Dihapuskannya presidential threshold membuat kekhawatiran munculnya capres tunggal pupus. Dominasi parpol besar pun diredam. Pilpres 2029 banjir capres?
Akhir Kisah Presidential Threshold di Politik Indonesia
ANGIN segar demokrasi bertiup dari Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 Jakarta Pusat, tempat para hakim konstitusi alias hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berkantor dan bersidang. Kamis (2/1/2025), permohonon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau lebih dikenal dengan istilah presidential threshold , dikabulkan.
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan. Pertama, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Ketiga, Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," ucap Suhartoyo saat membacakan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Pemohon perkara ini bukan politikus. Ada empat orang Pemohon, yang semuanya berstatus mahasiswa. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara angkatan 2021. Seorang mahasiswa lainnya, Faisal Nasirul Haq, berasal dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2021.
Dikutip dari laman MK, dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra. Kemudian, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.
Pasal yang diuji adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini telah 33 kali diuji, namun selalu ditolak atau tidak dapat diterima. Adapun bunyi pasal dimaksud adalah "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden yang menjadi momok bagi partai politik peserta pemilu yang ingin mengajukan capres-cawapres sendiri ini sejatinya sudah ada sejak sebelum Pemilu 2004. Namun, ambang batas minimalnya berbeda angka.
Dalam Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa "Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR".
Namun, ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 tidak diberlakukan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 karena yang digunakan adalah Ketentuan Peralihan Pasal 101 UU 23/2003 yang menyatakan, "Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon".
Dengan berlakunya Ketentuan Peralihan tersebut, ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan persentase yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003, sehingga terdapat 8 (delapan) partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 tanpa harus bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang lain. Namun demikian, secara faktual dari 8 (delapan) partai politik peserta pemilu tersebut hanya 5 (lima) partai politik peserta pemilu yang mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang lain, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara itu, 3 (tiga) partai politik peserta pemilu yang lain, yakni Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) memilih bergabung mengusulkan 1 (satu) pasangan calon. "Artinya, dalam Pemilu 2004 terdapat 6 (enam) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendaftar kepada Komisi Pemilihan Umum sebagai kontestan pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun demikian, karena pasangan calon yang diusulkan oleh PKB tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga dinyatakan tidak lolos sebagai peserta pemilihan presiden dan wakil presiden," demikian dikutip dari laman MK.
Akhirnya, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 diikuti oleh 5 (lima) pasangan calon, yakni Wiranto-Salahuddin Wahid (diusulkan Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (diusulkan PDIP), Amien Rais-Siswono Yudo Husodo (diusulkan PAN), Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla (diusulkan gabungan Partai Demokrat, PBB, dan PKPI), serta Hamzah Haz-Agum Gumelar (diusulkan PPP).
Sementara, dalam Pasal 9 UU 42/2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden."
Dikutip dari laman MK, dengan bertambah atau naiknya ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 hanya diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto (diusulkan Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (diusulkan PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura), dan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (diusulkan Partai Demokrat, PPP, PAN, PKS, dan PKB).
Sementara, dalam Pemilu 2014 terdapat 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pertama, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusulkan Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, dan PPP. Calon lainnya, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla yang diusulkan PDIP, Partai Nasdem, dan PKB.
33 Kali Diuji
Setelah diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2017, terdapat dua kali pemilu, yakni Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 terjadi beberapa perubahan, yakni pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan bersamaan atau serentak dengan pemilu anggota legislatif sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
Sebagaimana halnya Pemilu 2014, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 lagi-lagi hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon, yakni Joko Widodo yang mencalonkan kembali pada periode kedua berpasangan dengan Ma'ruf Amin (diusulkan PDIP, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, dan PKP) dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (diusulkan Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PKS).
Terakhir, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, masih menggunakan UU 7/2017. Dalam penyelenggaraan tersebut, terdapat 3 (tiga) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (diusulkan Partai Nasdem, PKB, dan PKS), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (diusulkan Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, Partai Solidaritas Indonesia, PBB, dan Partai Garda Republik Indonesia), serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD (diusulkan PDIP, PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo).
