Rencana Pembatasan BBM Disisihkan, Skenario Baru Disiapkan
Mohammad Faizal
Selasa, 23 Juli 2024, 15:24 WIB
Rencana pembatasan BBM bersubsidi akhirnya disisihkan. Sebagai gantinya, pemerintah menyiapkan skenario baru untuk memastikan agar subsidi BBM tepat sasaran.
Saat Luhut Berceloteh Soal Pembatasan BBM di Media Sosial
Isu perubahan kebijakan soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sejatinya sudah cukup lama beredar di tengah masyarakat. Hal itu didasari pernyataan sejumlah pejabat pemerintah yang menyebutkan bahwa tarif listrik dan harga BBM tak akan naik hingga Juni 2024 demi mendukung pemulihan ekonomi masyarakat pascapandemi.
Tak heran jika mendekati akhir Juni 2024, isu tersebut kian santer dibahas, terlebih setelah rupiah melemah. Namun, isu itu kemudiandibantah dan Pemerintah memastikan bahwa harga jenis BBM khusus penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan Solar tidak akan berubah.
Tapi, baru saja mereda, muncul isu baru dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Melalui akun instagram resminya @luhut.pandjaitan, dia mengungkapkan bahwa pemerintah terus mengupayakan efisiensi. Salah satunya, dengan rencana melakukan pembatasan.
"Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai di mana orang yang tidak berhak mendapatkan subsidi itu akan bisa kita kurangi," ujar Luhut melalui instagram resminya @luhut.pandjaitan yang dikutip SINDOnews pada Selasa (9/7/2024).
Selain isu pembatasan, Luhut mengungkapkan bahwa pemerintah juga berencana mendorong penggunaan bioetanol guna menekan konsumsi BBM. Hal itu dilakukan untuk mengurangi polusi udara karena BBM yang ada saat ini masih mengandung sulfur yang tinggi yaitu di atas 500 ppm.
"Kita mau sulfurnya tuh 50, nah ini sekarang lagi diproses dikerjakan oleh Pertamina. Kalau ini semua berjalan dengan baik, dari situ saya kira kita bisa menghemat lagi dan juga pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya," terang Luhut.
Berawal dari situ, isu pembatasan BBM selanjutnya bergulir menguat. Terlebih, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengaku telah membuat simulasi pembatasan pembelian BBM bersubsidi oleh kendaraan tertentu. Dalam studi percontohan itu, dipetakan mana konsumen yang berhak atau dilarang membeli bahan bakar minyak bersubsidi.
Dalam sesi diskusi MNC Trijaya, Sabtu (13/7/2024), Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman menyebut, dalam simulasi sudah dihitung jenis kendaraan roda dua dan roda empat yang bisa menggunakan BBM subsidi. Sebaliknya, jenis kendaraan seperti apa yang tidak diperbolehkan membeli BBM subsidi jenis pertalite dan solar.
Dalam simulasi itu, 21 juta mobil pelat hitam dilarang menggunakan BBM subsidi, kecuali mobil pick up. "Bila ada 21 juta kendaraan roda empat pelat hitam tidak memakai Solar selama 6 bulan sampai 1 tahun, ini saving-nya sudah kita hitung, kompensasinya berapa kita bisa saving, kalau itu setahun. Demikian pula untuk Solar misalnya, itu semua pelat hitam tidak boleh, kecuali pick up misalnya, ini contoh kajiannya," papar Saleh dalam diskusi tersebut.
Menurut dia, BPH Migas juga sudah menghitung mana mobil pelat kuning yang boleh dan tidak boleh membeli solar bersubsidi, termasuk nilai kompensasinya. "Kemudian pelat kuning, plat kuning ini Solar apakah semua kendaraan itu boleh? Padahal mereka mengangkut barang-barang mewah misalnya. Kalau ini distop untuk mereka, hanya tertentu yang mengangkut sembako dan sebagainya, nah ini gimana, mitigasinya gimana, di lapangan seperti apa, risikonya apa?" bebernya.
Meski mengklaim sudah melakukan simulasi dengan detail, Saleh belum terbuka soal hasil studi percontohan yang dilakukan BPH Migas. Alasannya, masih menunggu terbitnya hasil revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014.
Beleid tersebut bakal mengatur konsumen pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) solar dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite, yang merupakan BBM bersubsidi dan kompensasi. "Jadi begitu, kalau kita sebut secara substansial, hitung-hitungannya teknokratik atau teknisnya itu sudah kita sampaikan ke Menteri ESDM," ucapnya.
