Gen Z  Rentan Jatuh ke Jurang Kemiskinan
Gen Z Rentan Jatuh ke Jurang Kemiskinan
Eko Edhi Caroko
Senin, 07 Oktober 2024, 16:57 WIB

Gaya hidup Gen Z yang boros mudah mengeluarkan uang, membuat mereka rentan jatuh ke jurang kemiskinan. Fenomena ini dikenal dengan istilah  doom spending.

Fenomena YOLO


Fenomena YOLO

Gen Z
belakangan ini menjadi pembicaraan di media sosial secara global. Memang ada apa? Tidak lain karena perilaku borosnya. Mereka begitu mudah mengelurkan uang atau tabungan sebagai solusi atas persoalan yang menderanya. Kondisi seperti tentu akan membuat mereka terancam miskin,lebih miskin dibanding generasi sebelumnya.

Perilaku seperti itu disebut sebagai doom spending. Fenomena doom spending ini, sebagaimana dijelaskan oleh laporan dari Psychology Today, melibatkan perilaku belanja tanpa pertimbangan, sering kali sebagai cara untuk melarikan diri dari stres dan kecemasan terkait kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Fenomena YOLO

Tulisan jurnalis lifestyle Janet Siroto bertajuk ‘’What is Doom Spending’’ yang dimuat di sofi.com mengilustrasikannya sebagai pengeluaran uang untuk mengatasi stres ketika masa depan tampak tidak pasti atau meresahkan, seperti ketika prospek ekonomi atau politik tampak suram. Untuk mengalihkan perhatian mereka dari kekhawatiran inilah, Gen Z menghabiskan uang untuk makan malam sushi spesial, tiket konser, atau pakaian baru. Apa yang dipikirkan di sini? "Apa yang akan terjadi di masa depan tampak tidak pasti; saya mungkin sebaiknya menikmatinya sekarang."

Fenomena doom spending bukanlah isapan jempol. Di Indonesia, fenomena ini tercermin dalam laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat nilai penyaluran fintech lending mencapai Rp20,53 triliun pada Agustus 2023, dengan 60 persen pengguna berasal dari kalangan milenial dan Gen Z. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa banyak generasi muda terjebak pola pikir 'You Only Live Once (YOLO atau hidup hanya sekali)', hingga memilih untuk membelanjakan uang pada barang-barang mewah, yang sebenarnaya justru memperburuk situasi keuangan mereka.

Apa salah mereka? Mereka yang termasuk Gen Z sejatinya tidak bisa sepenuhnya disalahkan.Mereka hadir di dunia di saat kondisi yang tidak menguntungkan. Menurut Giovanna González, penulis Cultura & Cash: Lessons From the First Gen Mentor for Managing Finances & Cultural Expectations dalam laporan ‘’Three Ways to Avoid Doom Spending’’ yang dipublikasikan www.aboutschwab.com menuturkan, generasi tersebut merasa muram tentang keuangan mereka.

Betapa tidak, banyak di antara mereka memasuki dunia kerja ketika pandemi mendera, di tengah melonjaknya utang, inflasi yang tinggi selama puluhan tahun, dan harga perumahan yang kian tidak terjangkau. Dalam kondisi demikian, banyak di antara mereka memilih menghilang perasaan tertekan dengan melakukan pengeluaran yang tidak masuk akal: secara impulsif membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan atau tidak mampu mereka beli sebagai cara untuk mengatasi kecemasan. Namun, perbaikan emosional jangka pendek dapat menyebabkan masalah keuangan jangka panjang.

“Pengeluaran yang tidak masuk akal adalah menanggapi pandangan yang buruk tentang masa depan keuangan Anda atau planet tempat kita tinggal dengan mengatakan, '’Apa gunanya menabung untuk masa depan?'” jelas Giovanna González. “Pikirannya adalah, ‘Saya akan menghabiskan uang untuk saat ini dan tidak perlu khawatir tentang tujuan jangka panjang seperti pensiun atau membeli rumah’”.

 
Mereka memasuki dunia kerja ketika pandemi mendera, di tengah melonjaknya utang, inflasi yang tinggi selama puluhan tahun

Giovanna González, Penulis Cultura & Cash


Lantas siapa Generasi Z? McKinsey dalam ‘What is Gen Z’ menyebut Generasi Z merujuk pada mereka yang lahir antara tahun 1996-2010. Mereka adalah generasi termuda kedua, antara generasi milenial atau Gen Y dan Generasi Alpha. Identitas Gen Z dibentuk oleh era digital, kecemasan terhadap iklim, perubahan lanskap keuangan, dan pandemi COVID-19. Mereka dikenal sebagai ‘’digital native’ '—generasi pertama yang tumbuh bersama internet.

Sebagai digital native, Gen Z memiliki sejumlah karakter umum sangat aktif secara daring; akrab dengan pekerjaan, belanja, kencan, dan pertemanan yang dilakukan secara daring; menghabiskan lebih banyak waktu per hari dengan ponsel.Kondisi tersebut membuat mereka mengalami ketergantungan pada teknologi, gadget, dan aktivitas di media sosial.Ketergantungan ini juga membuat mereka suka dengan hasil yang cepat dan instan, selalu terburu-buru, dan keras kepala.

