Kejahatan Kemanusiaan Israel di Gaza
Mohammad Faizal
Rabu, 18 Oktober 2023, 15:25 WIB
Tak mengindahkan keprihatinan dunia, serangan udara brutal Israel sejak perang pecah 7 Oktober lalu telah menewaskan sekitar 3.000 orang penduduk Palestina.
Israel Bom RS Baptis Al-Ahli di Gaza, 500 Orang Tewas
Militer Israel mengebom Rumah Sakit (RS) Baptis Al-Ahli di Jalur Gaza, Palestina, pada hari Selasa (17/10). Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan, setidaknya 500 orang tewas akibat serangan tak berperi kemanusiaan tersebut.
Serangan udara ini menjadi serangan Israel yang paling mematikan dalam lima perang yang terjadi sejak 2008. Foto-foto dari RS Baptis al-Ahli menunjukkan api melalap aula rumah sakit, pecahan kaca dan bagian tubuh manusia berserakan di seluruh area.
Israel tanpa ragu menargetkan rumah sakit di Kota Gaza, meski tahu bahwa rumah sakit telah menjadi tempat perlindungan bagi ratusan orang yang berharap mereka terhindar dari serangan udara membabi buta yang dilakukan Israel di jalur Gaza.
Tak hanya itu, Israel bahkan tanpa malu menyalahkan kehancuran rumah sakit tersebut akibat peluncuran roket yang gagal oleh kelompok pejuang Palestina, setelah menghapus jejak digital yang ada. Padahal, sebelumnya militer Israel melalui tweet mengakui telah mengebom rumah sakit tersebut dengan alasan menggempur pejuang Hamas yang bermarkas di sana.
Para petugas medis menyebut serangan Israel tersebut sebagai genosida, kejahatan perang, dan pembantaian. “Ini adalah genosida. Ini adalah kejahatan perang,” kata Nebal Farsakh, petugas medis dari Bulan Sabit Merah Palestina kepada Al Jazeera, Rabu (18/10/2023).
Dia menjelaskan bahwa selain pasien yang berada di dalam, banyak warga sipil Palestina yang mencari perlindungan di kompleks rumah sakit, setelah Israel memerintahkan semua orang di utara Gaza untuk pergi.
“Mereka yang berada di depan rumah sakit terpaksa meninggalkan rumahnya atas perintah evakuasi. Mereka bahkan tidak mampu mengungsi ke selatan. Terjadi kehancuran total pada infrastruktur dan transportasi,” katanya.
“Apa yang terjadi sangat buruk karena orang-orang ini, semuanya adalah warga sipil. Mereka meninggalkan rumah mereka dan mencapai tempat yang mereka yakini aman - sebuah rumah sakit, yang menurut hukum internasional adalah tempat yang aman,” imbuh Ziad Shehadah, seorang dokter di Gaza, kepada Al Jazeera.
“Orang-orang meninggalkan rumah mereka karena berpikir bahwa rumah mereka lebih berbahaya dan mereka pindah ke sekolah dan rumah sakit agar aman. Dan dalam satu menit, mereka semua terbunuh di rumah sakit.” Menurut Shehadah, jumlah korban tewas dikhawatirkan bisa mencapai lebih dari 1.000 orang. “Ini adalah pembantaian,” ujarnya.
Rumah Sakit Baptis Al-Ahli dijalankan oleh Keuskupan Episkopal Yerusalem, sebuah denominasi Kristen Anglikan. Kehancurannya dikecam antara lain oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Mesir, Qatar dan Türki.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh bersikeras bahwa kebrutalan yang dilakukan Israel menegaskan “kekalahan” mereka pada tanggal 7 Oktober, dan mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS)-lah yang pada akhirnya harus disalahkan.
“AS bertanggung jawab atas serangan rumah sakit tersebut karena kedok yang mereka berikan terhadap agresi Israel,” kata Haniyeh.
Rusia dan Uni Emirat Arab telah menyerukan sidang darurat Dewan Keamanan PBB pada hari Rabu, untuk membahas serangan rumah sakit di Gaza.
