Mengakhiri Dominasi Amerika Melalui Dedolarisasi
Mengakhiri Dominasi Amerika Melalui Dedolarisasi
Mohammad Faizal
Minggu, 07 Juli 2024, 15:24 WIB

Dipimpin Rusia dan China, gerakan dedolarisasi terus bergulir tanpa henti. Tujuan utamanya, mengakhiri dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan utama dunia.

Dipicu Sanksi, Dolar AS Diprediksi Bakal Kehilangan Dominasi

Dipicu Sanksi, Dolar AS Diprediksi Bakal Kehilangan Dominasi

Gerakan dedolarisasi atau menggantikan dolar Amerika Serikat (USD) dengan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan antarnegara makin gencar terjadi. Proses ini diyakini akan menyebabkan dolar AS kehilangan dominasinya sebagai mata uang utama dunia.

Konflik Rusia-Ukraina Februari tahun 2022 lalu bisa dibilang menjadi tonggak dimulainya gerakan dedolarisasi secara gencar. Sanksi Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia menyadarkan banyak negara untuk mengurangi ketergantungannya pada dolar AS.

Moskow berulang kali menyebut Amerika telah menggunakan dolar sebagai senjata untuk memaksakan kemauannya di dunia. Hal itu kembali ditegaskan oleh taipan Rusia, Andrey Melnichenko kepada jurnalis Amerika Tucker Carlson dalam wawancaranya belum lama ini.

Dalam wawancara hampir dua jam yang muncul di saluran YouTube Carlson pada Rabu (3/7), keduanya berbicara tentang berbagai hal, termasuk sanksi Barat yang dikenakan terhadap pengusaha atas konflik Ukraina.

Pendiri produsen pupuk EuroChem dan perusahaan penghasil batu bara SUEK dua dekade lalu itu termasuk dalam daftar sanksi AS dan Uni Eropa (UE) pada 2022, bersama dengan istrinya. Ia juga masuk daftar hitam oleh negara-negara Barat lainnya, termasuk Inggris dan Swiss.

Melnichenko mengklaim, bahwa mata uang cadangan dunia itu tidak akan mendominasi lagi sebagai akibat dari sanksi Barat. Menurut Melnichenko, proses dedolarisasi terus mendapatkan momentum di seluruh dunia, yang ditunjukkan bahwa saat ini lebih dari 50% perdagangan luar negeri China diselesaikan dalam mata uang selain greenback. Padahal, lebih dari satu dekade yang lalu, 90% perdagangan lintas batas negara itu dilakukan dalam USD.

Hal yang sama menurutnya juga terjadi di Rusia, ketika dolar masih menjadi mata uang paling dominan untuk ekspor dan impor. Tapi saat ini, kata Melnichenko, peran dolar AS hanya tersisa 14% saja.

"Dan proses yang sama terjadi di negara lain. Secara umum, saya pikir dolar akan kehilangan posisinya sebagai mata uang dunia yang dominan. Hal ini salah satu konsekuensi (dari sanksi)," ungkap pengusaha itu memprediksi.

Menurut Melnichenko, tatanan dunia multipolar baru saat ini sedang berlangsung. "Kita sedang melalui periode waktu ketika dominasi satu negara adidaya, Amerika Serikat, tidak akan lagi berada di masa depan dengan cara yang sama seperti sebelumnya," kata dia.

Dia juga memberikan catatan bahwa telah China tumbuh dengan kecepatan luar biasa untuk menjadi negara adidaya baru dunia. "Kita akan melihat setidaknya ada dua negara adidaya, yang dalam satu atau cara lain akan mengatur urusan dunia ke depan," ungkapnya.

Pilih Mata Uang Lokal, Negara-negara Ini Dorong Dedolarisasi

Pilih Mata Uang Lokal, Negara-negara Ini Dorong Dedolarisasi

Di tengah mengalirnya gerakan dedolarisasi, BRICS seolah menambah momentum dengan berupaya menciptakan mata uang cadangan baru yang didukung oleh mata uang negara masing-masing. Mata uang BRICS ini memungkinkan negara-negara ini menegaskan kemandirian ekonomi sambil bersaing dengan sistem keuangan internasional.

Saat ini, sistem yang ada didominasi oleh dolar AS, yang menyumbang sekitar 90% dari seluruh perdagangan mata uang. Hingga saat ini, hampir 100% perdagangan minyak dilakukan dalam dolar AS. Namun, hal itu mulai berubah seiring gencarnya dedolarisasi, di mana pada 2023 seperlima dari perdagangan minyak dilaporkan dilakukan dengan menggunakan mata uang non-dolar AS.

Perubahan situasi tersebut dipicu perang dagang AS dengan China, serta sanksi AS terhadap China dan Rusia. Apabila negara-negara BRICS membentuk mata uang cadangan baru, hal ini kemungkinan akan berdampak signifikan pada dolar AS. Pada gilirannya, hal ini akan berimplikasi pada Amerika Serikat dan ekonomi global.

Negara-negara BRICS memiliki banyak alasan mengapa mereka ingin meninggalkan dolar AS. Menyitir Investing News Network, mereka ingin melayani kepentingan ekonomi sendiri dengan lebih baik sambil mengurangi ketergantungan global terhadap dolar AS.

Berikut negara-negara yang mencari alternatif lain selain dolar AS untuk membiayai perdagangan dan investasi lintas negara:

1. China
China yang sejak lama menjadi pemegang teresar surat berharga AS terus mengurangi kepemilikan. Selain mengurangi kepemilikan dolar dalam cadangan devisa, China mulai gencar meningkatkan perdagangan dengan negara lain menggunakan mata uang lokal.

