Skema Penyaluran BBM Terkini, Mampukah Tekan Subsidi Energi?
Mohammad Faizal
Kamis, 26 Desember 2024, 10:18 WIB
Skema baru untuk BBM subsidi akan mulai berlaku tahun depan, mengombinasikan antara subsidi barang dan subsidi langsung melalui BLT. Akankah skema ini efektif?
Skema Kombinasi, Jurus Baru Pemerintah Atasi Beban Subsidi
Pemerintahan berubah silih berganti, namun satu persoalan terus membayangi, yakni tingginya beban subsidi energi. Tak heran jika Presiden Prabowo Subianto di awal pemerintahannya juga langsung menangani persoalan ini.
Beban subsidi memang patut menjadi salah satu perhatian pengelola negara. Betapa tidak, nilainya yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi beban bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sebagai gambaran, jika tahun 2020 realisasi subsidi energi mencapai Rp108,840 triliun, maka pada RAPBN 2025 nilainya telah membengkak menjadi Rp203,4 triliun.
Terlebih di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dunia, energi menjadi salah satu komoditas yang harganya kerap melonjak tinggi. Jika tak diantisipasi, beban subsidi energi bisa saja melonjak di luar kendali. Namun, menangani persoalan subsidi energi juga bukan perkara mudah. Sebab, pengurangan atau pembatasan subsidi di sektor energi dipastikan bakal mengerek inflasi.
Terkait dengan itu, pemerintah saat ini tengah memformulasi skema baru untuk menjaga agar subsidi energi tak lepas kendali,khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia blak-blakan mengenai kabar terbaru skema subsidi BBM subsidi yang nantinya akan diberlakukan. Berdasarkan pertemuannya dengan Presiden membahas persoalan ini, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mencabut subsidi energi.
Baca Juga: Kuota BBM Pertalite Ditetapkan 31,2 Juta KL di 2025, Lebih Kecil dari 2024 "Jadi, kemarin kami sudah diterima oleh Bapak Presiden, dan saya sebagai ketua tim untuk membuat alternatif tentang subsidi yang tepat sasaran. Jadi, isunya saya ingin menyampaikan bahwa tetap subsidi itu tidak dicabut. Tetap semuanya ada subsidi," terang Bahlil belum lama ini.
Namun, berbeda dengan skema subsidi sebelum-sebelumnya, jelas Bahlil, pemerintah akan menerapkan dua skema untuk penyaluran BBM subsidi, yaitu kombinasi antara subsidi melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi barang. Bahlil menjelaskan, langkah ini diambil untuk meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus memastikan subsidi diberikan kepada pihak yang benar-benar membutuhkan. "Skemanya ini kemungkinan besar itu blending. Blending antara ada subsidi barang dan sebagian subsidi BLT," urai Bahlil.
Kendati demikian, Bahlil mengaku belum dapat memberikan penjelasan secara rinci terkait skema baru ini. Menurut dia, pengumuman resmi mengenai skema subsidi BBM akan disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo pada waktu yang dianggapnya tepat. "Kalau ditanya kapan akan diumumkan, nanti lihat hari dan tanggal yang baik," cetusnya.
Bahlil juga menyampaikan bahwa setelah dirinya akan melaporkan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk memulai penyaluran BLT sebagai langkah awal reformasi penyaluran BBM subsidi. "Habis ini saya akan laporan dengan Menteri Keuangan, untuk yang awal-awalnya mungkin kita dorong dulu untuk bantalan. BLT jalan dulu," tuturnya.
Skema kombinasi penyaluran subsidi ini tentunya masih perlu diuji efektivitasnya saat penerapannya nanti. Namun, sebelum itu sejumlah ekonom telah mewanti-wanti agar pemerintah tetap berhati-hati.
