Link Copied
Sibuk Gerilya Calon RI 2

Sibuk Gerilya Calon RI 2

By Zen Teguh Triwibowo
Berbanding terbalik dengan bakal calon presiden 2024, kandidat cawapres masih samar. Sejumlah nama mencuat, tapi tiket belum didapat. Semua sibuk bergerilya.

Dari Sandiaga, Erick Thohir, TGB hingga AHY

Dari Sandiaga, Erick Thohir, TGB hingga AHY

BURSA
kandidat calon wakil presiden 2024 terus menghangat. Sejumlah nama disebut-sebut layak maju ke panggung perebutan kursi RI 2. Nama-nama ini sesungguhnya telah beredar lama karena kerap menghiasi hasil jajak pendapat lembaga survei. Toh, hingga saat ini belum ada kata final.

Nama-nama itu antara lain Sandiaga Salahuddin Uno, Mahfud MD, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Erick Thohir hingga Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Ternyar, muncul pula kans kuat dari Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang kini bepredikat Ketua Harian Nasional DPP Partai Perindo.

TGB mengemuka setelah Perindo resmi menjadi bagian koalisi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Sebagai sosok nasionalis religious, TGB dinilai pantas untuk mendampingi Ganjar mengarungi palagan pemilihan 2024. Popularitas dan elektabilitasnya juga meyakinkan.

Dari survei Indonesia Political Opinion (IPO), misalnya, nama TGB melesat ke jajaran tiga besar. Untuk sementara, mantan gubernur Nusa Tenggara Barat yang juga seorang hafidz Alquran itu meraupun elektabilitas 8,3% di bawah Erick Thohir dan Mahfud MD.

Di sisi lain, bukan tanpa alasan Partai Perindo mendorong nama TGB. Menurut Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi Perindo Yusuf Lakaseng, TGB memiliki rekam jejak yang mumpuni untuk mendampingi Ganjar.

“Iya saya kira survei itu satu potret bahwa masyarakat menganggap ada chemistry yang cocok antara Ganjar dan TGB ya. Dan saya kira kami menawarkan TGB bukan figur kaleng-kaleng, kalau dilihat track record-nya mumpuni banget,” kata Yusuf dalam Polemik MNC Trijaya yang berjudul “Cawapres Adalah Koentji”, Sabtu (17/6/2023).

Masih di barisan Ganjar, nama Sandiaga Salahuddin Uno juga disorongkan sebagai calon RI 2. Seperti diketahui, menteri pariwisata dan ekonomi kreatif itu telah resmi berbaju hijau alias menggenggam kartu tanda anggota PPP. Sandi diplot Partai Kakbah—bagian dari parpol koalisi PDIP dan Perindo--menjadi pendamping Ganjar.

Dari Sandiaga, Erick Thohir, TGB hingga AHY


"PPP melalui perdebatan sengit sampai dini hari tadi dengan mempertimbangkan berbagai aspek mengusulkan Pak Sandiaga Uno agar diperjuangkan melalui meja perundingan terhadap partai-partai politik yang akan bekerja sama politik terutama adalah dengan PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri agar PPP memperjuangkan nanti Pak Sandiaga Salahuddin Uno bisa mendampingi Pak Ganjar Pranowo dalam Pemilu Presiden 2024 yang akan datang," tutur Plt Ketua Umum PPP Mardiono.

Ganjar merespons baik kemunculan nama TGB dan Sandi dari barisan koalisi pengusung. Khusus TGB, politikus Partai Banteng itu bahkan telah mengenalnya sejak mereka sama-sama di DPR. Menurut dia, tidak masalah siapa pun diusulkan, nanti partai yang akan menentukan.

Setali Tiga Uang Prabowo dan Anies

Sebagaimana Ganjar, bakal calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto juga belum mendapatkan pendamping tepat untuk melayari samudera pesta demokrasi. Senasib, bacapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan juga masih single.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menegaskan, cawapres Prabowo masih terus digodok. Nama-nama yang dinilai layak tentu masih dalam kajian dan pertimbangan. Namun intinya, penentu keputusan capres-cawapres di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yaitu Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin). “Jadi sabar aja dulu ini, karena H minus 1 jam pun juga bisa berubah,” kata perempuan yang akrab disapa Sara ini.

