Beban Rakyat Makin Berat
Beban Rakyat Makin Berat
Eko Edhi Caroko
Kamis, 05 September 2024, 12:42 WIB

Beban hidup rakyat semakin berat, setelah pemerintah berencana akan mengurangi berbagai subsidi yang diterima masyarakat selama ini.

Jangan Lagi Mengembalikan Beban Negara kepada Rakyat

Jangan Lagi Mengembalikan Beban Negara kepada Rakyat

ADA apa dengan pemerintah Indonesia? Apakah sudah merasa semakin keberatan menanggung beban menyejahterakan rakyatnya? Apakah beban pembayaran utang dan bunganya sudah begitu mencekik, sehingga melakukan segala cara mencari sumber pemasukan pendapatan negara, termasuk dengan menekan rakyatnya?

Pertanyaan inilah yang belakangan menjadi bahan obrolan di warung kopi. Muasalnya berasal dari munculnya kabar tak sedap belakangan yang datang bertub-tubi, seperti rencana pengetatan distribusi BBM jenis Pertalite, kenaikan harga tiket KRL Commuter Line Jabodetabek dengan cara menentukan besaran subsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.

Tentu, sejuta alasan telah disiapkan otoritas terkait untuk merasionalisasi kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi lazimnya kebijakan yang demikian, dampaknya pasti langsung memukul sisi konsumsi. Rumusannya: harga barang naik, sementara income tetap, daya belum pun turun. Ujungnya, yang menjadi korban tetap masyarakat bawah.

Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tugas pemerintah, seperti diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Atas tanggung jawab itulah, berbagai kebijakan yang dibuat harus berorientasi mendukung terwujudnya masyarakat, yang secara sederhana diilustrasikan jargon dengan cukup sandang, pangan, papan.

Suka tidak suka, subsidi merupakan bagian instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut, termasuk subsidi energi yang dirupakan dalam bentuk Pertalite dan subsidi KRL Commuter Line Jabodetabek. Dengan subsidi Pertalite diarahkan agar masyarakat kelas menengah ke bawah bisa mendapatkan BBM dengan harga terjangkau. Sedangkan subsidi KRL Commuter Line Jabodetabek diberikan bukan hanya menggiring masyarakat beralih ke moda transportasi massa, tapi juga mengurangi pengeluaran masyarakat untuk mobilitas sehari-hari.

Lazimnya penghapusan atau pengurangan subdisi sektor energi atau transportasi adalah untuk meningkatkan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena lebih banyak digunakan untuk kegiatan konsumtif, dan memastikan subsidi tepat sasaran dan menghindari penyalahgunaan oleh masyarakat mampu.

Namun dibalik rasionalisasi tersebut, subsidi bukannya tidak membawa pengaruh positif. Misalnya, masyarakat masih memiliki kemudahan atau bisa menjangkau kebutuhan BBM untuk beragam kebutuhan hidup seperti mengantar anak sekolah, atau bahkan untuk operasinal kendaraan bermotor untuk bekerja. Dengan kemampuan mengakses BBM, masyarakat bisa menjaga kelangsungan hidup dan tidak terjebak jurang kemiskinan.

Tak kalah penting manfaat subdisi adalah untuk mengurangi kriminalitas. Pengurangan subdisi berdampak pada meluasnya angka kemiskinan dan menurunnya kesejahteraan secara sosiologis linear dengan meningkatnya angka kriminalitas. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena masyarakat tidak memiliki kemampuan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang kian berat.
Bila pemerintah bijak, maka keputusan yang diambil tentu mempertimbangkan semua variabel secara utuh. Tapi, pertimbangan-pertimbangan yang berorientasi kepentingan kesejahteraan masyarakat akan dinafikkan begitu saja jika pemerintah dalam kondisi kepepet. Akibatnya, pilihan yang diambil selalu paling mudah, mengembalikan beban keuangan negara kepada rakyat.

Salah satu yang menjadi kasak-kusuk adalah faktor kebutuhan pemerintah untuk mengembalikan dan membayar bunga hutang. Kecurigaan ini tidaklah berlebihan. Selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), utang pemerintah bertambah hampir Rp6.000 triliun atau melonjak 224%. Biaya bunga utang pun melambung lebih dari 200%.

