Nasib Demokrasi India, Tergerus Politisasi Sentimen Agama
Tindak represi kelompok nasionalis Hindu terhadap Muslim India belakangan makin menjadi-jadi. Konflik yang dikipasi kepentingan politik itu dikhawatirkan merusak demokrasi di negara berpenduduk 1,4 miliar tersebut.
Jika dibiarkan, para ahli khawatir hal itu akan menggeser status India sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Sentimen itu juga menimbulkan keraguan tentang masa depan India sebagai negara sekuler.
Partai sayap kanan Bharatiya Janata Party (BJP), telah lama mengipasi sentimen anti-Muslim sebagai bagian dari strategi kemenangan pemilu untuk menggalang dukungan dari mayoritas umat Hindu, yang merupakan 80% dari 1,4 miliar penduduk India.
"BJP telah mengirim pesan bahwa tidak apa-apa mengejar Muslim," ujar Aakar Patel, ketua Amnesty International India seperti dilansir Los Angeles Times Rabu (16/2/2022). Hal ini dinilainya membuat BJP populer, namun juga meningkatkan aksi represi di tingkat bawah.
Belum lama ini di negara bagian Karnataka, setelah nasionalis Hindu memburu siswi Muslim karena mengenakan jilbab, pihak berwenang menganggap ancaman kekerasan cukup serius untuk menutup sekolah dan perguruan tinggi selama beberapa hari. Yang lebih mengganggu, para pemimpin Hindu radikal dilaporkan telah menyerukan pembantaian jutaan Muslim, seperti pembersihan etnis di Myanmar.
"Entah Anda bersiap untuk mati sekarang, atau bersiap untuk membunuh, tidak ada cara lain," ujar Swami Prabodhanand Giri, presiden organisasi sayap kanan Hindu Raksha Sena, kepada para pendukungnya dalam sebuah pertemuan keagamaan Desember lalu.
"Inilah sebabnya, seperti di Myanmar, polisi di sini, politisi di sini, tentara, dan setiap umat Hindu harus mengangkat senjata karena kami harus melakukan pembersihan ini," ujarnya. Ketika kaum nasionalis telah memperkuat seruan mereka agar India menulis ulang konstitusinya dan membentuk negara-bangsa Hindu, kekuasaan massa dinilai telah direnggut.
Akar perselisihan agama India dapat ditelusuri ke tahun 1947 ketika Inggris di bawah tekanan dari para pemimpin politik Muslim yang menginginkan negara mayoritas Muslim, mengubah perbatasan koloninya. Pemisahan anak benua India itu melahirkan Pakistan.
Tetapi, karena perbatasan baru dibuat secara tergesa-gesa, banyak Muslim dan Hindu berada di sisi perbatasan yang salah. Situasi itu menciptakan gelombang kekerasan dan teror yang menewaskan 1 juta orang dan membuat 14 juta orang lainnya mengungsi.
Namun, jutaan Muslim tetap bertahan saat pembentukan India sebagai negara merdeka, yang perdana menteri pertamanya, Jawaharlal Nehru, menekan nasionalisme Hindu demi visi yang lebih egaliter untuk negara tersebut.
Namun, pada tahun 1980-an sekularisme mulai terkikis. PM Indira Gandhi dan penggantinya, Rajiv Ghandi, mulai menjadi panutan berbagai kelompok agama konservatif, dan menyiapkan panggung bagi BJP untuk mengeksploitasi ketegangan agama.
"Jika Anda bertanya kepada kebanyakan orang hari ini tentang sekularisme di India, banyak dari mereka akan memberi tahu Anda bahwa itu adalah masa lalu," ujar Gilles Verniers, ilmuwan politik di Universitas Ashoka di utara New Delhi.
Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dinilai telah lama memahami kekuatan intoleransi sebagai strategi politik. Pada 2005, ketika dia menjadi pemimpin negara bagian Gujarat, Modi dilarang memasuki Amerika Serikat karena gagal menghentikan kerusuhan mematikan oleh umat Hindu terhadap Muslim India.
Sejak menjabat pada 2014, demokrasi India pun dinilai terus mengalami kemunduran. Indeks Demokrasi Unit Intelijen Economist menurunkan peringkat India menjadi 46 dari 27, sementara Freedom House yang berbasis di Washington menurunkan peringkat negara itu menjadi "bebas sebagian" dari status "bebas".
Dalam laporan tahun 2020 kepada Kongres Amerika Serikat (AS), Departemen Luar Negeri AS memberikan penilaian suram terhadap catatan hak asasi manusia India, dengan mencantumkan serangkaian pelanggaran yang mencakup pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang.