Baca Juga : Tren Ngonten Box ala Korea Jadi Pilihan Favorit Gen-Z

Studi Indeks Kemakmuran Intuit menemukan, 73% Gen Z lebih suka hidup di masa sekarang dan ragu untuk menetapkan tujuan jangka panjang, termasuk merencanakan masa pensiun. Namun, Gen Z tidak sendirian dalam mengejar terapi belanja, karena lebih dari seperempat dari seluruh warga Amerika Serikat mengakui bahwa mereka menghabiskan uang untuk barang-barang yang tidak dibutuhkan sebagai cara untuk melarikan diri sejenak dari stres.

Bagaimana mereka bisa terjebak doom spending? Janet Siroto mengungkap ada sejumlah faktor penyebab di antaranya: Pertama, stres dan Kecemasan. Menurut American Psychological Association (APA), banyak orang di AS yang terkena dampak negatif dari trauma pandemi, konflik global, ketidakadilan rasial, inflasi, dan tantangan lingkungan di sekitar kita. Semua masalah tersebut dapat bercampur aduk dan menciptakan perasaan akan masa depan yang tak terduga.Selanjutnya survei Axios Vibes/Harris Poll pada bulan Juni 2024 menemukan, mayoritas generasi milenial dan Gen Z setuju bahwa lebih baik memanjakan diri sendiri sekarang daripada menunda masa depan yang "rasanya dapat berubah kapan saja."

Kedua, masalah kontrol impuls. Berbelanja dapat mendatangkan kegembiraan dalam beberapa cara berbeda. Penelitian telah menunjukkan bahwa membeli barang yang diinginkan seolah membanjiri otak dengan dopamin, neurotransmitter yang memberikan perasaan senang. Bagi orang yang merasa masa depan suram, menghabiskan uang dengan cara ini bisa melegakan dan melepaskan diri dari beban persoalan.

Ketiga, tekanan masyarakat dan teman sebaya. Media sosial dapat memperburuk pengeluaran yang sia-sia dengan mendorong Anda menghabiskan uang untuk mengikuti tren. Kondisi ini juga dapat menyebabkan pengeluaran FOMO (fear of missing out atau takut ketinggalan) dan pengeluaran YOLO (hidup hanya sekali).Karena terbayang-bayang masa depan suram dan sangat mahal, mereka pun tidak mau repot-repot membuat perencanaan. Sebaliknya mereka lebih memilih mengikuti jejak teman, rekan kerja, atau influencer media sosial dan menghabiskan uang untuk pembelian atau pengalaman yang sedang tren.

Kondisi yang menimpa Gen Z akibat doom spending sangatlah mengkhawatirkan. Mereka bukan hanya rawan terjebak dalam tekanan ekonomi, tetapi juga berisiko jatuh ke dalam jebakan utang, yang dapat memperburuk kondisi keuangan mereka di masa depan. Lantas bagaimana mengatasinya?

Baca Juga : Rasa Keingintahuan Besar, Gen Z Mudah Terjerumus ke Hal Negatif

Money.usnews.com dalam artikel ‘’What is Doom Spending and How Can You Avoid It’’ memberikan tips yang dirangkum dari sejumlah pakar. Cara yang bisa digunakan untuk menghindari atau mengatasi doom spending antara lain membuat penganggaran, sehingga bisa menghindarkan diri dari kebutuhan bersenang-senang berlebih dan tetap berupaya mencapai tujuan jangka panjang; mengidentifikasi emosi yang mendasari dan mendorong pembelian impulsif yang dapat membantu individu mengembangkan mekanisme penanganan yang lebih sehat.

Kemudian mengotomatiskan perilaku tertentu seperti pembayaran tagihan, tabungan, dan/atau investasi, sehingga tidak mudah tergoda pengeluaran yang tidak terkontrol; mencari aktifitas dan hiburan tanpa menghabiskan banyak uang.Seperti disarankan Clint McCalla, perencana keuangan bersertifikat di MEIRA Wealth di Austin, Texas, langkah ini bisa bisa dilakukan dengan memanfaatkan perpustakaan umum, berjalan-jalan atau ke taman, mendengarkan musik, membaca, menonton video berdurasi panjang di YouTube tentang hal-hal yang dsukai, hingga bermain gim di rumah.
(alex aji s)

Tinggalkan Gaya Hidup YOLO dan FOMO, Ganti YONO

Tinggalkan Gaya Hidup YOLO dan FOMO, Ganti YONO
KEBIASAAN anak muda khususnya Generasi Z dan milenial yang tidak bisa lepas dari gadget, membuat mereka lebih memilih menggunakan aplikasi belanja online, pemesanan tiket, pemesanan makanan, termasuk pinjaman online (pinjol). Ditambah lagi usia yang produktif dan bekerja, membuat Gen Z dan milenial memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan mengatur keuangan yang baik dan sikap yang konsumtif yang menjadi gaya hidup kalangan Gen Z, yang membuat mereka sulit untuk menabung atau berinvestasi. Kondisi ini makin diperparah dengan mudahnya untuk mendapatkan pinjol, yang mana membuat mereka menjadi berutang dan makin terjebak dalam krisis berkepanjangan.