Sekalipun BLT dipandang menjadi opsi yang baik untuk menggantikan skema penyaluran BBM subsidi, kebijakan tersebut dinilai tetap berdampak terhadap inflasi. Sebab, diperkirakan akan ada pihak-pihak yang nantinya tidak akan mendapatkan subsidi seperti selama ini.
"Karena tadi ada multiround effect yang diakibatkan karena penghapusan, ataupun ada pembatasan kuota," kata pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti dalam sesi Market Review IDX Channel belum lama ini.
Dilema Ojol, Menimbang Siapa yang Berhak Konsumsi BBM Subsidi
Selain menyiapkan skema baru untuk menyalurkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pemerintah juga tengah sibuk memilah pihak yang dianggap berhak menerimanya. Langkah itu penting untuk memastikan efektivitas subsidi yang akan dikucurkan.
Sejalan dengan upaya tersebut, Isu-isu terkait penerima subsidi BBM pun mengemuka. Salah satunya adalah mengenai kendaran ojek online alias ojol. Berhak-tidaknya ojol menerima subsidi sempat ramai setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberikan sinyal bahwa ojol tidak termasuk dalam kelompok penerima BBM subsidi .
Bahlil menuturkan alasan ojek online tidak masuk dalam kelompok yang masih boleh membeli BBM subsidi, baik jenis Pertalite maupun solar, lantaran kendaraan tersebut digunakan untuk kegiatan usaha. Sementara, penyaluran BBM subsidi ini sejatinya diarahkan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan atau kendaraan transportasi publik. "Ojek dia kan pakai untuk usaha. Loh iya dong, masa usaha disubsidi?" kata Bahlil beberapa waktu lalu.
Bahlil juga menduga bahwa tidak semua pengendara ojol merupakan pemilik asli kendaraan yang digunakannya untuk berusaha. Menurutnya, ada kemungkinan sebagian kendaraan roda dua itu yang dimiliki orang lain, dan mempekerjakan si pengendara sebagai supir ojol. "Alhamdulillah kalau motor itu punya saudara-saudara kita yang bawa motornya. Tapi sebagian kan juga punya orang lain yang kemudian saudara-saudara kita yang bawa itu dipekerjakan. Masa yang kayak gini disubsidi?" tuturnya.
Namun, pernyataan tersebut kemudian menuai respons keras dari para penemudi ojol dan sejumlah pihak lainnya. Sebagian beralasan, para pengemudi ojol, khususnya roda dua, tergolong pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), dan karenanya layak mendapatkan subsidi.
Terkait dengan alasan itu, Menteri UMKM Maman Abdurrahman memastikan, ojol berhak mendapatkan subsidi BBM. Namun, untuk taksi online, ia tidak bisa memberikan jaminan. Maman menyebut untuk taksi online kewenangan berada di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Kalau yang roda empat, saya pikir itu ranahnya Kementerian Perhubungan dan ranahnya Kementerian ESDM. Jadi kalau kami sih fokus kepada teman-teman yang ojek online, yang roda dua," ungkapnya dalam sebuah konferensi pers.
Maman menjelaskan, ojol roda dua telah memenuhi kriteria sebagai pelaku usaha mikro yang menjadi perhatian utama Kementerian UMKM. Sementara nasib taksi online yang mayoritas berpelat hitam, masih harus menunggu kejelasan.
"Kenapa ojol? Karena mereka-mereka ini yang masuk dalam sistem distribusi barang-barang usaha mikro dan usaha kecil. Jadi, saya mau fokusnya di situ saja," terang Maman. "Dari sisi saya, sejatinya (taksi online) tidak berhak mendapatkan karena masuk dalam kategori yang besar kan itu, dan sekarang bisa bayangkan DP (down payment) mobil kan, itu gede," ujarnya.
Menteri Bahlil pun akhirnya juga mengeluarkan pernyataan bahwa skema subsidi BBM akan mencakup sebagian besar UMKM, termasuk ojol roda dua. Hanya saja, kata dia, sampai saat ini pemerintah menurutnya belum menemukan cara bagaimana membedakan mana kendaraan ojol atau bukan.
