Siap-siap Terperangkap di Metaverse
Danang Arradian
Kamis, 24 Februari 2022, 15:18 WIB
Hidup di alam maya sepertinya bukan lagi fantasi. Tiba-tiba dunia mulai larut dalam Metaverse. Inikah yang disebut aktivitas masa depan umat manusia?
Adu Cepat Membangun Ekosistem Metaverse
Metaverse terus diperbincangkan belakangan ini. Begitu menyangkut digitalisasi, kerap metaverse kerap mengikuti. Apa sesungguhnya metaverse?
Sejumlah literatur menyebut metaverse adalah realitas digital yang menggabungkan aspek media sosial, game online, augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan cryptocurrency untuk memungkinkan pengguna berinteraksi secara virtual.
Menurut The Verge, metaverse pertama kali muncul dalam novel fiksi ilmiah Neal Stephenson pada 1992 berjudul Snow Crash. Disebutkan, manusia sebagai avatar berinteraksi satu sama lain dengan agen perangkat lunak, dalam ruang virtual tiga dimensi yang menggunakan metafora dunia nyata.
Keberadaan metaverse ini memungkinkan kita untuk melakukan hal-hal seperti pergi ke konser virtual, melakukan perjalanan online, membuat atau melihat karya seni dan mencoba pakaian digital untuk dibeli.
Tak urung Arab Saudi bahkan telah mulai menjajal inovasi ini dengan mengenalkan perjalanan ibadah haji secara virtual. Haji metaverse, begitu istilah yang mencuat. Kontan pro dan kontra menyertai.
Sebuah fakta metaverse terus dikembangkan. Sejumlah perusahaan raksasa bahkan perlahan membangun ekosistem ini demi menciptakan dunia yang dianggap masa depan.
Sebut saja Facebook yang kini telah mengubah namanya menjadi Meta. Facebook (Meta). Dengan perubahan nama itu, mereka agaknya telah siap untuk menjadi inisiator Metaverse. Facebook juga telah mengenalkan versi awalnya yakni Horizon World. Mereka juga menyiapkan berbagai teknologi yang dapat menunjang Metaverse seperti VR Messaging, Project Cambria, dan Horizon Marketplace.
Begitu pula Google yang akan memulai Metaverse dengan mengembangkan produk Google Glass. Pada 2021 ini, Google telah mengembangkan perangkat VR dan AR melalui project Starline.
Rival Google, Microsoft, memulai langkahnya dalam metaverse dengan memperkenalkan Mesh for Teams yang dapat digunakan presentasi, rapat dan mengobrol melalui avatar tanpa harus bertemu secara langsung.
Raksasa teknologi dari China, Tencent, tak mau ketinggalan Tencent memiliki platform yakni WeChat dan Tencent QQ yang akan mendukung terbangunnya Metaverse. Tencent QQ memiliki e-commerce, film, musik, voice chat dan gaming sementara itu WeChat memiliki sistem pembayaran melalui mobile.
Menariknya, tak cuma perusahaan yang adu cepat di ranah ini. Negara juga tak mau lamban. Barbados dan Korea Selatan ingin menjadi negara pertama yang mendukung legitimasi metaverse. Kedua negara itu bahkan sedang mempersiapkan untuk secarlegal mendeklarasikan pendirian kedutaan metaverse.
Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri Barbados pada Desember 2021 menandatangani perjanjian pada dengan Decentraland, di antara dunia digital bertenaga kripto terbesar dan terpopuler, untuk pendirian kedutaan digital.
Dikutip dari CoinDesk, mereka juga menyelesaikan perjanjian dengan “Somnium Space, SuperWorld, dan platform Metaverse lainnya. Berbagai proyek akan membantu mengidentifikasi dan membeli tanah, merancang kedutaan dan konsulat virtual, dan lainnya.
Adapun Pemerintah kota Seoul, Korea Selatan, mengumumkan pihaknya akan menawarkan konsep layanan publik baru secara online dengan membangun platform metaverse.
Optimisme Bill Gates, Pesimisme Elon Musk
Dua ikon perusahaan teknologi berbeda pandangan soal metaverse. Jika pendiri Microsoft, Bill Gates, menatap penuh keyakinan, tidak dengan bos SpaceX dan Tesla, Elon Musk, yang melontarkan suara sumbang terkait ekosistem ranah virtual ini.
Bill Gates yakin metaverse akan menjadi masa depan. Dia bahkan memprediksi orang-orang kelak akan berkantor di terobosan teknologi itu.
”Dalam dua atau tiga tahun lagi, saya memprediksi rapat virtual akan berubah dari gambar di kamera yang sifatnya 2D menjadi 3D. Kita akan rapat dalam bentuk avatar digital di sebuah ruang tiga dimensi,” ujar Gates.