Lantas bagiamana dengan Cak Imin yang terang-terangan berharap dapat maju sebagai kandidat RI 2? Sampai saat ini memang belum ada keputusan resmi. Cak Imin juga mengakui kapan hal cawapres KKIR ditentukan. Sepanjang itu belum terjadi, semua tokoh punya peluang.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Desmond J Mahesa membantah terjadi deadlock atau kebuntuan dalam penentuan calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto. Menurutnya, sudah disepakati bahwa Gerindra akan mengikuti pilihan PKB sebagai kawan koalisi.

"Tidak deadlock karena kita sepakat wakil kita adalah dari PKB. Jadi kalau ada yang bilang deadlock enggak, tergantung kita saja menunjuk siapa. Kalau PKB nunjuk Cak Imin, ya itulah wakil Pak Prabowo. Kalau PKB nunjuk yang lain, ya itu wakil Prabowo. Asal dari usulan PKB," kata Desmond di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/5/2023).

Dari Sandiaga, Erick Thohir, TGB hingga AHY


Kebimbangan dan kerumitan menentukan cawapres juga tampak di Koalisi Perubahan yang dimotori Nasdem, PKS dan Partai Demokrat. Narasi politik yang sempat menggelontor perbincangan publik saat ini yaitu Demokrat ingin AHY menjadi pendamping Anies. Persoalannya, Nasdem belum melihat AHY ‘barang bagus’ untuk diajak bertempur.

Benarkah demikian? Setelah melalui berbagai gerilya termasuk hingga Pacitan (kampung halaman Susilo Bambang Yudhoyono), kebuntuan demi kebuntuan mulai menemukan titik terang. Nasdem mengeklaim cawapres Anies telah mengkristal pada satu nama. "Kita sudah sampaikan satu nama ke Pak Anies," kata Ketua DPP Partai Nasdem Taufik Basari.

Partai Demokrat setali tiga uang. Mereka memastikan dari sejumlah nama yang sebelumnya ditelisik, akhirnya bermuara pada satu sosok. Soal siapa dia, Demokrat enggan membocorkan. Yang jelas, kepastian satu nama itu bukan sekadar pemanis politik. Sekjen DPP Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menekankan, sesuai piagam Koalisi Perubahan, tiga partai sudah menyerahkan sepenuhnya keputusan cawapres kepada Anies.

“Karena itu terkait pemilihan nama dan kapan akan dideklarasikan adalah hak prerogatif Anies,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengungkapkan, selain popularitas dan elektabilitas, faktor tokoh dalam bersikap juga menjadi penentu bagi elite parpol dalam menentukan cawapres. Dedi berpandangan, figur yang dipilih sebagai cawapres adalah tokoh yang tidak tidak mengganggu kontestasi di tingkat masyarakat, juga tidak mengganggu kepentingan elite. [tim sindonews]

Tak Cukup Modal Popularitas dan Elektabilitas

Tak Cukup Modal Popularitas dan Elektabilitas

MENCARI sosok cawapres dianggap gampang-gampang susah. Gampang karena sejumlah tokoh yang dinilai layak dan mumpuni telah bertebaran. Sulit karena modal popularitas saja tidak cukup. Partai koalisi membutuhkan elektabilitas demi melempangkan jalan bagi capres agar menang pencoblosan.

Persoalannya, popularitas dan elektabilitas juga tidak cukup. Banyak faktor penentu lain yang bisa menjadikan partai koalisi memutuskan seseorang menjadi cawapres. Sebagai contoh, dalam politik praktis di Indonesia lazim memperhitungkan apakah harus duet nasionalis-religius, jawa-luar jawa, atau sipil-militer dan lain-lain. Tapi prinsip utamanya, cawapres harus lah berdaya jual tinggi.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, dari hasil survei tiga nama calon presiden: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, belum pernah ada yang mencapai angka psikologis 60 persen. Artinya, sosok cawapres yang dapat membantu mengerek elektabilitas mereka menjadi keniscayaan tak terbantahkan.

"Sejak saya mempelajari perilaku pemilih (voting behavior), dugaan saya Pemilu 2024 adalah kontestasi elektoral paling sengit karena perbedaan elektoral capres naik turun seperti rool coster dan saling salip. Peran cawapres menjadi sangat krusial," katanya.

Pangi menegaskan, variabel jawa luar jawa, perempuan, soal sipil atau militer sesungguhnya tidak terlalu dominan dalam sebuah penentuan cawapres. Justru seberapa besar efek kemenangan yang mesti diperhitungkan dengan cermat.

