Mendorong Pertumbuhan di Tengah Tantangan dan Ketidakpastian

Mendorong Pertumbuhan di Tengah Tantangan dan Ketidakpastian

Mohammad Faizal
Rabu, 15 Januari 2025, 17:36 WIB

Tahun 2025 diprediksi penuh tantangan, dimana pertumbuhan ekonomi dibayangi beragam ketidakpastian mulai dari ketegangan geopolitik hingga risiko perang dagang.

Menaksir Perekonomian Nasional di Tengah Ketidakpastian Global

Menaksir Perekonomian Nasional di Tengah Ketidakpastian Global

Memasuki tahun 2025, geliat perekonomian menjadi perhatian bersama. Di tengah optimisme Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi masing-masing 5,2% dan di 4,8-5,6%, disadari pula bahwa banyak tantangan untuk menggapainya.

Dari luar, tantangan yang paling utama adalah ketidakpastian global pada 2025. Ketegangan geopolitik, risiko perang dagang antara negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia, adalah beberapa tantangan di antaranya. Tak heran jika Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global pada tahun 2025 hanya akan tumbuh tipis, masing-masing dengan proyeksi 2,7% dan 3,2% saja.

Sementara di dalam negeri, sejumlah ekonom menilai bahwa tantangan laju pertumbuhan ekonomi lebih beragam lagi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, salah satunya berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. Bhima memperkirakan, ekonomi tahun ini hanya akan tumbuh di kisaran 4,7% hingga 4,9%, lebih rendah dari asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025 yang menyepakati target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.

"Untuk outlook ekonomi dari segi makro, kami proyeksikan pertumbuhan ekonomi ini berkisar 4,7% sampai dengan 4,9% untuk 2025, itu salah satunya dengan asumsi bahwa 10 pungutan baru yang rencananya dimulai tahun ini diimplementasikan," kata Bhima kepada SINDOnews.

Menaksir Perekonomian Nasional di Tengah Ketidakpastian Global

Celios mencatat bahwa 10 pungutan baru itu termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dana pensiun wajib, asuransi kendaraan tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability), tabungan perumahan rakyat (Tapera), dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Selain itu, kemungkinan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan UKT, berakhirnya keringanan PPh UMKM 0,5%, kenaikan harga BBM, serta penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK. Bhima memastikan, pungutan-pungutan baru tersebut akan mengurangi daya beli masyarakat.

Secara spesifik, kajian Celios menunjukkan kenaikan PPN menjadi 12% dapat berdampak signifikan terhadap inflasi. Celios juga mensimulasikan adanya kenaikan kebutuhan masyarakat akibat kenaikan PPN, kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp354.293 per
bulan atau Rp4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Sedangkan, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan atau Rp1,2 juta per tahun.

Hal senada diungkapkan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat. Dia memperkirakan tahun 2025 akan menjadi salah satu tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian domestik. Ketidakpastian yang disebabkan oleh konflik geopolitik, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, dan dampak perubahan iklim menurutnya akan semakin memperumit keadaan.

Achmad mengatakan, ketidakpastian ekonomi global menjadi isu utama yang tidak hanya dirasakan oleh negara-negara besar tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Konflik geopolitik yang terus berlanjut, seperti perang dagang antara negara-negara besar, semakin menekan stabilitas
ekonomi.

Di sisi domestik, lanjut dia, Indonesia juga menghadapi tekanan dari sejumlah kebijakan ekonomi yang diberlakukan pada 2024, yang secara signifikan memengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah. "Dalam situasi ini, penting bagi kelas menengah Indonesia untuk mengambil langkah strategis guna bertahan dan tetap relevan di tengah ketidakpastian tersebut," tandasnya.

Menurut dia, kebijakan salah kaprah yang diterapkan pemerintah pada 2024 akan membawa dampak langsung pada kelas menengah di tahun 2025. Salah satu kebijakan yang menonjol menurutnya adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, menimbulkan efek domino berupa kenaikan harga barang dan jasa di pasar.