“
Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK Nomor 62 Tahun 2024 karena putusan ini menguntungkan semua partai politik, tidak ada partai politik yang dirugikan
”
Titi Anggraini
Sebelum MK menghapus presidential threshold, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah diuji sebanyak 33 kali dengan putusan ditolak atau tidak dapat diterima. Terakhir adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 September 2023, dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh, Mahardhikka Prakasha Shatya, dan Wiratno Hadi.
Menyikapi putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini, Pakar Kepemiluan Titi Anggraini yang juga salah satu Pemohon penggugat Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatakan, putusan ini momentum tepat bagi DPR dalam melakukan revisi UU Pemilu. "Putusan hari ini harus menjadi pedoman bagi pembentuk Undang-Undang, Presiden ataupun DPR. Kami berharap DPR tidak mendistorsi putusan Nomor 62 Tahun 2024 ini," kata Titi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Dia juga berharap Presiden Prabowo Subianto bisa mejadi orang yang paling depan melaksanakan putusan ini serta dapat memastikan tidak ada cawe-cawe dari parlemen untuk mengganggu substansi dari putusan MK.
"Jadi, putusan ini ada di bawah pemerintahan Presiden Prabowo. Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK Nomor 62 Tahun 2024 karena putusan ini menguntungkan semua partai politik, tidak ada partai politik yang dirugikan," ujarnya.
Pengamat politik Ray Rangkuti juga meminta DPR mematuhi putusan MK tersebut. "Kita berharap tidak ada upaya kembali DPR untuk mengubah putusan MK ini dengan sebaliknya, seperti permah mereka lakukan di bulan Agustus 2024 lalu yang menimbulkan perlawanan masyarakat, khususnya mahasiswa dan gen Z. Jangan lagi ada rekayasa sana sini yang akan dapat memancing kegusaran publik. Partai politik harus menerima bahwa pandangan mereka tentang PT itu adalah bertentangan dengan konstitusi," kata Ray, Minggu (5/1/2025).Dzikry Subhanie, Achmad Al Fiqri, Rico Afrido Simanjuntak
Alasan MK Hapus Pasal Presidential Threshold
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto/Aldhi Chandra
Sebelum menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pertimbangan hukum. Dari pertimbangan hukum inilah terlihat alasan Mahkamah menghapus pasal yang telah diuji 33 kali tersebut.
Ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), menurut MK, tak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden. Diketahui, MK telah lebih dari 30 kali menolak atau tidak menerima uji materi pasal tersebut.
Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden ( presidential threshold ) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan presidential threshold dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
“
Bahkan, jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal
”
Saldi Isra
Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebinekaan Indonesia. "Bahkan, jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong," ujar Saldi Isra.
Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan presidential threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi," kata Saldi.
Pasal 6A UUD 1945
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Rekayasa Konstitusional
Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak. Menurut Mahkamah, pembentuk UU perlu memperhatikan lima hal.
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).Dzikry Subhanie
Empat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Pendobrak Aturan Pencapresan
Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta seusai konferensi pers di kampusnya, Jumat (3/1/2025). Mereka memenangkan gugatan penghapusan presidential threshold di MK. Foto/Istimewa
Dihapuskannya Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur presidential threshold tak bisa dilepaskan dari gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Pihak kampus pun mengaku bangga.
Keempat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara angkatan 2021. Seorang mahasiswa lainnya, Faisal Nasirul Haq, berasal dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2021.
Tsalis Khoirul Fatna selaku Pemohon IV pada sidang perdana pengajuan gugatan pada Juli 2024 lalu, dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan, prinsip "one man one vote one value" tersimpangi oleh adanya presidential threshold . Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip "one value" karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.
Idealnya, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.
Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, yakni nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.
Diketahui, empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut mengajukan gugatan tanpa menggunakan kuasa hukum karena keterbatasan dana. Keempatnya mengajukan permohonan untuk sidang online dan hanya sekali sidang offline setelah tujuh kali persidangan.
Empat mahasiswa ini tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) Fakultas Syariah dan Hukum. Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Noorhaidi Hasan mengapresiasi perjuangan akademik empat mahasiswa tersebut. Mereka berhasil menerapkan kompetensi keilmuan dan keterampilan hukum yang diperoleh di kampus untuk beracara di MK.
