Butuh Perubahan Besar Dalam Sistem Pendidikan Dokter
Butuh Perubahan Besar Dalam Sistem Pendidikan Dokter
Eko Edhi Caroko
Rabu, 18 September 2024, 15:15 WIB

Kebutuhan dokter jauh dari kata mencukupi. Untuk menjadi dokter butuh perjuangan yang tak ringan. Butuh perubahan besar dalam sisitem pendidikan kedokteran

Untuk Apa Berpendidikan dan Menjadi Dokter?


Untuk Apa Berpendidikan dan Menjadi Dokter?

Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan yang hendak diwujudkan oleh negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesdia (NKRI) dan pemerintah yang diberi mandat untuk mengelolannya, tentu mempunyai kewajiban untuk mewujudkan amanat tersebut, dengan memberikan pendidikan layak kepada seluruh rakyat.

Pendidikan seperti apa yang ingin dicapai? Filusup Ibnu Sina (980 M-1037 M) pernah memberi petuah bahwa bahwa pendidikan perlu memperhatikan dan mendorong berkembangnya fisik, intelektual, dan budi pekerti peserta didik secara sempurna, atau dengan kata lain terwujudnya insan kamil. Ibnu Arabji mengartikan insan kamil sebagai manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh.

Untuk Apa Berpendidikan dan Menjadi Dokter?

Dalam persepektif ke-Indonesia-an, tujuan pendidikan nasional telah dijabarkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). ‘’ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.’’
Kalimat tersebut secara jelas menggambarkan bahwa fungsi pendidikan nasional tidak berhenti pada kemampuan akademik semata dengan indikator kemampuan keilmuan, kecakapan, daya kreativitas, dan kemampuan mandiri. Lebih dari itu terkandung tujuan mulia yang akan membentuk watak dan peradaban bangsa, yakni manusia bertakwa, berakhlak, demokratis, dan bertanggung jawab.

Karena itulah, pendidikan tidak hanya diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung saja. Seperti tercantum pada Bab III Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan yang tercantum dalam UU Sisdiknas, penyelenggaraan pendidikan juga memperhatikan unsur demokrasi, keadilan, tidak diskriminatif, menjunjung HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Selain itu, pendidikan juga mengedepankan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Baca Juga : Skema Dana Pendidikan Tetap Mengacu Belanja Negara, Ketua Komisi X DPR: Kita Apresiasi

Apakah tujuan pendidikan tersebut bisa terlaksana dengan baik, melalui penyelenggaraan belajar-mengajar di sekolah dan perguruan tinggi? Rasanya, masih jauh panggang dari api. Tujuan pendidikan harus diakui terkungkung pada nilai pragmatisme, yakni yaitu mencari ijazah, ketrampilan, kepandaian untuk tujuan kapitalistik atau industri. Sedangkan tujuan membentuk manusia sejati atau insan kamil, sepertinya terlupakan.

Gambaran kondisi demikian bisa dilihat kasus yang menimpa meninggalnya dokter muda, Aulia Risma Lestari, yang juga mahasiswi PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) yang diduga dipicu bullying atau perundungan. Ada dugaan Risma juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit di luar biaya pendidikan resmi, yakni sekitar Rp225 juta, yang diminta oknum di kampusnya yang berada di Semarang tersebut. Untuk mengungkap dugaan itu, polisi tengah telah mendapat data baru berupa bukti setoran transfer kepada seseorang dan tengah mengembangkan penyelidikan. Selain itu muncul dugaan adanya eksploitasi jam kerja untuk dr Aulia Risma yang melebihi batas kenormalan manusia, disebut mulai jam 03.00-01-30 WIB.

Kasus bullying dalam dunia pendidikan sebenarnya bukanlah budaya aneh, terutama di lembaga pendidikan ikatan dinas yang menekankan ketahanan fisik dan disiplin. Namun jika terjadi di pendidikan kedokteran, sangat lah aneh, karena orientasinya adalah menggembleng kemampuan intelektualitas dan rasa kemanusiaan. Celakanya, kasus munculnya kasus Aulia Risma ternyata merupakan fenomena gunung es di dunia pendidikan kedokteran Tanah Air.

Kondisi tersebut terungkap dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta (29/08/24). Kalangan DPR menilai kasus Aulia Risma bukan sekadar insiden tunggal, tetapi cerminan dari masalah sistemik yang telah lama menggerogoti lingkungan pendidikan para calon dokter. Kasus tersebut juga dianggap menggambarkan dunia pendidikan kedokteran sebagai “rimba hutan” yang kejam bagi mahasiswa kedokteran.

Baca Juga : Pejuang Kuliah Gratis Merapat! BSI Beri Beasiswa untuk Mahasiswa Undip

Merespons persoalan itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 1512 Tahun 2023 tentang Perundungan. Kemenkes juga akan membuat platform pengaduan online untuk mempermudah korban melaporkan kasus. Selain itu juga akan disediakan pendampingan psikologis dan jaminan keamanan bagi korban. Sedangkan untuk pelaku perundungan akan diberikan sanksi tegas sesuai peraturan berlaku.