"Dampaknya dirasakan oleh kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, kemampuan belanja mereka tergerus, sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," jelasnya.

Pengetatan subsidi energi, sambung Achmad, juga menjadi beban tambahan bagi kelas menengah. Pemerintah mengubah mekanisme subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik menjadi berbasis nomor induk kependudukan (NIK). "Meskipun kebijakan ini dirancang untuk memastikan subsidi lebih
tepat sasaran, banyak masyarakat kelas menengah yang sebelumnya menikmati subsidi kini harus menghadapi kenaikan biaya energi," katanya.

Kondisi ini menurut Achmad akan memaksa kelas menengah mengalokasikan sebagian besar penghasilan mereka untuk kebutuhan dasar, sehingga mengurangi kapasitas berinvestasi dan menabung.

Achmad juga menyinggung Program Tapera yang juga akan menjadi sumber tekanan baru. Program ini mewajibkan pekerja dan pemberi kerja menyisihkan sebagian pendapatan untuk dana perumahan. Meskipun bertujuan mulia untuk memperluas akses masyarakat terhadap hunian yang layak, program ini menurutnya juga semakin menambah beban finansial bagi kelas menengah, terutama mereka yang sudah memiliki cicilan atau kewajiban keuangan lainnya. "Pada tahun 2025, dampak dari kebijakan ini semakin nyata dengan berkurangnya daya beli yang signifikan," cetusnya.

Karena itu, Achmad berharap pemerintah lebih memperhatikan dampak kebijakan ekonomi mereka terhadap kelas menengah. Penyesuaian kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok ini menurutnya sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. "Misalnya, mempertimbangkan mekanisme subsidi energi yang lebih inklusif atau memberikan insentif pajak bagi kelas menengah yang terdampak kenaikan PPN," tuturnya.

Achmad juga berharap upaya stabilisasi harga barang kebutuhan pokok menjadi prioritas pemerintah untuk meringankan beban masyarakat. "Dengan langkah-langkah yang tepat, kelas menengah Indonesia dapat tetap menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan di tengah badai ketidakpastian global," tuturnya.

Sementara itu, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Banjaran Surya Indrastomo lebih optimistis. Dia memperkirakan ekonomi domestik akan tumbuh antara 5,1-5,2% di tengah ketidakpastian global pada tahun 2025 ini.

Menurut Banjaran, di antara faktor penopang perekonomian domestik 2025 yakni inflasi yang tetap terkendali di rentang kisaran target, sehingga menopang daya beli dan permintaan domestik di tengah risiko lemahnya permintaan eksternal. Banjaran juga menilai, program quick win pemerintahan Prabowo-Gibran berpeluang mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik dalam jangka panjang, termasuk melalui industri makanan minuman, penyediaan makanan minuman, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.

"Sektor berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia, juga sektor terkait infrastruktur berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2025," ujarnya. Namun, Banjaran juga tidak menampik bahwa ada potensi peningkatan inflasi sebesar 0,4% serta penurunan PDB sebesar 0,1% seiring dengan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%.

Sementara itu, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna khawatir dengan gemuknya kementerian di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini menurutnya akan mengakibatkan kurang optimalnya pengelolaan anggaran.

Ariyo mengatakan, pembentukan kementerian ini menyebabkan banyak penyesuaian terhadap peraturan yang ada, sehingga berakibat lintas instansi pemerintah saling menunggu untuk menentukan berbagai kebijakan kepada masyarakat. Ariyo membandingkan Argentina yang justru memangkas jumlah kementeriannya dari 19 menjadi 8. "Argentina berpotensi lebih mampu mengelola anggarannya secara efesien karena pengurangan jumlah kementeriannya," kata dia.

Lalu, bagaimana dengan pandangan pemerintah sendiri? Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan juga mengakui bahwa ekonomi secara global menghadapi tantangan berat pada tahun 2025. Seperti yang sudah dijelaskan, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan stagnan di kisaran 3,2% pada 2025.