Per Juni 2024 lalu, data Kementerian Keuangan menunjukkan nominal utang pemerintah pusat tembus Rp8.444,87 triliun atau setara 39,13% Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal pada September 2014 saat Jokowi memulai memimpin negeri ini, utang baru tercatat sebesar Rp2.601,72 triliun atau dirasiokan 26,5% dari PDB. Dengan begitu, utang pemerintah telah membengkak Rp 5.843,15 triliun atau melesat 225% selama kepemimpinan mantan Walikota Solo itu.

Tidak mudah bagi pemerintah untuk bisa membayar hutang beserta beban bunga sebesar itu. Kondisi dipersulit dengan situasi perekonomian yang tidak menguntungkan. Perkembangan terakhir, para ekonom menangkap tanda-tanda pelesuan ekonomi nasional, dengan tolok ukur realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2024.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal-II 2024 pertumbuhan perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh sebesar 5,05%, namun beberapa sektor yang selama ini menjadi penyumbang utama pertumbuhan seperti industri pengolahan, kontribusinya semakin menyusut.Inilah tanda-tanda perlambatan ekonomi.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sejumlah ekonom menyebut kondisi tersebut akibat suku bunga tinggi yang menekan konsumsi dan daya beli. Selanjunya dampak yang terjadi ke industri adalah mereka membatasi ekspansi, dan malah melakukan efisiensi biaya, yang berkonsekuensi logis banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Meningkatnya kasus PHK bukanlah isapan jempol. Kementerian Tenaga Kerja mengakui peningkatan angka PHK beberapa waktu belakangan. Tercatat, hingga akhir Agustus kemarin angka PHK mencapai 46.240 dari awal tahun. Peningkatan angka PHK secara otomatis memacu pertumbuhan angka penangguran. Padahal pada periode Januari sampai Maret 2024, PHK baru mencapai 23.421 orang.

Segala beban berat yang harus ditanggung masyarakat dipastikan akan kian mencekik jika PPN 12 Persen resmi diberlakukan, yang rencananya mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Memang masyarakat umum tidak menjadi objek dari jenis pajak tersebut, namun dampaknya serta-merta akan dirasakan masyarakat karena sudah pasti akan diikuti dengan peningkatan harga barang maupun jasa.

Idealnya, pemerintah mengambil kebijakan alternatif yang lebih strategis seperti memacu pendapatan dari sektor produksi atau mencari sumber-sumber pendapatan baru tanpa melimpahkan beban kepada rakyat. Bukan mengurangi subsidi, meningkatkan pajak, atau menambah hutang luar negeri yang selama ini mereka jalankan. Tapi ini bukanlah langkah mudah dan enak yang bisa mereka ambil.

Pada akhirnya, keputusan kembali kepada pemerintah apakah akan tetap menggunakan kaca mata kuda demi menyelesaikan beban atas dampak kinerja yang telah mereka lakukan atas nama negara, atau benar-benar memperhatikan beban yang dirasakan rakyatnya. Tetapi harus tetap diingat, keputusan yang menimbulkan penderitaan akan linear dengan munculnya persoalan sosial. (alex aji s)

Orang Kaya Hanya Tenggak BBM Subsidi 1,5 Liter per Hari

Orang Kaya Hanya Tenggak BBM Subsidi 1,5 Liter per Hari

Ahmad Feryadi tak berani memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi lantaran performanya sudah menurun. Dari ITC Kuningan, pria berkacamata itu hanya melaju dengan kecepatan 30 kilometer per jam. Jarum indikator BBM sudah hampir berada di posisi E (empty) yang berarti dia harus segera mengisi BBM. Warga perumahan DKI Joglo Jakarta Barat itu mengendari Toyota Innova tipe G 2.000 CC bertransimisi matik lansiran tahun 2012 hanya jika ada urusan tertentu. “Jarang saya gunakan, sehari-hari saya mengendarai motor,” ujarnya kepada SINDOnews, di Jakarta Selasa (3/9/2024) malam.

Harga mobil yang dibelinya senilai Rp120 juta itu jauh lebih murah dari Low Cost Green Car (LCGC) Toyota Agya yang dijual Rp170 juta hingga Rp270 juta. Jika dilihat dari sisi harga mobil, pemilik mobil LCGC masuk kategori lebih mampu dan lebih kaya dibandingkan Feryadi. Namun demikian, Feryadi terancam tak bisa lagi mengakses BBM bersubsidi jenis Pertalite, lantaran pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha penyalur, mulai menerapkan pembatasan pembelian BBM subsidi.

