Link Copied
Pengamen Ondel-ondel: Sepi di Jakarta, Riuh di Pinggir Ibu Kota

Pengamen Ondel-ondel: Sepi di Jakarta, Riuh di Pinggir Ibu Kota

By Zen Teguh Triwibowo
Pengamen ondel-ondel pernah ramai menghiasi jalanan Ibu Kota. Saat kehadirannya dianggap meresahkan dan akhirnya dilarang, eksistensi mereka ternyata tak mati.

Ironi Mengais Rezeki dari Seni Betawi

Ironi Mengais Rezeki dari Seni Betawi


Pancaran lampu berpendar dari kafe dan warung-warung tenda di sepanjang Jalan Boulevard Raya, Grand Galaxy Park, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, minggu malam lepas Isya, belum lama ini. Siraman cahaya bohlam dari penerangan jalan umum kian menambah hidup detak suasana malam.

Pengunjung, meski tak berjejal, berderet di bangku-bangku tempat makan itu. Lalu-lintas lumayan padat. Di antara deru knalpot kendaraan, mendadak suara cempreng melodi lagu Betawi memecah malam.

Suara itu datang dari piranti audio lawas yang ditanam pada gerobak kecil usang. Ilham, 17, mendorongnya menyisiri jalanan Boulevard. Kaus dan celana hitam ditambah songkok merah kian menguatkan tampilannya sebagai ‘Orang Betawi’.

Iang, begitu dia disapa, tak sendiri. Bersamanya menemani Putra (16) dan Hadi (10). Bertiga mereka mengais rezeki. Bila Ilham mendorong gerobak, Putra kebagian peran menjalankan ondel-ondel, sementara Hadi membawa kaleng bekas untuk menadah receh atau lembaran uang.

“Rutenya (mengamen) di Bantar Gebang, Jatiasih, Nusa Indah, Kemang Pratama," ujar Iang.

Pengamen ondel-ondel, begitu orang menyebut mereka. Ilham dkk bukan satu-satunya kelompok pengamen bermodal ondel-ondel berjalan itu. Saban malam di Bekasi berseliweran kelompok serupa.

Tak hanya di Jalan Boulevard, namun juga sudut-sudut jalan lain. Terkadang bertiga, berempat, ada pula yang sekeluarga lebih dari lima orang. Mereka menyusuri jalan-jalan kota demi mendapatkan uluran cuan.

Bekasi bukan pula satu-satunya kota tempat pengamen semacam ini eksis. Sejumlah kota pinggiran Jakarta semacam Depok, Tangerang, Tangerang Selatan juga marak.

Bagio, misalnya. Pada Sabtu (12/6/2021) malam dia menyusuri Jalan Surya Kencana, Pamulang, Tangsel. Kaleng plastik bekas cat menghiasi tangannya.

Di antara berisik kendaraan yang merambat, dia tak lelah mengulurkan kaleng itu ke orang-orang yang ditemuinya. Kebanyakan mereka yang sedang menikmati makan di warung atau kafe, juga orang-orang mengantree street food.

Bagio juga tak sendiri. Dia menyebut nama Agus, temannya yang berperan menggotong ondel-ondel serta Baus (Usman) dan Minjo yang mendorong gerobak audio.

Bagio mengaku tiap malam menyir Jalan Surya Kencana, Setia Budi dan sekitarnya. Dia mengaku hanya bekerja malam. Sementara saat siang, bekerja serabutan.

“Buat makan mas. Namanya juga punya anak istri,” kata dia sambil cepat-cepat berlalu usai menerima selembar Rp5.000.

Tersingkir dari Ibu Kota

Pengamen ondel-ondel pernah begitu ramai di Ibu Kota. Hampir tiap sore hingga malam berseliweran kesenian khas Betawi ini di berbagai sudut kawasan.

SINDOnews pernah menghitung di sepanjang Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, misalnya, dalam satu malam bisa lewat setidaknya empat kali kelompok pengamen berbeda.

Jalan Wahid Hasyim ibarat perlintasan karena hampir keseluruhan menuju Jalan H Agus Salim atau dikenal sebagai pusat kuliner Sabang. Tak mengherankan lantaran titik itu nyaris tak pernah sepi manusia.

Hanya di kalan PSBB ketat kuliner Sabang sedikit terlelap. Tapi toh pengamen ondel-ondel tak pernah surut. Bunyi ‘ngak ngek ngok’ dari audio dalam gerobak hampir selalu menjadi penghias malam. Tak dimungkiri, pengamen ondel-ondel ibarat cendawan di musim hujan.

Tapi itu dulu.

Ketika keberadaannya makin berlipat dan rasa kenyamanan publik mulai tersikat, polemik pun mencuat. Nada-nada sumbang atas keberadaan pengamen ondel-ondel makin kencang.