Namun upaya untuk menghentikan bullying tidaklah mudah. Faktor penghambat antara lain kultur perundungan sudah mengakar, kurangnya kesadaran akan dampak buruk, dan rasa takut korban untuk melapor. Bahkan lebih parah, banyak pihak menganggap perundungan sebagai bagian dari proses pendidikan yang tak terelakkan.

 
Di mana pun seni kedokteran dicintai, di sana juga terdapat kecintaan terhadap kemanusiaan

Hippocrates


Karena itulah, dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan memunculkan pemahaman bahwa diperlukan upaya kolektif untuk menghancurkan budaya perundungan ini. Langkah ini dilakukan dengan sinergi pemerintah, institusi pendidikan, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Selain itu dibutuhkan peningkatan pengawasan, pendidikan dan pelatihan tentang pencegahan perundungan, serta perubahan budaya yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan adalah beberapa langkah yang dapat diambil. Tak kalah pentingnya adanya hadirnya perlindungan hukum lebih kuat juga diperlukan untuk memastikan pelaku perundungan mendapat sanksi setimpal.

Jika dipahami, opsi solusi yang dimunculkan belum menyentuh filosopi mendasar tentang pendidikan itu sendiri, termasuk pendidikan kedokteran, yakni membentuk insan kamil seperti dijabarkan UU Sisdiknas. Untuk itulah, Kemenkes, Kemendikbud, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kalangan akademisi dan pihak terkait lain bersama-sama membongkar muatan mata kuliah di pendidikan kedokteran, apakah sudah diarahkan secara paripurna untuk melahirkan insan kamil, atau hanya memproduksi intelektual kapitalis yang berorientasi keuntungan. Jangan sampai mahalnya biaya kuliah kedokteran menjadi alasan melegalkan orientasi kapitalistik dengan menegasikan tanggung jawab kemanusiaan dan pengabdian.

Di sisi lain, kasus bullying yang diindikasikan diikuti dengan eksploitasi tenaga yunior atau anak didik semakin menjauhkan pendidikan kedokteran dari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal kata Hippocrates, bapak ilmu kedokteran yang hidup di era Yunani kuno (460 SM- 375 SM), pendidikan kedokteran sarat dengan pelayanan dan kemanusiaan. "Di mana pun seni kedokteran dicintai, di sana juga terdapat kecintaan terhadap kemanusiaan. (alex aji s)

Jalan Terjal Menjadi Seorang Dokter

Jalan Terjal Menjadi Seorang Dokter
Sudah lebih dari satu bulan sejak meninggalnya dr Aulia Risma Lestari mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteraan Universitas Diponegoro, namun belum juga ada pernyataan resmi dari pihak berwajib mengenai penyebab kematiannya.

Dugaan sementara yang mencuat ke publik, dokter anatesi yang bertugas di di RSUD Kardinah Kota Tegal itu mengakhiri hidupnya dengan menyuntikan obat pemenang. Ia diduga mengalami depresi akibat perundungan selama menjalani pendidikan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi.

Alih alih mendapatkan titik terang penyebab kematian korban, pihak kepolisian kini malah sibuk menerima berbagai laporan yang dilayangkan beberapa pihak. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes) Kemenkes Azhar Jaya dilaporkan oleh Komite Solidaritas Profesi ke Bareskrim Polri.

Baca Juga : Berapa Biaya Kuliah PPDS Anestesi Undip yang Distop Kemenkes? Segini SPP dan IPI-nya

Perwakilan Komite Solidaritas Profesi M Nasser mengatakan, pelaporan tersebut dilakukan atas dugaan berita bohong terkait kematian peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). M Nasser menjelaskan kedua pejabat Kemenkes tersebut dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Pasal 45A UU ITE tentang penyebaran berita bohong.

Berita bohong yang dimaksud terkait, Dirjen Pelayanan Kesehatan yang mengatakan bahwa ada PPDS FK Undip yang bunuh diri, padahal itu baru sehari setelah kejadian bunuh diri. Seharusnya peristiwa itu tergolong kematian tidak wajar.“Bunuh diri itu menjadi kapasitas kewenangan dari Polri bukan kewenangan dari orang-orang lain yang tidak memiliki cukup kewenangan untuk melakukan proses itu,” kata M Nasser.

Kebohongan lainnya dilakukan Menkes Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan ada perundungan yang dilakukan kepada almarhumah. “Kami dari Komite Solidaritas Profesi datang hari ini ke Bareskrim untuk melaporkan pejabat Kementerian Kesehatan atas penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran,”ujar Nasser di Bareskrim Polri, Rabu (11/9/2024).

Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) mengaku tak ambil pusing terkait adanya pelaporan dugaan penyebaran berita bohong mengenai kasus perundungan di balik kematian calon dokter spesialis yang terjadi di FK Undip. "Biarkan saja, ngapain pusing-pusing," ujar Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes dr Azhar Jaya, Kamis (12/9/2024). Lebih jauh dr Azhar mengatakan pelaporan tersebut tidak akan mengganggu jalannya investigasi kematian dr ARL yang telah dilakukan Kemenkes bersama dengan Kemendikbud. Sejauh ini pihaknya sudah menyerahkan semua bukti terkait dengan perundungan yang dialami dr ARL.