Tinggalkan Gaya Hidup YOLO dan FOMO, Ganti YONO

Belakangan ada fenomena doom spending yang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pengelolaan finansial anak-anak muda, terutama Generasi Z. Doom spending merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas belanja impulsif yang dilakukan seseorang tanpa berpikir panjang sebagai bentuk menenangkan diri atas keadaan ekonomi maupun masa depan.

Istilah doom spending sering dikaitkan dengan tren konsumsi berlebihan yang terjadi dalam situasi krisis atau tekanan hidup, seperti pandemi atau ketidakpastian ekonomi. Fenomena ini saat ini sedang terjadi di kalangan muda, terutama Gen Z. Alih-alih menabung atau berinvestasi, banyak anak muda zaman sekarang yang lebih suka membeli barang mewah ataupun jalan-jalan. Jika tidak disikapi dengan baik, aktivitas ini justru akan membuat pelakunya kesulitan ekonomi. Lantas, mengapa doom spending gen Z bikin miskin?

Dilansir dari Bloomberg, doom spending merupakan aktivitas seseorang membelanjakan uangnya untuk menghilangkan stres karena kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi yang tidak pasti. Hal ini terjadi karena anak-anak muda selalu menyerap berbagai informasi atau berita buruk secara terus menerus di media sosial sehingga mereka merasa bahwa kondisi ekonomi sedang kacau. Banyak dari generasi muda ini kemudian mengalihkan perasaan stres dan tertekan mereka ke bentuk berbelanja yang impulsif.

Baca Juga : Ajak Gen Z dan Milenial Menabung, Lagu Titiek Puspa Diremake

Fenomena doom spending juga mulai muncul di Indonesia. Menurut pengamat, anak-anak muda selalu rentan terhadap pengeluaran berlebihan karena mereka berjuang dengan tekanan sosial dan pembentukan identitas. Apalagi, sekarang mereka lebih rentan terhadap kekuatan komersial daripada sebelumnya karena situasi ekonomi yang sulit. Ditambah meningkatnya penggunaan smartphone dan media sosial, serta skema “buy now pay later” membuat kebiasaan doom spending ini lebih cepat merebak.

Doom spending Gen Z ini bisa memberikan dampak negatif, terutama pada kondisi keuangan. Beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi akibat dari doom spending ini adalah masalah keuangan. Doom spending yang tidak terkontrol dapat menyebabkan masalah keuangan jangka panjang, seperti utang kartu kredit, kesulitan menabung, dan kurangnya dana darurat. Banyak generasi muda di Indonesia yang mulai merasakan dampak negatif ini, terutama karena minimnya literasi keuangan.

Doom spending juga dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan mental. Meskipun belanja impulsif memberikan kepuasan sementara, namun banyak yang merasa menyesal atau stres setelahnya. Penyesalan akibat pengeluaran yang berlebihan ini bisa memperburuk kondisi mental dan meningkatkan rasa cemas.

Selain itu, kebiasaan doom spending dapat menghalangi generasi muda dalam merencanakan tujuan jangka panjang, seperti menabung untuk masa depan pendidikan, membeli rumah, atau merencanakan pensiun. Hal ini lantaran fokus mereka pada konsumsi jangka pendek yang akhirnya menghambat pencapaian tujuan finansial yang lebih besar.

Doom spending Gen Z dapat menyebabkan masalah keuangan yang serius jika tidak dikendalikan, termasuk berisiko membuat seseorang jatuh dalam kemiskinan. Meskipun doom spending memberikan kepuasan emosional sementara, pengeluaran impulsif ini bisa berdampak negatif jangka panjang, terutama jika dilakukan secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kemampuan keuangan.

Baca Juga : Lupakan YOLO, Ini Tips Jalankan Gaya Hidup YONO

Telah sangat dipahami, bahwa fenomena doom spending tak lepas dari gaya hidup. Di kalangan milenial atau gen Z, ada istilah gaya hidup YOLO (You only Live Once). YOLO mengacu pada prinsip bahwa karena hidup hanya sekali, maka seseorang bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Gaya hidup ini kadang juga dikaitkan dengan kondisi saat hal-hal primer seperti memiliki rumah sudah makin sulit terjangkau, maka lebih baik uang yang dimiliki sekalian saja dihabiskan untuk hal-hal tersier.

Namun, baru-baru ini gaya hidup yang baru bernama YONO mulai menggantikan YOLO. Ini terjadi salah satunya di kalangan anak muda usia 20-an di Korea Selatan. YONO adalah singkatan dari You Only Need One, yang diartikan bahwa seseorang hanya butuh satu jenis saja untuk banyak hal dalam hidupnya. Maksud dari gaya hidup ini adalah ketika membeli atau mengonsumsi suatu barang, sebenarnya kamu hanya membutuhkan satu saja.

Selain itu, gaya hidup YONO juga bertujuan untuk menekan tingkat konsumtif yang terjadi belakangan ini di kalangan remaja dan dewasa muda. Sering kali ketika melihat barang yang baru atau sedang tren, seseorang akan merasa tidak boleh tertinggal dan harus membelinya. Biasanya hal ini disebut dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out). Nah, hal inilah salah satunya yang membuat YOLO muncul, dan bertentangan dengan YONO.