Ke depan, mobil berkapasitas maksimal 1.500 cc yang boleh membeli Pertalite. Padahal dari sisi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), meski mobilnya sudah berusia 12 tahun, Feryadi membayar PKB lebih mahal dibandingkan dengan pemilik LCGC. “Itu (kebijakan) sangat memberatkan, kriterianya tidak jelas,”tegasnya. Dengan kebijakan tersebut, dia berpendapat masyarakat yang sejatinya pas-pasan dan hanya mampu membeli mobil bekas, akan terpukul dengan kebijakan yang dinilai rakyat serba tak jelas itu.
Di sektor energi, kebijakan pembatasan maupun kenaikan harga BBM subsidi selalu menggunakan narasi Subsidi Tak Tepat Sasaran. Bahkan pada 2022 silam tanpa data yang jelas alias absurd narasi yang digaungkan adalah BBM bersubsidi 90% dinikmati orang kaya. Mengacu data Boston Consulting Group pada 2020, jumlah orang kaya Indonesia dengan pengeluaran Rp7,5 juta per bulan hanya 6,9 juta orang.

Sementara kategori affluent atau di bawah kaya dengan pengeluaran sebesar Rp5-7,5 juta per bulan sebesar 16,5 juta orang. Dengan realisasi BBM subsidi yang digelontorkan mencapai 63,96 juta kilo liter atau 639,6 miliar liter, adalah mengada-ada jika dinarasikan 90% dinikmati 23,4 juta orang. Gustave Fabiano Musung pun keberatan jika disebut sebagai kelompok masyarakat pengkonsumsi BBM bersubsidi yang dinarasikan tak tepat sasaran.

“Saya tak pernah isi BBM di SPBU Pertamina apalagi BBM subsidi. Saya pilih Shell karena kualitasnya BBM nya lebih bagus,” ujar pria yang bermukim di Kota Wisata, Cibubur itu kepada SINDOnews. Bagi Gustave, dengan menggunakan BBM kualitas tinggi, risiko mobil rusak bisa diminimalisir.

Alasan yang disampaikan Gustave cukup masuk akal, lantaran biaya overhaul Toyota Fortuner GR Sport bermesin diesel berkelir hitam miliknya tiga kali lebih mahal dibandingkan mesin bensin. Gustave merupakan satu dari ratusan ribu pemilik SUV dengan kubikasi besar yang tak menggunakan solar subsidi. “Dulu pernah punya Honda BRV lalu saya jual. Saya isi BBM jenis bensin juga di Shell. Bagi saya, kualitas lebih penting, apalagi saya jarang menggunakan mobil, endapan residu di tangki tentu berpengaruh terhadap performa mobil,” katanya.

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Rachmat Kaimuddin pada awal Agustus 2024 silam mengungkapkan data, sekitar 800.000 kendaraan pribadi roda empat bermesin diesel masih menggunakan Biosolar bersubsidi. Dia memperkirakan konsumsi Biosolar bersubsidi oleh mobil serupa Mitsubishi Pajero, Toyota Fortuner, maupun Toyota Land Cruiser itu bahkan mencapai kisaran 477-573 liter per unit setiap tahunnya.

Dari data tersebut terlihat bahwa masyarakat yang disebut sebagai Orang Kaya yang menikmati subsidi ternyata hanya mengkonsumsi BBM bersubsidi (solar) sebesar 1,5 liter per hari. Lantas, siapa penikmat solar subsidi? Dalam diskusi bertajuk “Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran” 2022 silam terkuak bahwa industru sawit salah satu industri yang mengonsumsi solar subsidi senilai Rp35 triliun.

Saat ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang menyiapkan skema pembatasan BBM jenis Pertalite. Para ekonom memperkirakan dengan adanya pembatasan subsidi BBM, kelas menengah justru menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Pembatasan BBM subsidi akan menjadi beban tambahan bagi kelas menengah yang sudah harus menghadapi berbagai macam pengeluaran, mulai dari biaya pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan sehari-hari.

