Idul Fitri, Waktunya Manusia Kembali kepada Fitrah
Idul Fitri, Waktunya Manusia Kembali kepada Fitrah
Andryanto Wisnuwidodo
Sabtu, 07 Mei 2022, 15:07 WIB

Tanggal 1 Syawal dalam kalender Hijriyah adalah hari yang sangat dinanti umat muslim setelah sebulan penuh menjalankan kewajiban berpuasa selama bulan Ramadhan.

Idul Fitri Kembali ke Fitrah: Suci Jiwanya dan Suci Badannya

Idul Fitri Kembali ke Fitrah: Suci Jiwanya dan Suci Badannya

Tanggal 1 Syawal dalam kalender Hijriyah adalah hari yang dinanti umat muslim setelah sebulan penuh menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. 1 Syawal merupakan hari Idul Fitri yang diagungkan umat Islam selain Hari Raya Idul Adha.

Disebut 'Ied karena Allah melimpahkan rahmatNya kepada umat Nabi Muhammad shallallahu '‘alaihi wa sallam (SAW). Kalimat tersebut diterjemahkan menjadi 'semoga kita semua tergolong orang yang kembali (ke fitrah) karena berhasil dalam menahan diri (berpuasa)'.

Apa hikmah Idul Fitri bagi seorang muslim?
Setiap muslim yang kembali kepada fitrahnya akan memiliki sikap istiqomah memegang teguh agama tauhid yaitu Islam. Ia tetap berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Hidup dan Maha Sempurna, hanya kepadaNya tempat bergantung dan tempat kembali.

Dalam kehidupan sehari-hari ia akan selalu berbuat dan berkata benar. Seorang muslim tetap berlaku sebagai 'abid, yaitu menghamba kepada Allah dan mematuhi seluruh perintah-Nya. (Baca Juga: Idul Fitri dan Introspeksi Diri) Bagi umat muslim di Indonesia, hari raya Idul Fitri atau dikenal dengan istilah lebaran memiliki tradisi sendiri. Sebelum melaksanakan salat 'Ied, umat Islam lebih dahulu menunaikan kewajibannya membayar zakat.

Usai salat Id mereka akan berkumpul bersama keluarga merajut kembali silaturrahim yang sempat terabaikan. Hari 'Ied dijadikan sebagai momentum berbagi dan saling bermaafan. Ada juga memanfaatkannya dengan berziarah mendoakan sanak keluarga yang sudah meninggal dunia.

Seorang muslim akan kembali kepada. Selain menjadi hamba Allah yang bertakwa, ia akan memiliki kepekaan dan sosial dan kepedulian terhadap sesama (hablum-minannas).

Itulah gambaran seorang muslim yang kembali kepada fitrahnya setelah berhasil menjalani ibadah puasa Ramadhan selama sebulan. Mereka yang berhasil melewati ujian itu akan tampak adanya perubahan dan kebaikan pada dirinya.

Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki tanda-tanda perubahan ke arah lebih baik, itu artinya puasa dan pendidikan Ramadhan yang dijalaninya tidak berhasil alias berlalu begitu saja. Semoga Allah membimbing kita semua.

Pada hari yang fitri ini kita jangan bosan berdoa dan memohon kepada Allah agar senantiasa melimpahkan taufik dan hidayahNya. Sebab, tanpa rahmat dan kehendakNya, kita semua tidaklah mendapat curahan keberkahan dan kebahagiaan.

Mari kita hilangkan sifat hasad, benci, iri hati, permusuhan, kesombongan dan sifat bangga yang berlebihan sebagaimana kita mengagungkan Allah dalam syiar takbir. Taqobballahu minna wa minkum, semoga Allah menerima amal ibadah kita semua. Aamin.

Sejarah Idul Fitri dan Perayaannya

Sejarah Idul Fitri dan Perayaannya

Tahukah bahwa Idul Fitri, Ramadhan dan Perang Badar ternyata sangat berkaitan. Bila kita menengok sejarah masa lalu, perayaan Idul Fitri pertama kali diselenggarakan pada 624 Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah.