Sebelumnya pihak kepolisian juga menerima laporan yang dilayangkan keluarga almarhum dr. Aulia Risma Lestari. Laporan itu dilayangkan oleh Ibu almarhum dr Aulia, Nuzmatun Malinah terkait adanya dugaan bullying atau perundungan disertai intimidasi hingga pemerasan. Laporan tersebut disampaikan ke Polda Jateng, Rabu 4/09/2024. Pengacara keluarga dr Aulia, Misyal Achmad, mengatakan sudah memberikan seluruh bukti ke pihak kepolisian. Bukti itu berupa chat hingga mutasi rekening.

Kasus kematian dr. Aulia yang tragis, begitu menyita perhatian publik. Pasalnya, bukan hanya soal dugaan perundungan yang dialami korban, namun juga untuk menjadi seorang dokter di negeri ini bukan perkara gampang. Dokter merupakan SDM unggulan, maksudnya selain harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata, juga harus memiliki dukungan financial yang kuat.

Baca Juga : 5 Kampus yang Memiliki Fakultas Kedokteran Tertua di Indonesia, Ada Universitas Swasta

Menjadi dokter juga membutuhkan waktu yang lama. Mahasiswa kedokteran membutuhkan waktu 7-10 tahun untuk belajar hingga mengantongi Surat Izin Praktek (SIP). Dimulai dari masa preklinik, koas, internship, dan sekolah spesialis jika ingin mendalami bidang tertentu. Jadi dibandingkan dengan profesi yang lain, untuk menjadi dokter memakan waktu lebih panjang dibanding profesi lain.

Biaya yang dibutuhkan untuk pendidikan dokter pun tidak murah. Di berbagai universitas, fakultas kedokteran termasuk dalam rumpun keilmuan dengan biaya kuliah paling tinggi. Biaya kuliah yang harus dikeluarkan calon dokter selama pendidikan kedokteran berkisar antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta. Bahkan di beberapa perguruan tinggi biaya yang dibutuhkan bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar. Biaya tersebut belum termasuk biaya di luar kuliah dan biaya untuk melanjutkan pendidikan atau jenjang pendidikan berikutnya untuk dapat membuka praktik mandiri maupun program spesialisasi.

Di beberapa perguruan tinggi mamang memberikan beasiswa atau subsidi yang besarnya bervareasi. Mulai dari potongan biaya kuliah (UKT/Uang Kuliah Tunggal) 25% hingga 100% alias Rp 0,-. Sebagai catatan namun jumlah penerima beasiswa tersebut tidak banyak. Artinya meski ada beasiswa namun secara umum biaya pendidikan untuk menjadi dokter tidak murah.

Dari kasus kematian dr. Aulia juga terungkap bahwa saat mengikui PPDS, seorang calon dokter spesialis mesti mengeluarkan biaya tambahan di luar UKT yang telah ditetapkan. Dari laporan yang disampaikan keluarga korban kepada polisi ternyata selama mengikuti PPDS telah mentransfer sejumlah uang ke beberapa pihak yang jumlahnya mencapai Rp 225 juta.

 
Kami mengakui bahwa di dalam sistem pendidikan dokter spesialis di internal kami terjadi praktik-praktik atau kasus-kasus perundungan dalam berbagai bentuk

Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prakojo


Apa yang disampaikan oleh keluarga korban sesuai dengan hasil penyelidikan yang dilakukan Kementerian Kesehatan. Selama mengikuti PPDS dr. Aulia dimintai uang oleh sejumlah yang jumlahnya mencapai Rp 40 juta per bulan.

Belakangan pihak FK Undip mengakui bahwa memang ada perundungan (bullying) serta pemalakan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Pengakuan itu disampaikan Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prakojo.

"Kami menyadari sepenuhnya, kami menyampaikan, dan kami mengakui bahwa di dalam sistem pendidikan dokter spesialis di internal kami terjadi praktik-praktik atau kasus-kasus perundungan dalam berbagai bentuk, dalam berbagai derajat, dalam berbagai hal," kata Yan Wisnu di Aula FK Undip, Tembalang, Semarang Jumat (13/9/2024).

Praktek pemalakan senior kepada yuniornya pada Program Pendidikan Dokter Spesialis sebenarnya terjadi juga di berbagai fakultas kedokteran dari perguruan tinggi ternama yang ada di negeri ini. Sejak peristiwa kematian dr.Aulia, di sosial media banyak yang curhat mengenai beban berat yang harus dilalui mahasiswa PPDS. Termasuk adanya permintaan sejumlah dana atau tagihan dari senior yang harus dipenuhi yunior. Dan praktik seperti ini sudah berlangsung sejak lama, sehingga sudah dianggap lumrah.
Miris memang apa yang terjadi dalam dunia pedidikan kedokteraan. Dokter yang memiliki tugas amat mulia menyembuhkan orang sakit sekaligus menjaga kesehatan masyarakat, ternyata harus mengalami perundungan bahkan pelecehan yang mengakibatkan kesehatan mentalnya tergangu.

Semoga kasus kematian dr.Aulia menjadi momentum untuk membenahi secara besar-besaran sistem pendidikan dokter di Indonesia. (Eko Edhi Caroko)

Ketimpangan Pemerataan Dokter, Sampai Kapan?