"Hambatan ini akan menimbulkan kewaspadaan serta respons dari kami. Indonesia, sebagai ekonomi terbuka harus terus berinteraksi dengan ekonomi global, baik melalui perdagangan dan investasi," ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga menyinggung konflik geopolitik yang terus meningkat dan arah kebijakan moneter yang semakin kompleks. Belum lagi, dua raksasa ekonomi dunia yakni China dan Amerika Serikat (AS) yang hubungannya tengah memanas dan menimbulkan potensi pecahnya perang dagang. Perang dagang dua negara itu menurutnya akan berdampak langsung terhadap Indonesia dan dunia pada 2025. "Tensinya bukannya menurun, tetapi justru makin meningkat dan ini yang akan mewarnai ekonomi Indonesia 2025 ke depan," ujar Sri Mulyani.

Terkait dengan itu, Sri Mulyani mengatakan, Indonesia memprioritaskan penguatan ketahanan dalam negeri, khususnya di sektor pangan dan energi.
Bendahara negara ini berujar, pemerintah juga bakal memanfaatkan peluang strategis untuk meningkatkan posisi Indonesia di kancah internasional.

"Ini untuk menunjukkan Indonesia secara tepat di dalam dinamika global yang begitu tinggi, tantangan yang harus kita antisipasi tentu adalah partner-
partner dagang dan investment kita yang gede, yakni AS dan China," tandasnya. (Anggie Ariesta)

Pemulihan Kelas Menengah Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi

Pemulihan Kelas Menengah Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025 di angka 2,7%. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi global tahun ini tumbuh di angka 3,2%, hanya naik 0,1% jika dibandingkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2024 sebesar 3,1%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut relatif lesunya perekonomian global di tahun 2025 ini disebabkan banyak faktor. Mulai dari konflik geopolitik yang tak kunjung mereda, potensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China dan Rusia, terganggunya rantai pasok, menjadi kabut gelap bagi situasi perekonomian global di tahun Ular Kayu 2025.

"Perang dagang, ketegangan geopolitik, dan disrupsi rantai pasok dagang, fragmentasi ekonomi dan keuangan, akibatnya prospek ekonomi global akan meredup pada tahun 2025 dan tahun 2026. Terpilihnya Presiden Trump juga dapat membawa perubahan besar dalam landscape geopolitik dan perekonomian dunia," papar Perry pada acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2024 beberapa waktu lalu.

Perry menyebutkan 5 karakter yang menggambarkan perekonomian global pada tahun 2025-2026. Pertama, pertumbuhan yang melambat dan berbeda. Kedua, tekanan inflasi. Ketiga, suku bunga AS yang lebih tinggi. Keempat, menguatnya dolar AS yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah dan mata uang lainnya. Kelima, preferensi para investor global ke Negeri Paman Sam.

Kelima hal tersebut, kata dia, berdampak negatif ke berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Hal itu, tegas dia, perlu diantisipasi dan diwaspadai dengan respons kebijakan yang tepat untuk demi ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional. BI dan Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 masih akan berkisar di angka 5–5,3%. Proyeksi itu tidak banyak berubah dari rerata pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun belakangan.

Sementara itu, para ekonom menilai ketidakpastian ekonomi global sejatinya hanya memperumit kondisi perekonomian di dalam negeri. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pelambatan ekonomi global itu akan mempersulit kondisi ekonomi nasional yang tengah tidak baik-baik saja, ditandai dengan susutnya jumlah kelas menengah di Tanah Air.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia pada tahun 2019 atau sebelum pandemi yang sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk, pada tahun 2024 menyusut hingga tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13% dari total penduduk.

Pemulihan Kelas Menengah Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi

Bhima mengatakan, pemulihan kelas menengah penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Upaya pemulihan itu, tegas dia, dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan mulai tahun 2025. Masalahnya, Bhima menilai kebijakan-kebijakan pemerintah justru membuat upaya pemulihan kelas menengah kian berat.

Kebijakan seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tapera, Dana Pensiun Wajib, kenaikan UKT mahasiswa, cukai minuman berpemanis dalam kemasan menurutnya berpengaruh langsung menekan daya beli. Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang hanya sebesar 6,5% dinilai tak cukup mengkompensasi bertambahnya beban ekonomi masyarakat.