Salah satu argumentasinya: pengamen ondel-ondel menodai kebudayaan Betawi. Ondel-ondel yang seharusnya memiliki nilai adiluhung dari tradisi turun-temurun, dianggap telah menjadi ladang bisnis.

Ironi Mengais Rezeki dari Seni Betawi


"Dia (pengamen) hanya memanfaatkan ikon yang cukup dikenal, yang cukup familiar, yaitu ondel-ondel bagi masyarakat Jakarta. Kalau mau jujur lagi, orang Betawi itu enggak pernah didik oleh orang tuanye untuk pake tradisi mengemis apelagi ngamen," tutur Wakil Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi Egi Pitung.

Gayung bersambut. Keresahan publik atas pengamen ondel-ondel yang merajalela disikapi serius Pemprov DKI Jakarta. Pemprov pun menyatakan melarang penggunaan ondel-ondel untuk mengamen. Larangan diberlakukan mulai 24 Maret 2021.

Tidak sekadar pepesan kosong. Larangan itu juga ditindaklanjuti dengan penertiban oleh Satpol PP. Pemprov menegaskan, pelarangan itu untuk melaksanakan Pergub 11/2017 tentang Ikon Budaya Betawi.

Penindakan atas tersebut menggunakan dasar Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Beleid itu antara lain mengatur, setiap orang atau badan dilarang meminta bantuan atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah, dan kantor (Pasal 39 ayat 1).

Sedangkan Pasal 40 menyatakan, setiap orang atau badan dilarang: pada poin (a) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan penertiban terhadap pengamen menggunakan seni tradisional ondel-ondel merupakan cara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjaga keluhuran budaya Betawi.

Menurut Riza, budaya bangsa, termasuk kesenian Betawi seperti ondel-ondel harus ditempatkan ke tempat yang baik. "Bukan diperuntukkan mencari uang dengan cara-cara mengamen dan sebagainya. Kami akan carikan tempat bagi mereka yang selama ini mengamen itu," kata Riza saat ditemui di Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (28/3/2021).

Seniman Betawi Rano Karno setali tiga uang. Kendati demikian, dia tidak ingin menyalahkan siapa pun. Pemeran Si Doel Anak Betawi menyadari para pengamen itu mungkin juga butuh hidup.

"Harusnya tidak seperti itu (dipakai mengamen). Ada tempat di Setu Babakan. Cuma di Setu Babakan hanya ramai pas weekend saja, sementara hidupnya kan harus setiap hari," ujar Rano.

Polemik boleh mengemuka, namun Pemprov DKI tak mau mendua. Sikap tegas tak berubah: pengamen ondel-ondel dilarang!.

Sejak larangan itu dilakukan, perlahan pengamen ondel-ondel berkurang drastis di Ibu Kota. Betul ada satu-dua, tak semasif dulu. Apakah mereka benar-benar hilang? Ternyata tidak sepenuhnya demikian.

Marak Beraksi di Kota Penyangga Jakarta

Marak Beraksi di Kota Penyangga Jakarta


Ondel-ondel merupakan salah satu warisan budaya Betawi dan tercantum dalam Pergub 11/2017 sebagai Ikon budaya Betawi yang perlu dijaga dan dilestarikan dengan penuh kebanggaan. Ondel-ondel sebagai sebuah kesenian saat ini mengalami pergeseran nilai dengan semakin maraknya Ondel-ondel yang digunakan oleh sekelompok orang sebagai sarana mengamen/mengemis/meminta uang.

Dari sejumlah literatur, Ondel-ondel adalah salah satu kesenian yang bersumber dari akar kebudayaan asli Betawi. Konon katanya boneka besar dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan berbadan diameter kurang lebih 80 cm itu sudah ada sejak zaman pra-Islam di Pulau Jawa.

Selalu dikaitkan dengan dunia magis, Ondel-ondel mulanya merupakan simbolisasi dari penjaga kampung dari segala macam bahaya, ancaman, dan wabah penyakit. Bagian wajah Ondel-ondel berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk.

Wajah Ondel-ondel laki-laki biasanya dicat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan warna putih. Diameter tubuh dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya.

Bagian depannya diberi rongga kecil sebagai celah bagi penunggang untuk melihat ke luar. Tujuannya agar penunggang Ondel-Ondel tidak kehilangan arah dan mampu bergoyang sesuai irama. Ondel-Ondel juga memiliki goyangan khas yang dikenal dengan nama ngibing.

Pemprov DKI Jakarta menekankan agar budaya luhur Betawi ini tak disalahgunakan. "Mari tetap jaga nilai-nilai warisan budaya dengan baik. Kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan dalam menjaga Ondel-Ondel sebagai simbol kekayaan dan kebanggaan budaya Betawi di Jakarta," tulis @dishubdkijakarta yang dikutip, Selasa (22/2/2021).