Israel Tolak Buka Blokade Jalur Gaza untuk Bantuan Kemanusiaan
Israel bersikeras menolak masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza sembari terus melakukan pengeboman tanpa henti yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban. Israel telah mengepung Jalur Gaza sebagai respons atas serangan mendadak yang dilakukan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.
Negara Zionis itu juga meluncurkan kampanye pengeboman paling dahsyat dalam 75 tahun sejarah konflik Israel-Palestina, yang menghancurkan seluruh wilayah itu. Menteri Energi Israel, Israel Katz mengatakan, tidak ada pengecualian terhadap pengepungan tanpa pembebasan sandera Israel.
"Bantuan kemanusiaan ke Gaza? Tidak ada saklar listrik yang akan dicabut, tidak ada hidran air yang akan dibuka dan tidak ada truk bahan bakar yang akan masuk sampai para sandera Israel dipulangkan," tulis Katz di platform media sosial X.
Satu-satunya pembangkit yang memasok listrik ke Jalur Gaza juga telah dimatikan dan rumah sakit kehabisan bahan bakar untuk generator darurat. "Penderitaan manusia yang disebabkan oleh eskalasi ini sangat menjijikkan, dan saya mohon kepada semua pihak untuk mengurangi penderitaan warga sipil,” kata Fabrizio Carboni, Direktur Regional Komite Palang Merah Internasional, dalam sebuah pernyataan.
“Ketika Gaza kehilangan aliran listrik, rumah sakit pun kehilangan pasokan listrik, sehingga bayi baru lahir yang berada di inkubator dan pasien lanjut usia yang membutuhkan oksigen berada dalam risiko. Dialisis ginjal berhenti, dan rontgen tidak dapat dilakukan. Tanpa listrik, rumah sakit berisiko berubah menjadi kamar mayat," tukasnya.
Ketika petugas penyelamat Palestina kewalahan, petugas penyelamat lainnya di jalur pantai yang padat mencari mayat di reruntuhan. “Saya sedang tidur di sini ketika rumah itu roboh menimpa saya,” teriak seorang pria sambil menggunakan senter di tangga gedung yang terkena rudal untuk menemukan siapa pun yang terjebak.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di wilayah kantong tersebut, sekitar 340.000 dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang, dan sekitar 65% dari mereka mencari perlindungan di tempat penampungan atau sekolah.
Ketika krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin parah, dengan kekurangan makanan, bahan bakar dan air, bantuan kemanusiaan dari beberapa negara masih tertahan di Mesir sambil menunggu kesepakatan untuk pengiriman yang aman ke Gaza dan evakuasi beberapa pemegang paspor asing melintasi perbatasan melalui Rafah.
Menurut PBB, cadangan bahan bakar di semua rumah sakit di wilayah kantong tersebut diperkirakan akan bertahan sekitar 24 jam lagi. Pada Senin (17/10), kantor Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tidak ada gencatan senjata untuk bantuan kemanusiaan ke Gaza sebagai imbalan atas keluarnya warga asing.
Komunitas internasional telah berulang kali meminta agar pejabat Israel membuka 'koridor aman' bagi warga Gaza. Pada Minggu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) secara resmi mengumumkan pembukaan koridor evakuasi dari bagian utara Gaza ke wilayah selatan.
Hanya ada tiga pos pemeriksaan yang tersedia untuk keluar dari Jalur Gaza: Erez dan Kerem Shalom ke Israel dan Rafah ke Mesir. Pos pemeriksaan pertama, Erez, terletak di perbatasan utara dari Gaza ke Israel, berfungsi secara eksklusif untuk membiarkan orang lewat. Pos Erez hancur total selama serangan mendadak Hamas ke Israel selatan pada tanggal 7 Oktober.
Nasib yang sama menimpa Kerem Shalom, pos pemeriksaan kedua pada pagi serangan Hamas itu. Itu satu-satunya pagi yang mengizinkan semua kargo besar memasuki Gaza, karena blokade ekonomi yang diberlakukan Israel di Jalur Gaza di bawah pemerintahan Hamas pada tahun 2007. Untuk saat ini, hanya pos pemeriksaan Rafah ke Mesir yang tersedia untuk operasi, tetapi situasi di persimpangan masih belum jelas.