Bagi kalangan Gen Z yang ingin menerapkan gaya hidup YONO dan terhindar dari doom spending mesti menjalankan gaya hidup minimalis, yakni dengan memiliki barang dengan kuantitas hanya satu barang saja. Misalkan, kamu bisa memulai dengan memiliki sepatu atau tas hanya satu untuk masing-masing kebutuhan. Misalnya satu sepatu untuk olahraga dan satu sepatu untuk sehari-hari. Atau satu tas untuk kuliah atau kerja dan satu tas untuk hangout, di luar tas untuk kebutuhan khusus seperti traveling.

Lalu, membeli makanan sesuai kebutuhan. Ketika membeli makanan, terkadang kita menjadi lapar mata. Oleh karena lapar mata, kita pun cenderung memesan makanan secara berlebihan. Padahal, ketika memakannya belum tentu bisa dihabiskan. Kebiasaan ini tentu bukanlah perilaku yang baik. Selain membuang-buang makanan, tentunya uang yang dimiliki juga akan terbuang sia-sia.

Kemudian, membuat daftar saat ingin berbelanja. Berbelanja bisa menjadi sarana untuk menyegarkan pikiran bagi sebagian orang. Namun, ketika berbelanja sering kali membuat seseorang membeli beberapa barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Jika kamu takut untuk membeli barang-barang yang belum berguna saat itu, kamu bisa mencoba untuk membuat daftar belanjaan apa saja yang ingin kamu beli. Selain menghindari kelupaan akan barang yang memang kamu butuhkan, dengan membuat daftar, maka kamu juga akan lebih fokus dalam mencari barang yang kamu butuhkan.

Berikutnya, mencatat pemasukan dan pengeluaran uang. Kamu wajib menghitung atau mencatat besaran pemasukan dan pengeluaranmu tiap bulan atau tiap minggu. Saat mencatat pemasukan dan pengeluaran uang milikmu, tentunya akan terlihat apakah pengeluaranmu lebih banyak dibanding uang sakumu. Selain itu, kamu juga bisa melihatpengeluaran terbesarmu digunakan untuk hal apa saja. Di sini, kamu pun bisa memotong pengeluaran yang terasa berlebihan agar kamu bisa hidup lebih hemat.

 
Anak muda Indonesia sebenarnya sudah menunjukkan perubahan positif dalam perilaku keuangan. Diantara mereka 41% sudah memiliki dana darurat

Inggit Primadevi, Director Consumer Insights NIQ Indonesia



Gaya hidup YONO memang bertujuan untuk menekan tingkat konsumtif seseorang. Oleh karena itu, ketika seseorang mendapatkan dana yang lebih, dana ini bisa disisihkan untuk ditabung. Cara menabung bisa dilakukan dengan berbagai macam, misal mulai dari menabung di bak, di celengan, hingga dengan berinvestasi seperti membeli emas dan lainnya.

OCBC dalam data Financial Fitness Index (FFI) 2024 menyebutkan, sebanyak 39% anak muda menabung hanya untuk memenuhi gaya hidup. Temuan tersebut menunjukkan bahwa generasi muda saat ini lebih fokus pada kesenangan jangka pendek. Terlebih terungkap juga 80% anak muda menghabiskan uang untuk menyesuaikan gaya hidup dengan temannya. Angka ini naik 73% dibanding tahun 2023. Menandakan bahwa potret akan FOMO (Fear of Missing Out) yang kuat masih terjadi di kalangan generasi muda.

Kondisi ini menggarisbawahi perlunya literasi keuangan yang lebih baik untuk membuat keputusan pengeluaran yang lebih bijak. Dengan memahami baik itu produk maupun layanan perbankan, maka manfaat yang diperoleh bisa maksimal. Tapi meski demikian, OCBC menyebutkan skor finansial fitness Indonesia pada tahun 2024 berhasil stabil pada angka 41.25. Ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia telah berhasil mempertahankan hasil skor finansialnya.

Selain itu, saat ini 25% generasi muda memiliki dana darurat (naik dari 17%) yang bisa bisa menjadi indikator adanya perubahan sikap dan mindset, terutama di kalangan muda yang tetap ingin menikmati hidup. "Ini merupakan pencapaian yang patut di apresiasi bagi generasi muda, di mana sisi lain mereka pun harus paham memanfaatkan produk perbankan untuk keputusan finansial yang cerdas," kata Executive Director Marketing & Lifestyle Business OCBC, Amir Widjaya.

"Dengan informasi yang tepat, inklusi produk perbankan, dan pengelolaan keuangan yang baik, mereka bisa menjadi smart spender dan smart saver. Hasil akhirnya mereka akan menciptakan keseimbangan antara kesenangan saat ini dan kesejahteraan finansial jangka panjang," sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Inggit Primadevi, Director Consumer Insights di NielsenIQ (NIQ) Indonesia. Ia mengutarakan, anak muda Indonesia sebenarnya sudah menunjukkan perubahan positif dalam perilaku keuangan. Di antara mereka yang sudah mencatat keuangan, 41% sudah memiliki dana darurat (sebesar 6 bulan gaji), angka ini naik sebesar 12% dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, anak muda yang belum melakukan pencatatan keuangan, baru 21% yang punya dana darurat.

"Hal ini menandakan peningkatan kesadaran akan literasi keuangan, bukan hanya dalam pengetahuan tapi juga dalam praktik, dengan memiliki dana darurat dan menerapkan kebiasaan mencatat keuangan mereka," pungkasnya.

