Tiga Bulan Deflasi, Indikasi Merosotnya Daya Beli?
Mohammad Faizal
Selasa, 13 Agustus 2024, 16:33 WIB
Badan Pusat Statistik mencatat pada Juli 2024 kembali terjadi deflasi, 3 bulan beruntun sejak Mei 2024. Hal itu dinilai menjadi indikasi merosotnya daya beli.
Musabab 3 Bulan Deflasi, BPS: Bukan Karena Turunnya Daya Beli
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Juli 2024 kembali terjadi deflasi, yakni sebesar 0,18% atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024. Dengan ini, BPS mencatat IHK sudah mengalami deflasi 3 bulan beruntun, dari Mei hingga Juli 2024.
BPS juga mencatat, deflasi Juli 2024 sebesar 0,18% lebih dalam dibandingkan Juni 2024 yang sebesar 0,08% dan Mei 2024 0,03%.Setelah sebelumnya diramaikan oleh kabar maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri, terjadinya deflasi tak pelak menimbulkan tanda tanya, apakah ini indikasi turunnya daya beli?
Dalam konferensi pers mengenai perkembangan inflasi pada Kamis (1/8/2024) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menepis dugaan
tersebut. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, terjadinya deflasi beruntun bukan disebabkan oleh turunnya daya beli. Menurut BPS, deflasi semata disebabkan oleh melimpahnya suplai di pasar.
Baca Juga: Konsekuensi Mahal Pembunuhan Ismail "Karena suplai dari komoditas yang cukup di pasar, dan kemudian ini yang menyebabkan penurunan harga karena meningkatnya pasokan. Tidak bisa langsung disimpulkan ini penurunan daya beli, justru deflasi ini terjadi karena pasokan yang melimpah," kata Amalia dalam konferensi pers tersebut.
Dia mengungkapkan, deflasi pada Juli 2024 yang sebesar 0,18% itu didorong oleh deflasi komponen harga bergejolak. Komponen ini mengalami deflasi sebesar 1,92% dan memberikan andil deflasi sebesar 0,32%.
Amalia menuturkan, kelompok pengeluaran penyumbang deflasi terbesar adalah makanan minuman dan tembakau dengan deflasi
sebesar 0,97% dan memberikan andil deflasi 0,28%%.Lima komoditas tertinggi penyumbang deflasi pada Juli 2024 antara lain beras, tarif sekolah dasar swasta, kopi bubuk, cabai rawit, dan sigaret kretek tangan.
Jika dilihat sebaran menurut wilayah, BPS mencatat sebanyak 32 dari 38 Provinsi di Indonesia mengalami deflasi, sedangkan 6
lainnya mengalami inflasi. "Deflasi terdalam sebesar 1,07% terjadi di Sumatera Barat, sementara inflasi tertinggi terjadi di Papua Barat Daya sebesar 0,25%," ujarnya.
Pada Juli 2024, Amalia mengatakan, secara tahunan terjadi inflasi sebesar 2,13% dan secara tahun kalender terjadi inflasi 0,89%.
Sementara itu, kelompok pendidikan tercatat memberikan andil inflasi terbesar, yaitu 0,04% atau mengalami inflasi sebesar 0,69%.
Deflasi, Disyukuri Atau Diwaspadai?
Deflasi selama 3 bulan berturut-turut dari Mei hingga Juli tahun ini membuat sebagian ekonom menyalakan alarm ekonomi. Ekonom meyakini, fenomena ini wajib diwaspadai karena menjadi indikasi nyata melemahnya daya beli.
"Deflasi (beruntun ini) jadi alarm, karena di saat bersamaan rupiah melemah, di mana yang biasanya terjadi adalah imported inflation," ungkap Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Kamis (1/8/2024) lalu.
Alih-alih inflasi, kata dia, yang terjadi justru deflasi selama 3 bulan beruntun. Karena itu, menurut Bhima ini menjadi indikator
terjadinya pelemahan daya beli, khususnya pada kelas menengah. Indikasi itu menurutnya juga terlihat dari penurunan penjualan kendaraan bermotor, naiknya non-performing loan (NPL) KPR, dan melambatnya pertumbuhan tabungan perorangan.