Dia juga meyakini orang tidak akan rapat offline di kantor, melainkan lebih nyaman virtual di metaverse. ”Di sana Anda bisa berinteraksi seperti sedang rapat offline. Misalnya menggunakan motion capture dan teknologi audio spatial. Sehingga, benar-benar terasa nyata,” terangnya.
Di saat semua pendiri perusahaan teknologi menerapkan metaverse seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg, Elon Musk justru tidak tertarik. Dia bahkan menyebut metaverse tidak akan membawa perubahan pada dunia. Hal ini diketahui setelah wawancara yang dilakukan oleh situs bernama The Babylon Bee. Dalam perbincangan itu Musk mengatakan konsep metaverse hanyalah sebatas hype daripada substansi intinya.
Komentar Elon Musk tentang Metaverse ini muncul setelah Facebook mengubah namanya menjadi Meta untuk mengejar ide tersebut. CEO Meta, Mark Zuckerberg juga menyebut bahwa ide ini sebagai cara yang lebih nyata dan alami untuk menikmati internet.
Musk menggambarkan bahwa perangkat headset yang akan digunakan saat berpartisipasi dalam metaverse sebagai suatu hal yang tidak nyaman. Dia pun tidak terkesan dengan metaverse dan tidak yakin bahwa semua orang akan menghilang dan berpindah ke dunia virtual dalam waktu dekat.
Elon Musk juga tidak percaya bahwa orang akan meninggalkan dunia fisik dan menggantinya dengan dunia virtual, menggunakan layar di wajah mereka.
“Saya tidak tahu apakah saya harus membeli barang metaverse ini, meskipun banyak orang yang membicarakannya dengan saya,” kata Elon Musk seperti yang dikutip dari laman The Indian Express (28/12/ 2021).
Dalam pikirannya, Neuralink justru solusi yang lebih baik dibandingkan menggunakan kacamata VR. Dalam jangka panjang, menurutnya Neuralink juga lebih canggih dan dapat menempatkan penggunanya sepenuhnya dalam realitas virtual. Untuk diketahui, Neuralink adalah salah satu perusahaan teknologi yang dimiliki Elon Musk.
Sisi Gelap Metaverse: Hacker hingga Pelecehan Seksual
Disebut-sebut sebagai kehidupan masa depan, metaverse bukan tanpa cela. Sejumlah noda telah menghiasi perjalanan awal alam virtual ini.
Pada awal Desember 2021, seorang pengguna ujicoba platform metaverse di Amerika Serikat mengalami pelecehan seksual. Dalam forum resmi Horizon Worlds di Facebook, wanita tersebut mengaku 'diraba' secara virtual. Dia mengisahkan bahwa aksi meraba secara seksual tak hanya menimpa avatar (sebutan untuk karakter di platform metaverse), melainkan pengguna lainnya.
"Pelecehan seksual bukanlah lelucon biasa di internet, namun berada di VR menambah lapisan lain yang membuatnya lebih intens," kata perempuan tersebut, dikutip dari New York Post dalam artikelnya yang berjudul Woman claims she was virtually ‘groped’ in Meta’s VR metaverse, dikutip Selasa (23/2/2022).
Blogger sekaligus praktisi pendidikan, Rita MF Janah mengibaratkan bahwa tekhnologi metaverse ibarat sebuah permainan game, makin lama makin mengalami kemajuan, sehingga terasa seolah-olah nyata.
Menurutnya hal nyata ini yang dikhawatirkan akan lebih parah daripada pembullian di media sosial. Apalagi dalam ujicoba platform metaverse milik Meta beberapa waktu lalu di AS, perempuan korban pelecehan itu disalahkan karena tidak menggunakan 'Safe Zone', fitur keselamatan yang telah tersemat dalam platform.
Meta beralasan fitur ini mampu memblokir pengguna lain yang dirasa asing dan tidak dikenal, sehingga dapat berinteraksi dengan aman. "Dari kejadian di atas, tampak era Metaverse dapat memberi sinyal bahwa pembullian akan lebih terasa nyata terjadi. Sehingga diiperlukan kesiapan mental yang lebih kuat dan tingkat tinggi dibanding saat sekarang," ungkapnya.
Pemilik international Magazine itu juga menyebutkan sejumlah dampak negatif lainnya dari metaverse antara lain pencurian data.
Kemudian, hacker yang merajalela. Kenapa demikian? Ini karena era metaverse sudah seperti dunia nyata, maka akan lebih mudah bagi hacker untuk melancarkan aksinya, seperti mencuri di siang hari bolong, sebab segalanya mudah ditebak dan dijalani sebab ada kontak yang seakan fisik dalam dunia virtual.
Dampak negatif lainnya yaitu malware makin canggih menutupi wujud aslinya. Saat era Pra Metaverse , malware menyusup melalui email, sms, ataupun dering telpon, maka boleh jadi di era Metaverse, malware akan kian canggih penyusupannya melalui cara yang sulit diprediksi.