Pemerintah Tak Satu Suara Soal Pembatasan BBM Subsidi
Setelah isu pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi mulai 17 Agustus 2024 menyeruak, giliran keraguan dan bantahan bermunculan. Terlebih, kepastian soal mekanisme pembatasan pun tak kunjung dikeluarkan oleh pemerintah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif misalnya, menyebut rencana pembatasan BBM subsidi masih dalam kajian. Menurut dia, pemerintah masih mengkaji terlebih dahulu sebelum menerapkan pembatasan BBM subsidi agar benar-benar tepat sasaran. "Nggak ada yang berubah, nggak ada yang naik," ujar Arifin kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (12/7/2024).
Menurut dia pemerintah masih mengkaji terlebih dahulu sebelum menerapkan pembatasan BBM subsidi agar benar-benar tepat sasaran. Adapun pembatasan BBM bersubsidi nantinya akan disesaikan pada jenis kendaraan. "Arahnya ke kita kan mau tepat sasaran, lagi diperdalam lagi. Kita lagi mempertajam dulu, mempertajam datanya," jelas Arifin.
Sanggahan juga dilontarkan anggota Komisi VII yang membidangi sektor energi, Mulyanto. Dia memandang argumentasi yang dilontarkan Luhut terkait rencana pembatasan BBM subsidi tak berdasar.
Diketahui, pembatasan BBM subsidi dikaitkan dengan dinamika ekonomi global yang terjadi belakangan ini. Antara lain, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga tingginya harga minyak mentah dunia. Di sisi lain, pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat drastis, namun tidak dibarengi dengan pemasukan. Hal ini dinilai bisa memperluas defisit fiskal, sehingga pembatasan BBM bersubsidi perlu dilakukan untuk menghemat anggaran negara.
Namun, menurut Mulyanto, harga minyak dunia sejatinya masih normal dari rata-rata harga minyak mentah Indonesia (IPC). Untuk nilai tukar, rupiah pun menurutnya masih mampu mempertahankan penguatannya di level Rp16.000-an per USD. "Hari ini saya cek harga minyak masih sekitar USD82 dolar per barel, itu masih dalam batas ICP kita. Kedua dolar dari Rp18.840 turun terus, sekarang Rp16.100, jadi dalam konteks itu pernyataan Pak Luhut tak punya dasar," tandasnya.
Dia menambahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyampaikan bahwa distribusi BBM bersubsidi akan terus dijalankan pada tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal tahun 2025. Mulyanto menganggap ucapan Luhut sekedar pemanasan isu.
Keraguan juga diungkapkan pengamat energi dari Universitas Gajah Muda (UGM) Fahmy Radhi. Dia mengatakan, tenggat dimulainya pembatasan pada 17 Agustus terlalu pendek. Menurut dia, ada hal lain yang menurutnya harus lebih dulu dilakukan pemerintah sebelum membatasi pembelian BBM subsidi.
"Mestinya diputuskan dulu pembatasan itu tuh mekanismenya seperti apa. Apakah menggunakan MyPertamina seperti yang disepakati Pertamina, apakah berdasarkan kubikasi (CC) kendaraan," jelasnya ketika dihubungi SINDOnews, Selasa (16/7/2024).
Fahmy melanjutkan, jika pembelian BBM subsidi dibatasi sesuai kapasitas mesin kendaraan, semisal 1.400 cc, maka akan sulit dilakukan lantaran akan menyulitkan petugas SPBU. Oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah untuk lebih dulu merevisi Perpres 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang didalamnya ada pembatasan Pertalite maupun solar.
"Nah setelah ada mekanismenya kemudian perpresnya harus diubah dulu, Perpres 191, sosialisasi nah baru pembatasan dilakukan," urainya.
Presiden Jokowi Buka Suara, Mentahkan Isu Pembatasan BBM
Setelah beberapa waktu menjadi isu yang terus berkembang, perihal rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akhirnya dimnetahkan. Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dengan pasti mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada pemikiran untuk menerapkan kebijakan tersebut.
"Ndak, ndak, ndak ada. Belum ada pemikiran ke sana. Belum rapat juga," tegas Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Isu pembatasan BBM bersubsidi mengemuka setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan hal itu melalui akun media sosialnya. Ia menuturkan, pembelian BBM subsidi akan dibatasi agar lebih tepat sasaran. Kkebijakan itu menurutnya akan dilakukan mulai 17 Agustus 2024.
"Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangin. Kita hitung di situ," ungkap Luhut dalam unggahannya di Instagram.
Namun, rencana pembatasan itu menjadi kabur setelah pejabat pemerintah lainnya membantah jika hal itu telah menjadi kebijakan. Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengemukakan bahwa tidak ada pembatasan, dan pemerintah masih melakukan kajian terkait kebijakan subsidi BBM.
Setelah bantahan terakhir disuarakan Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun kembali menegaskan bahwa sejauh ini tidak ada rencana pemerintah untuk membatasi pembelian BBM bersubsidi. Menurut Airlangga, Pemerintah hanya akan melihat seberapa besar kebutuhan BBM bersubsidi di tengah masyarakat.
Selanjutnya, menurut Airlangga, pemerintah akan melakukan pemetaan berdasarkan wilayah untuk memastikan penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran. "Tidak ada pembatasan, tetapi kita akan melihat berapa sebetulnya kebutuhan untuk desil yang tepat," kata Airlangga.
Subsidi Jadi Beban, Skenario Baru Disiapkan Agar Tepat Sasaran
Setelah resmi menegaskan tidak ada skenario pembatasan, Pemerintah menyiapkan skenario lain untuk mengatur konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah mengkaji upaya lain agar distribusi BBM subsidi tepat sasaran.
Namun, sejauh ini belum ada gambaran bagaimana skenario tersebut akan dijalankan. Airlangga hanya mengatakan bahwa nantinya skenario tersebut terlebih dulu akan dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Tentu kita sedang siapkan, nah nanti skenarionya dilaporkan ke Pak Presiden," jelas Airlangga ketika ditemui di Kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Sebelumnya, Airlangga mengatakan bahwa Pemerintah akan melihat terlebih dulu seberapa besar kebutuhan BBM bersubsidi di tengah masyarakat. Pemerintah akan melakukan pemetaan berdasarkan wilayah untuk penyaluran BBM bersubsidi yang tepat sasaran. Yang pasti, kata Airlangga, skenario tersebut tidak akan melibatkan upaya membatasi pembelian BBM subsidi. "Skenario terkait dengan program, tidak ada pembatasan BBM," tegasnya.
Airlangga juga mengatakan bahwa skenario tersebut akan disosialisasikan terlebih dulu sebelum diimplementasikan. "Jadi saya minta untuk sosialisasikan dulu, tidak ada pembatasan BBM," tutupnya.
Terlepas dari kebijakan apa yang akan diambil pemerintah nantinya, subsidi BBM sejak dulu diakui kerap menjadi beban, terutama di saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan naiknya harga minyak dunia.
Mengutip Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, pelemahan nilai rupiah berdampak terhadap keseimbangan fiskal karena mempengaruhi pos pendapatan dan belanja di APBN dan juga berdampak secara langsung terhadap harga energi.
Komaidi menegaskan, pelemahan rupiah dan/atau peningkatan harga minyak Indonesia (ICP) memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi, baik listrik, BBM, dan gas di dalam negeri. Peningkatan biaya pengadaan energi itu dapat disebabkan karena meningkatnya harga bahan baku dan/atau akibat selisih kurs rupiah.
Berdasarkan simulasi keterkaitan antara biaya pengadaan BBM dengan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah, jelas dia, ditemukan bahwa setiap peningkatan harga minyak mentah sebesar USD1 per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp150 per liter. Sementara, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per USD, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp100 per liter.
"Berdasarkan data, rata-rata realisasi kurs tengah Bank Indonesia selama 1 Januari-26 Juni 2024 adalah Rp15.892 per USD atau lebih tinggi Rp892 per USD dibandingkan asumsi APBN 2024. Jika mengacu pada hasil simulasi itu, pelemahan rupiah tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp705 untuk setiap liternya," jelasnya.
Menurut Komaidi, peningkatan biaya pengadaan BBM itu akan lebih besar lagi jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP pada periode yang sama, yang tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.
Terkait dengan itu, tegas Komaidi, jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai kuartal I-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, maka penyesuaian harga BBM memang menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah.
"Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri," ujarnya. Namun demikian, Komaidi berpesan, kendati menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, pemerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang mungkin timbul jika mengambil kebijakan kenaikan harga BBM.