"Begitu konsumsi rumah tangga melemah, ekonomi domestik tidak mampu lagi menjaga pertumbuhannya. Karena itu kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2025 akan berkisar di angka 4,7-4,95%," ujar Bhima kepada SINDOnews.

Menyoroti pengenaan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Triyono Prijosoesilo memastikan hal ini akan membuat kenaikan harga jual produk-produk minuman berpemanis dalam kemasan. Kebijakan ini menurutnya juga akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan industri karena berpengaruh langsung terhadap daya beli konsumen. "Kalau pemerintah menetapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan ini tentu konsekuensinya harga naik," kata Triyono dalam sebuah diskusi virtual.

Kebijakan yang juga dinilai bakal berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat tahun ini adalah opsen alias pungutan dua pajak baru kendaraan bermotor untuk pemerintah daerah. Daya beli masyarakat juga akan semakin tipis jika program Tapera diterapkan untuk para pegawai swasta. Kebijakan ini akan memotong langsung gaji pekerja sebesar 2,5% dan membebani perusahaan sebesar 0,5% dari tanggungan karyawan.

Bhima menegaskan, penambahan komponen iuran wajib maupun kenaikan tarif pajak yang berlaku mulai tahun 2025 ini tidak sepadan dengan kenaikan upah minimum yang ditetapkan hanya 6,5% secara nasional. "Fenomena makan tabungan akan berlanjut selain karena kebijakan perpajakan, juga karena rendahnya kenaikan UMP 6,5%," tegasnya.

Karena itu, kata dia, untuk memulihkan kelas menengah pada tahun 2025, pemerintah harus memulai dengan melindungi daya beli masyarakat. Caranya, dengan membatalkan kenaikan tarif dan pungutan baru yang akan diberlakukan tahun ini. "Fiskal jadi tantangan terberat ekonomi di
2025. Semua bergantung pemerintah, apakah mau jaga daya beli, ekonomi tumbuh di atas 5% atau mengorbankan daya beli demi pelaksanaan program pemerintah," tandasnya.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menambahkan, berbagai kebijakan pemerintah yang memberatkan ini memberikan tekanan besar pada ekonomi rumah tangga kelas menengah. "Mereka terjebak di antara kelompok bawah yang menerima bantuan sosial dan kelompok atas yang memiliki sumber daya lebih besar untuk menghadapi kenaikan biaya hidup. Kelas menengah dipaksa menanggung beban
penuh dari kebijakan pemerintah tanpa kompensasi yang memadai," ujarnya.

Achmad Nur Hidayat mengutip sebuah survei di mana hampir 49% rumah tangga kelas menengah melaporkan penurunan daya beli akibat inflasi
dan kenaikan biaya hidup. Dengan kebijakan baru di 2025, angka ini menurutnya akan meningkat hingga 60% dan mempercepat penyusutan kelas menengah di Indonesia.

Karena itu, Achmad pun meminta pemerintah lebih bijak dalam mengelola dampak kebijakan ekonomi terhadap kelas menengah. "Transparansi dan komunikasi yang baik mengenai alasan di balik kebijakan serta upaya untuk meringankan dampaknya harus menjadi prioritas," tandasnya. (Iqbal Dwi Purnama)

Bangkitkan Industri, Pemerintah Jangan Ragu Berikan Proteksi

Bangkitkan Industri, Pemerintah Jangan Ragu Berikan Proteksi

Memasuki akhir tahun 2024, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia terpantau masih menunjukkan posisi kontraksi. Hingga November, PMI manufaktur Indonesia berada di angka 49,6, hanya sedikit meningkat dari PMI manufaktur Oktober 2024 sebesar 49,2.

Industri padat karya seperti industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menjadi salah satu yang menghadapi tantangan paling berat. Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menilai, perlu upaya serius dari pemerintah agar industri TPT bisa bangkit kembali.