Baca Juga: Saat Ormas Agama Tergoda Konsesi Tambang Batu Bara Lebih jauh, Bhima menilai deflasi ini menjadi indikasi bahwa pelaku usaha juga mulai tertekan. "Ini kalau deflasi berturut-turut justru menjadi indikasi adanya tekanan bagi pelaku usaha untuk menahan kenaikan harga di level konsumen, karena khawatir harga ritel naik banyak konsumen yang tidak sanggup dan menurunkan omzet penjualan," jelasnya.
Hal ini, lanjut dia, terjadi karena di saat biaya bahan baku dan mesin mengalami kenaikan, tetapi pelaku usaha pada saat yang sama tidak berani menaikkan harga jual. "Ini kan artinya pelaku usaha tidak diuntungkan dengan adanya deflasi. Deflasi justru
menunjukkan ada yang tidak beres dari geliat ekonomi, khususnya pasca-Lebaran," tandasnya.
Namun, lagi-lagi pendapat berbeda disuarakan oleh pemerintah. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo justru merasa bersyukur dengan terjadinya deflasi tiga bulan belakangan ini. Hal itu, kata dia, karena deflasi terjadi pada kelompok volatile food alias pangan.
Kelompok volatile food pada Juli 2024 tercatat mengalami deflasi sebesar 1,92%, lebih dalam dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,98%. Hal itu menurutnya menunjukkan bahwa harga pangan kian terjangkau oleh masyarakat.
"Nah, kalau pangannya turun, kan ini membantu kesejahteraan masyarakat. Masyarakat itu kan sebagian besar untuk pangan,"
ujarnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Jumat (2/8).
Antara Daya Beli dan Mimpi 8% Pertumbuhan Ekonomi
Deflasi yang terjadi secara berurutan tiga bulan terakhir menjadi perhatian Ekonom Indef Didik J Rachbini. Ekonom senior ini mewanti-wanti agar deflasi ini dicermati dengan baik, karena ini tidak terjadi begitu saja, tetapi menandakan rangkaian pengelolaan ekonomi yang kurang memadai.
"Deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas. Harga tidak naik, lalu kita secara individu yang mapan bersorak menikmatinya," kataDidik, Jumat (2/8/2024).
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa telah terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024. Ekonomi Indonesia mengalami deflasi 0,18% pada Juli 2024
dibanding dengan IHK bulan sebelumnya. Deflasi pada bulan Juli menandai turunnya IHK secara beruntun dalam 3 bulan terakhir.
Menurut Didik, deflasi ini secara umum merupakan gejala konsumen yang secara luas tidak bisa mengonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya memilih untuk menunda konsumsi. "Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makroekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya," terang Didik.
Didik berpendapat, deflasi yang terjadi saat ini dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap pada perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti saat ini. "Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan pengeluaran konsumsi. Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur," tuturnya.
Selain menerima deflasi beruntun, konsumsi lemah karena pendapatan turun dan PHK massal, pemerintah baru menurut dia juga mendapat warisan utang yang besar selama 10 tahun terakhir ini. Didik menilai, gabungan masalah industri yang berat, pengangguran, dan deflasi karena konsumsi menurun, membuat beban dunia usaha semakin berat.
"Saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Kadin (dan Mantan Kepala LP3E Kadin Pusat), melihat tidak banyak alternatif kecuali biaya produksi harus dipangkas, yang pada gilirannya memangkas pekerja menjadi lebih sedikit lagi," tandasnya.
Menurut Didik, dunia usaha mengalami penurunan pendapatan akibat konsumsi masyarakat turun sehingga dengan terpaksa memberhentikan pekerja atau mengurangi jam kerja. Dalam jangka yang lebih panjang, kata dia, bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah karena pada keadaan seperti ini pengusaha juga dapat memotong upah atau menghentikan kenaikan upah.
"Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian," jelasnya.
Didik pun meminta pemerintah untuk berhati-hati dengan kepala ular resesi yang bisa menghadang ekonomi karena deflasi yang
terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi, yang makin memburuk. Dia menjelaskan, penurunan harga menyebabkan
berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh. Hal ini dapat mengakibatkan resesi yang
berkepanjangan.
Investasi yang dilakukan dunia usaha pun tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi. Menurut dia, dunia usaha akan melakukan koreksi perencanaan dengan menunda atau membatalkan rencana investasi karena ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.
"Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8% jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri," pungkasnya.
Pertumbuhan Ekonomi Melambat, Konsumsi Jadi Tantangan Berat
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2024 mencapai 5,05% (yoy). Pertumbuhan ini melambat bila dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,11% (yoy) dan juga lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,17%.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud mengatakan, konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal II-2024. Dia menambahkan, kontribusi konsumsi rumah tangga
terhadap pertumbuhan ekonomi tercatat mencapai 54,53%. Karena itu, Edy menyimpulkan bahwa daya beli sejatinya masih mumpuni.
"Pada kuartal II-2024 komponen ini tumbuh cukup kuat yaitu sebesar 4,93%. Hal ini mengindikasikan masih kuatnya permintaan domestik dan daya beli masyarakat," kata Edy, Senin (5/8/2024). Senada, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun menilai pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2024 sejatinya masih cukup baik. "Saat ini BPS menyampaikan growth di kuartal kedua yang cukup baik," tegasnya.
Namun, Sri Mulyani mengakui bahwa momentum harus dijaga agar ekonomi tetap melaju dengan baik. Salah satunya adalah menjaga konsumsi. "Konsumsi, investasi, ekspor, impor, ini yang kita akan perhatikan," ujarnya seusai rapat terbatas di Kantor Presiden.
Sri Mulyani menambahkan, pada semester kedua, yaitu kuartal III dan IV, pemerintah akan melihat faktor yang mampu menjaga agar pertumbuhan ekonomi bisa tetap terjaga pada tingkat antara 5,1% hingga 5,2%. Tetapi, dia juga mengakui bahwa hal itu tidak
mudah. Pasalnya, saat ini perekonomian global cenderung mengalami perlemahan dan fragmentasi.
"Nah ini yang kami bersama Pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto) nanti dengan arahan Presiden Jokowi akan melakukan beberapa langkah kebijakan-kebijakan untuk 2024," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai tantangan ekonomi yang sebenarnya baru akan dirasakan pada kuartal III dan IV nanti. Menurutnya hal itu tercermin dari indikator PMI manufaktur yang berada di bawah angka 50, yang berarti sektor industri sedang mengerem pembelian bahan baku atau menahan ekspansi.
"Di kuartal II-2024 pertumbuhan ekonomi 5,05%, itu sebenarnya tantangan belum terlihat. Tantangan justru muncul di kuartal
III dan kuartal IV. Kenapa? Karena tekanan-tekanan ekonomi ini mulai kelihatan di kuartal III. Salah satunya Purchasing Managers' Index manufaktur yang sudah terlihat dalam kondisi tidak ekspansif atau di bawah angka 50," terang Bhima kepada SINDOnews.
Bhima juga menyoroti persoalan daya beli kelas menengah yang menurutnya masih lemah. Hal ini menjadi tantangan mengingat di kuartal III-2024 tidak ada peristiwa yang bisa mendorong lonjakan konsumsi rumah tangga, seperti Ramadan dan Lebaran.
Sementara, sektor konstruksi yang tumbuh 7,29% menurutnya masih ditopang oleh proyek pemerintah seperti percepatan penyelesaian proyek strategis nasional (PSN). Sedangkan sektor real estat hanya mampu tumbuh 2,16% yoy. "Ini sejalan dengan NPL KPR yang mulai menanjak sejak awal tahun," tuturnya.