Mendorong Pertumbuhan di Tengah Tantangan dan Ketidakpastian
Rabu, 15 Januari 2025 - 17:36 WIB
Memasuki tahun 2025, geliat perekonomian menjadi perhatian bersama. Di tengah optimisme Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi masing-masing 5,2% dan di 4,8-5,6%, disadari pula bahwa banyak tantangan untuk menggapainya.
Dari luar, tantangan yang paling utama adalah ketidakpastian global pada 2025. Ketegangan geopolitik, risiko perang dagang antara negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia, adalah beberapa tantangan di antaranya. Tak heran jika Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global pada tahun 2025 hanya akan tumbuh tipis, masing-masing dengan proyeksi 2,7% dan 3,2% saja.
Sementara di dalam negeri, sejumlah ekonom menilai bahwa tantangan laju pertumbuhan ekonomi lebih beragam lagi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, salah satunya berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. Bhima memperkirakan, ekonomi tahun ini hanya akan tumbuh di kisaran 4,7% hingga 4,9%, lebih rendah dari asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025 yang menyepakati target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.
"Untuk outlook ekonomi dari segi makro, kami proyeksikan pertumbuhan ekonomi ini berkisar 4,7% sampai dengan 4,9% untuk 2025, itu salah satunya dengan asumsi bahwa 10 pungutan baru yang rencananya dimulai tahun ini diimplementasikan," kata Bhima kepada SINDOnews.
Celios mencatat bahwa 10 pungutan baru itu termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dana pensiun wajib, asuransi kendaraan tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability), tabungan perumahan rakyat (Tapera), dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Selain itu, kemungkinan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan UKT, berakhirnya keringanan PPh UMKM 0,5%, kenaikan harga BBM, serta penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK. Bhima memastikan, pungutan-pungutan baru tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat.
Dari luar, tantangan yang paling utama adalah ketidakpastian global pada 2025. Ketegangan geopolitik, risiko perang dagang antara negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia, adalah beberapa tantangan di antaranya. Tak heran jika Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global pada tahun 2025 hanya akan tumbuh tipis, masing-masing dengan proyeksi 2,7% dan 3,2% saja.
Sementara di dalam negeri, sejumlah ekonom menilai bahwa tantangan laju pertumbuhan ekonomi lebih beragam lagi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, salah satunya berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. Bhima memperkirakan, ekonomi tahun ini hanya akan tumbuh di kisaran 4,7% hingga 4,9%, lebih rendah dari asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025 yang menyepakati target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.
"Untuk outlook ekonomi dari segi makro, kami proyeksikan pertumbuhan ekonomi ini berkisar 4,7% sampai dengan 4,9% untuk 2025, itu salah satunya dengan asumsi bahwa 10 pungutan baru yang rencananya dimulai tahun ini diimplementasikan," kata Bhima kepada SINDOnews.
Celios mencatat bahwa 10 pungutan baru itu termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dana pensiun wajib, asuransi kendaraan tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability), tabungan perumahan rakyat (Tapera), dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Selain itu, kemungkinan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan UKT, berakhirnya keringanan PPh UMKM 0,5%, kenaikan harga BBM, serta penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK. Bhima memastikan, pungutan-pungutan baru tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat.