Indonesia Makin Menguat dalam Percaturan Geopolitik

Indonesia Makin Menguat dalam Percaturan Geopolitik

Andika Hendra Mustaqim
Rabu, 08 Januari 2025, 16:06 WIB

Geopolitik 2025 diperkirakan akan bergejolak dan fluktuatif karena banyak hal yang tak bisa ditebak. Tapi, Indonesia akan menguat dalam percaturan geopolitik.

Presiden Prabowo Akan Agresif Hadapi Gejolak Geopolitik Global

Presiden Prabowo Akan Agresif Hadapi Gejolak Geopolitik Global
Pendiri Synergy PoliciesDinna Prapto Raharja. (Foto/IG)

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto akan unjuk diri sebagai pemimpin yang lebih agresif dalam panggung global pada 2025. Itu bertepatan dengan gejolak geopolitik global yang lebih fluktuatif. Dia juga akan lebih agresif dibandingkan presiden sebelumnya Joko Widodo dalam menghadapi gejolak politik global.

Setelah dilantik, Presiden Prabowo menggelar lawatan ke lima negara, mulai dari China, Amerika Serikat, Peru untuk menghadiri KTT APEC, Brasil, dan Inggris pada November 2024. Selanjutnya, Prabowo juga melakukan lawatan ke Mesir untuk menghadiri KTT D-8 di Mesir, dan melanjutkan kunjungan ke Malaysia.

Untuk mengupas lebih mendalam dan komprehensif, jurnalis SindoNEWS Raka Dwi Novianto melakukan wawancara dengan Pendiri dan Executive Director Lembaga Penelitian dan Pelatihan Independen Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, mengenai tantangan geopolitik yang dihadapi Indonesia.

Apakah arah kepemimpinan diplomasi Presiden Prabowo Subianto lebih agresif?

Apakah arah Presiden Prabowo lebih agresif tidak? Saya melihatnya Presiden Prabowo itu memang lebih banyak dan akan lebih banyak juga tampil di tingkat internasional.

Namun, kalau melihat kapasitas keuangan Indonesia juga di kementerian luar negeri juga eksistensi yang belum nampak dari menteri luar negeri di bidang diplomasi, Menteri Luar Negeri Sugiono dugaan saya kita tidak mungkin bisa lebih agresif. Kita datang saja kita hadir saja kita menyampaikan statement-statemen t yang mungkin saya keras tetapi negara lain gaakan memandang itu sebagai sesuatu yang dikatakan agresif.

Presiden Prabowo Akan Agresif Hadapi Gejolak Geopolitik Global
Foto/IG/Prabowo

Bagaimana realisasi agresivitas Prabowo dalam diplomasi?

Karena kalau kita bilang agresif itu harus ada satu istilah sendiri dalam hubungan internasional yang artinya memang harus disertai dengan resources bukan sekedar kata-kata disertai juga dengan skill jadi bukan sekedar kecaman misalnya.

Ya ini yang kita belum lihat dan di mana-mana Presiden Prabowo lah yang tampil ya bukan satu lembaga satu kekuatan yang sistematis yang juga dimunculkan di kementerian yang memang bertanggung jawab untuk urusan luar negeri.

Faktor apa saja yang mempengaruhi gejolak geopolitik bagi Indonesia pada 2025?

Kalau bicara soal gejolak geopolitik minimal itu ada 3 domain besar yang pertama di bidang politik ekonomi. Dan di sini pemainnya adalah Amerika Serikat, China dan BRICS.

Presiden Prabowo Akan Agresif Hadapi Gejolak Geopolitik Global

Yang pertama adalah AS, bagaimana analisisnya?

Jadi di domain ini gejolak geopolitiknya adalah Amerika Serikat berusaha dengan amat sangat dan lebih keras dibandingkan zaman Joe Biden untuk menekan China. Saya bilang menekan karena memang tujuannya itu adalah membuat China bertekuk lutut dari segi ekonomi mereka itu tidak lagi menjadikan dirinya yang terbesar menjadikan China sebagai yang terbesar tetapi memberikan konsesi-konsesi kepada Amerika Serikat di bidang ekonomi untuk kembali tampil menjadi kekuatan ekonomi dunia yang terbesar

Domain pertama tadi munculnya di mana saja menurut saya di isu perdagangan, tarif, kemudian juga ada blocking sejumlah produk strategis China seperti mobil listrik kemudian juga produk-produk persenjataan teknologi digital itu akan di blok dimana-mana.

Sementara itu untuk isu Israel Palestina ini jelas akan terus berkobar kemanusiaan itu walau diserukan berkali-kali kesan saya kok masih belum ke mana-mana gitu
Dinna Prapto Raharja, PendiriSynergy Policies

Apakah faktor perang Ukraina dan Rusia berpengaruh?

Domain Ukraina-Rusia domain ini akan memanas lebih panas lagi daripada yang kemarin karena pengamatan saya sangat bulat pandangan uni eropa dan Amerika Serikat untuk pokoknya Rusia harus bertekuk lutut segera.

Nah memang yang menarik disini adalah caranya kedua belah pihak Amerika dan Uni Eropa untuk membuat Rusia bertekuk lutut ini yang belum kompak sebenarnya. Kalau tujuannya untuk membuat Rusia bertekuk lutut sudah tapi itu sama.

Tapi kalau caranya mereka belum sepakat jadi disini kita akan melihat satu dinamika yang perlu diwaspadai karena Amerika berusaha untuk membuat uni eropa mengambil bagian secara keuangan lebih besar membiayai perang Ukraina secara lebih besar bahkan sudah meminta Uni Eropa untuk memberikan reimbesmen kepada Amerika untuk semua biaya yang ditanggungkan kepada Amerika saat Amerika membantu Ukraina di jaman Biden

Nah ini berarti kan perdebatannya seputar NATO seputar pembiayaan seputar hubungan peraliasinsi antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat.

Baca Juga: Hanya Mengandalkan Dinasti Politik dan Pencitraan, Trudeau Tumbang setelah 9 Tahun Berkuasa

Bagaimana dengan faktor konflik Timur Tengah yang selalu menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia?

Domain yang ketiga itu di Timur Tengah. Timur Tengah itu isunya disana sebenarnya salah satunya itu memang untuk menekan lebih lanjut Rusia. Kita lihat kejadian di Suriah disitu narasi Amerika Serikat sudah menunjukkan bahwa Rusia harus bertanggung jawab disana kemudian tapi kita belum lihat secara utuh posisi Amerika Serikat terhadap sekutu-sekutunya yang lain seperti Arab Saudi itu seperti apa.

Tapi yang pasti Iran itu akan di sama juga akan ditekan sampai kehabisan nafas sungguh ini suatu pertaruhan yang sangat serius juga untuk Iran supaya dia juga tidak hancur tidak jatuh pemerintahannya hilang kedaulatannya seperti kasus suriah

Sementara itu untuk isu Israel Palestina ini jelas akan terus berkobar kemanusiaan itu walau diserukan berkali-kali kesan saya kok masih belum ke mana-mana gitu.

Bagaimana Indonesia menghadapi berbagai faktor yang mempengaruhi geopolitik?

Jelas Indonesia harus berdaulat secara ekonomi politik di dalam negeri yang menurut saya menjadi pekerjaan rumah besar karena kita mau bicara di forum apapun. Kalau resources untuk melakukan politik luar negeri itu minim dan sorry to say anggaran untuk urusan luar negeri itu minim sekali kecil sekali untuk memenuhi kebutuhan kantor-kantor perwakilan Indonesia saja itu sudah minim sekarang dipotong dengan luar biasa besar sampai 50% untuk perjalanan dinas misalnya itu kan akhirnya tidak ada kegiatan-kegiatan yang bisa signifikan di tataran kantor-kantor perwakilan.

Padahal Anda tahu di kantor perwakilan itu kan tugasnya memantau kemudian menjaga relasi dengan network setempat mencari informasi soal perkembangan-perkembangan terkini.

Belum lagi kalau berada di titik-titik yang sangat penting domain utama yang saya sebut tiga tadi berarti kan negara-negara mitra itu kan memantau Indonesia itu bisa sejauh apa diluar dari sekedar bicara sekedar bikin statement.

Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk memperkuat posisi geopolitiknya?

Kita harus menyatukan banyak pihak harus membuat ada forum dialog bukan masalah fancy-nya pertemuan macam yang dilakukan jamannya Jokowi itu berlebihan sebenernya terlalu show off di level penampilannya subtansinya sebenernya tidak sedalam apa yang di sampaikan di media sosial.

Tapi kalaupun kita mau membuat kegiatan seperti itu sekarang anggarannya sudah tidak ada.

Jadi gak mungkin urusan luar negeri hanya diambil oleh perorangan hanya dilakukan oleh seorang Presiden dan selebihnya itu semua harus satu garis gitu kemudian juga tidak ada pelibatan dari kelompok-kelompok ahli masyarakat sipil itu sangat mustahil sebenarnya.

Karena komunikasi dari berbagai pihak itu ditangkapnya akan beda-beda informasi yang masuk ke Indonesia akan beda-beda tergantung darimana kita gali seperti apa pihak-pihak itu juga merespon. Apalagi, itu diskusinya atau deliberation itu sungguh butuh waktu.

Jadi tidak bisa hanya dikerucutkan di simplifikasi hanya menjadi kegiatan tokoh tertinggi pemimpin republik Indonesia itu hanya diambil alih diplomasinya oleh Presiden Prabowo itu tidak mungkin terjadi itu satu hal yang mungkin saya sampaikan.

(Raka Dwi Novianto)

Jubir Kemlu Roy Soemirat: 2025 Akan Membawa Warna Baru

Jubir Kemlu Roy Soemirat: 2025 Akan Membawa Warna Baru
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RIRoy Soemirat. Foto/X/@crystalkeyl

Fragmentasi menjadi tema utama pada geopolitik 2025 dengan adanya kompetisi untuk mendapatkan sumber daya hingga upaya menunjukkan dominasi kekuatan dengan perang yang akan berpengaruh pada tatanan politik.

Geopolitik tidak lepas karena imbas berbagai perang yang terjadi selama 2024, seperti Perang Gaza, konflik Iran dan Israel, perang Ukraina dan Rusia, konflik Sudan, ketegangan di Semenanjung Korea, hingga konfrontasi antara Filipina dan China dalam konflik di Laut China Selatan. Perang juga bisa saja meluas, buktinya pemberontak Suriah sudah berhasil mengusir Bashar Al Assad. Kekerasan di Myanmar juga makin meluas karena pemberontak sudah memiliki nyali untuk melawan Junta Militer.

Selain imbas konflik pada tahun sebelumnya, 2025 juga penuh kejutan sebagai dampak atas kemenangan Partai Republik pada pemilu presiden di Amerika Serikat, di mana Donald Trump kembali berkuasa. Kebijakan luar negeri AS pun akan bergeser di mana Trump sudah berkoar-koar tentang akan membela penuh Israel dan mewujudkan normalisasi hubungan Zionis dengan Saudi, hingga mengincar Iran, serta memberlakukan perang tarif dengan China. Dunia pun masih menunggu apa saja yang akan dilakukan Donald Trump.

Selain itu, China yang akan semakin ekspansif, baik di Laut China Selatan, dan memperkuat geopolitiknya di berbagai belahan dunia, dengan mengajak berbagai negara bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI) dengan imbalan investasi berupa utang dan bantuan ekonomi. Dengan dalih meningkatkan kerja sama, makin banyak negara yang akan terjebak dalam jebakan utang China, seperti Sri Lanka, Pakistan, Kenya, dan banyak negara lainnya.

Di dalam negeri, Presiden Prabowo Subianto memiliki agenda baru dalam diplomasinya. Berbeda dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Prabowo langsung menggelar lawatan ke luar negeri dengan bertemu langsung dengan Presiden China Xi Jinping, mengunjungi Amerika Serikat, menghadiri KTT APEC di Lima, Peru. Selain itu, Prabowo juga berkunjung ke Brasil untuk menghadiri KTT G20 dan Uni Emirat Arab.

Dalam kesempatan yang istimewa, jurnalis SindoNEWS Binti Mufarida melakukan wawancara mendalam dengan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Roy Soemirat.

Bagaimana arah politik luar negeri pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kedepan? Lalu apakah dasar/tujuan yg ingin dicapai dari perubahan tersebut?

Dengan tantangan global dan dinamika geopolitik yang semakin kompleks saat ini, pemerintah, Indonesia, tidak bisa tidak, harus berkontribusi aktif. Ini merupakanmandat dari konstitusi kita agar kita melakukan upaya-upaya, khususnya untuk menciptakan perdamaian dunia. Hal ini juga mencerminkan polugri kita yang “bebas dan aktif”.

Karena itu, diplomasi kita saat ini proaktif, menjemput bola, baik untuk kerja sama bilateral maupun kerja sama di forum multilateral. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Presiden Prabowo bahwa Indonesia ingin berteman dengan semua negara, dan memilih untuk memajukan kerja sama dan kolaborasi dengan semua. Sikap proaktif Indonesia ini dilakukan untuk (1) melindungi kepentingan nasional, (2) menciptakan stabilitas kawasan, dan (3) meningkatkan posisi Indonesia di forum global. Di tengah kondisi saat ini, kita ingin Indonesia dapat terus menjadi bridge builder dan menjadi bagian dari solusi.

Tentunya saya sangat berharap, 2025 akan membawa warna baru. Warna perdamaian dan kemakmuran bagi semua
Jubir Kemlu RI Roy Soemirat


Apa saja gejolak geopolitik yang akan dihadapi Indonesia pada 2025 mendatang?

Tentunya saya sangat berharap, 2025 akan membawa warna baru. Warna perdamaian dan kemakmuran bagi semua. Namun, 2025 sudah sangat dekat (just around the corner). Dan yang kita saksikan hingga saat ini masih sangat menyedihkan. Kondisi di Timur Tengah, khususnya agresi dan kekejaman Israel yang terus berlangsung dan belum dapat hentikan di Palestina dan Lebanon, kondisi terakhir di Suriah, akan mewarnai dan menambah ketegangan regional.

Di Eropa, belum ada tanda-tanda Perang Ukraina-Rusia akan usai dalam waktu dekat. Di Indo-Pasifik, rivalitas antara kekuatan besar juga masih sangat kita rasakan. Situasi di Myanmar juga semakin mengkhawatirkan. Tanpa upaya kolektif dan solid dari negara-negara yang ada di dunia terhadap apa sedang kita hadapi saat ini, maka dinamika geopolitik di tahun 2025 masih akan diwarnai ketidakpastian, dengan kondisi global yang semakin kompleks dan dinamis. Ini semua akan berdampak juga di kawasan dan Indonesia.

Jubir Kemlu Roy Soemirat: 2025 Akan Membawa Warna Baru

Bagaimana Indonesia menghadapi gejolak geopolitik tersebut? Apa saja strategi diplomasi yang bisa dilaksanakan Indonesia?

Pertama, Indonesia berteman dengan semua. Sekali lagi, Indonesia ingin menjadi tetangga yang baik. Indonesia ingin menjalin hubungan yang konstruktif dengan semua pihak, dan tidak terikat pada blok tertentu. Ini menjadi modal penting. Polugri kita yang bebas aktif akan memudahkan kita menghadapi berbagai dinamika geo-politik baik di kawasan dan global.

Keanggotaan Indonesia di berbagai organisasi internasional, termasuk ASEAN, G20, dan saat ini sedang proses bergabung dalam BRICS dan OECD, merupakan pengejewantahan prinsip ini.

Kedua, peran dan reputasi Indonesia di panggung internasional sudah jelas. Rapor kita cukup baik. Peran Indonesia sebagai bridge builder dan mitra terpercaya telah diakui banyak pihak. Peran ini akan kita lanjutkan, khususnya dalam memperjuangkan kepentingan nasional kita, kepentingan the Global South, sekaligus mendorong perdamaian dan kemakmuran dunia.

Baca Juga: Apakah Israel Akan Meraih Kekalahan atau Menggapai Kemenangan pada 2025?

Bagaimana kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai gejolak geopolitik?

Indonesia harus kuat (resilient), baik ke dalam dan ke luar. Tantangan global sangat dinamis dan sangat kompleks dan pasti akan berdampak terhadap kita, karena itu kita harus menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat menghadapi tantangantantangan tersebut. Salah satunya adalah dengan memperkuat ketahanan nasional kita.

Karena itu, dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI tanggal 2 Desember 2024, Menlu RI menyampaikan bahwa diplomasi kita, salah satu prioritasnya adalah memperkuat ketahanan nasional kita. Hal ini akan dilakukan melalui penguatan upaya-upaya untuk mempertahankan kedaulatan NKRI dan memperluas kemitraan dalam rangka menciptakan ketahanan pangan, energi, dan air di tingkat nasional.

Upaya lainnya yang akan kita lakukan melalui diplomasi adalah dengan memperkuat diplomasi ekonomi. Diplomasi ekonomi akan memastikan kepentingan dan kebutuhan rakyat kita terpenuhi.

Jubir Kemlu Roy Soemirat: 2025 Akan Membawa Warna Baru
Foto/IG/Prabowo

Apakah politik bebas aktif akan tetap menjadi fondasi politik Indonesia dengan berbagai tantangan di depan? Apakah politik bebas aktif masih tetap relevan?

Dalam pidato pelantikan Presiden Prabowo pada 20 Oktober 2024, beliau menyebutkan bahwa dalam menghadapi dunia internasional kita menganut prinsip bebas aktif. Jadi jelas, ini akan tetap menjadi fondasi untuk politik luar negeri kita.

Politik luar negeri bebas aktif justru sangat relevan dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Prinsip ini-lah yang memungkinkan Indonesia menjaga kemandirian dalam menentukan arah kebijakan, tanpa terikat pada blok kekuatan tertentu, sekaligus terus memperjuangkan kepentingan nasional, perdamaian, dan kemakmuran dunia.

Dunia makin terpolarisasi. Terpecah. Blok-blokan masih menjadi kekuatan. Apakah Indonesia akan tetap setia dengan Gerakan Non Blok? Mengapa?

Ya, kita akan terus menyuarakan ini. Sedikitnya ada dua alasan utama:

Pertama, Indonesia merupakan salah satu pencetus awal Gerakan Non-Blok, yang berakar dari Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Indonesia turut memelopori semangat solidaritas di antara negara-negara berkembang, dan berkeyakinan bahwa kita tidak harus beraliansi dengan kekuatan besar manapun. Jadi, non-blok sudah menjadi ruh kebijakan luar negeri kita. Kita pastikan bahwa prinsipprinsipnya tetap hidup dalam diplomasi kita hingga kini, karena memang sangat relevan dengan dinamika geopolitik saat ini.

Kedua, non-blok sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang menjadi pedoman diplomasi kita. Presiden Prabowo juga jelas menyampaikan Indonesia menganut prinsip non-blok, non-aligned, dalam pidato pelantikannya. Bahwa kita tidak akan ikut pakta militer manapun dan memilih menjadi tetangga yang baik.

Hal ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional, tanpa terikat pada blok kekuatan tertentu. Indonesia tidak dapat ditekan untuk memilih salah satu pihak/blok dan menjadi proxy siapapun. Fokus kita, kawasan harus menjadi tempat kerja sama, bukan arena rivalitas.

Jadi, prinsip dan semangat Gerakan non-blok menurut saya bukan hanya sebagai bentuk komitmen sejarah, tetapi juga sebagai bagian dari strategi diplomasi yang sangat relevan untuk menjaga kemandirian dan turut berkontribusi bagi dunia.

Donald Trump akan berkuasa pada 2025. Apapun yang dilakukan Presiden AS, pasti akan berdampak pada dunia. Iran akan jadi fokus Trump. Israel jadi prioritas Trump. Perang dagang dengan China sudah disiapkan. Bagaimana Indonesia meresponsnya?

Yang pasti, AS adalah Mitra Strategis Komprehensif bagi Indonesia. Hubungan kita telah terjalin selama 75 tahun secara erat melalui beragam inisiatif kerja sama yang saling menguntungkan, termasuk di sektor ekonomi.

Sebaiknya kita tunggu hingga Presiden Terpilih Trump akan dilantik nanti di Januari 2025 dan kabinetnya terbentuk.

Blok aliansi ekonomi BRICS sepertinya menjadi alternatif bagi Indonesia dalam menjalin kerja sama multilateral. Apakah BRICS masih prospektif bagi Indonesia?

Keinginan Indonesia bergabung sebagai anggota BRICS adalah pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif−yang menjadi prinsip utama diplomasi Indonesia. Kita berpartisipasi aktif di semua forum, dan Indonesia selalu terbuka untuk bekerja sama dengan negara atau organisasi mana pun.

Langkah ini juga bukan berarti kita lebih memihak pada salah satu blok geopolitik tertentu, melainkan untuk memperluas keterlibatan dengan berbagai pihak. Indonesia melihat BRICS sebagai salah satu platform kerja sama yang memiliki potensi besar, terutama dalam memperkuat hubungan ekonomi negara-negara berkembang. Melalui keanggotaan di BRICS nantinya, Indonesia juga berharap dapat memainkan peran sebagai bridge-builder di tengah perbedaan pandangan yang sering muncul antara negara maju dan negara berkembang.

Keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS telah disampaikan Bapak Menlu pada KTT BRICS-Plus 24 Oktober 2024, di Kazan Rusia. Dan pengumuman tersebut menandai proses bergabungnya Indonesia menjadi anggota BRICS. Saat ini Indonesia masuk dalam kategori interested country. Kita masih perlu melalui tahap prospective member, kemudian invited (to become) member, sebelum akhirnya menjadi member state.

Diplomasi dalam permainan geopolitik dan diplomasi ekonomi seyogyanya berjalan beriringan. Apakah Indonesia juga akan mengusung diplomasi ekonomi untuk menarik investor?

Diplomasi ekonomi merupakan salah satu pilar penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan dinamika geopolitik yang semakin tidak terprediksi, diplomasi ekonomi dituntut untuk semakin dinamis dan efektif.

Diplomasi ekonomi Indonesia dilakukan antara lain dalam rangka meningkatkan volume perdagangan dan investasi dengan negara-negara mitra dan juga meningkatkan akses pasar dan mengurangi hambatan perdagangan, antara lain melalui peningkatan jumlah FTA, PTA, perjanjian ekonomi dengan negara-negara sahabat. Peningkatan hubungan ekonomi juga akan kita lakukan dengan negaranegara yang merupakan pasar non-tradisional.

Sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo dalam pertemuan APEC CEO Summit di Peru, 14 November 2024: ‘Indonesia is open for more business’. Pemerintah akan mengupayakan iklim ekonomi yang kondusif, iklim politik yang stabil, serta insentif yang menguntungkan, salah satunya untuk menarik investor.

Dengan prinsip saling menguntungkan, Indonesia terus membangun kepercayaan mitra internasional untuk memastikan investasi yang membawa manfaat nyata bagi pembangunan nasional.

Untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia, Kemlu saat ini tengah membentuk Ditjen baru yang akan membantu sinergi dan koordinasi upaya memperkuat ekonomi Indonesia.

(Binti Mufarida)

5 Arah Geopolitik Tahun 2025

5 Arah Geopolitik Tahun 2025

Pada tahun 2025, para pemimpin akan bergulat dengan berbagai tantangan geopolitik. Berbagai dinamika dan pertanyaan akan membentuk agenda geopolitik tahun depan.

Awal tahun akan menyaksikan pemerintahan di seluruh dunia pada awal masa jabatan baru, yang dipaksa untuk menanggapi dengan cepat tantangan ekonomi, sosial, keamanan, lingkungan, dan teknologi yang meningkat. Masalah-masalah ini akan sulit untuk diatasi kapan saja, tetapi saat ini masalah-masalah ini muncul di tengah konteks geopolitik yang bergejolak—yang memperlihatkan disintegrasi tatanan internasional pascaperang.

Akibatnya, para pemimpin tidak hanya perlu mengatasi tantangan-tantangan tertentu, tetapi juga melakukannya sambil menemukan kesepakatan untuk membangun kerangka kerja global guna mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan sebagai ganti agresi dan ketidakpastian ekonomi yang sedang kita alami saat ini.

Lalu, apa saja dinamika yang seharusnya menjadi dasar tindakan para pemimpin?

Apa saja 3 dinamika yang seharusnya menjadi dasar tindakan para pemimpin pada tahun 2025?

Pertama, para pemimpin harus memperhitungkan pertumbuhan respons yang tampaknya tidak rasional di antara para konstituen dan mitra mereka. Para pemimpin tidak dapat lagi berasumsi bahwa pemangku kepentingan domestik dan global akan dipandu oleh kepentingan yang dapat diidentifikasi karena politik domestik dan global yang terpolarisasi dapat menyebabkan keputusan yang tampak kontraproduktif bagi audiens eksternal.

"Memang, beberapa kekuatan yang membentuk keputusan-keputusan ini bukan hanya merupakan hasil dari polarisasi yang semakin dalam, tetapi juga meningkatnya tingkat misinformasi," kata Samir Saran, Presiden Observer Research Foundation (ORF), dilansir We Forum.

Kedua, para pemimpin harus siap menghadapi pertumbuhan inkonsistensi. Komitmen eksternal dibuat berdasarkan lokasi dan kepentingan domestik suatu negara. Efek geografi pada hati nurani terlihat jelas dalam respons yang berbeda terhadap Gaza, Ukraina, dan Sudan.

"Penerimaan standar ganda seputar penerapan hak asasi manusia dan tanggung jawab atau keinginan untuk melindungi kini lebih normal daripada aspirasi terhadap nilai-nilai universal, seperti yang dianut oleh Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia," ungkap Saran.

Terakhir, para pemimpin harus siap menghadapi pertumbuhan suara-suara yang berpengaruh. Para pemimpin harus memperhitungkan dan mendengarkan para aktor baru, mulai dari para pemimpin bisnis hingga para influencer sosial hingga negara-negara yang sedang berkembang, yang banyak di antaranya tidak mau mematuhi status quo.

"Konsensus 'liberal' pascaperang ditantang baik dari dalam maupun luar—bahkan negara-negara yang menjadi benteng tatanan pascaperang memiliki kekuatan politik domestik yang kuat yang kini menentangnya," jelas Saran.

Dengan dinamika ini sebagai latar belakang, apa saja pertanyaan geopolitik paling mendesak yang perlu dijawab para pemimpin di tahun mendatang?

5 Arah Geopolitik Tahun 2025

1. Memperkuat Kerja Sama Global di Tengah Tatanan yang Terpecah

Kerja sama global berada pada titik terendah dan konflik meningkat. Para pemimpin dan lembaga tradisional, seperti WTO dan PBB, baru-baru ini terbukti tidak efektif dalam memberikan konsensus global yang luas, atau berfungsi sebagai platform untuk menyelesaikan perselisihan. Negara-negara dan blok yang muncul dari seluruh belahan bumi selatan belum mengklarifikasi apakah mereka akan berfungsi sebagai penyeimbang yang bermanfaat terhadap tatanan keamanan global yang dipimpin Barat yang menurun, atau sekadar memainkan peran yang mengganggu.

"Menyeimbangkan dinamika ini juga akan menjadi tugas Beijing, mengingat bahwa Beijing berada di pusat berbagai geometri baru—seperti Prakarsa Keamanan Global yang diusulkan, Organisasi Kerja Sama Shanghai, Forum Kerja Sama Tiongkok-Afrika (FOCAC), dan kemungkinan poros Rusia-Iran-China," ujar Saran.

Dua konflik yang paling memecah belah pada tahun 2024—perang Rusia yang sedang berlangsung di Ukraina dan konflik antara Israel dan Hamas di Gaza—muncul dari gesekan yang sudah berlangsung lama. Bahwa konflik-konflik ini tiba-tiba berkobar, menandakan bahwa tatanan keamanan global terlalu terfragmentasi untuk mempertahankan atau menegosiasikan perdamaian.

"Dalam konteks ini, ketika kepatuhan terhadap nilai-nilai universal menjadi suatu kemustahilan dan tatanan yang ada mulai hancur, para pemimpin akan dipaksa untuk mengakui keterbatasan pengaruh mereka dan kendala aliansi mereka," ungkap Saran.