Judol dan Pinjol Ancaman Serius Bagi Gen Z

Judol dan Pinjol Ancaman Serius Bagi Gen Z

Kemajuan teknologi telah banyak membawa kemudahaan. Kini hampir semua kebutuhan finansial bisa dilkukan melalui gengaman tangan (Ponsel). Mulai dari menabung, investasi, transaksi hingga pengajuan kredit (pinjaman online). Sayangnya kemajuan di bidang teknologi ini tidak dibarengi dengan kemampuan literasi keuangan yang memadai.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Frederica Widyasari Dewi banyak Generasi Zoomer alias Gen Z yang terjebak dalam Pinjol. Tak mampu membayar cicilan.

Dalam catatan OJK hingga Juli 2024, kredit macet Pinjol dari debitur Gen Z (Usia 19-34 tahun) cukup tinggi mencapai 37.17%. Di saat yang sama hingga akhir Jui 2024, pembiayaan melalui Pinjol mencapai Rp 69,39 triliun. Sementara OJK juga merilis data outstanding fintech untuk Generasi Z per Juni 2024 mencapai Rp30,6 Triliun. Kredit macet yang dimaksud dalam Pinjol adalah pembiayaan yang tidak dibayar lebih dari 90 hari sejak tanggal jatuh tempo oleh debitur atau dikenal juga dengan istilah TWP90.

Baca Juga : Terjerat Pinjol Mahasiswa Unnes Gantung Diri, Isi Surat Wasiatnya Memilukan

Untuk menekan angka TWP90 ini OJK telah menyiapkan langkah mitigasi terbaru. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan lembaga jasa keuangan lainnya OJK Agusman mengatakan sekarang penyelenggara Pinjol atau peer to peer lending (p2p) diminta untuk membuat peringatan di laman utama web dan aplikasi mereka.

Bunyinya, 'hati-hati transaksi ini berisiko tinggi, anda bisa mengalami kerugian atau kehilangan uang, dengan tidak membayar utang. Pertimbangkan secara bijak sebelum bertransaksi'"

Frederica Widyasari mengingatkan agar Gen Z tidak sembarangan menggunakan Pinjol. Sebab hal itu akan berdampak pada masa depan mereka. OJK telah memasukkan catatan Pinjol ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Sehingga tunggakan pinjaman akan menjadi catatan buruk.

Anak-anak muda ini harus dibimbing, setelah OJK memasukkan data Pinjol ke SLIK, semua data akan masuk dan akan terhubung. Jika tidak perform akan ter-capture, dan akan membahayakan mereka ketika mendaftar kerja atau melakukan hal hal lain.
Literasi keuangan yang rendah membuat Gen Z tidak memahami resiko yang dihadapi saat terjebak utang Pinjol. Akhirnya, kata Frederica Widyasari, anak-anak muda terjerat utang yang sangat menyusahkan masa depan mereka.

Seiring rendahnya literasi keuangan, Gen Z memilih Pinjol sebagai jalan pintas untuk memenuhi gaya hidup mereka yang tinggi. Frederica Widyasari mencontohkan, ada kasus anak muda yang nekat meminjam uang dari pinjol hanya untuk sekedar nongkrong.
Untuk memenuhi gaya hidupnya, memenuhi FOMO dan YOLO, dia makan di café bersama teman-temannya, tiba-tiba tidak cukup uangnya. Lewat jempolnya yang cepat pinjam online pun cair dalam waktu sekejap, hanya 15 menit.

Kebiasaan itu tanpa disadarinya telah membuat utangnya beranak pinak dan dia pun terjerat dalam utang Pinjol. Agar terhindar dari jebakan utang baik yang berasal dari Pinjol maupun pinjaman ofline, sudah saatnya sejak dini anak-anak muda, membekali diri dengan pemahaman literasi keuangan dan kemampuan mengelola keuangan pribadi.

Gen Z tidak hanya rawan terjebak dalam Pinjol. Lebih mengkhawatirkan lagi mereka juga terjebak dalam judi online (Judol). Banyak kasus, mereka yang sudah kecanduan Judol, melakukan tindak kejahatan pidana. Mulai dari mencuri, merampok bahkan membunuh. Dampak buruk dari Judol membuat Indonesia dalam kondisi darurat Judi Online.

 
Salah satu faktor yang membuat Gen Z rentan terhadap godaan judi online adalah karakteristik mereka yang cenderung mencari sensasi dan pengalaman baru

Ratna Kusumawati, Psikolog klinis spesialis adiksi


Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak buruk dari Judol ini. Mulai dari membekukan ribuan rekening di bank yang terindikasi terkait Judol. Menangkap para bandar, pengelola dan operator Judol. Hingga memblokir situs, web, aplikasi, Sosmed yang terkait dengn Judol.

Data yang disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebut telah memblokir 3,4 juta konten judi online (judol). Jutaan konten judol itu merupakan hasil kerja selama lebih dari satu tahun.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi mengatakan, pemblokiran itu dilakukan pada situs-situs permainan judi online. Pemblokiran itu, telah menunjukkan penurunan aktivitas praktik judi online hingga 50 persen. Meski demikian, pemblokiran praktik judol di tengah-tengah masyarakat akan terus dilakukan,”kata Budi, Jumat (4/10/2024).