Ketimpangan Pemerataan Dokter, Sampai Kapan?
Di tengah sistem pendidikan dan komersialisasi profesi yang menjadi sorotan, persoalan dokter di Indonesia semakin kompleks dengan belum meratanya sebaran. Meski republik ini sudah berumur 78 tahun, namun layanan kesehatan kepada rakyat belum sepenuhnya berkeadilan.

Layanan kesehatan masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Utamanya di Pulau Jawa, fasilitas dan tenaga kesehatan cenderung menumpuk. Situasi sangat kontras terlihat di luar Pulau Jawa. Orang yang sakit atau butuh layanan kesehatan harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan sering tidak mendapat penanganan. Ini yang memicu angka kematian akibat sakit lambat tertangani juga masih tinggi.

Soal pemerataan dokter ini memang menjadi PR besar Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, sekitar 70% dokter terkonsentrasi di Pulau Jawa. Lainnya tersebar di berbagai tempat di luar Jawa. Sementara Indonesia saat ini memiliki 281 juta penduduk. Dengan total penduduk di Pulau Jawa sekitar 160 juta jiwa, seharusnya dokter yang bertugas di pulau ini maksimal hanya 60% saja, tidak sampai 70%.

Ketimpangan Pemerataan Dokter, Sampai Kapan?

Masalah krusial lain dalam sebaran dokter di luar Jawa adalah tidak meratanya wilayah tugas. Lazimnya, dokter tertumpu pada wilayah perkotaan. Sedang di pulau-pulau kecil atau pelosok, jumlah dokter tak sebanding dengan jumlah penduduk.

Soal komparasi ideal penduduk dan dokter sebenarnya telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Di mana tiap 1.000 jumlah penduduk seharusnya tersedia minimal 1 orang dokter. Jika pada 2024 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 281 juta jiwa, maka dokter yang tersedia setidaknya 281.000 orang. Pada 2022, jumlah dokter di Indonesia masih sebanyak 176.000. Artinya bangsa ini masih defisit jumlah dokter mencapai 105.000 orang.

Baca Juga : Wamenkes Sebut Indonesia Masih Kekurangan 120.000 Dokter Umum

Ini bukan jumlah sedikit. Pemerintah sejak era Soekarno maupun Jokowi memang sudah melakukan berbagai langkah eskalasi. Namun berbagai program yang diusung belum banyak berarti.

 
Persoalan dokter di Indonesia bukan soal jumlah, namun pada aspek pemerataan

Wakil Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto


Sementara itu dalam sebuah kesempatan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menilai, persoalan dokter di Indonesia bukan soal jumlah, namun pada aspek pemerataan. Masalah utama pemerataan ini adalah belum adanya afirmasi kuat dari pemerintah. Regulasi lemah, perekrutan terbatas, fasilitas minim, kesejahteraan pas-pasan dan sederet masalah yang tak berkesesuaian dengan dengan kondisi lapangan membuat isu pemerataan ini seolah tak berkesudahan.

Lalu sampai kapan, ketidakadilan layanan kesehatan ini harus terjadi. Belum ada garansi atas hal ini. Pun bagi Prabowo Subianto yang bakal memimpin bangsa ini per 20 Oktober 2024 mendatang.

Baca Juga : Hati-hati! AI Dokter Palsu Mencari Mangsa di Media Sosial

Soal kekurangan dan pemerataan dokter sebenarnya juga menjadi perhatian serius Prabowo. Bahkan seperti yang dia ungkapkan saat debat capres 4 Februari 2024 silam. Prabowo sangat berapi-api ingin menambah banyak fakultas kedokteran jika terpilih menjadi presiden. Bukan tanggung-tanggung, bekas Danjen Kopassus ini akan membuka fakultas kedokteran baru hingga jumlahnya meningkat 200% dari saat ini yang hanya sebanyak 92 fakultas. "Dari sekarang yang 92 kami akan membangun 300 FK," ujarnya.

Sebagai langkah menjamin kesehatan rakyat, Prabowo bahkan bertekad bisa membangun rumah sakit yang modern di tiap kabupaten/kota. Isu rakyat tak bisa mengakses kesehatan juga bakal sirna karena di tiap desa akan didirikan puskesmas. Saat ini, lazimnya puskesmas baru didirikan di tingkat kecamatan. Siswa-siswa berprestasi juga akan dikirim ke kampus kedokteran ternama di luar negeri.

Apakah target sangat tinggi itu mudah terwujud? Belum ada jawaban pasti, apalagi yang hanya dibatasi periode kepemimpinan lima tahun. Terlepas dari ini, langkah eskalasi pemenuhan kebutuhan dokter, tenaga medis berikut upaya pemerataan adalah sebuah keniscayaan. Ini sebagai amanat undang-undang akan pentingnya layanan kesehatan yang menjangkau seluruh rakyat. Layanan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan sebenarnya. (hakim)

Berobat ke Luar Negeri Masih Jadi Pilihan


Berobat ke Luar Negeri Masih Jadi Pilihan

BEROBAT ke luar negeri masih menjadi pilihan bagi sejumlah masyarakat Indonesia yang mencari perawatan medis berkualitas tinggi dengan biaya yang lebih terjangkau. Dalam hal ini, Malaysia dan Singapura telah menonjol sebagai tujuan utama untuk pengobatan internasional, yang dikenal dengan infrastruktur medis yang canggih, tenaga medis berkualitas tinggi, dan biaya perawatan yang relatif terjangkau.