Waktu perayaan tersebut bertepatan dengan selesainya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Perang yang terjadi pada Ramadhan itu dengan jumlah pasukan di sisi umat Muslim yang jauh lebih sedikit dibanding kaum kafir, nyatanya diganjar Allah dengan perayaan yang luar biasa indah dan barokah: Idul Fitri .

Karena kemenangan inilah maka lahirlah ungkapan “Minal ‘Aidin wa Faizin” yang memiliki versi lengkapnya yaitu “Allahummaj ‘alna minal ‘aidin walfaizin” yang berarti Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali (dari Perang Badar) dan mendapatkan kemenangan.

Dalam buku 'Hayatu Muhammad', Husein Haikal menjelaskan, sejak awal Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam tidak pernah menginginkan peperangan, namun peperangan ini dipicu oleh aksi monopoli pasar dan blokade aktivitas dagang oleh kaum Quraisy Mekah terhadap Muslim Madinah. Pada hari ke-8 Ramadhanlah perang ini dimulai.

Dengan tentara yang berjumlah 1000, pasukan Abu Jahal dan kafilah Abu Sufyan dari Syam menyerbu. Saat itu Nabi hanya membawa 300 sahabat menuju Badar. Selanjutnya disebutkan dalam Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources karya Martin Lings, bahwa di Badarlah perang ini berlangsung pada pagi 17 Ramadhan.

Dengan didampingi Sahabat yakni Hamzah, Umar, Ali, dan ‘Ubaidah, Nabi memimpin 300 pasukan melawan 1000 pasukan. Raut cemas menyelimuti wajah Nabi. Bahkan Abu Bakar, sahabat Nabi dapat menangkap kecemasan tersebut. Hingga turunlah satu ayat Al-Qur’an yang menenangkan gelombang kecemasan tersebut yaitu Surat Al Anfal ayat 65.

"Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS. Al Anfal: 65).

Berkat keteguhan iman, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya dapat memenangkan peperangan dengan waktu yang lumayan singkat. Dengan luka di tubuh, Rasulullah dan para sahabat melangsungkan shalat Ied pertamanya. Dalam suasan tersebut, para sahabat saling bertemu dengan mengucapkan doa “Taqabbalallahu minna waminkum” yang artinya semoga Allah menerima ibadah kita semua.

Asal Mula Perayaan Idul Fitri

Dalam ‘Ensiklopedi Islam‘ disebutkan, bahwa jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Arab sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan, keduanya berasal dari zaman Persia Kuno. Biasanya, mereka merayakan kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora.

Seiring dengan masuknya ajaran Islam dan turunnya perintah untuk menunaikan puasa di bulan Ramadhan, kedua hari raya yang telah mengakar di kalangan kaum Anshar kemudian diganti dengan Idul Fitri dan Idul Adha.

Hal ini didasarkan hadis berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud dan an-Nasa’i dengan sanad hasan)

Di Idul Fitri pertama inilah kaum muslimin merayakan dua kemenangan perdana, yaitu pencapaian ritual puasa Ramadhan dan keberhasilan di Perang Badar. Narasi antarkedua peristiwa ini menjadi relasi yang tak terpisahkan dalam memaknai kemenangan; dari perspektif spiritual, juga sosial.

10 Kebiasaan Rasulullah SAW dalam Merayakan Idul Fitri

10 Kebiasaan Rasulullah SAW dalam Merayakan Idul Fitri

Bagi kaum muslimin, lebaran atau Idul Fitri merupakan hari kemenangan, setelah 30 hari menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Kue, pakaian baru, minyak wangi, adalah sebagian dari simbul hari raya itu.

Merayakan Idul Fitri sudah dicontohkan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (SAW). Merujuk buku How Did the Prophet & His Companions Celebrate Eid?, Rasulullah SAW dan umat Islam pertama kali menggelar perayaan hari raya Idul Fitri pada tahun kedua Hijriyah (624 M) atau usai Perang Badar.