Cawapres, kata dia, setidaknya memiliki tiga kriteria seperti penerimaan parpol pengusung partai politik, penerimaan elite parpol yang menjadi pemain atau king maker, dan terakhir penerimaan akar rumput yang menjadi ujung tombak kemenangan. "Tak kalah pentingnya diterima secara aksebtabilitas sama akar rumput (grassroot) oleh karena itu cawapres pilihan elite tidak boleh split ticket dengan arus kehendak arus bawah," kata dia.

Seperti diketahui sejumlah nama mencuat sebagai cawapres potensial berdasar jajak pendapat sejumlah lembaga survei. Mereka antara lain Menteri BUMN Erick Thohir, Menko Polhukam Mahfud MD, Menparekraf Sandiaga Uno, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Dari tokoh parpol, muncul Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto hingga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Harian Nasional DPP Partai Perindo TGB Zianul Majdi. Kendati terus mengemuka, sejauh ini belum dipastikan siapa yang bakal digandeng parpol.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menekankan, penting bagi parpol dan koalisi parpol untuk menentukan pasangan capres-cawapres secara tepat. Sosok cawapres yang diusung harus berdaya jual tinggi.

“Mau tidak mau cawapres ini menjadi penting karena tolok ukur untuk mengumpulkan semua suara yang sekarang diperebutkan bertiga (Prabowo, Ganjar, Anies) misalnya sekarang sudah diwacanakan bertiga itu,” kata Dedi dalam Polemik MNC Trijaya yang berjudul “Cawapres Adalah Koentji”, Sabtu (17/6/2023). [tim sindonews]

Beda Survei, Beda Hasil

Beda Survei, Beda Hasil

BERBEDA
dengan kandidat capres, penentuan bakal cawapres pada Pilpres 2024 sangat cair. Partai politik yang telah membangun koalisi terus berhitung untuk menentukan figur paling paten untuk mendampingi capres mereka. Hingga Senin (19/6/2023), siapa yang bakal menemani Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan belum jelas.

Dari nama-nama yang telah beredar, siapa sesungguhnya paling punya kans kuat? Jika ukurannya lembaga survei, hasil jajak pendapat menunjukkan hasil tak seragam. Ada lembaga survei yang menempatkan sosok A sebagai kandidat dengan elektabilitas tertinggi, namun di lembaga survei lain dia tak begitu bertaji. Demikian sebaliknya.

Sebagai contoh lembaga survei Indikator Politik Indonesia. Berdasarkan survei pada 26-30 Mei 2023, Erick Thohir menjadi kandidat cawapres paling banyak dipilih masyarakat. Ketua Umum PSSI itu berada di posisi teratas dalam simulasi 22 nama cawapres dengan 14,8% suara responden.

Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi mengatakan, Erick juga kembali menjadi pilihan mayoritas responden dalam simulasi 18 nama cawapres dengan suara sebanyak 15,5% atau unggul dari Ridwan Kamil yang berada di posisi kedua dengan 15,4%. "Jika melihat tren, Erick Thohir ada tren kenaikan, Ridwan Kamil sedikit turun, Sandiaga, dan AHY turun," ujar Burhanuddin saat rilis hasil survei nasional yang dialkukan secara daring, Minggu (4/6/2023).

Sementara itu, TGB Muhammad Zainul Majdi melejit dalam daftar kandidat cawapres Ganjar Pranowo. TGB menempati urutan ketiga dengan elektabilitas 8,3% setelah Erick Thohir 26,8%, dan Mahfud MD 13,5% dalam hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) terbaru. Ganjar merespons senang munculnya nama TGB. "Bagus lah. Saya kenal sejak DPR, saya kenal sama-sama sebagai gubernur," kata Ganjar di Lombok, NTB, Minggu (18/6/2023).

Berbeda dengan hasil survei Charta Politika. Pada jajak pendapat Mei 2023, Menparekraf Sandiaga Uno paling banyak dipilih masyarakat untuk menjadi cawapres. Mantan wakil gubernur DKI Jakarta itu meraup 19,8 persen. Di urutan kedua, ada Ridwan Kamil yang terus menempel elektabilitas Sandi dengan perolehan angka sebesar 18,4%.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menjelaskan, Sandi dan Ridwan Kamil dalam kurun waktu 6 bulan terkahir memang bersaing ketat dalam perebutan posisi pertama sebagai cawapres potensial berdasarkan hasil survei lembaganya selama ini.