Ada banyak alasan berbeda yang mendasari keputusan seseorang untuk memilih rumah sakit di luar negeri sebagai tempat pengobatan. Secara umum, alasan masyarakat lebih memilih berobat ke luar negeri adalah ketidakpuasan terhadap pelayanan medis yang ada di dalam negeri.

Selain itu, faktor penarik berupa layanan yang lebih lengkap di negara tujuan juga cukup berpengaruh. Ada pula logika kebutuhan, bahwa seseorang merasakan adanya risiko dan kekhawatiran terhadap pengobatan di Indonesia sehingga membenarkan persepsi bahwa bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan medis adalah tindakan yang rasional.

Baca Juga : Remaja di India Tewas Dioperasi Dokter Palsu yang Belajar dari Tutorial di YouTube

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato dalam agenda pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2024 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, Banten, pada April 2024 lalu, menyoroti kerugian negara mencapai Rp180 triliun karena Warga Negara Indonesia (WNI) yang lebih memilih berobat ke luar negeri.
"Ini bolak balik saya sampaikan, satu juta lebih masyarakat kita berobat ke luar negeri, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea, Eropa, Amerika, dan kita kehilangan 11,5 miliar dolar AS. Itu kalau dirupiahkan 180 triliun hilang," kata Presiden Jokowi dikutip dari Antara, pada Rabu (24/4/2024).

Menurut Presiden, penyebab dari keadaan itu perlu disikapi dan setiap persoalan yang menjadi kendala perlu segera diselesaikan. "Karena warga kita tidak mau berobat di dalam negeri dan pasti ada sebabnya, kenapa nggak mau berobat di dalam negeri ini? Persoalannya harus diselesaikan," ujar Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi menengarai persoalan itu turut dipengaruhi oleh kemampuan produksi bahan baku farmasi secara mandiri di Tanah Air yang hingga kini masih perlu ditingkatkan. “90 bahan produksi farmasi itu masih impor, kemudian 52 persen alat kesehatan kita juga masih didominasi impor. Nggak apa-apa yang saya sampaikan tadi mungkin belum, tapi urusan misalnya hal kecil-kecil seperti jarum, ranjang tidur, alat infus, selang, ya jangan, harus bisa produksi sendiri," katanya.

Pelayanan yang Lebih Manusiawi
Masalah pelayanan menjadi faktor utama sebagian masyarakat saat memilih berobat ke luar negeri. Padahal,dari segi teknologi dan sarana, Indonesia tak kalah. Mengapa harus berobat ke luar negeri? Mungkin pertanyaan ini sangat sederhana, tetapi sulit menjawabnya. Sebab, jika dilihat dari segi ketersediaan rumah sakit, boleh dibilang tidak ada masalah.

Berbagai model rumah sakit berkelas internasional kini hadir di Indonesia. Bahkan, dari segi fisik bangunan sudah banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas laiknya sebuah hotel berbintang lima. Selain itu, ketersediaan sarana kesehatan di Tanah Air yang dibangun pemerintah saat ini juga sudah memadai karena setiap ibu kota provinsi dan kabupaten/kota sudah memiliki rumah sakit umum, bahkan setiap kecamatan minimal mempunyai sebuah puskesmas dan pos kesehatan desa (poskesdes).

Baca Juga : Dr Olivia Ong Bikin Yuni Shara Sadar Pentingnya Menjaga Kesehatan Kulit

Jika melihat kondisi saat ini, masyarakat Indonesia sebenarnya tidak perlu berobat sampai ke luar negeri. Sebab, berbagai alat dan teknologi yang digunakan di dunia kedokteran luar negeri kini sudah banyak diadaptasi oleh kedokteran Indonesia. Namun memang, ketersediaan fasilitas secara teknis saja tentu bukan jaminan bagi masyarakat, khususnya yang berkantong tebal untuk memilih berobat di dalam negeri. Layanan medis yang lebih ramah alias manusiawi dan tarif rumah sakit lokal yang dianggap relatif lebih mahal merupakan pemicu masyarakat tetap berbondong-bondong ke luar negeri.

Patut diakui, masalah pelayanan nonteknis ke pasien hingga kini masih sering diabaikan pihak rumah sakit lokal. Banyak rumah sakit lokal yang masih kurang menyadari bahwa orang ke luar negeri itu bukan karena dokternya bagus dan alatnya canggih, tapi karena pertimbangan pelayanan nonmedis.