Pengamat ekonomi Salamudin Daeng menilai, kebijakan pembatasan BBM subsidi sangat sulit dikerjakan secara tegas. Sebab, daya beli rakyat sedang turun, bahkan deflasi terjadi pada bahan makanan. “Ini tentu situasi yang kurang menguntungkan bagi kebijakan semacam ini,” tegasnya. Namun demikian, jika terpaksa harus dilakukan, Salamudin menilai, bisa dimulai dengan kelompok yang benar-benar tidak layak mengkonsumsi BBM subsidi seperti mobil mewah.

“Masalahnya apakah datanya transparan. Jangan masyarakat yang mobilnya mewah tetapi tidak mengonsumsi Pertalite, namun datanya disembunyikan. Lalu konsumsi pertalite dikatakan jebol. Apa benar demikian? Bahan makanan saja deflasi, anehnya konsumsi BBM tidak menurun, coba transparan,” tegasnya lagi.

Salamudin menyarankan pemerintah mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik, elektrifikasi rumah tangga untuk LPG, juga konversi ke bahan bakar Energi Baru Terbarukan (EBT). “Ini akan menjadi usaha untuk mengejar portofolio transisi energi,” cetusnya.

Di tengah karut marut subsidi BBM, ada kabar baik dari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang membuat rakyat bisa sedikit bernafas lega. Sebab, tahun depan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto masih menggelontorkan subsidi energi Rp203,4 triliun.

Meskipun nilainya turun, namun penurunan hanya mencapai Rp1,1 triliun. Penurunan subsidi LPG tabung 3 kilo mencapai Rp600 miliar dari semula Rp114,3 triliun menjadi Rp113,7 triliun. Sedangkan untuk jenis BBM tertentu ada penurunan Rp40 miliar. Subsidi kepada rakyat merupakan kewajiban pemerintah atas amanat konstitusi. Subsidi adalah amanat Pancasila dan tertulis di pembukaan konstitusi sebagai bagian dari cita-cita dan tujuan nasional negara ini. (Anton Chrisbiyanto)

Subsidi Berdasarkan NIK, Absurd dan Sulit Diterapkan

Subsidi Berdasarkan NIK, Absurd dan Sulit Diterapkan

Rencana pemerintah akan mengubah skema tarif KRL Jabodetabek (Commuter Line) dari bersubsidi atau pengurangan tarif menjadi berbasis NIK (Nomer Induk Kependudukan) pada 2025 dinilai banyak pihak absurd dan sulit diterapkan. Adapun rencana tersebut tertuang dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 yang telah diserahkan pemerintah ke DPR untuk dibahas bersama.
Dalam dokumen tersebut terungkap anggaran belanja subsidi PSO (Public Service Obligation) untuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) ditetapkan sebesar Rp4,79 triliun. Subsidi tersebut diperuntukkan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api, termasuk KRL Jabodetabek.

Beberapa perbaikan yang dilakukan yakni mengubah sistem pemberian subsidi untuk tahun depan. Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Jika rencana ini disetujui berarti akan ada pengurangan anggaran subsidi untuk PT KAI untuk tahun 2025. Sebelumnya subsidi public service obligation (PSO) ke KAI dan KAI Commuter pada 2020 sebesar Rp4,7 triliun, pada 2023 naik ke Rp5 triliun, dan mengacu outlook 2024, angkanya mencapai Rp7,8 triliun.

Diketahui, angkutan commuter line selama ini sudah menjadi transportasi publik andalan warga Jabodetabek. Lihat saja saat jam sibuk di pagi dan sore hari. Penumpang penuh sesak memenuhi rangkaian gerbong kereta. Begitu juga dengan ribuan penumpang yang lalu lalang di stasiun transit, seperti di Stasiun Manggarai dan Tanah Abang. Catatan dari VP Corporate Secretary KAI Commuter Joni Martinus menunjukkan memang terlihat ada tren kenaikan volume pengguna.

Di seluruh wilayah pelayanan PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter, sepanjang semester I/2024 telah melayani sebanyak 179.165.921 penumpang. Tren serupa juga terjadi pada layanan KRL Commuter Line di Jabodetabek. Joni mengatakan, pihaknya mencatat peningkatan sebesar 15% pada semester I/2024 jika dibandingkan dengan periode yang sama 2023 lalu yang sebanyak 156.816.151 orang pengguna. Artinya selama enam bulan pertama tahun 2024 ini KRL Commuter Jabodetabek mengangkut sekitar 180,3 juta orang penumpang.