"Mereka telah memperjuangkan terwujudnya demokrasi yang lebih baik dan inklusif di Indonesia," katanya.
“
Kami hanya ingin keputusan MK benar-benar berdasarkan substansi hukum, bukan politik
”
Enika Maya Oktavia
Enika Maya Oktavia mengatakan, gugatan ini dilakukan setelah Pilpres 2024 untuk memastikan kajian yang dilakukan MK bersifat akademis dan tidak terpengaruh tekanan politik. "Kami hanya ingin keputusan MK benar-benar berdasarkan substansi hukum, bukan politik," katanya.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga lainnya, Faisal, tidak menyangka memenangkan gugatan ini. Kemenangan ini menunjukkan bahwa hak untuk mengajukan judicial review tidak hanya dimiliki pihak-pihak tertentu. Semua warga bisa termasuk mereka yang berstatus mahasiswa. "Ini adalah kemenangan untuk demokrasi Indonesia," ujarnya.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Prof Ali Sodiqin mengapresiasi prestasi empat mahasiswanya. Tindakan mereka mencerminkan kepedulian yang besar terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia serta menunjukkan bahwa generasi muda saat ini memiliki kemampuan menjaga muruah demokrasi di Indonesia.
"Pada prinsipnya, fakultas memberi ruang sekaligus memfasilitasi yang merupakan bagian dari kreativitas mahasiswa berkaitan dengan pengembangan kompetensi keilmuan dan berbagai keterampilan pendukung," katanya.
Capres 2024 Anies Baswedan memuji para mahasiswa tersebut. Menurut Anies di akun X, di antara deretan nama penggugat presidential threshold melalui Mahkamah Konstitusi sejak awal hingga kini, terdapat empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam gugatan terakhir yang berhasil dimenangkan.
"Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, dan Faisal Nasirul Haq. Mereka adalah anak muda yang memperkuat demokrasi Indonesia, bukan anak muda yang melucutinya. Selama kita memiliki pemuda-pemudi seperti mereka, harapan untuk masa depan demokrasi Indonesia akan selalu menyala," demikian dikutip dari akun X @aniesbaswedan.Neneng Zubaedah, Kuntadi, Dzikry Subhanie
Presidential Threshold Dihapus, Parpol dan Pemerintah Merespons
Putusan MK yang menghapus presidential threshold direspons parpol. Diketahui, dalam sistem politik Indonesia kini, pemegang kekuasaan tiket bagi capres yang akan bertarung di pilpres adalah parpol.
Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) Chico Hakim menghormati putusan MK tersebut. "Tentu kita harus menghormati putusan MK yang final dan binding sifatnya. Namun tentu ada beberapa catatan terkait dengan sampai adanya threshold 20% sebelum ini tentunya adalah kesepakatan dari fraksi-fraksi dan partai politik yang ada di parlemen dan tentu banyak pertimbangan untuk mengapa sehingga mencapai threshold 20 persen," jelas Chico dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/1/2025).
Menurutnya, banyaknya alternatif pilihan calon baik untuk demokrasi. Tetapi, ia menilai, penjaringan calon presiden penting dilakukan. "Karena tentu walaupun alternatif pilihan dan ketersediaan pilihan yang banyak itu juga baik untuk demokrasi, namun tentu penjaringannya juga penting. Dalam artian supaya tidak terlalu bebas sehingga tidak ada penjaringan ideologi misalnya dan hal-hal yang sifatnya untuk non-teknis lain," ucap Chico.
Kendati demikian, Chico menyampaikan, sikap resmi dari PDIP perihal ambang batas presiden hingga parliamentary threshold itu akan diputuskan dalam kongres.
Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengatakan, pihaknya tetap menghargai apa yang menjadi putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden. "Sekalipun memang kami sendiri belum membaca secara detail. Tetapi, kita harus juga betul-betul melihat bahwa sistem demokrasi kita ini juga jangan dibuat memperlemah posisi presidensial. Nah, ini yang kita lihat aja sekarang," kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (3/1/2025).
Bahlil menegaskan, Partai Golkar akan segera mengambil langkah untuk menyikapi hasil putusan MK tersebut. Namun, masih enggan untuk diungkapkan secara dini bagaimana langkah partai pohon beringin itu selanjutnya.