Baca Juga : Pasar Judi Online Tembus Rp3.000 Triliun, Terbongkar Lokasinya

Walau telah banyak konten Judol yang diblokir pemerintah, diakui sendiri oleh Budi Arie Setiadi, jumlah penduduk Indonesia yang terlibat judi online masih banyak, saat ini jumlahnya mencapai 4 juta orang. “Jumlah tersebut didominasi kelompok usia 30-50 tahun”,ujar Budi Arie, Kamis (3/10/2024).

Judi online memang sudah sangat meresahkan dan juga menjadi ancaman bagi Indonesia, karena data dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan atau PPATK menunjukkan bahwa transaksi judi online pada kuartal pertama tahun 2024 bisa mencapai Rp 600 triliun.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Slamet Santoso, mengatakan, melihat trennya platform judi online semakin gencar menargetkan anak muda, khususnya Gen Z. Mereka menggunakan taktik pemasaran yang sangat canggih dan memikat, sering kali berkamuflase sebagai game online biasa atau platform investasi. Ini yang perlu diwaspadai.

Sementara itu, Dr. Ratna Kusumawati, psikolog klinis spesialis adiksi, menjelaskan salah satu faktor yang membuat Gen Z rentan terhadap godaan judi online adalah karakteristik mereka yang cenderung mencari sensasi dan pengalaman baru. Gen Z tumbuh di era instant gratification. Mereka terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cepat. Judi online menawarkan sensasi kemenangan instan dan potensi penghasilan besar dalam waktu singkat, yang sangat menarik bagi mereka.

Namun, di balik janji manis tersebut, tersembunyi bahaya yang mengancam tidak hanya stabilitas finansial, tetapi juga kesehatan mental Gen Z. Survei terbaru yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Ekonomi Digital Indonesia (LKEDI) mengungkapkan bahwa 35% responden Gen Z yang terlibat dalam judi online mengalami masalah keuangan serius, seperti hutang yang menumpuk dan kehilangan tabungan. Lebih mengkhawatirkan lagi, 22% di antaranya menunjukkan gejala depresi dan kecemasan akut akibat kerugian finansial yang dialami.

Persoalan ketagihan judi di kalangan anak muda bukan terjadi saat ini saja. Sudah pulhan tahun yang lalu, judi telah merusak mental dan masa depan generasi muda di negeri ini. Semakin banyak aktivitas dan berbagai macam platform judi diberantas malah membuat makin ramai kegiatan judi yang ada di tengah masyarakat.

Perang terhadap judi sepertinya jadi perang yang tak berkesudahan, Membernatas judi bukan persoalan teknis dan penegakan hukum saja. Dibutuhkan pendekatan holistik yang sangat serius dengan melibatkan semua sektor dan semua pihak. Seperti edukasi, regulasi, agama, pemerintah, penegak hukum, pendidik dan juga partisipasi aktif masyarakat. Judi memang sangat sulit untuk diberantas, namun bisa ditekan seredah mungkin dampak buruknya bagi bagi Generasi Zoomer. (EKo Edhi Caroko)

Anak Muda Terancam Menjadi Homeless Generation

Anak Muda Terancam Menjadi Homeless Generation

Rumah merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Saat ini, jumlah kebutuhan perumahan mencapai Saat ini, jumlah backlog kepemilikan perumahan di Indonesia mencapai 12,7 juta unit. Namun demikian tak semua masyarakat khususnya generasi muda mampu menjangkau untuk membeli rumah. Lantaran harga rumah setiap tahun naik meskipun bayak developer mengembangkan kawasan hunian baru.

Saat ini tingkat suku bunga kredit perumahan rakyat (KPR) sebesar 8-9% masih cukup tinggi dibebankan kepada milenial . Dikhawatirkan dengan suku bunga yang tinggi itu akan membuat generasi milenial bakal lebih susah untuk memiliki rumah.

Data Kementerian PUPR pada 2023 menyebutkan, terdapat 81 juta generasi milenial yang belum memiliki hunian atau rumah. Rata-rata rentang usia generasi ini di bawah 40 tahun dengan status yang berbeda.

Baca Juga : Generasi Milenial Sulit Punya Rumah Jadi Sorotan

Jumlah penduduk milenial Indonesia mencapai 58% dari total jumlah penduduk atau sekitar 81 juta orang. Berdasarkan data Kementerian PUPR, jumlah generasi milenial tersebut belum mendapatkan fasilitas rumah.

Melejitnya harga rumah hingga kurangnya persiapan finansial menjadi kendala terbesar pembelian rumah bagi kalangan milenial di Tanah Air. Pada 2023, survei UniTrend menunjukkan ketidakstabilan pendapatan, tabungan dan pekerjaan yang belum tetap memicu keraguan generasi muda untuk membeli hunian.

Sebanyak 47,2 persen dari total 1.192 responden di berbagai daerah enggan membeli rumah karena belum stabilnya pendapatan, yakni di kisaran Rp2 juta – Rp5 juta. Kemudian diikuti 43,7 persen mereka merasa tabungannya belum mencukupi dan ketiga belum memiliki pekerjaan yang tetap sebanyak 8,5 persen. Sedangkan rata-rata kenaikan harga properti di Indonesia per tahun 17%, sementara kenaikan UMR hanya 10% per tahun.

