Prabowo Butuh Kelompok Kritis, PDIP dan PKS Jadi Harapan
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Foto/MPI/Arif JuliantoPrabowo Subianto sebagai Presiden terpilih tetap membutuhkan kelompok kritis dalam pemerintahannya mendatang. PDIP dan PKS diharapkan mengambil peran tersebut.
Pengamat politik Hendri Satrio (Hensat) menilai, peran oposisi atau pihak yang berada di luar kekuasaan masih sangat dibutuhkan untuk diambil oleh beberapa partai politik. Dia mengaku tak bisa membayangkan apabila tidak ada satu pun partai politik yang mengambil peran sebagai oposisi. Hensat berpandangan, hal ini justru membahayakan bagi pemerintahan Prabowo itu sendiri.
"Sekarang kalau dalam pemerintahan, tidak ada yang miliki suara kritis, mau jadi apa pemerintahannya? Kualitas programnya itu siapa yang mau nilai? Maksud saya adalah tetap saja Pak Prabowo butuh kelompok kritis," kata Hensat dalam dialog spesial Rakyat Bersuara bertajuk 'Ramai Koalisi Negeri Tanpa Oposisi' yang digelar
iNews, Selasa (30/4/2024).
Hensat menaruh harapan besar masih ada partai politik yang akan mengisi peran tersebut dalam pemerintahan ke depan. Secara khusus, dia menaruh harapan kepada PDIP dan PKS sebagai partai politik yang sudah berpengalaman berada di luar pemerintahan.
"Saya sih berdoa PDI Perjuangan dan PKS tetap di luar," ujarnya.
Hensat melihat, jika PDIP dan PKS memutuskan untuk berada di luar pemerintahan, keduanya sudah mengambil peran yang sangat luar biasa. "Bayangkan saja, kalau misalkan PDI Perjuangan dan PKS berada di luar, sangat mungkin kan terjadi rekonsiliasi ideologis antara PKS yang kanan banget dan PDI Perjuangan yang nasionalis yang katanya kiri banget. Nah itu kalau dua-duanya bersatu, itu luar biasa banget," ujarnya.
Namun, Hensat memprediksi PKS akan langsung menerima untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran apabila langsung diajak Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih. "PKS kalau diajak sangat mungkin masuk ya," katanya.
Hensat pun turut berkomentar soal Partai Gelora yang menolak PKS bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. "Mohon maaf lahir batin nih teman-teman Gelora. Buat Pak Prabowo, PKS itu lebih berguna di parlemen daripada Gelora. Jadi, kalau misalnya Pak Prabowo bilang PKS masuk aja, Gelora mau marah-marah terus keluar dari koalisi? Nggak mungkin," ujarnya.
Diketahui, berdasarkan hasil Pemilu 2024,PKS meraih 12.781.353 suara atau setara 8,42 persen. Sementara,Gelora meraih 1.281.991 suara atau 0,84 persen. Dengan demikian, Gelora gagal melenggang ke Senayan.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengharapkan agar PDIP tetap beroposisi dan tak gabung dalam koalisi Prabowo-Gibran.
"Kalau PDIP beroposisi, bebas dia ngomong, tapi kalau PDIP tidak beroposisi, agak melipir juga sedikit dia, tapi kita harapkan PDIP beroposisi yah, jangan kayak pendukung partai 01 yah, belum apa-apa sudah melipir dan menyampaikan selamat pula," ujar Refly Harun dalam Rakyat Bersuara, Selasa (30/4/2024) malam.
Refly pun menyebutkan, berbicara tentang fatsun politik, harusnya yang kalah berada di oposisi. Cuma, susahnya kubu Prabowo itu menggoda dan yang digoda gampang sekali tergoda. Harusnya, kata dia, partai pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, yakni Nasdem, PKB, dan PKS tetap berada di jalur oposisi.
"Tetapi, sepertinya kita hanya bisa berharap dari satu partai saja, yaitu PKS. Itu pun PKS sudah menyodorkan diri. Sudah mau kasih karpet merah, tetapi Prabowo-Gibran tidak datang, lebih memilih ke NU, kan sudah dilepeh itu namanya, sudah tak perlu lagi menyorongkan diri," tuturnya.
Refly menerangkan, mengharapkan partai pendukung Anies-Muhaimin untuk menjadi opisisi harus dilihat mentalitas partai dalam Koalisi Perubahan tersebut. Dari tiga partai tersebut, PKB bisa disebut mualaf oposisi karena baru mulai September 2023. Itu pun tidak menyeluruh karena menterinya masih ada di Kabinet Indonesia Maju.
"Kemudian Nasdem juga tidak punya sejarah oposisi, baru beroposisi 3 Oktober 2022. Hanya PKS yang sudah pengalaman beroposisi."
Diketahui, selama hampir 10 tahun pemerintahan Jokowi, PKS berada di luar pemerintahan. Dalam pengesahan beberapa undang-undang di DPR, PKS pun tak jarang menolaknya.
Refly menambahkan, menjadi oposisi memang tak enak bagi orang yang punya masalah hidup, masalah ingin berkuasa, masalah bisnis, masalah keluarga, masalah takut manusia. Tapi, bagi orang yang independen, yang tak punya kepentingan bisnis, yang tak punya gerbong, dan lain sebagainya, beroposisi itu sangatlah enak.
Sementara, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam mengatakan, jika PDIP dan PKS menjadi kekuatan oposisi, hal itu akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, PDIP dan PKS ibarat air dan minyak, basis ideologinya sangat berbeda bahkan bertolak belakang.
"Kedua partai itu memang berpeluang bisa memainkan peran kritis dalam konteks kebijakan publik, namun akan kesulitan untuk membangun gerakan politik oposisional yang solid dan memadai karena ada akar faksinalisme akut akibat perbedaan ideologi," kata Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina ini kepada SINDOnews, 25 April 2024.
Felldy Utama, Ari Sandita, Dzikry Subhanie