Andry menegaskan, pemerintah sudah sepatutnya mengambil langkah besar untuk menyelamatkan industri dalam negeri. Pasalnya jika hal ini terus dibiarkan, maka ancaman PHK akan semakin merajalela dan bukan tidak mungkin di tahun 2025 industri sepenuhnya mengalami kelumpuhan.

Adapun langkah yang menurut Andry perlu dilakukan adalah dengan memberikan proteksi terhadap produk-produk dalam negeri dengan mengenakan tarif impor. Di sisi lain Andry menyebut pemerintah juga harus memperbaiki kebijakan Larangan dan Pembatasan (Lartas) impor sesegera mungkin.

"Kalau kita melihat bahwa negara mana sekarang yang tidak proteksionis. Negara se-liberal AS saja sekarang sangat-sangat proteksi, gitu ya. Memberikan proteksi yang cukup besar, 60% bahkan akan diberikan tarif impor kepada China," terang Andry kepada SINDOnews.

"Okelah kita tidak sampai ke sana. Sekarang yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaiki kebijakan Lartas impor tadi, gitu ya. Itu yang menurut saya harus dikedepankan. Jangan sampai sakitnya apa, obatnya apa. Ini menurut saya obat yang harus diberikan pertama kali," tambahnya.

Selain langkah tersebut, Andry juga menyampaikan ada upaya lain yang bisa dilakukan, yakni dengan penguatan terkait dengan trade remedies atau non-tarif measures yang perlu diberikan oleh Indonesia kepada produk-produk impor, terutama tekstil. Langkah ini menurutnya dapat mengatasi praktik jual beli yang tidak adil.

Tidak berhenti di situ, pemerintah juga dinilai perlu memberikan biaya masuk anti-dumping. Kebijakan ini menurutnya harus dilakukan sebagai bentuk pertahanan supaya industri dalam negeri memiliki kekuatan untuk bersaing dengan produk-produk impor lainnya. "Ini kan menurut saya kalau kita tidak memberikan biaya masuk anti-dumping, kita tidak memberikan safeguard, tidak ada penguatan di sana dengan standar-standar yang seharusnya kita bisa berikan, tentunya daya saing dari industri dalam negeri ini pasti akan sulit untuk meranjak naik," kata Andry.

"Jadi, menurut saya hal tersebut akan harus dilakukan. Berikan pasar domestik ini kepada pemain yang ada di dalam negeri. Saya rasa inakan i menjadi game changer kalau diberikan," lanjutnya.

Hal senada juga diungkap Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan negosiasi dengan berbagai negara untuk pengenaan tarif impor guna menyeimbangkan produk impor dan ekspor. Negosiasi juga diharapkan dapat memberikan privilage kepada Indonesia dalam perdagangan internasional. Yang mana jika ini tidak dilakukan, Tauhid menyebut akan berdampak pada penurunan ekspor bagi negara Indonesia.

"Karena kalau enggak ya tadi terutama produk ekspor kita akan berkurang. Jadi saya kira itu yang pertama, upaya diplomasi, komunikasi, koordinasi dengan kamar dagang atau otoritas perdagangan itu penting agar kita tetap diterima," jelasnya.

Selain melakukan negosiasi dagang, Tauhid menyarankan agar pemerintah juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro kelas menengah, misalnya dengan menurunkan suku bunga pinjaman, kredit, dan sebagainya agar daya beli tetap berada di posisi yang baik. Kemudian juga diperlukan lebih banyak lapangan kerja formal untuk mengendalikan inflasi serta mengurangi importasi bahan baku penolong industri.

Tauhid menilai pemerintah perlu mendorong industri untuk mandiri sebagai upaya mengurangi beban impor. "Mau tidak mau kita mengurangi importasi bahan baku penolong seperti besi, baja, elektronik dan sebagainya mesin peralatan. Kita harus mengembangkan sendiri sehingga bisa mengurangi beban terutama pembelian untuk barang-barang yang impor," tegasnya.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief sebelumnya mengklaim bahwa pemerintah terus mendorong pemberlakuan instrumen pengamanan terhadap industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat lonjakan produk impor yang sejalan dengan aturan WTO berupa trade remedies, di antaranya adalah Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).