"Tapi apa pun yang diputuskan oleh MK, ya kita hargai. Karena kan final. Saya baca, kami baca dulu keputusan Mahkamah Konstitusi. Begitu setelah kami baca, kami pelajari. Baru kemudian kita akan merumuskan langkah apa yang harus dilakukan," katanya.
Ketua Fraksi Gerindra DPR RI G. Budisatrio Djiwandono menegaskan, pihaknya menghormati dan siap mematuhi putusan MK. "Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ujar Budisatrio dalam keterangan tertulis, Jumat (3/1/2025).
Pada dasarnya, kata Budisatrio, Fraksi Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi. Maka dari itu, ia menegaskan, pihaknya ingin memastikan agar Fraksi Gerindra menjunjung putusan MK sebagai bagian dari amanat demokrasi.
"Kami sadar sepenuhnya bahwa keputusan MK bersifat mengikat, dan putusan ini adalah bagian dari pilar demokrasi yang harus kita jaga," ujar Budisatrio
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengaku senang dengan putusan tersebut. "Semua keputusan MK nggak ada yang nggak happy. Kalau nggak happy gimana, keputusan penting," kata Cak Imin di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/1/2025).
Cak Imin menyebut bahwa putusan MK itu bersifat mengikat dan semua pihak harus tunduk terhadapnya. "Problemnya adalah ada satu bab di situ dari keputusan itu, mengembalikan kepada pembuat UU. Nanti ya tergantung fraksi-fraksi di DPR," ujarnya.
Cawapres 2024 itu mengungkapkan bahwa pihaknya bakal mencalonkan kader PKB pada Pilpres 2029. "Pasti, pasti. Semua menyambut cairnya demokrasi, tapi kita juga punya pengalaman kalau terlampau banyak calon nggak realistis," katanya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres. Putusan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan, putusan MK ini sebenannya selaras dengan sikap Fraksi PAN saat pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "PAN mengusulkan presidential threshold dihapus atau nol persen, dengan alasan akan dapat menumbuhkan tunas muda bagi siapa pun akan maju dan jangan sampai dikesankan partai politik sebagai lembaga yang memperjuangkan demokrasi justru menghambat proses demokrasi," kata Yoga dalam pesan yang disampaikan kepada SINDOnews, Kamis (2/1/2025).
Yoga menambahkan, dengan putusan MK ini, tentu akan ada proses revisi UU Nomor 7 Tahun 2027 tentang Pemilu, melalui panitia khusus (pansus).
Wakil Ketua Umum Partai Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyambut baik putusan MK yang menghapuskan ketentuan presidential threshold. Putusan ini dinilai sebagai langkah besar untuk memperkuat demokrasi Indonesia. "Kami bersyukur dan mengapresiasi setinggi-tingginya putusan ini. Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan jati dirinya sebagai the guidance of constitutional democracy, menjadi penuntun dalam menjaga konstitusi," ujar Ferry, Kamis (2/1/2025).
Ferry menegaskan, sejak awal Partai Perindo telah memberikan dukungan terhadap penghapusan presidential threshold. Putusan MK ini merupakan kemenangan masyarakat sipil yang didukung penuh Perindo. "Dalam sidang judicial review MK, Perindo secara tegas menyampaikan keterangan untuk mendukung penghapusan ketentuan ini. Alhamdulillah, masukan kami didengar hakim MK," katanya.
“
Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan jati dirinya sebagai the guidance of constitutional democracy, menjadi penuntun dalam menjaga konstitusi
”
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Menurut Kang Ferry, sapaan akrabnya, penghapusan ini selaras dengan Pasal 6A UUD 1945 yang menyatakan setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dia menyoroti aturan presidential threshold selama ini menjadi hambatan bagi partai nonparlemen seperti Perindo yang telah lolos verifikasi administratif dan faktual selama dua pemilu terakhir.