Terkait dengan itu, PT Pertamina (Persero) sebagai penyalur BBM subsidi saat ini tengah melakukan pemutakhiran data pengemudi ojol. Proses ini dilakukan agar penyaluran subsidi bahan bakar tepat sasaran.
Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengatakan, dalam pembaharuan data ini perusahaan melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan PT PLN (Persero), terutama untuk melihat data penerima subsidi yang dikantongi kedua entitas dengan data yang dimiliki Pertamina. Sinergi itu untuk menyamakan data register dan menghindari penerima ganda.
"Kami sudah kolaborasikan dengan data register yang dimiliki PLN. Kemudian dikumpul dan dipimpin oleh BPS untuk kemudian mengerjakan data mutakhir yang terbaru supaya tidak ada double," ujar Simon dalam konferensi pers.
Pertamina juga mengombinasikan data yang dimiliki perusahaan pemilik aplikasi ojek online, misalnya Grab dan Gojek. Simon menyebutkan, proses penggodokan data ini masih dilakukan hingga saat ini.
Persoalan layak-tidaknya ojek online mengonsumsi BBM subsidi juga menjadi perhatian pengamat ekonomi dan energi dari UGM, Fahmy Radhi. Menurut dia, jika ojek online dibatasi, hal itu bisa berdampak pada harga kebutuhan barang, meskipun ada kompensasi berupa bantuan sosial dari pemerintah. "Larangan bagi ojol pakai BBM subsidi adalah kebijakan blunder, sama saja pemerintah mencabut subsidi BBM. Dampaknya, biaya operasional ojol membengkak sehingga menaikkan tarif bagi konsumen, yang kemudian memicu inflasi," kata Fahmy.
Fahmy khawatir jika ojol dibatasi, maka daya beli kelas menengah ke bawah akan makin tergerus. Ekonom ini juga menyinggung klaim pemerintah untuk pro pada rakyat kecil. Pembatasan BBM subsidi bagi ojol menurutnya akan sangat kontradiktif dengan klaim pro rakyat tersebut.
Menakar Efektivitas BLT untuk BBM Subsidi
Skema penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tak lagi hanya diberikan pada barang, namun juga lansung ke penerima melalui bantuan langsung tunai (BLT). Skema penyaluran subsidi BBM secara kombinasi ini dinilai punya kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Pengamat ekonomi dan energi dari UGM Fahmy Radhi menilai, skema penyaluran subsidi BBM menjadi BLT sudah tepat. Menurut dia, skema subsidi energi kepada barang yang selama ini berlaku masih kerap salah sasaran. "Dan kalau tidak salah, (nilai) salah sasarannya itu sekitar Rp90 triliun per tahun. Kalau dasar tahun yang lalu itu Rp90 triliun gitu ya, kalau sekarang meningkat ya mungkin Rp120 triliunan mungkin gitu ya," ujarnya beberapa waktu lalu.
Namun demikian, Fahmy menegaskan bahwa implementasinya membutuhkan data penerima yang terbaru. "Data yang update dan data orang yang berhak tadi. Kalau menurut saya itu saya kira sangat tepat gitu ya. Karena lebih cepat sasaran dan lebih adil. Dan itu agak sulit memang diterapkan karena harus ada data yang update tadi," terangnya.
Fahmi menuturkan, dari data yang sudah dimutakhirkan tersebut nantinya pemerintah bisa memberikan bantuan langsung, misalnya berupa uang tunai senilai subsidi yang selama ini diberikan pada produk BBM tertentu. "Katakanlah Pertalite, misalnya harga pasarnya Rp12.000 tapi sekarang dijual Rp10.000, maka penerima subsidi akan memperoleh bantuan sebesar Rp2.000 per liter. Nah berapa jumlahnya itu saya kira bisa dihitung. Tetapi itu akan lebih tepat sasaran," tandasnya.