Baru-baru ini, Mesir menutup pos pemeriksaan tersebut karena dibombardir tentara Israel sejak pekan lalu. Sementara itu, Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina sedang menunggu pos pemeriksaan Rafah dibuka secara resmi.
Menurut perwakilan Bulan Sabit Merah Palestina Neebal Farsakh kepada Sputnik. “Sampai saat ini Bulan Sabit Merah belum mendapat informasi mengenai pembukaan pos pemeriksaan Rafah untuk bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Meskipun kami adalah pihak yang bertanggung jawab atas pengiriman bantuan kemanusiaan, kami terus menunggu pemberitahuan resmi mengenai pembukaan pos pemeriksaan, sehingga kru kami dapat dengan aman mencapai, membawa, dan mendistribusikan bantuan kepada mereka yang terkena dampak,” ujar Farsakh kepada Sputnik.
Sementara pos pemeriksaan Rafah masih ditutup, Mesir mengumpulkan bantuan kemanusiaan di bandara El-Arish, karena tidak hanya Mesir, tetapi juga Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Turki mengirimkan bantuan.
Direktur Forum Timur Tengah untuk Kajian Strategis Samir Ghattas kepada Sputnik mengatakan, pada hari Minggu, Mesir telah mengerahkan konvoi panjang kendaraan yang membawa bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, obat-obatan dan kebutuhan pokok. Namun, Israel tidak mengizinkan kargo tersebut lewat, dan menembaki pos pemeriksaan.
"Pihak Israel kemudian mengumumkan mereka tidak akan mengizinkan masuknya bantuan darat dari Mesir atau negara lain,” ujar dia.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengatakan pada Kamis bahwa penduduk Gaza harus “tetap tabah dan tetap berada di tanah mereka”. Sejauh ini, puluhan truk bantuan kemanusiaan untuk Gaza masih menunggu di dekat pos pemeriksaan Rafah di sisi Mesir, sementara Kairo menunggu persetujuan dan jaminan keamanan dari Israel untuk memasuki wilayah kantong tersebut.
Dibombardir Tanpa Henti, Lebih dari 1 Juta Warga Gaza Mengungsi
Lebih dari 1 juta penduduk Jalur Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat brutalnya serangan Israel di wilayah tersebut. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) mengumumkan hal itu pada Senin (16/10/2023).
"Lebih dari 1 juta orang, hampir setengah dari total penduduk Gaza, telah mengungsi," ungkap pernyataan badan PBB itu. "Sekitar 600.000 pengungsi internal berada di selatan Jalur Gaza, dan hampir 400.000 di antaranya berada di fasilitas UNRWA, yang secara signifikan melebihi kapasitas mereka untuk membantu dengan cara apa pun,” ungkap pernyataan itu.
Warga Palestina keluar dari Gaza utara untuk hari ketiga berturut-turut pada Minggu, ketika serangan udara Israel makin intens menghantam daerah kantong tersebut. Israel pun gencar memaksa warga mengungsi dengan dalih akan melakukan invasi darat.
Israel memerintahkan sekitar 1,1 juta warga Palestina meninggalkan rumah mereka pada Jumat tanpa memberikan jaminan kepulangan mereka. Israel telah melancarkan pemboman paling dahsyat di Jalur Gaza yang miskin dan salah satu daerah terpadat di dunia.
Hal yang jauh lebih buruk diperkirakan akan terjadi dalam beberapa hari mendatang, sehingga mendorong banyak orang untuk mencari perlindungan yang aman di mana pun mereka bisa. Raeda Ashqar (45) termasuk di antara ribuan warga Palestina yang telah meninggalkan rumah mereka. Dia mengatakan kepada Middle East Eye bahwa dia siap melakukan apa pun yang diperlukan demi kelangsungan hidup keluarganya.