Keluh Kesah Penumpang
Banyak keluh kesah yang disampaikan oleh pengguna Commuter Line Jabodetabek atas rencana pemerintah yang ingin menggenakan tarif berdasarkan NIK. Nisrina mahasiswa yang tinggal di Tangerang Selatan mempertanyakan tujuan dari pemerintah mengenakan skema tarif seperti itu. “Ini berarti subsidi untuk pengguna Commter Line dikurangi untuk dialihkan ke pemilik mobil atau motor listrik?. Padahal pemilik kendaraan listrik itu tergolong mampu lho,”katanya.

Setiono yang tinggal di Bekasi juga mempertanyakan kebijakan pemerintah ini. “Commuter Line, transportasi umum yang digunakan ratusan ribu orang setiap hari, jika subsidi dicabut apakah berarti pemerintah mengarahkan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi?,” ujarnya.

Pak Toto warga Kemayoran Jakarta Pusat, juga bingung dengan konsep skema tarif commuter line bersadarkan NIK ini. “Setahu saya di seluruh dunia yang namanya transportasi umum itu bisa digunakan oleh pejabat negara, konglomerat maupun yang melarat, silahkan menggunakan fasiltas yang disediakan negara dengan tarif yang sama,” katanya. Agak aneh jika transportasi umum mengenakan tarif yang berbeda berdasarkan NIK.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menyoroti wacana pemerintah yang ingin mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno menegaskan kebijakan itu kurang tepat untuk diterapkan bahkan cenderung absurd. Sebagian penumpang, yang menggunakan NIK mendapat subsidi sementara yang lain tidak. “Satu layanan satu moda tetapi dengan tarif yang berbeda, ini justru akan membingungkan konsumen," katanya.

Agus Suyatno menilai kebijakan tersebut sulit diterapkan, bahkan berpotensi menimbulkan kekacauan bagi para pengguna layanan. "Selain akan sulit diimplementasikan di lapangan juga potensi terjadinya chaos akan terbuka," tegasnya. Jika tujuan kebijakan ini untuk menaikkan tarif, sebaiknya pemerintah secara gamblang mengungkap rencana tersebut. Dengan begitu ada sosialisasi yang tepat sasaran.

Agus menyayangkan skema tersebut jadi pilihan. Kekhawatirannya akan muncul dua tarif berbeda padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama. "Pemerintah dalam hal ini Kemenhub jika ingin melakukan penyesuaian tarif sebaiknya memang dengan terbuka menyatakan akan ada penyesuaian tarif daripada dengan sistem dual tarif berbeda," jelasnya.

Ada Dua Data NIK
Pendapat berbeda disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Menurutnya, selama ini beban subsidi menjadi semakin besar di tengah peningkatan pengguna KRL, akhirnya turut menjadi beban APBN. Jika subsidi tersebut dipukul rata, kesemua pengguna ketika jumlahnya semakin banyak, otomatis anggaran subsidi untuk Commuter line akan terus meningkat. Ini bisa dilihat dari peningkatan anggaran subsidi dari 2020-2024 yang terus meningkat.

Melihat peningkatan subsidi PSO ke angkutan kereta itu, Faisal menilai perlu ada pembatasan penyaluran subsidi. Harapannya, kebijakan ini bisa menjaga kekuatan APBN. “Pada dasarnya subsidi diperuntukkan kalangan menengah ke bawah, tidak diberikan kepada golongan menengah ke atas. Jadi memang perlu ada upaya untuk mengusahakan supaya subsidi tersebut tepat sasaran, orang yang mampu seharusnya tidak diberikan subsidi," jelas Faisal.

Hingga saat ini memang belum ada putusan pasti dari pemrintah soal skema baru subsidi untuk KAI Commuter. Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan belum ada rencana kenaikan tarif dari KRL Jabodetabek. Kemenhub juga masih akan mengkaji soal kemungkinan perubahan tarif jika subsidi berbasis pada NIK. Terkait rencana skema subsidi berdasarkan NIK juga masih dibahas terutama terkait acuan datanya. "Ya, itu nanti kita lihat lah ya. Jelas basisnya NIK, nah NIK-nya ini nanti akan diambil dari sisi apanya, itu yang sebenarnya sedang kita bahas," katanya.