Para pemimpin harus bertanya: Apa saja cara untuk menjangkau lintas batas guna mencegah konflik lebih lanjut? Apakah mungkin bagi para pemimpin untuk menerima lebih banyak batasan atas kekuasaan mereka dan mengemban tugas untuk menciptakan perdamaian? Apa saja area kesepakatan minimum yang dapat menghasilkan kemajuan dan melawan tindakan kemunduran?

Baca Juga: 2024 Jadi Tahun Kemenangan bagi Rusia di Perang Ukraina, Berikut 5 Faktanya

2. Memperkuat Kedaulatan di Dunia Kontemporer

Cita-cita tatanan berbasis aturan, yang dengan susah payah dipertahankan sejak 1945, semakin jauh dari praktik saat ini dibandingkan dengan delapan dekade terakhir. Tanpa norma bersama, lembaga yang kuat, dan komitmen terhadap hukum internasional, sulit untuk membentuk lingkungan yang stabil dan damai. Namun, para pembela tatanan berbasis aturan telah menyadari bahwa bagi banyak negara, peran dan stabilitas lembaga dan pengaturan politik nasional sangat penting.

"Sementara pasukan yang melintasi batas fisik merupakan penghinaan yang jelas terhadap kedaulatan, tindakan ekonomi yang menyimpang, manipulasi sistem politik, dan pengaturan akses ke pasar, pengaturan perdagangan, dan sistem pembayaran berpotensi melanggar Piagam PBB dan dapat melanggar aspek kedaulatan yang paling penting," jelas Saran.

Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara dianggap penting untuk menyerahkan kedaulatan dan kemampuan untuk membuat keputusan independen tentang kebijakan tertentu kepada lembaga tata kelola global, untuk membangun tatanan global yang "kohesif". Para penantang yang tidak liberal terhadap tatanan ini telah lama menekankan pentingnya, seperti yang mereka lihat, mempertahankan kedaulatan sebagai landasan hubungan internasional.

Sekarang, bahkan para pembela tatanan global sering kali memahami bahwa aturan tidak dapat dirancang atau ditegakkan di dunia di mana kedaulatan negara tidak dihormati. Karena tanpa negara kuat yang dapat berbicara atas nama penduduknya dan mempertahankan hak-hak mereka, bagaimana tatanan berbasis aturan dapat berkembang?

"Oleh karena itu, pada tahun 2025, para pemimpin akan bertanya: Dapatkah kemerdekaan negara ditangani dan direvitalisasi secara paralel dengan penguatan struktur transnasional yang menawarkan keamanan bagi penduduknya?" tanya Saran.

5 Arah Geopolitik Tahun 2025

3. Memulihkan Perdagangan

Zaman keemasan perdagangan tampaknya telah berakhir. Pada tahun 2023, perdagangan barang menyusut sekitar dua persen, lebih banyak daripada titik mana pun di abad ini selain selama resesi global. Meningkatnya konflik dan kesadaran bahwa nilai-nilai global sulit dipahami telah terwujud dalam tantangan terhadap kebijakan perdagangan, industri, dan keuangan.

Sekarang lebih sulit untuk melindungi rantai pasokan dan ada tekanan baru pada integritas sistem pembayaran. Titik-titik rawan baru — dari Laut Merah hingga Laut Baltik — memberikan gambaran kekacauan yang akan terjadi setelah, misalnya, pecahnya konflik di Selat Taiwan.

Sementara itu, kebijakan industri proteksionis kembali muncul karena keadaan politik di dalam negeri dan penyimpangan rantai nilai global, yang mengharuskan pemikiran ulang tentang sistem perdagangan global. Setelah puluhan tahun memperingatkan negara-negara berkembang bahwa intervensi pemerintah berbahaya, para ekonom Barat telah beralih tanpa rasa takut untuk meresepkannya bagi masyarakat mereka sendiri. Undang-Undang Pengurangan Inflasi Amerika Serikat telah mengundang klaim proteksionisme dan ketidaksenangan dari sejumlah mitra dagang asing utama.

Uni Eropa telah mengesahkan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon, yang menimbulkan kekhawatiran serupa, meskipun Tiongkok telah menerapkan kebijakan proteksionis tersebut selama bertahun-tahun. Meskipun langkah-langkah ini dianggap munafik oleh negara-negara berkembang, langkah-langkah tersebut merupakan hasil dari tekanan domestik yang nyata untuk memastikan daya saing, bukan semata-mata keinginan untuk meningkatkan persaingan.

"Rantai pasokan yang dipisahkan oleh kekuatan proteksionis dapat menimbulkan inefisiensi dalam sistem ekonomi global dan, akibatnya, tekanan inflasi baru. Lebih buruk lagi, titik akhirnya mungkin merupakan bentuk "globalisasi tertutup" yang membatasi keuntungan dan kemajuan hanya untuk peserta tertentu. Pelajaran dari pertumbuhan pascaperang selama bertahun-tahun tampaknya telah dilupakan. Keuntungan tersebut mungkin tidak dibagikan secara merata di antara negara-negara, tetapi tetap saja nyata—dan bertanggung jawab atas pengurangan kemiskinan global yang belum pernah terjadi sebelumnya," jelas Saran.

Dunia kini berada di antara era ekonomi pasar bebas dan intervensionis, tetapi seiring campur tangan pemerintah dalam industri-industri utama, kepemimpinan yang kuat masih dapat menggeser dunia ke era perdagangan yang lebih adil.

"Oleh karena itu, pada tahun 2025 para pemimpin perlu bertanya: Dapatkah kita belajar menegosiasikan pengaturan baru antara mitra-mitra baru sambil mengamankan manfaat perdagangan yang telah lama ada? Bagaimana kita akan menciptakan keuntungan baru dari perdagangan, dan dapatkah kita bekerja lebih keras untuk membagi manfaatnya secara lebih adil?" tegas Saran.

4. Menjaga Inovasi yang Terdesentralisasi

Dampak Kecerdasan Buatan dan teknologi canggih lainnya pada masyarakat dan ekonomi baru mulai dipahami. Perkembangan teknologi lainnya dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang terhubung memiliki kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dari batas-batas global.

AI dapat memengaruhi ketimpangan secara berbeda: tampaknya AI memberi hak istimewa kepada pemilik algoritma, pemilik data, pemilik modal, dan lokasi-lokasi yang mendominasi daya pemrosesan. Jika AI perlu digunakan untuk membangun lebih banyak AI, maka ada alasan yang kuat untuk menganggap bahwa sifat inovasi teknologi yang terdesentralisasi — yang penting untuk pertumbuhan lapangan kerja dan aspirasi — mungkin akan segera berakhir. Tren semacam itu akan secara signifikan membatasi kemampuan negara-negara berkembang untuk menghasilkan kekayaan tambahan.

"Bagi banyak pemerintah, upaya untuk mengatur teknologi bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, tetapi harus diimbangi dengan pertimbangan keuntungan dan peluang yang lebih luas dari inovasi yang cepat - misalnya percepatan perhitungan ilmiah yang diperlukan untuk mengurangi perubahan iklim atau pengembangan praktik untuk mendukung kesehatan dan keselamatan pekerja di tempat kerja," ujar Saran.

Teknologi pembagian antara negara yang mengendalikan cara produksi teknologi baru dan yang tidak harus diprioritaskan untuk memastikan bahwa keuntungan ekonomi dan sosial dari teknologi didistribusikan secara merata di seluruh dunia. Sentralisasi inovasi, kewirausahaan, dan penciptaan nilai — dengan kemajuan AI yang terbatas pada perusahaan besar, kaya modal, dan sumber daya — akan berimplikasi pada pemerataan data dan penciptaan pengetahuan yang beragam.

"Oleh karena itu, para pemimpin perlu bertanya pada tahun 2025: Bagaimana kita dapat menjaga inovasi dan penelitian tetap ramping, tersebar, dan kompetitif? Dapatkah kita memastikan bahwa lokasi penciptaan nilai dan inovasi menjadi lebih inklusif, bukan kurang? Bagaimana badan pengatur global dapat dirancang sehingga mereka dapat mengimbangi kecepatan perubahan dan mendistribusikan manfaat teknologi secara adil?" tanya Saran.

5. Berharap pada Energi Baru

Masyarakat menghadapi tekanan panas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 2023, dunia menembus batas kenaikan suhu rata-rata 1,5°C yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris untuk pertama kalinya, dan implikasinya terlihat jelas, dengan pemindahan paksa, hilangnya keanekaragaman hayati, kekurangan gizi, dan masih banyak lagi yang merajalela.

Konsekuensi ini menimbulkan dampak yang tidak merata, yang sering kali paling berdampak pada komunitas yang paling sedikit berkontribusi terhadap pemanasan global. Kesenjangan ini telah menyoroti kegagalan banyak kerangka kerja global yang dirancang untuk memobilisasi dana guna mengekang emisi dan membantu adaptasi — misalnya, penyediaan USD100 miliar per tahun untuk negara berkembang pada tahun 2020. Sebaliknya, pendanaan iklim cenderung dihimpun dalam satu wilayah geografis untuk kebutuhan wilayah geografis tersebut.

"Berbagai gagasan telah diajukan: reformasi bank pembangunan multilateral sehingga mereka dapat melakukan investasi yang lebih besar dalam infrastruktur dan energi, pertukaran utang untuk iklim, dan instrumen kebijakan berbasis pasar lainnya. Para pemimpin perlu bekerja lebih sedikit pada gagasan dan lebih banyak pada implementasi dan akuntabilitas," papar Saran.