Dengan cara itu, kata Fahmy, pihak yang dinilai tidak berhak otomatis harus membeli BBM dengan harga pasar. Dengan demikian, penyaluran BBM subsidi dipastikan tepat sasaran.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengatakan bahwa pemerintah tetap harus berhati-hati dalam mengimplementasikan skema baru untuk penmyaluran BBM subsidi. Sekalipun BLT dipandang menjadi opsi yang baik untuk menggantikan skema penyaluran BBM subsidi, Yayan menilai bahwa kebijakan tersebut tetap akan berdampak terhadap inflasi. "Karena ada multiround effect yang diakibatkan penghapusan subsidi untuk orang yang tidak lagi menerima," jelasnya.
Dia menjelaskan, subsidi energi dapat dibagi menjadi dua, yaitu subsidi energi eksplisit dan subsidi energi implisit. Subsidi energi eksplisit mengacu pada subsidi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang secara langsung diterima oleh masyarakat. Misalnya, dalam bentuk BBM atau listrik atau dengan kriteria tertentu berdasarkan pada undang-undang.
Sedangkan subsidi energi implisit dimaknai sebagai pengeluaran yang tidak langsung (discretionary spending). Yayan mencontohkan, pengeluaran pemerintah berupa kompensasi kepada PT PLN (Persero) ataupun PT Pertamina (Persero), lantaran kompensasi adanya hambatan cash flow yang berhubungan dengan subsidi energi tersebut.
"Ini yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berhubungan dengan dampak dari kerugian yang diakibatkan oleh penghapusan subsidi energi tadi," jelasnya.
Berdasarkan hasil riset World Bank, lanjut dia, angka subsidi energi secara implisit lebih besar atau sebanyak 1,5% dibandingkan dengan subsidi energi eksplisit 1% di tahun 2023. "Artinya apa? Artinya bahwa subsidi energi ini membebani adanya inefektivitas dari sisi fiscal balance sheet ya, di mana secara implisit itu lebih tinggi dari eksplisit. Artinya bahwa impact-nya itu lebih besar untuk memberikan dampak terhadap beban fiskal," kata dia.
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat berpendapat serupa. Subsidi BBM yang akan diberikan langsung kepada masyarakat yang dinilai berhak berdasarkan data yang tercatat di sistem pemerintah akan meningkatkan akurasi penyaluran. Namun, cara ini juga berdampak pada pihak yang tak lagi mendapat subsidi.
"Skema ini bertujuan meningkatkan akurasi penyaluran subsidi, tetapi efek sampingnya adalah kenaikan harga BBM bagi kelompok yang tidak memenuhi kriteria subsidi, termasuk kelas menengah," terangnya.
Achmad Nur Hidayat mengutarakan, kenaikan harga BBM bagi kelompok yang tak lagi menerima subsidi ini bisa memicu efek domino pada biaya transportasi dan distribusi barang, yang pada akhirnya meningkatkan harga kebutuhan pokok. "Kenaikan harga BBM sebesar 10% dapat mendorong kenaikan harga barang sebesar 3-5%. Dampaknya sangat terasa, terutama bagi masyarakat perkotaan yang sangat bergantung pada transportasi berbasis BBM," tuturnya.
Stop Kebocoran, Saatnya Subsidi BBM Tepat Sasaran
Mengiringi skema baru penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tengah dimatangkan, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan kepada jajaran Kabinet Merah Putih agar subsidi energi, termasuk BBM, harus tepat sasaran kepada masyarakat yang kurang mampu.
"Tadi di dalam ada rapat terbatas rapat internal kabinet tadi kita bahas sesuatu yang spesifik tadi tentang arahanPresiden supaya dikaji, dipertajam mengenai subsidi supaya tepat sasaran, tepat penerima, dan tepat alokasinya," ungkap Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi dalam keterangannya kepada awak media.