Pengamat properti Urban Ace Ronny Wuisan kepada SINDOnews mengatakan, tingginya harga lahan menjadi pemicu harga rumah kian tinggi. Di Koridor barat Jakarta misalnya, harga tanah di kawasan prime Tangerang sudah mecapai Rp20 juta per meter persegi. “Artinya jika membangun perumahan di CBD atau pusat bisnis harganya mahal. Pilihannya ya di pinggiran seperti Balaraja dan sekitarnya,”sebutnya.

 
Ketidakstabilan pendapatan, tabungan dan pekerjaan yang belum tetap memicu keraguan generasi muda untuk membeli hunian

Survei UniTrend


Meskipun banyak hunian vertikal yamg dibangun untuk masyarakat, namun dengan harga yang tinggi, yang disasar adalah kalangan menengah atas. “memang targetnya end user tapi bukan anak muda,”katanya.

Generasi milenial memiliki tantangan tersendiri dalam memiliki rumah sendiri. Era yang penuh dengan perubahan dan tuntutan finansial kerap menghalangi tujuan keuangan dalam memiliki rumah. Padahal, mempunyai rumah memiliki manfaat dan keuntungan tersendiri. Untuk bisa mewujudkannya, memerlukan perencanaan keuangan dan langkah yang strategis.

Harga rumah cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi tantangan bagi generasi milenial. Selain itu, mereka juga harus menghadapi persaingan di pasar karena banyak orang berlomba-lomba mendapatkan rumah dengan harga yang kompetitif.

Selain itu, generasi milenial juga dihadapkan pada kewajiban dan tanggung jawab finansial yang harus dikelola dengan baik. Tanggung jawab ini termasuk pembayaran cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), biaya perawatan dan pemeliharaan rumah, serta pembayaran tagihan bulanan seperti listrik, air, dan pajak rumah.

Sejumlah tangangan tersebut dirasa sulit, meskipun bukan mustahil, untuk ditaklukkan oleh generasi masa kini. Dengan karakteristik tak suka dengan hal yang rumit dan lebih memilih menghabiskan uang untuk konsumtif, menjadi dasar bahwa generasi muda akan menghadapi tantangan yang berat di masa depan.

“Produk hunian sekarang banyak, untuk milenial atau Gen Z tantangannya selain harga juga sukubunga,”tegas Pengamat Properti F Rach Suherman kepada SINDOnews.

Suherman mengatakan, pemerintah bisa ikut menyelamatkan milenial dengan kelunakan pajak dan subsidi bagi first time buyer. Bank-bank bisa memberikan tenor panjang dan bunga khusus kemudian developer yang kreatif bisa membidik pembeli pemula dalam jumlah masif dengan DP yang mudah dibayar. “Harus menjadi perhatian bersama,”katanya. Jika tak ada solusi, generasi muda berpotensi menjadi homeless alias tak memiliko tempat tinggal. (Anton C)

Batasi Medsos dan Rencanakan Keuangan

Batasi Medsos dan Rencanakan Keuangan

Fenomena doom spending yang menjangkiti banyak anak muda adalah hal yang memprihatinkan. Situasi ini jika tak terkendali bisa semakin membuat seseorang terpuruk. Bahkan pada dampak yang lebih serius, anak muda bisa melakukan tindakan nekat alias fatal seperti kejahatan bahkan bunuh diri.

Upaya pelarian masalah ini sebenarnya bentuk anak muda untuk mendapatkan suasana kenyamanan baru ketika kondisi realitas tak berbanding lurus dengan idealitas Dalam situasi tak menentu itu (cognitive dissonance) seperti dikonsepkan Leon Festinger (1957), seseorang akan mencari idealitas baru yang sebenarnya bisa saja bersifat pendek.

Berpijak pada realitas di atas, doom spending jelas membutuhkan langkah-langkah antisipatif agar tidak kian menjadi hal yang lumrah, termasuk bagi kalangan generasi muda Indonesia. Dengan mitigasi yang baik, doom spending bisa dicegah dengan membangun kesadaran diri maupun keterlibatan aktif pihak lain.

Baca Juga : 6 Gerakan Mahasiswa yang Membawa Perubahan Radikal, dari Revolusi Gen Z hingga Kent State

Pakar Komunikasi Keuangan STIE SEBI Depok Donny Setiawan menilai, fenomena doom spending terjadi karena pengaruh gempuran iklan di media sosial dan maraknya influencer serta publik figur yang jualan produk-produk konsumtif. Ditambah lagi, saat ini makin banyak anak-anak muda mudah ikut tren "unboxing" produk baru di pasaran.

“Anak muda terutama Gen Z sasaran paling empuk karena mereka pada umumnya terbuka pada hal berbau teknologi dan rasa ingin tahu yang kuat. Mereka juga tidak suka melakukan sesuatu sendirian atau kerap melakukan hal secara bersama-sama,” ujar Donny kepada Sindonews.com, Senin (7/10/2024).

Ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, tandas Donny, juga memicu anak muda mengalami stres dan khawatir bahwa uang dari hasil kerja mereka tidak akan bisa ditabung untuk membeli sesuatu yang besar (rumah misalnya). Imbasnya mereka akan menghabiskan uang mereka untuk hal-hal konsumtif, seperti baju, sepatu, menonton konser musik, produk smartphone mahal, makan di tempat yang viral. Fenomena ini makin bertambah buruk dengan adanya pinjaman online yang beriklan di media sosial dan market place seperti, paylater atau dengan menawarkan langsung melalui SMS.