Dalam skema subsidi ini ada dua pilihan data acuan. Data NIK menurut Kementerian Sosial atau NIK berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Data Kemensos lazimnya digunakan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat sasaran. Sementara data NIK yang ada di Dukcapil data kependudukan berdasarkan domisili

Pihak kemenhub, menurut Adita belum memastikan data mana yang akan jadi acuannya."Akan menggunakan data yang mana, itu yang juga kami masih bahas," ujarnya. Lagi pula saat ini, menurutnya, pembahasan mengenai subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK belum masuk pada bahasan data acuan tadi. Artinya, rencana tersebut masih pada tahap awal.
Meski baru pada tahap wacana pemerintah harus mendengarkan keluhan masyarakat pengguna commuter line. Sebab, Di saat yang bersamaan, banyak subsidi yang dikurangi pemerintah. (Eko Edhi Caroko)

Berharap Tidak Ada Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan


Berharap Tidak Ada Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Iuran BPJS Kesehatan setelah sistem kelas rawat inap dihapuskan kini jadi informasi yang banyak dicari. Terlebih kebijakan baru ini akan ditetapkan pada tahun 2025 mendatang. Sistem kelas yang dihapuskan dalam BPJS Kesehatan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang ditetapkan pada 8 Mei 2024.

Dalam aturan tersebut dijelaskan jika sistem kelas dalam BPJS Kesehatan akan digantikan dengan sistem BPJS Kesehatan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Lantas apakah ada perubahan terkait iuran BPJS Kesehatan? Rupanya pergantian sistem ini tidak merubah apapun terkait iuran BPJS Kesehatan sebelumnya, hal yang berubah hanya sistem kelas rawat.

Terdapat pula aturan tentang peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, yang mana iuran mereka nantinya akan ditanggung Pemerintah. Konsep ini diharapkan dapat lebih memberi pengaruh yang baik terhadap masyarakat yang kurang mampu.

Harga iuran BPJS Kesehatan seperti yang telah dijelaskan di atas, jika harga iuran BPJS tidak mengalami perubahan. Sehingga harganya masih sama seperti yang tertera dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Iuran BPJS Kesehatan Kelas 1 Rp150.000 per bulan; iuran BPJS Kesehatan Kelas 2 Rp100.000 per bulan; dan iuran BPJS Kesehatan Kelas 3 Rp35.000 per bulan.

Harga iuran BPJS Kesehatan tersebut adalah untuk satu orang. Pembayarannya sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari mendatangi kantor BPJS terdekat, hingga melalui minimarket. Nantinya bagi para peserta PPU BPJS Kesehatan yang bekerja di lembaga pemerintahan, meliputi pegawai negeri sipil (PNS) anggota TNI, Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non-pegawai negeri dikenai sebesar 5% dari gaji per bulan, dengan Ketentuan 4% dibayar pemberi kerja dan satu persen dibayar peserta.

Hal tersebut sama dengan peserta PPU di BUMN, BUMD, dan Swasta sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 1% dibayar oleh peserta. Sementera untuk jaminan kesehatan bagi veteran, perintis kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5 persen dari 45 persen gaji pokok PNS golongan ruang III/A dengan masa kerja 14 tahun per bulan, dibayar oleh pemerintah.

Penjelasan tentang harga iuran BPJS Kesehatan yang dipaparkan di atas, setelah sistem kelas dihapuskan. Dari penjelasan tersebut penghapusan sistem kelas ini sebenarnya seperti tak berpengaruh banyak dan terkesan hanya berganti nama saja.

Anggota Komisi IX DPR Rahmat Handoyo merespons soal sistem kelas 1, 2, 3 dalam BPJS Kesehatan dihapus dan diganti dengan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dia meminta agar aturan baru yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan itu tidak memberatkan rakyat dari segi penyesuaian pembiayaannya.

Dia mengatakan, konsep besar secara komprehensif harus dimiliki pemerintah meski aturan baru itu berlaku pada tahun depan. “Jangan sampai pelaksanaan KRIS nanti, memunculkan masalah baru, terutama dari sisi iuran," kata Rahmat saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (13/5/2024).