Sejatinya, banyak pasien yang tidak mengerti masalah teknis medis, yang dia tahu hanya bagaimana dia dilayani dengan baik, komunikasi baik, parkir tersedia, dan dokternya ramah. Hal-hal nonteknis inilah yang sebenarnya ditangkap oleh rumah sakit di luar negeri, bahkan rela menjemput pasien ke bandara dan diantar sampai ke rumah sakit mereka.
Dr Olivia Ong Bikin Yuni Shara Sadar Pentingnya Menjaga Kesehatan Kulit


Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio dalam acara seminar Pentingnya Layanan Kesehatan yang Layak dan Tepat bagi Publik di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, Rabu (31/7/2024), mengkritisi kecenderungan perawatan dan layanan kesehatan yang mengarah pada overtreatment alias pengobatan berlebihan dan klaim yang berlebihan (overclaim).

Menurutnya, ada beberapa poin yang menjurus overtreatment pelayanan kesehatan. Pertama insentif finansial, pihak dokter dan fasilitas kesehatan mendapatkan keuntungan finansial lebih besar. Karena memberikan lebih banyak pelayanan atau prosedur medis yang mungkin tidak semuanya dibutuhkan pasien. "Sebab overtreatment dari insentif finansial. Dokter spesialis sering memberikan layanan berlebih karena didorong oleh industri farmasi," kata Agus

Kedua, minimnya pengetahuan pasien karena mungkin tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mempertanyakan atau memahami rekomendasi medis yang diberikan dokter. Sehingga mereka cenderung menerima semua tindakan yang disarankan tanpa mempertimbangkan apakah itu benar-benar diperlukan.

 
Dokter spesialis sering memberikan layanan berlebih karena didorong oleh industri farmasi

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio



Ketiga, defensive medis yaitu dokter mungkin melakukan lebih banyak tes dan prosedur untuk melindungi diri dari kemungkinan tuntutan hukum jika terjadi kesalahan diagnosis atau pengobatan. Agus pun menceritakan kisahnya bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sempat beberapa kali menuntut dokter karena malpraktik. Namun semua itu digagalkan karena adanya Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

"Zaman saya masih aktif dulu, kita beberapa kali mencoba mempidanakan dokter karena salah treatment, tetapi tidak bisa. Padahal Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8/1999 itu transaksional. Saya kan bayar dokternya, jadi saya bisa tuntut dokternya kalau tidak kasih saya kesehatan. Tapi lalu di kedokteran membuat Undang-Undang praktek kedokteran, jadinya tidak tersentuh," ujar dia.

Agus menambahkan di poin selanjutnya, terkait sistem pembayaran berbasis fee-for-service. Di mana, setiap dokter mendapatkan gajinya berdasarkan pelayanan yang ia berikan kepada pasiennya. "Sistem pembayaran yang berbasis fee-for-service, ini juga suka overclaim," ucapnya.

Di kesempatan yang sama, anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo mengingatkan para tenaga layanan dan fasilitas Kesehatan, untuk kembali pada tujuan utama dari penyediaan layanan kesehatan. "Para tenaga layanan kesehatan dalam upaya pemberian layanan kesehatan harus mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dalam bentuk Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan atau paliatif yang berdampak hanya kepada individu," jelasnya.

Rahmad juga mengingatkan bahwa overtreatment juga bisa berimplikasi hukum bagi pelaku industri layanan kesehatan yang secara sengaja memberikan pelayanan melebihi standar pelayanan yang seharusnya diterima pasien. "Memang harus ada efek jera. Overtreatment, juga termasuk petugas layanan kesehatan yang bekerja sama dengan industri farmasi saat memberikan layanan kesehatan, bisa dipidanakan. Ada kasus tenaga medis menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi, ini tentu bisa dipidanakan," tegas Rahmad.

Hadirkan Health Tourism
Ada beberapa saran yang bisa dilakukan Pemerintah melalui Dinas Kesehatan atau instansi lain dalam upaya menghadirkan layanan kesehatan yang lebih manusiawi, salah satunya membangun perhatian dan kepekaan masyarakat terhadap dampak dan aspek etik dalam aktivitas berobat ke luar negeri. Selain itu, rumah sakit di Indonesia juga diharapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam.

Kegiatan perjalanan wisata untuk mendapatkan pelayanan kesehatan atau health tourism bisa dijadikan siasat jitu agar masyarakat Indonesia lebih memlilih berobat di negeri sendiri. Indonesia mengalami kehilangan banyak devisa karena banyak warga Indonesia yang memilih berobat sekaligus berwisata ke luar negeri, seperti ke Malaysia dan Singapura.

Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan kontributor terbesar dalam hal kunjungan medis ke luar negeri dengan total pengeluaran mencapai Rp161 triliun. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia pun kini membuat health tourism sebagai salah satu fokus utama dalam mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas sekaligus untuk pengembangan pariwisata.

Kemenkes RI telah menunjuk beberapa rumah sakit untuk menyelenggarakan wisata medis di dalam negeri. Kabar baiknya, kini masyarakat Indonesia mungkin tidak perlu lagi keluar negeri untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Masyarakat bisa menikmati layanan kesehatan berkualitas di dalam negeri salah satunya di Rumah Sakit (RS) Premier Bintaro yang bekerja sama dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Tanjung Lesung.

Dalam kerja sama ini KEK Tanjung Lesung akan menyediakan paket wisata khusus bagi pasien, apakah itu land sport, aero sport maupun water sport. Selain itu, KEK Tanjung Lesung akan menyediakan juga akomodasi sekaligus vanue untuk kegiatan bagi pasien RS Premier Bintaro.