Dari beberapa riwayat disebutkan bahwa ada beberapa hal yang dilakukan Rasulullah saw untuk menyambut dan merayakan hari Idul Fitri.

1. Takbir.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengumandangkan takbir pada malam terakhir Ramadhan hingga pagi hari satu Syawal.
Allah SWT berfirman:

وَلِتُكْمِلُواالْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوااللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ


Artinya: “Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa serta bertakbir (membesarkan) nama Allah atas petunjuk yang telah diberikan-Nya kepadamu, semoga dengan demikian kamu menjadi umat yang bersyukur.” (QS. Al Baqarah : 185)

2. Segera Membayarkan Zakat.
Zakat dalam Islam merupakan salah satu rukun islam yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Banyak sekali kegunaan zakat bagi orang-orang yang membutuhkan. Kewajiban membayar zakat adalah sebagai berikut,

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمَرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ اَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى


Artinya: “Rasulullah SWT memerintahkan zakat fitrah pada orang-orang di bulan Ramadhan kepada manusia satu sha’ dari tamar (dua setengah kilo beras) atas orang-orang yang merdeka atau hamba laki-laki atau perempuan” (Al Hadis)

3. Memakai pakaian terbaik.
Pada hari raya Idul Fitri, Rasulullah mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya.

Sebuah hadis telah menyebutkan:

اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْعِيْدَيْنِ اَنْ نَلْبَسَ اَجْوَدَ مَا نَجِدُ وَاَنْ نَتَطَيَّبَ بِاَجْوَدِ مَانَجِدُ وَاَنْ نُضَحِّيَ بِاَثْمَنِ مَا نَجِدُ (رواه الحاكم


Artinya: “Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk mengenakan yang terbaik dari apa yang kita temukan dan memakai wewangian dan mengurbankan hal yang paling berharga yang kita temukan.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim)

4. Makan terlebih dahulu
Salah satu hari yang diharamkan berpuasa adalah hari raya Idul Fitri. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa berniat tidak puasa pada saat hari Idul Fitri itu pahalanya seperti orang yang sedang puasa di hari-hari yang tidak dilarang.

Sebelum salat Idul Fitri, Rasulullah saw. biasa memakan kurma dengan jumlah yang ganjil; tiga, lima, atau tujuh. Jadi, makan dulu sebelum salat merupakan sunnah pada saat hari raya Idul Fitri.

Dalam sebuah hadits menjelaskan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَايَغْدُوْ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْ كُلُ ثَمَرَاتٍ وَيَأُكلُهُنَّ وِتْرًا


Artinya, "Pada waktu Idul Fitri Rasulullah saw tidak berangkat ke tempat salat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

5. Mengambil jalan yang berbeda
Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang salat Ied memiliki makna yang dalam di mana Rasulullah SAW ingin bertemu dengan orang-orang di sekitar perjalanan guna menyebarkan syiar Islam.

Kebiasaan Rasulullah ini terekam dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melaksanakan salat id, beliau memilih jalan yang berbeda (ketika berankat dan pulang).” (HR. Bukhari no. 986).

6. Salat Id
Rasulullah menunaikan salat Idul Fitri bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya –baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak.

Seluruh kalangan baik laki-laki maupun perempuan yang suci maupun sedang haid untuk keluar dan merayakan idul fitri. Hal ini dijelaskan dalam hadis berikut,

أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فَنُخْرِجَ الحُيَّضَ، وَالعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَأَمَّا الحُيَّضُ؛ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ، وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلْنَ مُصَلَّاهُم


Artinya: “Kami memerintahkan untuk keluar (ketika hari raya), dan mengajak keluar wanita haid, para gadis, dan wanita pingitan. Adapun para wanita haid, mereka menyaksikan kegiatan kaum muslimin dan khutbah mereka, dan menjauhi tempat shalat.” (HR. Bukhari 981, Muslim 890).

7. Mengakhirkan Salat Id
Rasulullah juga mengakhirkan pelaksanaan salat Idul Fitri, biasanya pada saat matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah.

Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : “Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih” '

Berkata Ibnul Qayyim : “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit” [Zadul Ma’ad 1/442]

Shiddiq Hasan Khan menyatakan : “Waktu salat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari” [Al-Mau’idhah Al-Hasanah 43,44]

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi : Waktu salat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, salat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fitri mereka” [Minhajul Muslim 278]

8. Ucapan Hari Raya
Ucapan hari raya tentu salah satu momen yang tidak mungkin dilupakan oleh seluruh umat muslim. Ada baiknya mengucapkan

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ


Artinya: “Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian).”

9. Bersilaturahim
Mengunjungi rumah sahabat. Tradisi silaturahim saling mengunjungi saat hari raya Idul Fitri sudah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika Idul Fitri tiba, Rasulullah mengunjungi rumah para sahabatnya. Begitu pun para sahabatnya.

Pada kesempatan ini, Rasulullah dan sahabatnya saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Sama seperti yang dilakukan umat Islam saat ini. Datang ke tempat sanak famili dengan saling mendoakan. Menjaga silaturahim merupakan keharusan bagi umat Islam. Seorang muslim tidak dapat hidup sendiri melainkan saling membantu. Berkumpul dengan sanak saudara dan tetangga akan menjalin hubungan yang semakin baik.

10. Mendatangi tempat keramaian.
Suatu ketika saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah menemani Sayiddah Aisyah mendatangi sebuah pertunjukan atraksi tombak dan tameng. Bahkan saking asyiknya, sebagaimana hadis riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Aisyah sampai menjengukkan (memunculkan) kepala di atas bahu Rasulullah sehingga dia bisa menyaksikan permainan itu dari atas bahu Rasulullah dengan puas.

Sebagai orang yang beriman, kita dianjurkan meniru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun kita tidak mengetahui maksud dan hikmah dari perbuatan beliau.

Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً


“Sungguh telah ada teladan yang baik dalam diri Rasulullah, bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir, dan banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan: “Ayat ini merupakan dasar pokok terkait sikap meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan, perbuatan, dan semua keadaan beliau. (Tafsir Ibn Katsir, 6:391).

Sayangnya, di antara sunnah Nabi SAW ini sebagian tidak bisa dijalankan ummat Islam saat ini di tengah wabah corona. Hanya saja, silaturahim bisa dilakukan melalui media sosial, dengan mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian).” Bisa juga melalui video call dsb. Semoga makna lebaran tahun ini tak berkurang walaupun dilakukan dengan cara terbatas. Amin

Idul Fitri Sebagai Pengingat Akan Akhirat, Ini Kata Imam Ghazali

Idul Fitri Sebagai Pengingat Akan Akhirat, Ini Kata Imam Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam masterpiece-nya, Ihya ‘Ulumiddin berpesan, “Setelah selesai berpuasa, tanamkanlah dalam hati antara rasa takut (khauf) dan harap (raja’). Karena seseorang tidak tahu, apakah puasanya diterima, sehingga termasuk hamba yang dekat dengan Allah. Atau sebaliknya, puasanya ditolak, sehingga termasuk orang yang mendapat murka dari-Nya. Hendaklah setiap selesai beribadah tanamkan rasa seperti itu.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, cetakan al-Haramain, juz 1, hal. 236)

Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, di laman resmi Nahdlatul Ulama menulis rasa takut (khauf) dan harap (raja’) bagaikan dua sayap seekor burung. Jika hanya satu sayap saja, seekor burung tidak mungkin terbang dengan sempurna. Jika tidak memiliki keduanya, sayap kanan dan sayap kiri, maka burung itu akan jatuh dan tidak bisa terbang lagi.

Demikian juga seorang Mukmin ketika telah melakukan ibadah. Usai ibadah itu dilaksanakan, dalam hati harus ditanamkan rasa takut dan harap. Takut, jikalau ibadahnya tidak diterima. Juga harus berharap agar ibadahnya diterima dan mendapat balasan surga dari-Nya.