Apa Saja Game Changer Geopolitik 2025?

Apa Saja Game Changer Geopolitik 2025?
Foto/osintltd

Dunia menjadi kurang dapat diprediksi. Aliansi tradisional dan medan pertempuran geopolitik berkembang seiring gelombang persaingan strategis yang mendorong ketidakpastian bagi bisnis global.

Dari geopolitik dan konflik hingga pemilihan umum dan perdagangan, data kami menunjukkan bahwa sistem internasional memanas dan menciptakan dasar risiko baru bagi organisasi multinasional di seluruh dunia.

Apa Saja Game Changer Geopolitik 2025?

1. Amerika Serikat: Akankah Trump Membuat Kesepakatan Besar dengan Beijing?

"Setelah Donald Trump dilantik pada tanggal 20 Januari, ia akan memiliki pilihan untuk dibuat dan kewenangan untuk membuatnya. Yang teratas dalam daftar tersebut adalah hubungan geopolitik Amerika yang menegangkan dengan Rusia dan China," ungkap Leslie Vinjamuri, direktur, Program AS dan Amerika, Chatham House.

Mengenai yang pertama, pertanyaannya adalah hubungan seperti apa yang akan dimainkan dengan Rusia dan Vladimir Putin. Posisi Amerika terhadap Ukraina akan mengalir dari sini. Diperkirakan Trump akan mendorong kesepakatan perdamaian dengan Ukraina, tetapi lihat apakah ia mencoba – seperti banyak presiden di tahun pertama mereka – untuk mengatur ulang hubungan dengan Rusia, baik dengan mendesak perundingan stabilitas strategis atau, yang lebih penting, untuk rencana keamanan Eropa yang mengintegrasikan Rusia.

Sementara perundingan pengendalian senjata akan disambut baik oleh banyak orang, perkirakan akan ada penolakan jika Trump mencoba mengatur ulang hubungan yang lebih ambisius.

Hubungan China mungkin kurang mendesak, tetapi bagi Amerika, ekonomi global, dan stabilitas internasional, Chinaadalah yang lebih penting. Akankah Trump menindaklanjuti ancamannya untuk mengenakan tarif tambahan pada impor China dan condong ke pertahanan Taiwan, atau akankah ia mencoba tawar-menawar besar yang melihat China memanfaatkan kemitraannya dengan Rusia untuk mengamankan kesepakatan di Ukraina, sebagai imbalan atas komitmen AS yang berkurang terhadap Taiwan?

"Kesepakatan semacam itu dapat memperbaiki hubungan antara China, Rusia, dan Amerika tetapi dengan harga yang mahal. Dan mengingat geopolitik saat ini, ketenangan apa pun kemungkinan akan cepat berlalu. Jika Trump benar-benar mencoba melakukan penataan ulang yang radikal, itu akan menunjukkan hanya sedikit pagar pembatas yang tersisa terkait kebijakan luar negeri dan kekuasaan presidensial – dan banyak warga Amerika, termasuk di partainya sendiri, tidak akan senang," ungkap Vinjamuri.

2. Asia dan Pasifik: China Bersiap Menghadapi Tarif Amerika

Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih akan membayangi Asia pada tahun 2025, karena para pemimpin kawasan mempertimbangkan sejauh mana ia akan melanjutkan perang dagang baru dengan China dan dampak apa yang akan ditimbulkan pemerintahannya yang tidak dapat diprediksi terhadap titik-titik konflik utama: Laut China Selatan, Taiwan, dan Korea Utara.

"Beralih antara transaksional dan konfrontatif, Presiden Trump dapat memperburuk ketegangan yang ada dengan Beijing atas Taiwan dan Laut China Selatan atau, yang sama saja, mengkhianati mitra dan sekutu AS di Asia. Sementara Korea Selatan mengalami pertikaian dalam negeri, tantangan Korea Utara semakin meningkat. Kim Jong Un lebih agresif dari sebelumnya, dan mengirim ribuan pasukannya yang setia untuk berperang bagi Rusia melawan Ukraina sambil mengembangkan senjata nuklir di dalam negeri," papar Ben Bland, Direktur Program Asia-Pasifik, Chatham House.

Xi Jinping akan menghadapi pertumbuhan yang lambat di dalam negeri dan sektor swasta yang semangatnya telah dikekang oleh dorongannya untuk memperketat kendali Partai Komunis.

3. Kecerdasan Buatan: Kesempatan bagi AI untuk MenjadiLebih Adil

Pada tahun 2025, tindakan terhadap tata kelola AI global akan menjadi fokus yang lebih tajam, karena negara-negara menyeimbangkan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kerja sama internasional sambil menavigasi meningkatnya ketegangan geopolitik.

Pada bulan Februari, pemerintah, perusahaan teknologi, ilmuwan, dan pakar akan bertemu di Paris untuk membahas cara membangun AI 'kepentingan publik' di AI Action Summit. Kepresidenan G7 Kanada, yang dimulai pada bulan Januari, diharapkan akan berfokus pada pendekatan bersama terhadap negara-negara berkembang.

Namun di luar konferensi tingkat tinggi ini, upaya lain untuk memperkuat tata kelola AI akan semakin cepat. Sepanjang tahun 2025, penerapan Global Digital Compact PBB dan cetak biru yang diusulkan untuk tata kelola AI dapat memberikan peluang bagi kekuatan yang baru muncul untuk menulis ulang aturan dan mendapatkan lebih banyak pengaruh.

"Aturan baru tentang AI tujuan umum dari 'Undang-Undang AI' andalan Uni Eropa akan mulai berlaku pada bulan Agustus. Peraturan ini, yang pertama dari jenisnya, juga dapat membantu memajukan 'kode praktik' yang berpengaruh secara global bagi perusahaan AI untuk dipatuhi," ungkap Isabella Wilkinson, peneliti, Program Masyarakat Digital, Chatham House.

Setelah pergolakan 'siklus besar' elektoral tahun lalu, pemerintah di seluruh dunia akan menghadapi ujian yang semakin mendesak pada tahun 2025; cara mengesampingkan perbedaan politik nasional dan ketegangan geopolitik serta bekerja sama untuk memperkuat tata kelola global pada AI demi kebaikan publik.

4. Ekonomi Global: Akankah Trump Menekan Inflasi?

Pilihan kebijakan yang diambil Donald Trump saat masa jabatan keduanya sebagai presiden AS dimulai kemungkinan akan mendominasi prospek ekonomi global dalam 12 bulan ke depan.

Jika ia menindaklanjuti ancaman kampanyenya untuk mengenakan tarif 10 hingga 20 persen secara menyeluruh pada impor dari negara lain – dan 60 persen pada impor Tiongkok – seluruh dunia perlu memutuskan apakah akan membalas dengan tarif mereka sendiri, atau berusaha menegosiasikan kesepakatan dengan AS, atau kemungkinan besar campuran keduanya.

"Dikombinasikan dengan deportasi jutaan migran tidak berdokumen dan kebijakan fiskal ekspansif Trump, hal ini dapat menyebabkan inflasi AS yang meningkat kembali tahun depan. Bagaimana Federal Reserve menanggapi akan menjadi penting bagi pasar keuangan domestik dan dolar," ujar Creon Butler, direktur, Program Ekonomi dan Keuangan Global, Chatham House.

Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi dunia kemungkinan akan semakin jelas pada tahun 2025, yang memaksa para pembuat kebijakan ekonomi arus utama di bank sentral dan kementerian keuangan untuk memasukkannya ke dalam kebijakan sehari-hari mereka.

"Namun, pandangan pemerintahan Trump yang sangat skeptis terhadap perubahan iklim, khususnya, dan multilateralisme, secara umum, akan semakin mempersulit upaya untuk mengumpulkan respons global yang efektif menjelang COP30 di Brasil pada bulan November," papar Butler.

5. Eropa: Bisakah Jerman Memperbarui Kepemimpinannya di UE?

Pemilihan umum Bundestag Jerman pada tanggal 23 Februari akan membentuk politik Eropa pada tahun 2025. Dimajukan sejak bulan September setelah runtuhnya pemerintahan koalisi, pemilihan umum tersebut akan menghidupkan kembali kepemimpinan politik Jerman. Ekonomi Jerman – yang terbesar di UE – mengalami kontraksi untuk tahun kedua berturut-turut pada tahun 2024, dan tulang punggung tradisional ekonominya, industri mobil, sedang berjuang. Pemerintah baru harus menghadapi masalah ini dan memberikan dorongan baru bagi kepemimpinan di UE dan dukungan yang lebih besar bagi Ukraina.

"Di luar Jerman, Komisi Eropa yang baru diharapkan pada awal tahun baru akan menerbitkan buku putih tentang pertahanan, dalam upaya untuk memimpin jalan menuju pendekatan yang lebih terkoordinasi dan terintegrasi terhadap keamanan Eropa. NATO terus mengawasi upaya UE, tetapi mereka perlu bekerja sama untuk membangun basis industri pertahanan yang lebih kuat di Eropa, terutama mengingat terpilihnya kembali Donald Trump dan komitmennya yang goyah terhadap keamanan transatlantik," ungkap Armida van Rij, peneliti senior, Program Eropa, Chatham House.