Poernomo Siswoprasetijo selaku Direktur Utama Tanjung Lesung, menerangkan, KEK Tanjung Lesung tak hanya punya pantai yang indah bagi wisatawan tapi juga punya 25 aktivitas seru, antara lain berenang di pantai yang jernih, menikmati sunrise dan sunset dengan latar Anak Gunung Krakatau, snorkeling, diving, bermain jet ski, naik stand up paddle board, atau keliling kawasan dengan sepeda atau sepeda listrik, atau menyaksikan panorama Gunung Krakatau dengan pesawat Cessna 152 & 172.

Poernomo menegaskan, pihaknya optimistis Indonesia kelak bisa menjadi tempat tujuan wisata medis bagi orang luar negeri maupun masyarakat Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri. Karena layanan kesehatan rumah sakit-rumah sakit di Kota Jakarta dan sekitarnya sudah mumpuni dan kompetensi dokternya tidak kalah dengan rumah sakit luar negeri.

Poernomo bercerita bahwa KEK Tanjung Lesung saat ini sudah menjadi destinasi wisatawan luar negeri maupun daerah, terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur, untuk jadi destinasi menghilangkan stres maupun mereka yang memiliki masalah kesehatan. Karena suasana dan pemandangan Tanjung Lesung bisa membuat tubuh maupun pikiran jadi rileks, sehingga membuat pengobatannya jadi lebih cepat maupun bisa berjalan dengan baik.

“Dengan hadirnya kerja sama ini, pasien di daerah-daerah di Indonesia seperti di Medan, nggak perlu lagi keluar negeri. Sekarang cukup terbang (naik pesawat) ke Jakarta, berobat ke RS Premier Bintaro secara komprehensif dan holistik lalu lanjut bisa wisata ke Tanjung Lesung,” ujar Poernomo.

RS Premier Bintaro merupakan rumah sakit swasta ternama di Tangerang Selatan yang telah dikenal pelayanan satu atapnya dan klinik-klinik spesialisasinya, seperti layanan komprehensif dalam mengatasi penyakit jantung, tulang belakang dan cedera-cedera yang akibat olahraga bagi atlet maupun masyarakat umum.

Walikota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie menyebut, di Tangerang Selatan terdapat 29 rumah sakit swasta di mana tiga rumah sakit pemerintah, dan RS Premier Bintaro merupakan leader dari semua pelayanan-pelayanan yang terbaik dalam pelayanan kesehatan.

Setali tiga uang, Direktur RS Premier Bintaro, dr Martha ML Siahaan SH MARS MHKes berharap kerja sama RS Premier Bintaro dengan KEK Tanjung Lesung membawa sinergi yang positif bagi satu sama lain. Karena kerja sama bertujuan mendukung health tourism di wilayah Banten dan sejalan dengan peningkatan awareness kepada masyarakat bahwa kemampuan dokter dan kualitas pelayanan rumah sakit di Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan di luar negeri.
“Layanan kesehatan yang berkualitas menjadi daya tarik tersendiri apabila dikolaborasikan dengan kekayaan wisata yang ada di Banten. Sudah saatnya bangsa sendiri harus percaya akan kemampuan para dokter dan tenaga kesehatan di tanah air,” kata dr Martha.

Naturalisasi Dokter untuk Tingkatkan Mutu Layanan


Naturalisasi Dokter untuk Tingkatkan Mutu Layanan

Naturalisasi seolah menjadi tren. Tak sekadar di olahraga khususnya sepak bola, naturalisasi kini merambah dunia kesehatan. Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana mendatangkan dokter asing ke dalam negeri.

Dalihnya, Indonesia kekurang dokter khususnya dokter spesialis. Karenanya, naturalisasi dokter asing diyakini sebagai solusi jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka peningkatan pelayana kesehatan kepada masyarakat.
Diperbolehkannya dokter asing di Indonesia diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan tersebut dihadirkan karena kelangkaan tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis atau dokter dengan keahlian khusus yang dibutuhkan masyarakat.

Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam kekurangan dokter spesialis. Banyak rumah sakit di daerah tidak memiliki dokter spesialis yang lengkap, salah satunya karena sebagian besar dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar yang menyebabkan distribusi tidak merata dan kekurangan dokter spesialis di banyak daerah.

Baca Juga : 4 Fakta RS Medistra Larang Hijab Dokter dan Perawat yang Berujung Permintaan Maaf

Sekitar 266 dari 415 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kabupaten/kota belum memiliki spesialisasi dasar yang mencukupi seperti spesialis anak, obgyn, bedah, penyakit dalam, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.

Pasal 248 ayat (1) UU Kesehatan sendiri mengatur tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk tenaga medis spesialis dan subspesialis serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.

Dikutip dari Scome Meducal Educatiob, pemerintah berharap dengan kehadiran dokter asing, kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia dapat meningkat melalui transfer pengetahuan dan teknologi medis mutakhir. Selain itu, kehadiran dokter asing diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dokter lokal. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menginginkan agar dokter asing dapat melatih dan meningkatkan keterampilan dokter Indonesia, serupa dengan bagaimana pelatih asing meningkatkan performa tim sepak bola nasional.