Apalagi, kata dia, pada saat masih menerapkan sistem kelas dalam BPJS Kesehatan, ada peserta yang dari segi pembiayaannya dilakukan secara mandiri. Dia meminta jangan sampai penerapan KRIS ini justru memberatkan masyarakat yang membayar secara mandiri. "Saat ini saja, mandiri yang di kelas III saja terasa berat, ada beberapa warga yang sulit untuk memenuhi kewajiban membayar secara mandiri. Apalagi nanti dengan adanya KRIS,” ujarnya.

“Jangan sampai memunculkan banyak warga kelas atau peserta BPJS yang keluar karena ketidakmampuan untuk membayar penyesuaian nanti. Untuk itu, saya wanti-wanti agar penyesuaiannya tidak memberatkan rakyat dan tidak ada kenaikan," sambung legislator PDIP itu.

Tak hanya dari segi pembiayaan, Komisi IX DPR juga menyoroti perihal kualitas pelayanan kesehatan dengan sistem KRIS nanti. Ia berharap, kualitasnya semakin baik. "Dengan adanya kelas standarisasi, KRIS ini ya tentu kelas sama kan, untuk itu saya kira dari segi kualitas harus lebih baik," pungkasnya.

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan iuran tidak naik tahun ini. Terkait penyesuaian iuran, hingga saat ini masih dalam pembahasan. "Sampai 2024 tidak ada kenaikan iuran," kata Ali Ghufron seraya menyatakan bahwa penyesuaian iuran BPJS Kesehatan dilakukan tiap dua tahun sekali. Itu untuk menjaga BPJS Kesehatan tak mengalami defisit.

Dengan kata lain, iuran BPJS Kesehatan yang berlaku sekarang masih mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, bahwa iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN.

Setali tiga uang, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto juga mengungkapkan, pemerintah belum membahas besaran tarif kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang saat ini tengah ramai diperbincangkan. Seperti diketahui kini sistem kelas sudah dihapuskan dalam BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024. "Belum kita bahas antar kementerian terkait," jelasnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (9/8/2024).

BPJS Kesehatan berkomitmen untuk terus memperluas jaringan mitra fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Kehadiran BPJS Kesehatan dan Program JKN akan mendorong geliat pertumbuhan industri kesehatan swasta, khususnya rumah sakit. BPJS Kesehatan berkomitmen untuk terus berinovasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Inovasi ini tidak hanya diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan JKN, tetapi juga menjadi langkah maju dalam mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dan berdaya saing. Beragam prestasi dan capaian positif yang diraih BPJS Kesehatan juga menandakan bahwa Program JKN semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Tonggak sejarah program jaminan kesehatan dimulai dengan didirikannya Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) pada 1968. BPDPK mulai memperkenalkan kebijakan pembiayaan dengan sistem kapitasi dan mekanisme managed care. BPDPK kemudian berkembang menjadi Perum Husada Bhakti (PHB) yang secara resmi menghapus kebijakan klaim perorangan. Konsep rujukan pun dimatangkan.

Selanjutnya, PT Askes (Persero) hadir menggantikan PHB. Kelompok peserta jaminan kesehatan kian bervariasi, mulai dari karyawan BUMN dan masyarakat miskin. Kemudian PT Askes bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) bagi penduduk Indonesia tanpa terkecuali.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk melihat betapa banyak perubahan yang terjadi sejak negara menghadirkan Program JKN. Dahulu, tidak semua orang memiliki peluang untuk mengakses layanan kesehatan yang memadai. “Sekarang semua lapisan masyarakat yang sudah menjadi peserta JKN aktif bisa berobat tanpa terkendala biaya mahal,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti saat acara sarasehan memperingati HUT ke-56 BPJS Kesehatan, Senin (15/7/2024).

Dalam rentang waktu tersebut, kepesertaan JKN melesat tajam, dari yang semula 133,4 juta jiwa pada akhir tahun 2014 menjadi 267,3 juta jiwa pada akhir tahun 2023. Sampai dengan 12 Juli 2024, sebanyak 273,5 juta penduduk Indonesia telah terdaftar menjadi peserta JKN.