Komisi Eropa juga telah mengembangkan sejumlah alat kebijakan ekonomi, keamanan, dan industri yang ditujukan untuk melindungi kemakmuran di dalam UE, mengurangi ketergantungan pada negara ketiga, dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Keamanan ekonomi merupakan prioritas bagi Komisi kedua Ursula von der Leyen, sehingga UE kemungkinan akan menggandakan strategi ini karena berupaya melindungi dirinya dari dampak ketegangan perdagangan AS-Tiongkok saat Trump kembali menjabat.

6. Kesehatan Global: Saatnya Bersiap Menghadapi Pandemi Berikutnya

‘Perjanjian Pandemi’ – yang akan menjadi kesepakatan global pertama yang membahas kerja sama internasional khususnya mengenai pandemi – sedang dalam proses dan perlu siap diadopsi pada bulan Mei di Majelis Kesehatan Dunia di Jenewa.

Masih belum jelas apakah kesepakatan dapat dicapai, dan jika demikian, seberapa berarti substansinya. Ini akan memiliki implikasi yang signifikan bagi kesetaraan global – dan akan menjadi ukuran keadaan kerja sama internasional saat ini mengenai risiko transnasional, di luar kesehatan. Tingkat daya tarik politik yang dipertahankan oleh kesiapsiagaan pandemi di forum-forum utama lainnya, termasuk di G7 dan G20, akan menjadi sangat penting.

Hasil negosiasi ‘Perjanjian Pandemi’ akan memiliki implikasi besar bagi kesetaraan global, di luar kesehatan.

Akan sangat menarik untuk melihat bagaimana faktor perubahan iklim memengaruhi pengambilan keputusan kesehatan global, karena ancaman yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrem, polusi, dan degradasi lingkungan terhadap keamanan kesehatan menjadi semakin nyata.

"Terakhir, momen lain yang perlu diperhatikan adalah tinjauan mendatang terhadap mekanisme hukum Organisasi Perdagangan Dunia yang saat ini memungkinkan negara-negara berpenghasilan rendah untuk mengabaikan hak kekayaan intelektual demi alasan kesehatan masyarakat – hal itu dapat secara signifikan memengaruhi ekuitas global terkait akses terhadap obat-obatan," ungkap Emma Ross, peneliti senior, Program Kesehatan Global, Chatham House.

7. Pertahanan dan Keamanan: Berjuang untuk Mengisi Lubang Keamanan Trump

Konflik global di Timur Tengah, Ukraina, dan Sudan semakin meningkat, dengan potensi dampak yang meluas. Pada saat yang sama, dimulainya kembali agenda 'America First' Presiden Trump pada tahun 2025 diperkirakan akan mengecilkan komitmen pertahanan global AS, mendorong sekutu untuk memikirkan kembali strategi mereka dan meningkatkan kemampuan mereka.

Dengan latar belakang ini, Inggris, Uni Eropa, dan NATO menghadapi ujian kritis atas kemampuan mereka untuk memperkuat kolaborasi dan beradaptasi dengan lingkungan keamanan yang semakin tidak bersahabat. Bagi NATO, tantangannya terletak pada menjaga kohesi aliansi di tengah potensi pergeseran kebijakan luar negeri AS dan perpecahan internal di antara negara-negara anggota NATO, khususnya atas dukungan mereka terhadap Ukraina.

Tahun depan, UE akan menghadapi tantangan ganda berupa reformasi kelembagaan dan pemulihan ekonomi sekaligus memperkuat kesiapan menghadapi krisis. Laporan yang diterbitkan pada tahun 2024 dari mantan presiden Finlandia Sauli Niinistö dan mantan perdana menteri Italia Mario Draghi menyoroti perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan kolaboratif terhadap keamanan Eropa. Hal ini akan meningkatkan tekanan pada negara-negara untuk meningkatkan kesiapan militer dan sipil, meningkatkan daya saing, dan membangun kembali basis industri pertahanan mereka di tahun mendatang.

"Inggris, yang mengantisipasi peran yang lebih menonjol dalam NATO, juga memfokuskan kembali pada penguatan hubungannya dengan UE. Tinjauan Pertahanan Strategis yang akan datang, yang diharapkan pada awal tahun 2025, bertujuan untuk memposisikan kembali kemampuan pertahanan Inggris dengan memprioritaskan inovasi teknologi, peningkatan otonomi, dan dengan membangun kemitraan regional yang lebih terintegrasi. Pada saat yang sama, pemerintah kemungkinan akan mengejar pakta pertahanan Inggris-UE sebagai cara untuk memperkuat aliansi mereka," ujar Joyce Hakmeh, wakil direktur, Program Keamanan Internasional, dilansir Chatham House.

Apa Saja Game Changer Geopolitik 2025?

8. Timur Tengah: Iran, Suriah, dan Ketidakstabilan Lebih Lanjut

Mengakhiri konflik di Timur Tengah tidak mungkin mendominasi agenda kebijakan luar negeri Trump pada tahun 2025. Namun, pemerintahan yang akan datang akan menjangkarkan strategi regionalnya di sekitar dua pilar keamanan Israel dan penahanan Iran.

"Mengakhiri konflik di Timur Tengah tidak mungkin mendominasi agenda kebijakan luar negeri Trump pada tahun 2025," ungkap Sanam Vakil, direktur, Program Timur Tengah dan Afrika Utara, Chatham House.

Trump telah mempertahankan dukungan yang kuat untuk Israel dan akan terus memprioritaskan kebutuhan keamanannya, bahkan jika ia diharapkan mendesak pemerintah Netanyahu untuk mengurangi operasi militernya di Gaza dan Lebanon setelah gencatan senjata di negara tersebut.

Pendekatan ini tidak akan menghasilkan penyelesaian politik apa pun yang akan mengatasi masalah penentuan nasib sendiri Palestina atau yang dapat diklaim Trump sebagai kemenangan, tetapi kemungkinan akan mengarah pada gencatan senjata yang diberlakukan Israel. Pada saat yang sama, pemerintah AS akan berupaya membuka kembali diskusi jangka panjang dengan Arab Saudi mengenai perjanjian pertahanan untuk membantu memperkuat integrasi keamanan regional di antara mitra Amerika.

"Kesepakatan itu akan bergantung pada normalisasi hubungan Saudi-Israel, dan dari sudut pandang Riyadh juga akan memerlukan dukungan untuk kenegaraan Palestina," ujar Vakil.

Kesepakatan itu akan bergantung pada normalisasi hubungan Saudi-Israel, dan dari sudut pandang Riyadh juga akan memerlukan dukungan untuk kenegaraan Palestina
Sanam Vakil, Peneliti Chatham House

9. Inggris di Dunia: Saatnya Mengambil Keputusan – Eropa atau Amerika?

Dengan pemerintahan Buruh yang baru berkuasa, prioritas kebijakan luar negeri Inggris tahun depan akan menyeimbangkan hubungan dengan AS dan Eropa. Lebih banyak perhatian akan diberikan pada peran Inggris dalam keamanan Eropa saat perang di Ukraina berlanjut memasuki tahun keempat. Pemerintahan Starmer telah berkomitmen untuk memberikan dukungan militer sebesar £3 miliar per tahun kepada Ukraina ‘selama diperlukan’ serta untuk memenuhi target belanja pertahanan tahunan NATO sebesar 2 persen dari PDB, dengan target 2,5 persen di masa mendatang yang akan ditetapkan ‘pada acara fiskal mendatang’.

Namun, terpilihnya kembali Donald Trump dapat menekan Inggris untuk memenuhi komitmen ini lebih cepat jika ia – seperti yang telah diancamkannya – membuat dukungan AS untuk NATO jauh lebih transaksional. Pemerintahan Buruh dapat menggunakan kesempatan ini untuk menghasilkan hubungan keamanan yang lebih kuat dengan negara-negara tetangganya di Eropa.

Apakah hubungan ini diterjemahkan menjadi kerja sama ekonomi yang lebih besar akan menjadi pertimbangan utama lainnya bagi Inggris pada tahun 2025. Jika Trump menindaklanjuti rencananya yang diumumkan untuk mengenakan tarif pada mitra dagang AS, maka Inggris harus mempertimbangkan untuk membuat kesepakatan pengecualian dengan AS, atau melibatkan diri dengan negara-negara tetangganya di Eropa.

"Sejauh mana Inggris dapat memainkan peran aktif di titik-titik strategis lainnya termasuk Indo-Pasifik – tempat ancaman konflik meningkat dengan terpilihnya kembali Trump – akan bergantung pada pertanyaan: dapatkah negara tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi untuk mempertahankan pengaruh globalnya?" ungkap Courtney Rice, manajer program senior, UK in the World Programm, Chatham House.

Baca Juga: Daftar Anggota BRICS setelah Indonesia Resmi Masuk, Siapa Saja?

10. Rusia dan Ukraina: 2025 Adalah Penentu Keberhasilan atau Kegagalan Ukraina

Kebijakan barat untuk membiarkan Ukraina terlibat dalam perang, alih-alih membantunya menang, akan membawa negara itu – dan juga dunia barat – ke ambang kekalahan oleh Rusia.

Pengurangan bantuan militer, Rusia yang semakin berani, dan terus tidak adanya kepemimpinan di Barat berarti keadaan akan semakin buruk bagi Ukraina pada tahun 2025. Perlu dicatat bahwa tidak ada pemimpin barat di luar 'negara garis depan' yang menyerukan kemenangan Ukraina.

Keyakinan di antara para pemimpin Barat bahwa Ukraina tidak dapat memenangkan perang ini mungkin akan semakin meluas pada tahun 2025 dan akan memicu siklus dukungan yang semakin berkurang dan kerugian militer yang lebih besar. Namun, penting untuk diingat bahwa Moskow mencari kendali, bukan wilayah semata.