Dia meninggalkan Gaza utara bersama keempat anaknya setelah mencari perlindungan di apartemen menantu perempuannya di selatan. “Beberapa teman kami yang melarikan diri mengatakan kepada kami bahwa mereka harus tidur di kursi karena terbatasnya ruang di rumah tempat mereka mencari perlindungan,” ujar Ashqar kepada MEE, seraya menambahkan dia tidak merasa ragu harus berbagi apartemen kecil dengan empat keluarga lain.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan bagi jutaan warga Palestina. Lembaga itu meminta pihak berwenang Israel pada Sabtu untuk memastikan keselamatan semua warga sipil yang mencari perlindungan di fasilitas-fasilitasnya di seluruh wilayah tersebut.
“Perang mempunyai aturan,” ujar badan tersebut. “Warga sipil, rumah sakit, sekolah, klinik, dan kantor PBB tidak bisa menjadi sasaran.” “UNRWA tidak melakukan upaya apa pun untuk melakukan advokasi kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional untuk melindungi warga sipil,” pungkas lembaga PBB itu.
Namun, peringatan tersebut kerap tak diindahkan militer Israel yang tak hanya mengebom kawasan permukiman penduduk, namun juga rumah sakit, sekolah dan rumah ibadah yang pada saat krisis umumnya menjadi tempat perlindungan penduduk.
Serangan Udara Membabi buta Israel Bunuh 2.269 Warga Palestina
Hanya dalam kurun waktu seminggu, serangan brutal Israel ke Tepi Barat dan Jalur Gaza telah menyebabkan setidaknya 2.269 warga Palestina tewas dan 9.814 lainnya. Hal itu dilaporkan Kementerian Kesehatan Palestina pada Sabtu (14/10) waktu setempat.
"Korban tewas termasuk 2.215 orang tewas di Gaza dan 8.714 orang luka-luka. Sebanyak 54 orang lainnya yang tewas dan 1.100 orang terluka berasal dari Tepi Barat," tambah laporan itu seperti dikutip dari Al Arabiya, Minggu (15/10/2023).
Kementerian Kesehatan Gaza pada Sabtu melaporkan serangan udara Israel di Jalur Gaza selama 24 jam terakhir telah menewaskan sedikitnya 324 warga Palestina dan melukai 1.000 lainnya. Berdalih menyerang para pejuang Hamas, sebuan Israel tersebut menewaskan sedikitnya 126 anak-anak dan 88 wanita.
Israel melancarkan serangan membabi buta ke Jalur Gaza setelah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, melancarkan serangan mendadak pada Sabtu (7/10) lalu, yang menewaskan lebih dari 1.300 orang. Militer Israel, IDF, telah memberikan indikasi paling jelas bahwa pasukannya sedang bersiap untuk menyerang Jalur Gaza.
IDF telah menyerbu perbatasan Gaza dengan pasukan dan peralatan militer. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan hanya beberapa jam setelah batas waktu evakuasi di Gaza utara berakhir – memaksa ratusan ribu warga sipil yang panik mengungsi ke selatan, tanpa makanan atau tempat berlindung – Pasukan Pertahanan Israel mengatakan mereka sedang bersiap untuk tahap perang selanjutnya.
Juru bicara IDF mengatakan kepada CNN bahwa pihaknya akan memulai operasi militer besar-besaran di Gaza setelah melihat warga sipil telah meninggalkan wilayah tersebut. Militer Israel menyebut sikap mereka yang terlebih dulu memberikan "peringatan" sebagai tindakan yang "murah hati".
“Sangat penting bagi masyarakat Gaza untuk mengetahui bahwa kami sangat bermurah hati dengan waktu yang diberikan. Kami telah memberikan peringatan yang cukup, lebih dari 25 jam. Saya tidak bisa cukup menekankan untuk mengatakan sekarang adalah waktu bagi warga Gaza untuk pergi,” kata Letnan Kolonel Jonathan Conricus.
“Ambil barang-barangmu, pergi ke selatan. Pertahankan hidup Anda, dan jangan jatuh ke dalam perangkap yang Hamas siapkan untuk Anda,” serunya.