"Sebagai partai peserta pemilu, kami seharusnya memiliki hak setara untuk mencalonkan presiden. Presidential threshold justru menghambat proses demokrasi yang konstitusional," kata mantan Komisioner KPU RI ini. Dengan dihapusnya presidential threshold, peluang bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden yang berkualitas akan semakin terbuka. "Ini adalah langkah untuk mengimplementasikan ruang demokrasi sebagai daulat rakyat secara nyata. Partai politik harus menjadi penggerak utama demokrasi, bukan penghalang," katanya.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyambut baik putusan MK tersebut. "Partai Buruh mengapresiasi dan berterima kasih kepada tujuh hakim MK, karena dua dissenting opinion kan. Kita ucapkan terima kasih. Demokrasi kembali sehat, demokrasi kembali kepada rakyat," kata Said saat dihubungi, Kamis (2/1/2025).
Apalagi, kata Said, MK sebelumnya telah memutuskan untuk menghapus parliamentary threshold. "Ya itu reborn. Sebelumnya juga parliamentary threshold. Ya kan? Yang di bawah 4%. Kita berterima kasih kepada MK. Demokrasi jadi sehat. Demokrasi kembali kepada rakyat. Kedaulatan kembali kepada rakyat," ujarnya.
Menurutnya, putusan MK membawa angin segar bagi partai non-parlemen, termasuk Partai Buruh. "Karena apa? Menurut penelitian beberapa lembaga survei, partai politik yang mengajukan calon presiden sendiri, dia akan mendongkrak suara partai politik itu," ucap Said.
Dia pun mencontohkan Pilpres 2024 saat elektabilitas PKS, PKB, dan Nasdem terdongkrak setelah mengusung Anies Baswadan sebagai capres. "Jadi, Partai Buruh punya peluang. Sudahlah parliamentary threshold berkurang, tidak 4 persen, maka dengan presidential threshold nol persen punya peluang angka elektabilitas Partai Buruh akan kedongkrak."
Partai Ummat menyambut baik putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. "Partai Ummat menyambut baik putusan MK yang menghapuskan presidential threshold 20 persen karena memang persyaratan ini tidak masuk akal dan melanggar UUD 1945," kata Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani saat dihubungi, Kamis (2/1/2025).
Dengan putusan MK ini, dia berharap akan mengikis kekuatan oligarki yang telah mengangkangi Indonesia selama 10 tahun terakhir. "Semoga pada tahun 2029 Indonesia mendapatkan presiden terbaik dari hasil politik yang dilandasi oleh niat baik untuk memperbaiki Indonesia," tutur Buni.
Ia juga berharap, seluruh partai politik bisa berkontestasi dengan aturan yang adil. "Tidak ada lagi satu pihak yang ingin mendominasi permainan dengan cara curang lewat aturan yang tidak adil. Itu inti dari putusan MK ini," ucapnya. Saat disinggung peluang mengajukan figur untuk Pilpres 2029, ia berkata, Partai Ummat akan membahasnya. "Insyaallah hal ini akan menjadi pembicaraan di dalam internal partai," tegasnya.
Partai Hanura menyambut positif putusan MK yang menghapus presidential threshold. Menurut Sekjen DPP Partai Hanura Benny Rhamdani, putusan MK tersebut progresif. "Jadi kita ini kan melihara dan merawat undang-undang, terkait pemilihan presiden yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, kan, gitu ya. Dan ini dalam waktu yang cukup lama," ujarnya saat dihubungi wartawan, Kamis (2/1/2025).
Presiden ke-7 RI Joko Widodo mengatakan putusan MK final dan mengikat. "Kita semua harus menghormati apa yang sudah diputuskan MK," kata Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Jumat (3/1/2025), seraya menyebut putusan MK tersebut akan ditindaklanjuti oleh pembentuk UU.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menghormati putusan MK yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Adanya putusan tersebut setiap partai politik peserta pemilu dapat mencalonkan presiden dan wakil presidennya masing-masing.
"Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding)," ujar Yusril, Jumat (3/1/2025).
Menurut Yusril, pemerintah secara internal akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres 2029. "Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR," katanya.