Seiring dengan terpilihnya kembali Donald Trump, hal ini memberikan momentum untuk mendorong kesepakatan kompromi. Namun, hal ini akan membekukan alih-alih menyelesaikan konflik dan kemungkinan akan mengakibatkan kerugian teritorial di pihak Kyiv. Kelelahan di antara para donor Barat dan kemenangan parsial Rusia, yang dijual sebagai hasil terbaik yang dapat dicapai, merupakan ancaman terbesar bagi Ukraina pada tahun 2025.

"Namun, meskipun Rusia telah membuat kemajuan militer di Ukraina dalam beberapa bulan terakhir, hal itu tidak dapat dipatahkan, dan berada di bawah tekanan yang luar biasa, terutama secara finansial. Para ekonom mengatakan bahwa Vladimir Putin hanya memiliki waktu 12 hingga 18 bulan untuk melanjutkan langkah ini sebelum keputusan domestik yang sulit harus diambil. Dunia barat – atau lebih mungkin koalisi yang bersedia – sebaiknya mengenali ketegangan ini dan melihat cara terbaik untuk menekan Rusia pada tahun 2025," papar James Nixey, direktur, Program Rusia–Eurasia, Chatham House.

10 Perang yang Patut Diwaspadai pada 2025

10 Perang yang Patut Diwaspadai pada 2025
Foto/X/@Antiwarcom

Di tengah masa yang tidak menentu, kembalinya Presiden terpilih AS Donald Trump ke Gedung Putih tampaknya akan mengguncang segalanya lebih jauh. Namun, bagaimana seorang pengganggu menghadapi dunia yang sudah terganggu?

Melansir Crisis Group, seiring dengan meningkatnya laju perubahan, dunia tampaknya siap untuk perubahan paradigma. Pertanyaannya adalah apakah hal itu akan terjadi di meja perundingan atau di medan perang.

10 Konflik yang Perlu Diperhatikan pada Tahun 2025

1. Suriah

Mari kita mulai dengan kabar baik: kediktatoran Bashar al-Assad telah jatuh. Suriah dapat bangkit kembali setelah salah satu perang paling berdarah di dunia baru-baru ini. Namun, banyak hal yang bisa salah.

Selama beberapa tahun, kebuntuan telah terjadi. Pada tahun 2020, Turki mengirim pasukan dan membuat kesepakatan dengan Rusia, yang menggunakan hubungannya dengan Assad untuk menghentikan serangan di wilayah barat laut Suriah yang dikhawatirkan Ankara akan mendorong jutaan pengungsi lainnya ke Turki. Gencatan senjata tersebut membuat Hayat Tahrir al-Sham (HTS), bekas afiliasi al-Qaeda yang telah memutuskan hubungan dengan gerakan jihad global, bertanggung jawab atas provinsi Idlib. Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi menguasai wilayah timur laut. Sebagian besar dunia mengira perang telah berakhir dan Assad telah menang.

Kemudian, pada tanggal 27 November, HTS menyerang, bergerak maju dari Idlib dan, tampaknya mereka sendiri tidak percaya, merebut Aleppo, kota kedua di negara itu, dengan sedikit pertempuran. Dari sana, mereka bergerak ke selatan, bergerak ke Damaskus pada 8 Desember. Rezim yang didirikan oleh ayah Assad dan telah memerintah Suriah selama 54 tahun jatuh dalam waktu kurang dari dua minggu.

Kekalahan tentara Suriah sebagian disebabkan oleh kekuatan terlatih yang telah dikumpulkan HTS dan sebagian lagi karena kemunduran rezim itu sendiri. Assad, yang mengandalkan dukungan berkelanjutan dari Hizbullah, Iran, dan Rusia, mengabaikan pasukannya sendiri, mengandalkan wajib militer, cadangan yang dibayar rendah, dan milisi predator.

Warga Suriah dari seluruh mosaik agama, etnis, dan budaya negara itu mengharapkan peran dalam pemerintahan.

Pemerintahan adalah tantangan lain. Banyak warga Suriah takut pada dekrit Islamis, mengingat akar jihad HTS. Alawi, yang dianggap (sering kali tidak adil) sebagai basis rezim Assad, memiliki alasan khusus untuk takut pada tatanan sektarian. Namun, kecemasan juga dirasakan oleh kelompok minoritas lainnya, banyak Sunni sekuler, faksi politik yang tidak yakin akan peran mereka di masa depan, dan banyak perempuan. Warga Suriah dari seluruh mosaik agama, etnis, dan budaya negara itu mengharapkan peran dalam pemerintahan. HTS belum mengartikulasikan visi untuk mewujudkannya.

2. Sudan

Melansir Crisis Group, Perang Sudan, karena banyaknya jumlah pengungsi dan kelaparan, adalah yang paling dahsyat di dunia. Sekitar 12 juta warga Sudan – lebih dari sepertiga populasi sebelum perang – telah meninggalkan rumah mereka. Lebih dari separuhnya menghadapi kekurangan pangan akut, dengan sebagian wilayah Darfur menderita kelaparan. Pejabat PBB menggambarkan tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan sebagai "mengejutkan". Negara ini semakin tampak menuju keretakan yang hebat.

Pertempuran telah melanda wilayah yang semakin luas di negara ini. Ini mengadu Pasukan Dukungan Cepat (RSF) – paramiliter yang dipimpin oleh Mohamed "Hemedti" Hamdan Dagalo – melawan tentara Sudan, yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan, dan serangkaian milisi yang bersekutu dan kelompok bersenjata Darfur. Setelah Omar al-Bashir yang berkuasa lama digulingkan pada tahun 2019, Hemedti dan Burhan pertama-tama berbagi kekuasaan dengan politisi sipil dan kemudian mengusir mereka sebelum saling menyerang.

Perang tersebut juga berisiko mengguncang negara-negara tetangga Sudan. Pendapatan minyak Sudan Selatan, yang menopang anggarannya dan patronase yang merekatkan perdamaian yang tidak nyaman, telah merosot sejak jaringan pipa utama melalui Sudan ditutup. Di Chad timur, hampir satu juta pengungsi mengganggu politik antarkomunitas. Keputusan Presiden Chad Mahamat Déby untuk mengizinkan senjata Emirat mengalir melalui Chad ke pasukan Hemedti, yang tampaknya sebagai imbalan atas investasi Emirat di Chad, telah memicu kemarahan dalam klan Zaghawa yang kuat milik Déby.

3. Ukraina dan Keamanan Eropa

Presiden terpilih AS Donald Trump telah berjanji untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina dengan bernegosiasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Pembicaraan memang layak dicoba, tetapi sulit untuk melihat jalan menuju gencatan senjata yang berkelanjutan – apalagi kesepakatan damai.

Pasukan Rusia berada di atas angin, meskipun kemajuan mereka yang lambat di timur Ukraina menimbulkan kerugian yang sangat besar. Tentara Kremlin diperkirakan telah menderita setengah juta kematian dan cedera sejak 2022, ekonomi Rusia yang mendapat sanksi berat sedang berjuang, dan Putin ingin menghindari pemanggilan lebih banyak tentara, mungkin karena takut akan kerusuhan.

Ditambah lagi, terpuruk di Ukraina, Putin telah kehilangan klien utamanya di Timur Tengah, pemimpin Suriah Bashar al-Assad. Ia masih yakin bahwa ia menang di Ukraina dan bahwa pendukung Barat Kyiv tidak memiliki stamina untuk pertarungan yang panjang. Namun, ia tampaknya bersedia untuk berbicara dan melihat apa yang bisa ia dapatkan. Kyiv tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah, tetapi kalah dalam persenjataan dan jumlah.

Namun, yang lebih mungkin adalah bahwa serangan Rusia akan terus berlanjut, dengan negosiasi yang tidak menghasilkan banyak hasil atau gagal, dengan kedua belah pihak ingin menyalahkan pihak lain. Kemudian, mungkin, Trump akan menuding Moskow dan, jika ia dapat mengumpulkan cukup senjata dan amunisi, meningkatkan ketegangan, dengan risiko yang lebih besar untuk konfrontasi langsung dengan Rusia. Atau ia mungkin kehilangan kesabaran dengan Ukraina dan pergi. Kyiv, yang bergantung pada dukungan Eropa dan produksi senjatanya sendiri, paling banter akan menghadapi beberapa bulan yang rentan saat Eropa bergegas mengumpulkan senjata.

Baca Juga: Korea Utara Desak Israel Akhiri Pembantaian Kejam di Gaza

4. Israel-Palestina

Melansir Crisis Group, serangan Israel terhadap Gaza, yang diluncurkan sebagai tanggapan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, telah menghancurkan jalur tersebut. Kampanye tersebut, menurut otoritas setempat, telah menewaskan lebih dari 45.000 warga Palestina. Sebagian besar adalah warga sipil – setidaknya sepertiga dari mereka adalah anak-anak. Ribuan mayat lainnya hilang, mungkin di bawah reruntuhan. Dua pertiga bangunan dan infrastruktur rusak atau hancur, dengan seluruh lingkungan rata dengan tanah.

Meskipun banyak pemimpin Hamas telah terbunuh dan aset militer kelompok tersebut hancur, pejabat Barat dan bahkan beberapa warga Israel diam-diam mengakui bahwa tidak ada otoritas yang dapat memerintah Gaza atau menjalankan fungsi sipil tanpa persetujuan Hamas.