2. Brasil
Brasil juga terus menyerukan pengurangan ketergantungan pada dolar AS untuk perdagangan global. Negara ini antara lain telah memiliki kesepakatan dengan China untuk mengganti dolar AS dengan mata uang negara masing-masing, yakni yuan dan real sebagai alat transaksi dalam perdagangan bilateral.

3. Rusia
Sejak gencarnya dedolarisasi, yuan China sukses menggantikan dolar AS sebagai mata uang yang paling banyak diperdagangkan di Rusia. Yuan telah melampaui dolar dalam volume perdagangan sejak Februari 2023. Sebelum invasi, volume perdagangan yuan di Rusia sangat kecil.

4. India
India mulai menjalin kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi. Kerja sama demikian telah dilakukan dengan Malaysia dan akan segera dilakukan dengan Indonesia.

5. Indonesia
Meski tak gembar-gembor mengikuti tren dedolarisasi, sejatinya Indonesia telah mengurangi penggunaan dolar AS dalam perdagangan antarnegara. Hal itu diterapkan Indonesia melalui kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan investasi dengan sejumlah negara, seperti Jepang, China, dan Thailand.

Selain dengan negara-negara tersebut, Bank Indonesia juga tengah mendorong kerja sama pembayaran lintas negara di antara negara-negara ASEAN. BI juga mendorong perluasan kerja sama penggunaan mata uang lokal dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, India, dan Arab Saudi.

Transaksi Rusia dan Negara SCO 92% Gunakan Mata Uang Lokal

Transaksi Rusia dan Negara SCO 92% Gunakan Mata Uang Lokal

Tak hanya melalui BRICS, dedolarisasi juga didorong melalui organisasi lainnya, seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO). Organisasi ini terus meningkatkan penggunaan mata uang lokal untuk mempercepat dedolarisasi .

Didirikan pada tahun 2001, SCO adalah blok ekonomi dan keamanan yang mencakup sebagian besar Eurasia dan menyumbang lebih dari 20% dari PDB global. Organisasi ini terdiri dari India, Iran, Kazakhstan, China, Kirgistan, Rusia, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan sekarang Belarus. Saat ini total ada 14 negara, termasuk Mesir sebagai satu-satunya wakil dari Afrika yang memegang status mitra dialog SCO, sehingga memungkinkan untuk berpartisipasi dalam acara khusus organisasi atas undangan anggotanya.

Berbicara pada pertemuan Dewan Kepala Negara, Presiden Rusia Vladimir Putin dalam KTT SCO di Astana, Kazakhstan, Kamis (4/7/2024) lalu mengatakan bahwa anggota SCO telah meningkatkan penggunaan mata uang nasional dalam penyelesaian perdagangan bersama. "Misalnya dalam transaksi komersial Rusia dengan anggota organisasi telah melebihi 92% dalam empat bulan pertama tahun ini," tegasnya.

Tren global untuk menggunakan mata uang nasional dalam perdagangan memperoleh momentum signifikan setelah Rusia terputus dari sistem keuangan Barat dan cadangan devisanya dibekukan pada tahun 2022. Putin juga menegaskan, kembali proposal Rusia untuk menciptakan mekanisme independen dalam menyelesaikan pembayaran di SCO.

Ia juga menambahkan, bahwa pertemuan antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral membantu meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi dalam organisasi. Awal tahun ini, kepala bank sentral Rusia, Elvira Nabiullina mencatat bahwa lebih banyak negara meragukan SWIFT Barat, setelah banyak bank Rusia terputus dari sistem pesan keuangan yang berbasis di Belgia setelah perang Ukraina pecah pada 2022.

Makin Semangat, BRICS Incar Sektor Baru Perluas Dedolarisasi

Makin Semangat, BRICS Incar Sektor Baru Perluas Dedolarisasi

Setelah menerapkan penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal untuk perdagangan minyak, BRICS disebut-sebut akan memperluas dedolarisasi dengan menerapkan hal serupa untuk sektor-sektor lainnya. Terkini, BRICS menargetkan dedolarisasi di pasar biji-bijian.

Para pejabat Rusia disebut tengah berupaya menciptakan pertukaran biji-bijian yang memungkinkan pembelian biji-bijian langsung dari produsen. Selain itu, hal ini akan memungkinkan negara-negara untuk menyepakati penyelesaian non-dolar.

Negara-negara BRICS secara bersama-sama memproduksi sekitar 40% biji-bijian global. Fakta tersebut menunjukkan betapa pentingnya blok tersebut secara global. Penerapan pertukaran gandum akan berdampak besar bukan hanya untuk mata uang lokal, tapi juga mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

"Kami berterima kasih kepada semua negara anggota BRICS atas dukungan mereka terhadap inisiatif Rusia untuk menciptakan (platform) pertukaran biji-bijian BRICS," kata Menteri Pertanian Rusia Oksana Lut seperti dilansir WatcherGuru, Selasa (2/7/2024).

Lut mengatakan bahwa sesuai dengan instruksi Presiden Vladimir Putin, pihaknya akan bekerja sama dengan anggota BRICS lainnya dalam pembuatan dan pengembangan platform penyelesaian perdagangan biji-bijian dalam mata uang nasional.

Di sektor perminyakan, langkah dedolarisasi BRICS telah berhasil mengurangi peran penting dolar AS. Pada 2023, sekitar seperlima dari perdagangan minyak dilaporkan dilakukan dengan menggunakan mata uang non-dolar AS. China misalnya, pembeli energi utama dunia ini telah menggunakan yuan untuk hampir seluruh minyak Rusia yang dibelinya.

Di sisi lain, produsen minyak terbesar di dunia kini juga tergabung dalam aliansi BRICS. Di antara sembilan produsen raksasa minyak global, Arab Saudi, Rusia, China, Brasil, Iran, dan Uni Emirat Arab (UEA) adalah anggota aliansi BRICS.
(fjo)