Faktanya, pengamen ondel-ondel boleh sepi di Jakarta, namun mereka kini marak di pinggiran Ibu Kota.

Bila menyangkut urusan bertahan hidup, berbagai cara akan dilakukan. Begitu pula yang dilakukan Bagio dkk. Kelompok pengamen ondel-ondel yang biasa ngider di Pamulang itu mengaku butuh makan.

Dia berprinsip, sepanjang pekerjaan halal dan tidak dilarang, mengamen akan terus dilakukan. “Ya begini tiap malam (ngamen),” ujarnya.

Pengamen ondel-ondel boleh mulai sunyi di Jakarta, tapi tidak di tepi Ibu Kota. Daerah-daerah penyangga ini bahkan seperti mereplika Jakarta beberapa waktu lalu.

Bukan hal aneh ketika kini menyaksikan lalu-lalang pengamen ondel-ondel di kota seperti Depok, Tangerang Selatan atau Bekasi. Pantauan di lapangan, pengamen ondel-ondel ibarat adu saing dengan manusia silver yang juga berseliweran.

Namun, tak seperti Jakarta tempo lalu, kota-kota penyangga sejauh ini terkesan tidak ‘keberisikan’ dengan fenomena ini. Setidaknya sejumlah warga yang ditemui iNews.id mengaku tidak mempermasalahkan.

“Biasa saja, mungkin mereka mencari makan,” ucap Mahpudin, warga Serua, Tangsel. “Gimana mau dilarang, orang yang nggitar (pangamen pakai gitar) juga banyak,” ucapnya.

Budayawan: Jangan Sekadar Melarang

Budayawan: Jangan Sekadar Melarang


Betulkan melarang pengamen ondel-ondel berkeliaran di Jakarta suatu kebijakan tepat. Bagaimana jika mereka adalah orang-orang yang fakir sandang dan pangan. Bagaimana pula jika mengamen adalah satu-satunya yang bisa dilakukan demi mencari sesuap nasi?

Budayawan Betawi Ridwan Saidi tak sepakat dengan kebijakan pelarangan ondel-ondel untuk mengamen oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Semestinya mereka hanya ditertibkan, namun diakomodasi dengan dicarikan tempat-tempat yang sesuai.

Ridwan mendorong agar Pemprov DKI bisa menyediakan tempat yang layak untuk pengamen ondel-ondel daripada sekadar melarang. Sebagai contoh tempat-tempat wisata atau pusat keramaian dan acara hajatan.

Ridwan berpandangan, mereka yang melakukan kegiatan mengamen itu lantaran tidak mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak. Sebab itu, mereka menjadikan ondel-ondel sebagai mata pencaharian. Petugas Satpol PP DKI Jakarta menertibkan pengamen ondel-ondel di Jakarta Timur, Mei 2021 lalu.

"Kan enggak semua orang bisa mudah dapat pekerjaan apalagi zaman begini (pandemi Covid-19) kita kesulitan ekonomi, banyak utang yakan. Maka janganlah dilarang-larang. Orang nyari makan dengan cara halal gitu kok dilarang?," kata Ridwan saat dihubungi MNC Portal, belum lama ini.

Pemprov DKI Jakarta pada Mei lalu menegaskan larangan bagi pengamen ondel-ondel. Dasar kebijakan itu antara lain Pergub 11/2017 tentang Ikon Budaya Betawi. Larangan itu diikuti dengan berbagai penertiban oleh Satpol PP. Penindakan atas tersebut menggunakan dasar Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Beleid itu antara lain mengatur, setiap orang atau badan dilarang meminta bantuan atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah, dan kantor (Pasal 39 ayat 1).

Sedangkan Pasal 40 menyatakan, setiap orang atau badan dilarang: pada poin (a) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Ibu Kota boleh mulai sepi, namun sebaliknya dengan kota-kota penyangga Jakarta. Pengamen ondel-ondel bahkan marak. Hampir tiap sore dan malam di berbagai jalanan Depok, Tangerang, Bekasi dan Tangerang Selatan dihiasi lalu lalang pengamen ini.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP DKI Jakarta Arifin sebelumnya mengatakan kebijakan itu diambil berdasarkan keluhan masyarakat yang merasa terganggu dengan pihak-pihak yang menggunakan ondel-ondel untuk mengamen. Bahkan, kata Arifin, yang dilakukan bukan lah mengamen, tetapi lebih kepada mengemis.

“Ini sebenarnya tidak terlihat kesannya mengamen, tapi malah munculnya seperti mengemis menggunakan ikon ondel-ondel, keliling-keliling. Kan ondel-ondelnya didorong, dua orang yang lainnya meminta-minta. Tidak ada yang dimunculkan dalam bentuk seni yang mungkin bisa dinikmati oleh masyarakat,” kata dia
(zen)