Perubahan apa yang akan dibawa oleh Presiden AS terpilih Donald Trump masih belum jelas. Ia dilaporkan telah memberi tahu Netanyahu bahwa ia ingin perang Gaza berakhir sebelum ia memangku jabatan, tetapi tanpa mengisyaratkan persyaratannya. Secara keseluruhan, sebagian besar pilihan kabinetnya tampaknya cenderung memberi Netanyahu keleluasaan yang lebih besar.

Pembicaraan yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat belum menghasilkan gencatan senjata. Para diplomat masih menyarankan bahwa Hamas, sebagai imbalan atas jeda, mungkin akan membebaskan beberapa sandera (sekitar 100 tawanan, yang ditangkap pada 7 Oktober, masih berada di Gaza, setidaknya sepertiganya diduga telah meninggal). Kesepakatan semacam itu, pada prinsipnya, mungkin membayangkan fase-fase selanjutnya, dengan penarikan pasukan Israel, rekonstruksi, atau beberapa bentuk pemerintahan lokal.

5. Iran Vs AS dan Israel

Pada paruh pertama tahun 2024, Iran melihat Poros Perlawanannya – rezim Assad di Suriah, dan sekumpulan kelompok militan, termasuk Hizbullah di Lebanon, milisi di Irak dan Suriah, Houthi di Yaman, dan Hamas serta Jihad Islam Palestina di Gaza – masih memberikan Republik Islam itu perlindungan dan pengaruh di seluruh wilayah.

Melansir Crisis Group, betapa besar perbedaan yang dapat terjadi dalam beberapa bulan. Pada bulan Juli, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh tewas di Teheran. Pada bulan September, Israel meledakkan ratusan pager dan perangkat Hizbullah lainnya, melumpuhkan sebagian besar komando tingkat menengahnya.

Serangan udara dan serangan darat pun terjadi, menewaskan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dan menghancurkan barisan serta aset militernya, sembari menghancurkan banyak desa. Serangan Israel terhadap Iran pada akhir Oktober merusak pertahanan udara dan gudang rudalnya. Ketika pemberontak Suriah menggulingkan Presiden Bashar al-Assad pada awal Desember, Iran kehilangan sekutu yang telah menghabiskan miliaran dolar untuk menopangnya, serta rute udara dan darat utama yang digunakannya untuk memasok kembali Hizbullah.

Teheran masih memiliki ribuan rudal balistik (pada bulan Oktober, sekitar 30 dari 180 rudal berhasil menembus pertahanan Israel), ditambah milisi sekutu di Irak dan Houthi, yang terus menembaki Israel dari Yaman. Hizbullah mungkin masih bisa berkumpul kembali. Namun di sekitar batas Israel, Poros Perlawanan, yang dilihat Iran sebagai pencegah terhadap serangan Israel atau AS, telah hancur. Dari sudut pandang Teheran, juga mengkhawatirkan betapa cakapnya badan intelijen Israel dan seberapa tinggi toleransi risikonya.

10 Perang yang Patut Diwaspadai pada 2025

6. Haiti

Banyak warga Haiti berharap bahwa pemerintah dan misi polisi multinasional yang dipimpin Kenya dapat melonggarkan cengkeraman geng kriminal di negara itu telah hancur.

Sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada bulan Juli 2021, geng-geng tersebut telah merebut sebagian besar Haiti. Secara historis digunakan oleh para elit untuk mencari untung atau untuk menyingkirkan pesaing, kelompok-kelompok tersebut telah tumbuh lebih kuat dan otonom. Pada awal tahun 2024, aliansi geng-geng yang sebelumnya bertikai, yang dikenal sebagai Viv Ansanm, mengepung ibu kota Port-au-Prince.

Pertanyaan lainnya adalah apakah pembicaraan dengan para pemimpin geng atau gencatan senjata akan dilakukan. Warga Haiti sangat membenci geng dan menolak gagasan untuk berunding dengan mereka. Namun, perebutan ibu kota dan jalan raya utama oleh geng-geng tersebut menunjukkan bahwa otoritas nasional akan berjuang keras untuk membasmi mereka. Dialog yang cermat yang tidak melemahkan integritas negara Haiti mungkin menawarkan sebagian dari jalan kembali menuju perdamaian.

7. AS-Meksiko

Meksiko sudah terguncang oleh kekerasan yang melibatkan geng-geng kriminal yang menyerupai beberapa perang terburuk di dunia. Selama kampanye pemilihan AS, Donald Trump – yang sekarang menjadi presiden terpilih – berjanji untuk mengenakan tarif tinggi pada tetangga selatan Amerika Serikat tersebut, memulangkan jutaan migran, dan bahkan mengebom kartel.

Sejak 2006, ketika Presiden Meksiko saat itu Felipe Calderón mendeklarasikan perang terhadap kartel narkoba, mungkin setengah juta orang Meksiko telah terbunuh dan 100.000 orang lainnya menghilang dalam kekerasan yang terjadi setelahnya. Pemerintah membunuh gembong dan membubarkan organisasi kriminal besar tetapi memicu konflik di antara kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang sebagian besar dipersenjatai dengan senjata yang diimpor dari Amerika Serikat.

Tingkat pembunuhan di Meksiko masih termasuk yang tertinggi di dunia. Tingkat pembunuhan telah sedikit menurun dalam dua tahun terakhir, meskipun hal ini sebagian besar disebabkan oleh kesepakatan informal yang melibatkan otoritas lokal yang telah membuat para penjahat bercokol dan mendapatkan keuntungan.

8. Myanmar

Di pertengahan tahun 2024, rezim militer Myanmar tampak goyah, karena pemberontak telah merebut sebagian besar dataran tinggi serta pangkalan militer utama. Sejak saat itu, Tiongkok, yang takut akan keruntuhan yang tidak teratur, telah memberikan harapan hidup kepada pemimpin militer Min Aung Hlaing. Namun junta militer masih menghadapi perlawanan yang gigih. Pemungutan suara pada tahun 2025, jika berjalan sesuai rencana, akan membawa pertumpahan darah lebih lanjut.

Perang saudara yang telah menghancurkan Myanmar sejak militer merebut kekuasaan pada tahun 2021 telah membuat negara itu mundur beberapa dekade: Lebih dari 3 juta orang mengungsi di dalam negeri, sistem kesehatan dan pendidikan telah runtuh, kemiskinan telah meroket dan mata uang Myanmar, kyat, telah jatuh.

Pada akhir tahun 2023, tentara [Myanmar] mulai kehilangan wilayah, terutama terhadap kelompok etnis bersenjata yang telah memeranginya selama beberapa dekade.

9. Semenanjung Korea

Melansir Crisis Group, tahun 2024 dimulai dengan pidato mengejutkan oleh pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, di mana ia membatalkan kebijakan penyatuan damai Korea Utara selama puluhan tahun dengan Korea Selatan dan menyatakan Seoul sebagai musuh utama Pyongyang.

Tahun itu berakhir dengan Kim meratifikasi pakta pertahanan bersama dengan Moskow dan mengerahkan ribuan warga Korea Utara untuk berperang bersama Rusia melawan Ukraina – serta upaya kudeta yang gagal oleh Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol yang berakhir dengan pemungutan suara parlemen untuk pemakzulannya. Dengan banyaknya perubahan, Semenanjung Korea bersiap menghadapi tahun 2025 yang menegangkan.

Dalam pidatonya di bulan Januari, Kim bermaksud untuk lebih menutup Korea Utara, terutama dari ekspor budaya Korea Selatan – dengan kata lain K-Pop – sambil memperketat cengkeramannya pada ekonomi. Namun pemutusan hubungan lebih lanjut, termasuk hampir semua komunikasi antar-Korea, membuat negara-negara tersebut hanya memiliki sedikit pilihan untuk mengelola insiden di saat ketegangan meningkat.

10. China Vs AS

Setelah masa sulit, hubungan AS-China menjadi lebih stabil sejak pertemuan puncak November 2023 antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS yang akan lengser, Joe Biden. Kedua negara membuka kembali jalur militer-ke-militer, yang penting untuk mengelola risiko tabrakan yang tidak diinginkan antara kapal perang China dan AS di Pasifik atau pesawat yang melintas di atas kepala, dan China dilaporkan mengambil langkah tentatif untuk membendung aliran bahan kimia prekursor fentanil ke Amerika Serikat. Namun, Presiden terpilih Donald Trump akan menjabat dengan persaingan yang jauh lebih mengakar daripada delapan tahun lalu.

Kebijakan Trump di Asia tidak dapat diprediksi seperti pendekatannya terhadap bidang lain. Beberapa pilihan kabinet percaya bahwa Amerika Serikat terlibat dalam perjuangan global dengan China, yang harus dimenangkannya. Yang lain di lingkaran Trump berpikir Washington harus membatasi diri untuk menghalangi Beijing di Asia. Eksekutif teknologi Elon Musk, yang berbisnis di Tiongkok, menginginkan hubungan yang lebih bersahabat.

Trump sendiri telah mengirimkan sinyal yang beragam: konfrontatif dalam perdagangan, setengah hati dalam pertahanan Taiwan, pemarah tentang komitmen AS terhadap sekutu Asia, dan sering mengagumi otoritas Xi. Janji kampanye Trump untuk mengenakan tarif setidaknya 60 persen pada barang-barang Tiongkok ... tampaknya lebih mungkin menjadi serangan pembuka dalam pembicaraan daripada pendahuluan perang dagang.

Author
Andika Hendra Mustaqim