Febri menyatakan, permintaan dan peningkatan penjualan harus dikawal dan dijaga, agar dalam kondisi pasar yang sedang lemah, industri dalam negeri bisa dipastikan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. "Kurangi masuknya barang legal yang murah dan terus perangi masuknya barang ilegal," pungkasnya. (Tangguh Yudha Ramadhan)

Waspadai Dampak Kebijakan Trump Terhadap Rupiah dan Ekonomi

Waspadai Dampak Kebijakan Trump Terhadap Rupiah dan Ekonomi

Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menjelang akhir tahun 2024 menjadi pehatian tersendiri bagi para pemerhati ekonomi. Mengingat sepak terjangnya saat pertama kali menjabat sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam tahun 2016 lalu, para ekonom yakin kali ini pun Trump akan kembali mengguncang ekonomi dunia dengan kebijakannya yang penuh kontroversi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, prinsip "America First" yang mendasari kebijakan Trump diyakini bakal berdampak pada nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Kebijakan yang memprioritaskan kepentingan nasional itu mengindikasikan proteksionisme Negeri Paman Sam dalam perdagangan internasional.

Alhasil, Tauhid mengatakan, nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini kemungkinan besar akan sangat terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan Trump ketika dirinya mulai menjalankan roda pemerintahan. Tauhid mencontohkan rencana Trump memangkas tarif pajak korporasi dari 21 persen menjadi 15 persen. Lalu, Trump juga sesumbar akan memangkas harga bahan bakar, membatasi suku bunga kartu kredit, dan menaikkan tarif impor dalam perdagangan internasional.

Kebijakan pajak, pemangkasan harga bahan bakar, pembatasan bunga kredit menurutnya akan membuat penerimaan negara AS berkurang. Kebijakan-kebijakan insentif ini, meski akan mendorong daya beli warga negara AS, juga akan mengurangi pendapatan negara. Di bawah kepemimpinan Trump, AS menurutnya akan mengalami tekanan defisit fiskal.

Menurut Tauhid, defisit fiskal Negara Adidaya ini di 2025 diproyeksikan berada di angka 6,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Rasio utang AS pun menurutnya akan semakin melebar lantaran pemerintahan Trump bakal membutuhkan tambahan utang baru dengan suku bunga yang tinggi, akibat tekanan defisit fiskalnya.

Hal itu menurutnya membuat suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Fund Rate) bakal meningkat. Hal itu akan membuat nilai tukar mata uang Negeri Paman Sam semakin perkasa. Kondisi ini mendorong aliran modal dari banyak negara berkembang juga akan beralih ke Amerika. Situasi itu, kata Tauhid, berdampak buruk bagi rupiah.

"Nah ini yang membuat aliran modal dari banyak negara berkembang beralih ke negara Amerika. Ya mereka dengan growth-nya itu pasti akan sangat besar," ujarnya kepada SINDOnews.

Lebih lanjut, Tauhid menilai neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tidak akan mengalami surplus, imbas kebijakan Trump yang akan menaikkan
tarif impor bagi negara-negara mitra dagangnya, antara 10 persen hingga 20 persen. Bahkan, tarif impor untuk China yang merupakan saingan utamanya, yang juga merupakan mitra dagang utama Indonesia, diperkirakan bisa mencapai 60 persen.

Kebijakan ini menurutnya tentu akan memberatkan perdagangan China-AS. Bahkan hal ini juga bisa mengakibatkan ekonomi Negeri Tirai Bambu melemah dari 4,8 persen ke 4,5 persen di 2025. Konsekuensinya, imbuh Tauhid, hal ini juga akan berdampak pada neraca perdagangan China-Indonesia.

"Kalau (ekonomi) China melemah, ya karena kita ketergantungan ekspor impor utama ke China, ya pasti ikut terpengaruh. Dan itu akan membuat pertumbuhan ekonomi kita di tahun 2025 stagnan," tuturnya. (Suparjo Hi Ramalan)
Author
Mohammad Faizal