Hasan mengatakan, bahwa pemerintah saat ini akan menyinkronkan data-data penerima subsidi termasuk dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga data dari Bappenas. "Sekarang lagi mempertajam data-data supaya masyarakat yang menerima tepat. Tak ada lagi subsidi yang tak tepat sasaran seperti itu. Tepat sasaran subsidinya ke orang," paparnya.
Pernyataan tegas pemerintah itu bukan tanpa alasan. Sebab, selama ini puluhan triliun rupiah subsidi energi dinilai masih kerap salah sasaran. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia belum lama ini mengatakan bahwa potensi kebocoran penyaluran subsidi energi seperti
BBM dan listrik selama ini bisa mencapai 20-30%. Jika dirupiahkan nilai kebocoran itu diklaim sekitar Rp100 triliun. Bahlil mengatakan, perkiraan itu berdasarkan laporan yang diterimanya baik dari PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero) maupun dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas).
"Tujuan subsidi itu kan adalah diberikan kepada warga negara yang berhak untuk menerima subsidi. Nah dalam rangka itu kami sudah mulai rapat untuk kita mencari formulasinya," ungkap Bahlil.
Kepentingan agar subsidi, khususnya untuk BBM, agar tepat sasaran juga sangat penting untuk memastikan ketersediannya bagi masyarakat. Sebab, sebelumnya seringkali terjadi BBM subsidi bengkak dari kuota yang telah dialokasikan pemerintah.
Untuk diketahui, tahun depan pemerintah menetapkan kuota BBM bersubsidi jenis pertalite sebesar 31,2 juta KiloLiter (KL). Jumlah tersebut turun tipis dari kuota BBM bersubsidi tahun ini yang sebesar 31,7 KL.
Kepala BPH Migas Erika Retnowati menambahkan, untuk kuota solar ditetapkan sebesar 18,8 juta KL dan minyak tanah 525.000 KL. Jumlah ini sesuai dengan Undang-undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Erika tak menafikan bahwa kuota bahan bakar bersubsidi volumenya bisa berubah, sejalan dengan perubahan skema penyaluran BBM subsidi yang akan diputuskan dalam rapat terbatas (ratas) nantinya.
"Ya, itu belum terhitungkan nanti bagaimana keputusan dari skema subsidi yang baru. Bisa saja (berubah jumlah kuota) karena kan kita setiap 3 bulan itu kita evaluasi," tuturnya.
Persoalan tepat sasaran juga menjadi perhatian penuh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu memastikan, data penyaluran subsidi BBM yang rencananya juga akan dialihkan sebagian menjadi bantuan langsung tunai atau BLT pada 2025 akan mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS).
"Saat ini, BPS sedang kerja terutama untuk bikin data base tunggal mengenai penduduk Indonesia sesuai dengan tingkat kemiskinan dan sebagainya," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata, baru-baru ini.
Isa mengatakan, data yang diramu BPS itu akan mengkombinasikan data base penduduk dari berbagai sumber, bulai dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial, data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, hingga data base PLN dan Pertamina.
Isa mengatakan, hingga saat ini data itu masih diolah oleh BPS, sehingga belum ada detail dari jumlah penerima hingga kebutuhan anggaran yang disediakan dari perubahan skema subsidi tersebut. "Itu akan jadi dasar nanti BLT, subsidi langsung, dan lain sebagainya. Ini sekarang sedang dikerjakan, ini mungkin ada penjelasannya lebih jelas di 2025," ucap Isa.
Sebagai informasi, Pemerintah akan mengambil keputusan dan mengumumkan skema baru penyaluran subsidi energi, baik BBM dan listrik, pada awal 2025 mendatang. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, keputusan skema baru penyaluran subsidi energi ini akan diumumkan setelah ratas dengan Presiden Prabowo Subianto yang diperkirakan baru akan dilakukan 2025 mendatang.
Follow WhatsApp Channel SINDOnews untuk Berita Terbaru Setiap Hari
Follow