Yusril juga menekankan, semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu, dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu.Dzikry Subhanie, Sujoni, Danan Daya Aria Putra, Felldy Utama, Achmad Al Fiqri, Iqbal Dwi Purnama, Raka Dwi Novianto, Nur Khabibi
Tarung Bebas Pilpres 2029: Kader Parpol vs Tokoh Populer
Ilustrasi/SINDOnews
Penghapusan presidential threshold tidak serta-merta membuat kader partai politik (parpol) bisa dengan mudah maju menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Tokoh luar parpol yang punya popularitas bisa saja diusung parpol.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, walaupun tidak ada presidential threshold, orang luar partai maupun tokoh internal partai akan tetap punya peluang yang besar untuk dicalonkan partai. Djayadi mengatakan, partai harus mempertimbangkan minimal dua hal dalam pencalonan.
"Pertama, tokoh yang mungkin menang dalam pilpres atau viable candidate. Yaitu seorang tokoh yang bukan hanya memiliki elektabilitas yang tinggi tapi juga kapasitas yang memadai untuk menjadi seorang presiden/wapres. Kedua, tokoh yang dicalonkan itu haruslah memberikan efek positif kepada perolehan suara partai di pemilu legislatif. Jangan lupa, pilpres dan pileg menurut putusan MK sebelumnya harus tetap dilakukan serentak, sehingga efek ekor jas (coattail effect) harus menjadi pertimbangan penting bagi suatu partai," jelasnya kepada SINDOnews, Minggu (5/1/2025).
Idealnya, lanjut Djayadi, memang partai memiliki kader internal yang memenuhi syarat untuk hal ini. Namun, itu tidak selalu ada. "Karena itu, masih mungkin sekali partai mencalonkan capres yang bukan kadernya. Selain itu, sangat mungkin berkoalisi untuk mengusung calon yang menang. Itu artinya, partai mungkin mencalonkan orang luar partainya, yang mungkin saja orang non-partai."
“
Masih mungkin sekali partai mencalonkan capres yang bukan kadernya. Selain itu, sangat mungkin berkoalisi untuk mengusung calon yang menang. Itu artinya, partai mungkin mencalonkan orang luar partainya, yang mungkin saja orang non-partai
”
Djayadi Hanan
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan, secara elektoral, mestilah semua partai akan tetap rasional dan realistis. Rasional karena mereka akan melihat elektabilitas setiap figur. Realistis, yakni apakah figur yang diusung punya "isi-tas". "Kecuali ada revisi aturan yang revolusioner, yang membuat soal "isi-tas" ini menjadi tanggung jawab negara," kata Agung, Minggu (5/1/2025).
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) mengatakan, putusan MK tersebut mengandung konsekuensi yaitu semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. Sehingga, masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih figur capres dan cawapres.
Namun, kata Karyono, putusan tersebut perlu dicermati terutama implikasi pengaturan pelaksanaan dan kontestasi pilpres ke depan. "Dihapusnya ambang batas pencalonan presiden di satu sisi membuka peluang munculnya figur-figur alternatif, tapi di sisi lain, banyaknya calon presiden yang jumlahnya sama dengan jumlah partai peserta pemilu juga perlu dicermati. Implikasinya bisa menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Polarisasi di masyarakat justru berpotensi melebar jika tidak diantisipasi dari aspek regulasi dan teknis pelaksanaannya," ujarnya, Minggu (5/1/2025).
Karena itu, MK dalam amar putusannya sudah mengantisipasi potensi munculnya banyak calon. MK meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitution engineering), termasuk di dalamnya harus memperhitungkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak, supaya tidak mengganggu hakikat pemilihan langsung oleh rakyat untuk menghasilkan pemilu yang demokratis dan berintegritas.
Terbukanya partai politik peserta pemilu dalam mengajukan pasangan calon tetap masih terbuka peluang koalisi. Tapi, hasrat koalisi di awal awal berpotensi berkurang karena parpol merasa bisa mengusung paslon sendiri. "Kemungkinan hasrat koalisi akan meningkat jika terjadi dua putaran. Budaya politik transaksional yang semakin menguat juga masih akan mewarnai koalisi."
Kans Anies dan Ganjar
Pengamat politik Ubedilah Badrun juga mengatakan, peluang dua Capres 2024 yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029 terbuka lebar seusai MK menghapus ambang batas calon presiden.
"Sangat besar peluangnya, bukan hanya peluang untuk nyalon tetapi Anies Baswedan, Ganjar Pranowo juga berpeluang besar untuk memenangkan kontestasi," kata Ubedillah.
Pandangan itu didasari atas penilaian Ubedillah terhadap karakteristik pemilih 2029. "Karakteristik pemilih 2029 akan berubah, akan lebih banyak yang melek politik dan semakin banyak Gen-Z yang muak dengan strategi populisme model Jokowi, populisme model Gibran, dan populisme model Prabowo," tutur Ubedillah.
Di sisi lain, Ubedilah menilai, Anies dan Ganjar punya modal cukup untuk bertarung di Pilpres 2029. Apalagi, kata dia, dengan kandidat paslon yang banyak. "Modal suara Anies dan Ganjar yang mencapai 40% suara pada Pemilu 2024 lalu adalah modal penting untuk memenangkan Pemilu 2029, apalagi jika capresnya banyak dan Prabowo tidak lagi mencalonkan diri," tutur Ubedillah.Rico Afrido Simanjuntak, Achmad Al Fiqri
Dinasti Politik Tinggal Mimpi?
Apakah dihapuskannya presidential threshold membuat dinasti politik , termasuk dinasti politik Joko Widodo (Jokowi), tak bisa lagi berbicara banyak di perpolitikan Indonesia? Pengamat politik berbeda pendapat soal ini.
Pengamat politik Ubedilah Badrun menilai, putusan MK yang menghapus presidential threshold bisa menjadi momentum berakhirnya dinasti politik Jokowi. Menurutnya, putusan MK membuka peluang bagi putra-putri terbaik bangsa untuk ikut kontestasi pilpres.
Dia mengatakan, putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden sudah sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1944. Meskipun putusan itu terlambat lantaran kerap digugat, ia berkata langkah MK yang menghapus ambang batas presiden telah tepat.
"Tentu ini angin segar demokrasi untuk pemilu presiden pada tahun 2029 mendatang. Setidaknya pada pemilu presiden 2029 mendatang rakyat Indonesia berpotensi akan memilih banyak alternatif pasangan capres-cawapres," kata Ubedilah saat dihubungi, Jumat (3/1/2025).
Kendati demikian, Ubedilah memprediksi banyak kandidat yang maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029. Dosen politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini pun juga menilai hal itu bisa menjadi momentum berakhirnya dinastik politik Jokowi . "Saya memprediksi, selain akan banyak pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2029 juga bisa menjadi momentum berakhirnya dinasti Joko Widodo," tutur Ubedilah.
“
Belajar dari Pilpres 2019 dan 2024 lalu, belenggu partai dan oligarki telah memanjakan dinasti Jokowi yang berakibat fatal membuat demokrasi menjadi rusak
”
Ubedilah Badrun
Keyakinan itu dilatari lantaran peluang putra-putri terbaik bangsa untuk maju Pilpres 2024 semakin terbuka lebar. Ia pun menilai, rakyat tidak lagi dibelenggu partai dan pemilik modal untuk menentukan presiden di balik threshold 20 persen. "Belajar dari Pilpres 2019 dan 2024 lalu, belenggu partai dan oligarki telah memanjakan dinasti Jokowi yang berakibat fatal membuat demokrasi menjadi rusak," tandasnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan, nasib dinasti Jokowi saat ini dan ke depan akan sangat banyak bergantung pada Presiden Prabowo Subianto. Karena tidak memiliki partai, Jokowi pada dasarnya tidak memiliki kekuatan politik lagi.
"Jokowi sekarang masih relevan karena sisa-sisa rekayasa politik atau manuver politik sebelum dia turun dari kepresidenan. Bila Prabowo memberi peran besar kepada Jokowi, baik melalui partai atau melalui peran lainnya, maka dinasti politik Jokowi masih bisa relevan," kata Djayadi, Minggu (5/1/2025).
Pengamat politik Agus Baskoro mengatakan sebaliknya. "Dinasti Jokowi maupun dinasti-dinasti politik lain akan tetap eksis selama mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan tren perilaku pemilih," ujarnya, Minggu (5/1/2025). Achmad Al Fiqri, Rico Afrido Simanjuntak
Follow WhatsApp Channel SINDOnews untuk Berita Terbaru Setiap Hari