kawasan pesisir pantai utara Jakarta dan sekitarnya, dengan progres saat ini mencapai 53,14 persen," ujar Adjib dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024).

Proyek yang telah dimulai sejak Desember 2022 lalu digarap melalui kerja sama operasi (KSO) dengan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (KSO Wika-Hutama Karya) dan ditargetkan rampung pada akhir Desember 2024. Memiliki total panjang 1.485 m, proyek ini terbagi ke dalam zona A, B dan C. Adapun jenis pekerjaan yang telah selesai digarap bersama KSO Wika-Hutama Karya yakni pada zona A meliputi pemancangan tiang beton tipe D800, pekerjaan cerucuk dan matras bambu, serta pemancangan tiang kotak berukuran 25 x 25 cm sebagai pondasi untuk dermaga akses nelayan.

Sementara, pekerjaan yang tersisa saat ini adalah pekerjaan timbunan sirtu pada zona A, pemancangan CCSP atau tanggul turap beton pipih tipe W400 pada zona B serta pekerjaan timbunan sirtu dan pemancangan CCSP tipe W450 pada zona C. Dalam pembangunan tanggul ini, terdapat desain berupa cerucuk dan matras bambu yang berfungsi untuk menahan struktur timbunan sirtu dan batu boulder. Selain itu, juga digunakan teknologi inner bore yang dimana proses pemasangan tiang pancang lebih ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi udara, polusi suara serta minim getaran.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjelaskan soal proyek tanggul sepanjang 1.664 meter di Pantai Dadap yang masuk dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Tanggul tersebut dibangun sebagai upaya mengatasi banjir rob di daerah pesisir. Dalam pembangunan program NCICD fase A ini, kementerian di bawah Basuki Hadimuljono ini bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pengerjaan tanggul pantai diharapkan dapat selesai pada 2025. Adapun pengerjaan Pemprov DKI terdiri dari 4 klaster. Di antaranya, Muara Angke, Pantai Mutiara, Ancol Barat, dan klaster Kali Blencong. Sementara bagian Kementerian PUPR adalah Pantai Kamal-Dadap, Cengkareng Drain, Muara Baru, Ancol Hilir, dan Kalibaru.

Adapun Konsep pengendalian banjir di pesisir Teluk Jakarta dilakukan dengan membangun infrastruktur berupa tanggul pantai dan muara sungai, sistem polder serta penataan drainase lingkungan. Garis pantai dan muara sungai yang kritis di pesisir Teluk Jakarta berdasarkan Detail Desain NCICD 2016 dan reviewnya sepanjang 46,2 km.

Nirwono Joga, dari Pusat Study Perkotaan, dalam kolom opini SINDO (2021) memaparkan, Jakarta masih dirundung beragam masalah lingkungan, mulai dari penurunan muka tanah akibat penyedotan air tanah tidak terkendali, kelangkaan air bersih, ancaman banjir, serta prediksi terancam tenggelam pada 2050.

Fenomena pemanasan global, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan telah memperparah dampak banjir yang mengancam kota-kota pesisir seperti Jakarta tenggelam, bisa dalam tempo 10 tahun atau 30 tahun. Menurut Nirwono, sejumlah langkah penanganan harus cepat dilakukan. Pertama, bagi Kota Jakarta, persoalan air harus lebih serius diatasi, mengingat Jakarta mengalami persoalan air bersih dan air tanah serta banjir di musim hujan. Pemprov Jakarta.

Selain meningkatkan jaringan perpipaan air bersih, Jakarta harus meningkatkan ketahanan air dengan mengoptimalkan sumber pasokan air, seperti air permukaan statis (situ/danau/embung/waduk), air permukaan dinamis (sungai, kanal), air hujan andalan, air tanah dangkal dan dalam, air laut (proses desalinasi), serta air olahan instalasi pengolahan air limbah berteknologi tepat guna.
“Ketika pasokan air bersih sudah terpenuhi semua, maka pada saat itulah pemerintah DKI harus menghentikan perizinan pengambilan/pemompaan air tanah dengan tegas di seluruh sektor mulai dari tingkat rumah tangga, gedung perkantoran/hotelpusat perbelanjaan, hingga kawasan industry,” kata dia.

Kedua, Jakarta harus fokus mengatasi banjir. Untuk mengatasi banjir kiriman, Pemprov Jakarta harus membenahi 13 sungai utama yang melintasi kota Jakarta secara bertahap dan berkelanjutan, baik dengan pendekatan normalisasi atau naturalisasi atau meadukan keduanya secara harmonis. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan (Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

Untuk menetapkan garis sempadan sungai harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, rencana tata ruang kota, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan akses bagi peralatan, bahan, dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan sungai. Penetapan sempadan melibatkan pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, serta partisipasi masyarakat.

Untuk sungai di dalam kawasan perkotaan, garis sempadan sungai pada sungai tidak bertanggul paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter; berjarak 15 meter dengan kedalaman lebih dari 3-20 meter; dan berjarak 30 meter dengan kedalaman lebih dari 20 meter.

Garis sempadan sungai pada sungai bertanggul paling sedikit berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Pemerintah daerah harus mengendalikan tata guna lahan sempadan sungai, membebaskan lahan di sepanjang sempadan sungai dan merelokasi penduduk ke rumah susun. Badan sungai diperlebar, dikeruk, dan diperdalam agar kapasitas daya tampung air sungai optimal, serta dihijaukan.

Ketiga, untuk mengantisipasi luapan air sungai, sepanjang sungai di kiri-kanan pada jarak tertentu disediakan (alami) atau dibangun (buatan) danau paparan banjir berupa situ, danau, embung, waduk (SDEW) yakni tempat tampungan air alami/buatan yang merupakan bagian dari sungai yang muka airnya terpengaruh langsung oleh muka air sungai. Garis sempadan SDEW paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi dan bebas dari bangunan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau).

SDEW berfungsi menurunkan rembesan horizontal, menahan tanah longsor, menurunkan suhu, menahan air, dan memperbaiki kualitas baku mutu air serta meningkatkan kualitas ekosistem dan keragaman satwa liar tepian air. Badan SDEW dikeruk, diperdalam, diperlebar, dan dihijaukan untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air sekaligus meredam banjir besar.

Keempat, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi dan berkolaborasi melakukan konservasi kawasan hutan lindung tempat sumber-sumber mata air. Garis sempadan mata air ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit berjarak 200 meter dari pusat mata air (PP No. 38/2011 tentang Sungai). Kawasan hutan lindung didukung kegiatan penghijauan/reboisasi kawasan perbukitan/pegunungan dan mengendalikan pembangunan fisik kawasan.

Pemprov Jakarta dapat mengembangkan hutan kota di kawasan perkotaan dan merestorasi hutan mangrove di kawasan pesisir pantai utara Jakarta untuk mengatasi banjir rob. Kawasan tepi pantai diperluas selebar 500 meter ke arah daratan dan dibebaskan dari permukiman. Muara sungai dikembangkan hutan bakau yang lebar dan rapat memagari tepian pantai hingga menyusup ke jantung kota melalui tepian sungai.

Hutan bakau yang luas, masif, dan tebal berfungsi meredam banjir rob (limpasan air laut), mengurangi sedimentasi, menahan abrasi pantai, mencegah intrusi air laut, meredam terjangan tsunami, menetralisasi pencemaran air laut, serta melestarikan habitat satwa liar ekosistem mangrove/pantai. “Jika itu semua dilakukan dengan serius, konsisten, dan berkelanutan, maka sinyal Jakarta akan tenggelam yang diprediksi Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, juga akan turut tenggelam,” tandasnya. (Hendri Irawan)
(edc)