"Nasib tatanan demokrasi liberal dunia terkait erat dengan India karena ukurannya sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," kata Niranjan Sahoo, rekan senior di Observer Research Foundation, wadah pemikir global di New Delhi.
Penilaian negatif itu dibantah Menteri luar negeri India, Subrahmanyam Jaishankar. Dia mengarahkan kritik ke AS dan upaya Presiden Trump dan sekutunya membatalkan hasil pemilu 2020. "Anda menggunakan dikotomi demokrasi dan otokrasi," ujar Jaishankar tahun lalu. "Kau ingin jawaban yang jujur? Itu adalah kemunafikan."
Terlepas dari itu, pandangan moderat sebetulnya bertahan di India. Survei Pew Research tahun lalu menemukan bahwa 85% orang Hindu setuju menghormati semua agama adalah penting untuk menjadi orang India sejati. Namun suara mereka sering ditenggelamkan oleh kaum nasionalis sayap kanan yang lebih banyak beraksi di jalanan.
Lebih memprihatinkan lagi, penganiayaan agama tidak terbatas pada umat Islam. Ancaman juga ditujukan pada penganut Kristen dan Sikh. Desember lalu, kelompok nasionalis Hindu menyerbu satu sekolah Katolik untuk mencegah apa yang mereka pikir sebagai upacara konversi agama di negara bagian Madhya Pradesh. Akan tetapi, Muslim adalah target yang paling umum.
Dalam strategi baru menyakiti umat Islam, kelompok nasionalis dan pemimpin agama Hindu telah menganjurkan untuk memboikot bisnis mereka. Satu video yang diambil bulan lalu di negara bagian Chhattisgarh dan beredar secara luas menunjukkan penduduk desa berjanji tidak pernah membeli barang dari warga Muslim, menyewakan atau menjual tanah kepada mereka.
Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India dan juga salah satu yang paling miskin, menjadi tempat yang dinilai paling buruk terkait represi terhadap Muslim. Negara bagian itu dipimpin Yogi Adityanath, seorang biksu Hindu nasionalis sayap kanan yang dianggap sebagai calon penerus Modi.
Adityanath tercatat memiliki beberapa kasus pidana yang menunggunya di berbagai pengadilan. Pada 2007, dia menghabiskan 11 hari di penjara karena mencoba memicu ketegangan komunal. Dalam satu pidatonya, Adityanath pernah berucap: "Jika mereka (Muslim) membunuh satu orang Hindu, maka kami akan membunuh 100 pria Muslim."
Deretan Aksi Represi yang Mencederai Kebebasan Beragama di India
Nasir Ali sedang menjual sepatu di kota kecil di sebelah timur New Delhi ketika selusin pria mengepung kiosnya. Ali mengenali mereka sebagai preman lokal, anggota Bajrang Dal, kelompok nasionalis Hindu dengan sejarah panjang tindak kekerasan.
Mereka menuduh Ali yang berusia 28 tahun menghina keyakinan mereka, karena salah satu merek sepatu yang dijualnya adalah Thakur. Nama itu adalah salah satu nama kasta Hindu terkemuka di India. Penjual sepatu saingannya yang mengadukan Ali pada para preman tersebut.
"Bagaimana Anda bisa menjual sepatu dengan tulisan Thakur padahal Anda seorang Muslim?" teriak salah satu pria secara kasar. Ali menjelaskan bahwa dia tak bermaksud tidak hormat. Dia nenjelaskan bahwa dirinya tidak menciptakan merek itu dan semata hanya menjualnya.
Orang-orang itu lantas menelepon polisi yang kemudian menangkap Ali karena dituduh memprovokasi kerusuhan. Ali menghabiskan dua hari berikutnya di penjara, di mana dia mengaku dipukuli para polisi di hadapan anggota Bajrang Dal.
"Saya menjadi sasaran karena agama saya. Saya hidup dalam ketakutan bahwa siapa pun dapat memukuli saya dan tidak ada yang bisa saya lakukan. Itu membuatmu merasa tidak berdaya," ujar Ali seperti dilansir Los Angeles Times, Rabu (16/2/2022).
Kekekarasan para juga terjadi pada Mei tahun lalu di mana seorang penjual sayur berusia 18 tahun bernama Faisal Hussain dilaporkan dipukuli hingga tewas oleh tiga petugas polisi karena dianggap melanggar pembatasan Covid-19. Saudara perempuannya, Khushnuma Hussain mempertanyakan alasan itu karena ada banyak orang lain yang menjual sayuran saat itu.
"Mengapa polisi memilih dia? Apakah dia akan mati jika dia Hindu?" ujarnya.
