Lebih Buruk dari Tragedi Hillsborough
KEMATIAN 125 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, selepas laga Arema FC versus Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) menjadi noda hitam bagi persepakbolaan Indonesia. Lebih dari itu, petaka ini bahkan lebih buruk dari Tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 suporter Liverpool FC pada 1989 silam.
Banyaknya korban meninggal dunia dalam Tragedi Kanjuruhan menyodok rekor kematian dalam peristiwa bencana stadion (stadium disaster) menjadi nomor dua di dunia. Kasus kematian terbanyak terjadi di Stadion Nasional di Lima, Peru pada 24 Mei 1964. Sebanyak 328 orang meninggal karena sesak napas dan/atau pendarahan internal, meskipun kemungkinan jumlah korban tewas lebih tinggi.
Pada 24 Mei 1964, tim nasional Peru dan Argentina diadu bersama di babak kualifikasi kedua dari belakang untuk turnamen Olimpiade Tokyo. Pertandingan yang diselenggarakan oleh Peru di Estadio Nacional (Stadion Nasional) di Lima itu menarik penonton berkapasitas maksimum 53.000. Pertandingan berlangsung sengit oleh kedua tim, dan dengan dua menit waktu normal tersisa, Argentina memimpin 1-0.
Secara ajaib, Peru mencetak gol menyamakan skor - tapi dianulir oleh wasit, ngel Eduardo Pazos (orang Uruguay yang dianggap condong ke arah kemenangan Argentina). Dalam rentang sepuluh detik, ribuan penggemar Peru berubah dari kegembiraan menjadi kemarahan. Bencana dimulai ketika salah satu penonton berlari ke lapangan dan memukul wasit. Ketika penggemar kedua bergabung, dia diserang secara brutal oleh polisi dengan tongkat dan anjing.
Situasi berubah menjadi kacau-balau. Dari semula satu-dua orang, dalam tempo cepat ribuan suporter merangsek ke tengah lapangan. Kerusuhan pecah dan polisi meluncurkan tabung gas air mata ke kerumunan, yang mendorong puluhan ribu penggemar untuk mencoba melarikan diri dari stadion melalui tangga.
Ketika penggemar mencapai bagian bawah lorong-lorong ini, mereka menemukan bahwa gerbang baja yang mengarah ke jalan terkunci rapat. Saat mereka berusaha untuk lari kembali, polisi melemparkan lebih banyak gas air mata ke dalam terowongan, memicu histeria massal dan menyebabkan kehancuran besar. Sebagai akibatnya, 328 orang tewas karena sesak napas dan/atau pendarahan internal, meskipun kemungkinan jumlah korban tewas lebih tinggi.
Di luar bencana di Peru, dalam sejarah sepak bola orang juga tak akan lupa dengan Tragedi Hillsborough. Kejadian memilukan ini tak lain peristiwa kematian 96 pendukung Liverpool FC pada 15 April 1989 di Hillsborough, markas tim Sheffield Wednesday di kota Sheffield, Inggris. Kematian dipicu bentrok antarsuporter dalam stadion.
Kala itu berlangsung laga Piala FA Liverpool melawan Nottingham Forest. Jumlah korban meninggal tersebut tercatat sebagai jumlah tertinggi dalam kecelakaan di stadium dalam sejarah Britania Raya hingga saat ini.
Berikut kasus kematian terbesar di stadion:1. Peru
Terjadi pada 24 Mei 1964. Sebanyak 328 orang meninggal di Estadio Nacional, Lima.
2. Indonesia
Terjadi pada 1 Oktober 2022. Sebanyak 129 orang tewas di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
3. Ghana
Terjadi pada 9 Mei 2002. Sebanyak 126 orang tewas di Accra Stadium.
4. Inggris
Terjadi pada 15 April 1989. Sebanyak 96 pendukung Liverpool tewas di Stadion Hillsborough, Sheffield, Inggris.
5. Nepal
Terjadi pada 12 Maret 1988. Sebanyk 93 orang tewas di Stadion Kathmandu.
Tragedi Kanjuruhan tak ayal menjadi sorotan dunia. Media-media asing memberitakan petaka memilukan ini. Media berpengaruh semacam The Guardian di Inggris maupun The New York Times menceritakan kematian massal yang bersumber dari tembakan gas air mata kepolisian ini.
The Guardian menyebutkan perkelahian dilaporkan dimulai saat ribuan suporter Arema berhamburan ke lapangan usai timnya kalah. Pemain Persebaya langsung meninggalkan lapangan, namun beberapa pemain Arema yang masih berada di lapangan juga ikut diserang.
"Laporan mengatakan banyak korban terjadi setelah polisi menembakkan gas air mata ke tribun penonton, menyebabkan kepanikan di antara pendukung di Stadion Kanjuruhan," tulis The Guardian.
The Guardian juga mengutip pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Wiyanto Wijoyo, mengatakan lebih dari 120 orang meninggal dunia. Para pejabat masih mengumpulkan jumlah korban yang terluka, tambahnya.
“Lebih dari 120 orang meninggal, mereka meninggal karena kekacauan, kepadatan, terinjak-injak dan mati lemas,” tegas Wiyanto, seraya menambahkan bahwa total yang terluka pasti lebih dari seratus dan dirujuk ke rumah sakit setempat yang berbeda.
Sementara itu, Associated Press dalam laporannya menyebutkan bahwa korban jiwa mencapai 127 orang termasuk dua petugas polisi.
"Lebih dari 300 orang dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mengobati luka-luka tetapi banyak yang meninggal dalam perjalanan dan selama perawatan," tulis Associated Press mengutip pernyataan Kapolda Jawa Timur Nico Afinta.
Menurut Nico polisi terpaksa menembakkan gas air mata setelah sejumlah tawuran antara para pendukung kedua tim pecah. Itu menyebabkan kepanikan di kalangan suporter.
Ratusan orang berlarian ke pintu keluar untuk menghindari gas air mata. Beberapa terjebak dalam kekacauan dan yang lainnya terinjak-injak, menewaskan 34 orang hampir seketika.
Sedangkan The New York Times dalam laporannya yang berjudul Riots at Indonesian Soccer Match Leave Several Fans Dead atau Kerusuhan di Pertandingan Sepak Bola Indonesia Menyebabkan Beberapa Fans Meninggal melaporkan bahwa petugas keamanan berusaha menjaga kerumunan dengan memukul dan menendang pendukung.
"Saat perkelahian pecah, pihak berwenang menembakkan gas air mata ke lapangan dan ke tribun. Satu video dari tempat kejadian menunjukkan penggemar melarikan diri dari awan gas air mata di lapangan. Outlet berita lokal mengatakan ribuan penggemar berjuang untuk bernapas dan beberapa akhirnya pingsan," tulis The New York Times.
[andryanto wisnuwidodo/berlianto]