Dengan adanya dokter asing di Indonesia, pemerintah berharap dapat mengurangi jumlah warga negara Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri. Hal ini diharapkan dapat menghemat devisa negara. Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pernah menyatakan bahwa triliunan rupiah devisa mengalir ke luar negeri karena banyak orang Indonesia berobat ke negara tetangga.

Pemerintah pun berharap naturalisasi dokter asing dapat mengatasi kekurangan tenaga medis, terutama di daerah-daerah yang masih kekurangan dokter spesialis dan subspesialis. Kehadiran mereka diharapkan dapat memperbaiki sistem rujukan dan pelayanan kesehatan, terutama di daerah terpencil dan tertinggal. Catatan Kementerian Kesehatan menyebutkab 34 persen RSUD belum memiliki dokter spesialis dasar, menunjukkan kebutuhan akan tambahan tenaga medis. Karenanya, Kemenkes menekankan pentingnya perbaikan sistem rujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia.

Baca Juga : Budi Santoso Dipecat seusai Tolak Dokter Asing, PKS: Kampus Merdeka Hanya Nama Belaka

Kehadiran dokter asing juga diharapkan dapat meningkatkan daya saing rumah sakit di Indonesia, sehingga dapat menarik lebih banyak pasien, termasuk pasien internasional. Pemerintah berharap dengan adanya dokter asing di Indonesia, kualitas pelayanan rumah sakit lokal juga akan meningkat, menarik lebih banyak pasien untuk berobat di dalam negeri.
Pemerintah pun meyakini kehadiran dokter asing tak memberikan dampak negatif.Menkes Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa kehadiran dokter asing bukan untuk bersaing dengan tenaga kesehatan lokal, melainkan untuk menyelamatkan nyawa masyarakat. Ia menyoroti tingginya angka kematian akibat penyakit jantung dan stroke yang bisa diatasi dengan kehadiran dokter spesialis dari luar negeri. Menkes Budi menegaskan bahwa ini adalah masalah penyelamatan nyawa, bukan persaingan.

Dengan kehadiran dokter asing, kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia dapat meningkat melalui transfer pengetahuan dan teknologi medis mutakhir. Selain itu, kehadiran dokter asing diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dokter lokal.

Dari catatan Kemenkes, rata-rata rasio jumlah tenaga kesehatan di Indonesia berada pada angka 0,46 per 1.000 penduduk, angka ini tercatat hingga akhir pandemi COVID-19. Sebagai perbandingan, negara-negara berpendapatan menengah (middle-income countries) memiliki rasio tenaga kesehatan 1 per 1.000 penduduk, sedangkan di negara-negara maju (high-income countries) rasionya berkisar antara 2 hingga 4 per 1.000 penduduk. Menurut Budi, dengan target rasio tenaga kesehatan 1 per 1.000, dengan populasi Indonesia 280 juta dan produksi dokter 12.000 per tahun, Indonesia memerlukan 12 tahun lebih untuk mencapai rasio tersebut.

 
Padahal PDB kita sudah Rp22.000 triliun, belum 1% untuk melindungi masyarakat. Sedangkan China dan Thailan di atas 3%, Malaysia diatas 4%,

Guru Besar FKM UI HasbullahThabrani


Saat ini, distribusi dokter, terutama dokter spesialis, masih terpusat di Jawa. Namun demikian sejumlah pihak menyoroti masalah jamina kesehatan bagi masyarakat. Dengan datangnya dokter asing diharapkan biaya kesehatan masih terjangkau.

Yang disorot yakni masalah kesehatan bahwa biaya berobat lebih dari 10% maka akan jatuh miskin. Sistem kesehatan melalui Jamina Kesehatan Nasional (JKN) saat ini dinilai masih belum memiliki anggaran mencukupi.Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (UI) Hasbullah Thabrani kepada SINDonews mengatakan, saat ini dana kelolaan prigram JKN untuk kesehatan masyarakat hanya Rp158 triliun. “ jumlahnya kecul sekali. Padahal PDB kita sudah Rp22.000 triliun, belum 1% untuk melindungi masyarakat. Sedangkan China dan Thailan di atas 3%, Malaysia diatas 4%,”katanya.
Ekosistem kesehatan, lanjut dia, harus bisa memberikan jaminan finansial bagi masyarakat. “Jangan sampai masyarakat menjadi jatuh miskin karena mahalnya biaya kesehatan,”tegasnya-

Menurut dia, Besaran bayaran ke dokter dan rumah sakit harus ditingkatkan untuk mendapatkan pekayanan kesehatan. Pemerintah dinilai masih belum memperhatikan kualitas kesehatan.Karenanya hal yang paling penting diperhatikan adalah bagaimana masyarakat mendapatkan akses kesehatan yang memadahi namun tetap memperhatikan keterjangkauan biaya bagi masyarakat. “Sebab jika lebih dari 10% penghasilan masyarakat digunakan untuk biaya berobat akan memengaruhi keuangannya. Bahkan jika tak tercover JKN masyarakat bisa jatuh miskin karena biaya berobat,”tutupnya. (anton c)
(edc)