Tiga bulan kemudian, seorang pengemudi becak Muslim dipukuli dan diarak di depan massa yang meneriakkan "Jai Shri Ram" mantra nasionalis yang memuji dewa Hindu. Video serangan yang menjadi viral itu menunjukkan anak perempuan pengemudi becak tersebut berpegangan pada ayahnya dan memohon kepada orang banyak untuk berhenti memukulinya.
Ada pula kisah seorang pedagang makanan Muslim yang diserang setelah dia dituduh menyembunyikan agamanya kepada para pelanggannya yang beragama Hindu. "Warungnya seharusnya punya nama Muslim. Saya disesatkan," papar Rajesh Mani Tripathi, yang merupakan bagian dari kerumunan umat Hindu yang mencemooh penjual tersebut. "Mengapa Muslim masih di sini? Mereka harus pergi ke Pakistan," sambungnya.
Belum lama ini, video seorang mahasiswi muslim berhijab yang dicemooh massa sayap kanan Hindu di kompleks perguruan tinggi di negara bagian Karnataka, India, menjadi viral di media sosial.
Serangan verbal itu memicu kemarahan para kritikus di tengah meningkatnya protes atas larangan jilbab atau hijab di negara bagian selatan India tersebut.
Mahasiswi bernama Muskan Khan tiba-tiba dikelilingi massa pria yang mengenakan syal warna kunyit ketika dia tiba di kampusnya di Mandya. Menurut mahasiswi tersebut, massa yang mengepungnya sebagian besar adalah orang luar kampus. Larangan jilbab dinilai sebagai serangan terhadap keyakinan mereka yang diabadikan dalam konstitusi sekuler India.
Kejadian-kejadian tersebut menjadi hal yang lumrah sehingga seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Seperti kasus Ali, setelah dibebaskan dari penjara, dia bersembunyi dan tinggal bersama kerabat karena takut akan pembalasan oleh polisi dan warga Hindu.
"Saya tidak berbicara dengan siapa pun. Saya hampir tidak keluar rumah selama dua bulan," paparnya. Meski bisnis sepatu menjadi sumber pendapatannya, Ali merasa tak punya pilihan selain menutupnya. Dia khawatir jika berjualan kembali hampir pasti akan membawa pembalasan yang mungkin lebih parah.
Dengan uang yang semakin menipis, dan dua anak yang masih kecil untuk diberi makan, dia kembali berjualan sayuran. Setiap hari, dia bangun pagi-pagi dan mendorong gerobaknya dari desa ke desa, menelan ketakutannya setiap kali dia tiba di komunitas Hindu.
Pakistan Minta Dunia Waspadai Ancaman Genosida Muslim di India
Seruan para aktivis Hindu sayap kanan untuk melenyapkan 200 juta Muslim dan - jika perlu - mendirikan negara Hindu India pada konferensi tiga hari di kota suci India, Haridwar, membangkitkan kekhawatiran negara tetangganya, Pakistan.
Sputnik pada Senin (10/1/2022) melaporkan, Perdana Menteri (PM) Pakistan Imran Khan memperingatkan kekuatan global tentang "agenda ekstremis" pemerintahan India. Khan menyoroti pertemuan baru-baru ini para aktivis Hindu di Haridwar, India utara.
Dalam acara tiga hari bernama "Dharam Sansad" yang dihadiri para biksu dan aktivis Hindu itu, dikeluarkan seruan terang-terangan untuk membersihkan India dari Muslim dan mengubah republik sekuler India menjadi negara Hindu.
"Di bawah ideologi ekstremis pemerintah BJP Modi, semua agama minoritas di India telah menjadi sasaran impunitas (kebebasan dari hukuman) oleh kelompok-kelompok Hindutva. Agenda ekstremis pemerintah Modi adalah ancaman nyata bagi perdamaian di wilayah kita," ujarnya.
Mahkamah Agung India setuju mendengarkan petisi yang meminta penyelidikan kriminal terhadap penyelenggara Dharam Sansad atas seruan genosida mereka terhadap Muslim. Namun, tidak ada penangkapan yang dilakukan sejauh ini.
Selama konferensi, Swami Prabodhanand Giri, kepala organisasi Hindu sayap kanan di Uttarakhand, mengatakan India sekarang milik umat Hindu. Giri juga menyerukan agar polisi, politisi, tentara, dan setiap umat Hindu - seperti di Myanmar, mengambil senjata. "Kita harus melakukan pembersihan ini. Tidak ada solusi selain ini," ujar Giri, merujuk pada Muslim.
Video lainnya juga menunjukkan para peserta yang bersumpah mengubah India menjadi negara Hindu. Pernyataan yang menghasut itu muncul saat lima negara bagian di India mengadakan pemilu, termasuk Uttar Pradesh dan Uttarakhand.