Dengan terdaftarnya lebih dari 97 persen masyarakat Indonesia ke Program JKN, BPJS Kesehatan optimistis bisa mencapai target UHC tahun ini yakni 98 persen penduduk Indonesia terdaftar Program JKN. Seiring dengan pertumbuhan peserta, angka kepuasan peserta juga meningkat dari skor 81 pada tahun 2014 menjadi 90,7 pada tahun 2023.

Pada 2014, iuran JKN yang diterima BPJS Kesehatan jumlahnya Rp40,7 triliun, sementara pada tahun 2023 jumlahnya Rp151,7 triliun. Yang menarik, pada tahun 2023 kolektibilitas iuran JKN mencapai 98,62 persen. Ini menunjukkan bahwa masyarakat, terutama yang sudah merasakan layanan JKN, menyadari betapa pentingnya menjaga keberlangsungan program ini dengan rutin membayar iuran.

Ghufron juga menegaskan bahwa peningkatan jumlah peserta JKN harus diiringi dengan kemudahan akses layanan kesehatan. Karena itu, BPJS Kesehatan terus memperluas jaringan mitra fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Kehadiran BPJS Kesehatan dan Program JKN mendorong geliat pertumbuhan industri kesehatan swasta, khususnya rumah sakit.

Hingga tahun 2023, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 23.639 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 3.120 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), dan 5.494 fasilitas kesehatan penunjang. Sebanyak 66,28% FKRTL mitra BPJS Kesehatan adalah milik swasta. Rata-rata pembayaran klaim tahun 2023 adalah 11,5 hari kerja untuk FKTP dan 13,7 hari kalender untuk FKRTL, lebih cepat daripada ketentuan yang berlaku.

“Di sisi lain, agar peserta JKN memperoleh layanan berkualitas, BPJS Kesehatan hanya bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan yang lolos seleksi credentialing maupun recredentialing. Untuk melayani pelayanan kesehatan dasar hingga ke pelosok, rumah sakit terapung juga kami rangkul menjadi mitra BPJS Kesehatan,” papar Ghufron.

Dari waktu ke waktu, angka pemanfaatan pelayanan Program JKN juga terus merangkak naik. Tahun 2014, tercatat pemanfaatan Program JKN per tahun sebanyak 92,3 juta pemanfaatan, sedangkan pada tahun 2023 jumlahnya menjadi 606,7 juta pemanfaatan atau 1,7 juta pemanfaatan layanan setiap harinya. Pada tahun 2023, sebanyak 25 persen biaya layanan di tingkat lanjutan digunakan untuk membayar pelayanan kesehatan penyakit berbiaya katastropik.

“Tahun 2023, BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp34,7 triliun untuk membayar pelayanan kesehatan 29,7 juta kasus penyakit berbiaya katastropik. Ini seperti dua sisi mata uang bagi kami. Di satu sisi, makin banyak masyarakat yang tertolong karena dapat mengakses layanan kesehatan. Namun di sisi lain, beban biaya pelayanan kesehatan terus bertambah. Ini yang jadi tugas besar kita semua agar bisa mengendalikan angka penderita penyakit berbiaya katastropik. Karena itu, deteksi dini sangat penting. Lebih cepat diketahui, lebih cepat penanganannya,” kata Ghufron menegaskan.

Tahun ini BPJS Kesehatan juga berhasil kembali mencatatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Tanpa Modifikasian (WTM) untuk laporan keuangan selama 10 kali berturut-turut. Pencapaian ini memperlihatkan konsistensi BPJS Kesehatan dalam menerapkan tata kelola yang baik serta senantiasa menjalankan Program JKN berdasarkan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.

“Program JKN merupakan manifestasi gotong royong bangsa Indonesia. Tidak mudah bagi BPJS Kesehatan untuk mengelola jaminan kesehatan bagi ratusan juta jiwa penduduk Indonesia. Apalagi, pengelolaan program ini melibatkan banyak stakeholders," tutur Ghufron.

Menurut Ghufron, ekosistem JKN yang kompleks dan ekspektasi masyarakat yang terus meningkat akan selalu menjadi tantangan bagi kita semua. "Karena itu, diperlukan upaya penguatan kolaborasi lintas sektoral, serta komitmen seluruh Duta BPJS Kesehatan untuk merealisasikan rencana strategis ke depan,” kata Ghufron. (Hendri Irawan)
(edc)