Di peringkat ketiga, tertera nama Mahfud MD dengan perolehan elektabilitas 15,2 persen. Kemunculan nama Mahfud ini dianggap mengagetkan. Elektabilitas Mahfud mampu melewati nama-nama tokoh yang sebelumnya kerap diisukan juga sebagai cawapres seperti AHY, Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, dan Muhaimin Iskandar. [tim sindonews]

Bukan Cuma Ban Serep

Bukan Cuma Ban Serep

SISTEM
ketatanegaraan Negara Republik Indonesia berdasar UUD 1945 mengatur tentang kedudukan dan tugas Presiden dan wakil Presiden berturut-turut di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UUD 1945.

Dari 12 Pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang berkenaan dengan Presiden sebagai pemerintah negara hampir separuhnya (lima pasal) berkenaan dan dikaitkan dengan keberadaan Wakil Presiden, yaitu sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 4 ayat (2) berbunyi: “Dalam melaksanakan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang wakil Presiden.”

Selain Pasal 4, kedudukan dan tugas presiden-wakil presiden tertera dalam Pasal 6, 7, 8 dan 9 UUD 1945. Secara umum, tugas dan wakil presiden meliputi: a.) Membantu Presiden dalam melakukan kewajibannya. b) Menggantikan Presiden sampai habis waktunya jika Presiden meninggal dunia, berhenti atau idak dapat melakukan kewajibannyadalam masa jabatan yang telah ditentukan.

Kemudian, c.) Memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah yang perlu penanganan menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat; dan d.) d Melakukan pengawasan operasional pembangunan, dengan bantuan departemen-departemen, lembagalembaga non departemen , dalam hal ini inspektur jenderal dari departemen yang bersangkutan atau depti pengawasan dari lembaga non departemen yang bersangkutan.

Dalam sejarah RI, telah 13 wapres bertugas mendampingi Presiden. Catatan khusus berlaku bagi Jusuf Kalla yang telah dua kali menjabat wapres. Pertama, ketika mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009). Kedua, menjadi wapres Joko Widodo (2014-2019).

Bukan Cuma Ban Serep


Di era Pemerintahan Soeharto, posisi wakil presiden kerap digambarkan sekadar sebagai ‘ban serep’. Ini karena kekuasaan atas pemerintahan sepenuhnya di tangan Pak Harto. Mereka yang menjadi pendampingnya, seolah hanya menjadi pajangan alias pelengkap, sekadar untuk memenuhi ketentuan konstitusi sekaligus jaga-jaga bila terjadi situasi yang menjadikan presiden tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya di tengah jalan.

Praktik ‘ban serep’ itu terus berlangsung hingga Orde Baru tumbang setelah 32 tahun berjalan. Di era reformasi hingga detik ini, tugas dan peran wakil presiden pun sesungguhnya tidak terlalu menonjol. Perkecualian di era JK saat mendampingi SBY. JK yang punya karakter out of the box bahkan dalam beberapa kesempatan terlibat lebih agresif dibanding presiden. Tak heran muncul istilah satire ‘matahari kembar’ di era tersebut.

Stigma ban serep juga tak hilang ketika tingkat kepuasan publik terhadap wapres KH Ma’ruf Amin lebih rendah dari Jokowi. Hasil survei itu ditanggap santai Juru Bicara Wapres, Masduki Baidlowi. “Kalau surveinya justru Pak Wapres di atas Pak Jokowi malah bingung kita. Jadi Kalau wapres di bawah presiden ya biasa. Namanya ban serep di mana-mana kadang dipakai kadang enggak dipakai. Namanya ban serep kan,” katanya.

Terlepas dari cap tersebut, posisi wapres sangat vital. Wapres mesti segendang sepenarian dengan Presiden untuk menuntaskan berbgai pekerjaan rumah mulai sektor ekonomi hingga pertahanan dan keamanan. Tantangan global juga kian tidak mudah.

Atas dasar itu, penentuan cawapres pada Pilpres 2024 tidak sekadar mempertimbangkan kepopuleran semata, tetapi gagasan dan ide brilian untuk membawa Indonesia menjadi negara maju. Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan mengingatkan agar penetuan capres-cawapres mesti hati-hati. [tim sindonews].
(zen)