Antara khauf dan raja’ harus imbang. Jika rasa khauf (takut) berlebih, akan terlalu takut terhadap dosa dan menganggap kesalahan tidak bisa diampuni, sementara sejatinya Allah maha pemurah dan maha pengampun. Sehingga bisa timbul rasa putus asa atas ampunan dan rahmat (kasih sayang Allah). Begitu juga sebaliknya, tidak boleh raja’ (berharap) berlebih, karena bisa berakibat berharap berlebih akan diterimanya suatu amal perbuatan dan diampuninya dosa. Sehingga dikhawatirkan akan meremehkan dosa itu sendiri.

Setelah satu bulan berpuasa dengan segala amal ibadah di dalamnya, kita juga harus tanamkan rasa takut dan harap. Tentu, selama satu bulan itu tidak sedikit kemaksiatan yang telah kita lakukan. Kita harus takut; jangan-jangan puasa kita tidak diterima. Tapi, di sisi lain juga harus diimbangi rasa harap; mengharapkan akan diterimanya segala amal ibadah yang kita lakukan selama bulan puasa dan berharap diampuninya semua kesalahan yang telah dilakukan.

Gambaran khauf dan raja’ adalah sebagaimana hadis berikut,

لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ


Artinya, “Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di si Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang kafir pun yang berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya.” (HR. Abu Hurairah)

Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri dalam Durratun Nashihin menceritakan kisah seorang laki-laki yang bernama Shalih bin Abdullah ketika bertemu dengan hari raya Idul Fitri. Berikut kisahnya:

Saat Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdullah akan pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat. Usai shalat, Shalih langsung pulang ke rumahnya. Lalu ia kumpulkan seluruh keluarganya. Di hadapan keluarganya itu, ia mengikat lehernya dengan rantai besi dan menaburkan abu di kepala serta sekujur tubuh. Kemudian ia menangis dengan begitu keras. Melihat keganjilan itu, keluarganya heran dan bertanya, “Wahai Shalih, bukankah ini hari raya, hari bersuka cita. Kenapa engkau bersedih seperti ini?”

Shalih menjawab, “Aku tahu ini adalah hari raya Idul Fitri. Tapi, selama ini aku telah melaksanakan perintah-perintah Allah, dan aku tidak tahu, apakah amalku diterima atau tidak?!”

Lalu Shalih duduk di emperan mushola. Lagi-lagi, keganjilan Shalih itu memancing perhatian warga. “Mengapa engkau tidak duduk di tengah mushola saja?” tanya warga.

Shalih menjawab, “Aku datang untuk meminta belas kasih (rahmat) Allah, maka di sini lah tempat yang layak untuk seorang peminta.” (lihat Durratun Nashihin, hal 277)

Kisah Shalilh tersebut memiliki pesan moral yang sangat mendalam. Saat Idul Fitri tiba, kebanyakan orang memaknai hari itu sebagai hari bersuka cita. Sampai kadang terlalu larut dalam kesenangan dunia. Itulah mengapa pada malam Idul Fitri, Rasulullah menganjurkan kita untuk menghidupkankannya dengan beribadah dan memperbanyak mengingat Allah.

Rasulullah saw pernah bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)


Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR. As-Syafi’i dan Ibn Majah).

Idul Fitri bukanlah momen berfoya-foya dengan kesenangan duniawi. Apalagi sampai lupa kepada Allah SWT. Justru, menurut Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri, hikmah adanya Idul Fitri di dunia adalah sebagai pengingat akan akhirat.

Saat Idul Fitri, kita akan menyaksikan begitu banyak orang keluar rumah dengan segala macam rupanya, sebagaimana nanti di akhirat kelak. Sebagian mereka ada yang berjalan kaki, ada berkendara, ada yang memakai baju dan tidak, ada yang busananya begitu mewah, ada yang berbusana biasa saja, ada yang tertawa gembira, dan ada pula yang berduka (liat Durratun Nashihin, hal 277-278)
(aww)