 
Fenomena doom spending terjadi karena pengaruh gempuran iklan di media sosial dan maraknya influencer serta publik figur yang jualan produk-produk konsumtif.

Donny Setiawan Pakar Komunikasi Keuangan STIE SEBI Depok



Menurut Donny, ada beberapa cara untuk menghindari agar Gen Z tidak terjebak doom spending. Langkah pertama adalah dengan membatasi penggunaan media sosial. “Jauhi influencer yang sering flexing harta mereka. Kembangkan mindset bersyukur dengan apa yang kita sudah miliki dan belajar untuk mengelola emosi,” terangnya.

Kemudian, buat rencana keuangan. Tentukan prioritas apa-apa yang perlu dibeli dan yang tidak perlu dibeli. “Lacak kemana uang kita pergi. Kita bisa pakai aplikasi keuangan yang banyak beredar di internet,” jelasnya.
Terakhir, adalah tidak terburu-buru dalam membeli sesuatu. Artinya, sebelum melakukan tindakan pemborosan, Gen Z perlu harus berpikir dampak positif dan negatifnya.

Lima Langkah Strategis
Namun melihat begitu kompleksnya pemicu doom spending ini, upaya antisipasi perlu dilakukan secara komprehensif. Setidaknya ada lima langkah strategis yang bisa dilakukan. Pertama, memperkuat literasi keuangan. Literasi ini penting karena banyak anak muda terutama generasi Z hanya menjadi objek atau penikmat dari kecanggihan teknologi digital saat ini. Lahirnya banyak aplikasi yang memberikan berbagai kemudahan tidak diimbangi dengan kecakapan dalam pengetahuan, mental, pengelolaan dan lainnya. Situasi inilah yang kerap menjerumuskan anak muda mudah memanfaatkan aplikasi tanpa paham risiko-risikonya. Akhirnya lilitan utang, beban mental, rusaknya perkawanan dan lainnya silih berganti berdatangan.

Dengan kematangan literasi, maka generasi Z menadi lebih bijak ketika menghadapi situasi pelik. Mereka tidak mudah lari dari masalah dengan melampiaskan lewat belanja yang tak perlu karena paham akan dampak negatifnya. Membangun literasi ini bisa dilakukan dengan mandiri atau pihak lain. Misal, bagian HRD perusahaan secara berkala memberikan seminar tentang pengelolaan keuangan yang baik bagi karyawan dan lain sebagainya. Pelatihan atau pengetahuan yang mumpuni diyakini akan menciptakan kognisi baru yang lebih memiliki filosofi atau dampak mendalam.

Kedua, membuat perencanaan masa depan. Rencana-rencana ini tentu berbasis kognisi atau pengalaman seseorang sebelumnya yang kemudian dievaluasi dan kemudian dirumuskan dalam berbagai proyeksi. Generasi Z misalnya cenderung belum berpikir jauh tentang pentingnya rumah tinggal lantaran berbagai kemudahan yang hadir saat ini. Ini kontras dengan kebutuhan generasi-generasi sebelumnya yang rela makan seadanya demi bisa menabung untuk membeli atau mencicil kebutuhan jangka panjang seperti rumah. Untuk menghindari kecerobohan dalam membelanjakan keuangan, generasi Z perlu membiasakan membuat planning kehidupan termasuk masalah keuangan. Cara ini akan semakin efektif jika mendapatkan dukungan atau masukan dari berbagai pihak.

Baca Juga : Gen Z Penentu Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Ketiga, membangun komunikasi dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Kecenderungan munculnya doom spending adalah lemahnya komunikasi anak muda terhadap keluarga dan lingkungan. Situasi ini merupakan salah satu dampak dari maraknya platform media sosial yang menjadikan komunikasi antarpersonel menjadi lebih tertutup. Untuk mengantisipasi kebingungan atau kehampaan pikiran akibat tekanan masalah dan lainnya, pola komunikasi yang melibatkan orang-orang terdekat perlu harus dibangun. Kehadiran mereka selain menghangatkan relasi juga bisa memunculkan perspektif dan solusi atas masalah yang dihadapi. Sehingga dengan demikian, anak muda tidak membuat tindakan yang serampangan termasuk dalam membelanjakan duitnya.

Keempat, melakukan investasi. Menabung atau berinvestasi inilah yang tampaknya semakin jarang dilakukan para generasi Z. Munculnya media sosial yang mengedepankan hal yang ekshibionis membuat anak muda larut dalam sifat-sifat pamer. Dengan memiliki investasi, anak muda akan berpikir panjang membuang-buang duitnya untuk hal yang tak perlu jika menghadapi suatu masalah.

Kelima, konsultasi manajemen keuangan. Konsultasi ini penting karena menjadi ruang diskusi yang kemudian bisa menghasilkan solusi. Konsultasi juga untuk mencegah anak muda salah saat alamat saat dilanda masalah. Sebab yang sering terjadi, anak muda berkonsultasi dengan Google atau internet, bukan orang yang paham dan memiliki otorisasi.
(abdul hakim)
(edc)