Waspada Pascatumbangnya Silicon Valley Bank di Amerika
Mohammad Faizal
Rabu, 15 Maret 2023, 15:45 WIB
Kolapsnya Silicon Valley Bank serta dua bank lainnya di Amerika Serikat (AS) memicu alarm tanda bahaya yang diwaspadai banyak negara, termasuk Indonesia.
Kolapsnya SVB Picu Saham-saham Perbankan Global Berjatuhan
Foto/Reuters
Saham perbankan di Asia dan Eropa merosot tajam saat Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank yang berbasis di Amerika Serikat (AS) kolaps. Pelemahan saham bank global terjadi, meski Presiden AS Joe Biden telah memberikan jaminan bahwa sistem keuangan Negeri Paman Sam itu aman dari dampak runtuhnya dua bank tersebut.
Tak kepalang tanggung, Presiden AS berjanji bakal melakukan "apa pun yang diperlukan" untuk melindungi sistem perbankan. Kendati demikian, investor tetap khawatir lembaga pemberi pinjaman lain mungkin masih bisa terkena dampaknya.
Pada hari Selasa, indeks saham Topix Banks Jepang turun lebih dari 7%, menempatkannya dalam jalur terburuknya lebih dari tiga tahun.
Saham Mitsubishi UFJ Financial Group, pemberi pinjaman terbesar di Jepang berdasarkan aset juga ambruk 8,1% pada perdagangan Asia tengah hari tadi. Sementara itu pada hari Senin, kemarin tercatat harga saham Santander Spanyol dan Commerzbank Jerman turun lebih dari 10% dalam satu sesi.
Sedangkan serangkaian bank AS yang lebih kecil menderita kerugian yang lebih buruk daripada rekan-rekan mereka di Eropa, meskipun meyakinkan pelanggan bahwa mereka memiliki likuiditas yang lebih dari cukup untuk melindungi diri dari guncangan.
Volatilitas telah menyebabkan spekulasi bahwa Federal Reserve atau bank sentral AS sekarang akan menghentikan sementara rencananya untuk terus menaikkan suku bunga, yang dirancang untuk menjinakkan inflasi.
Biden mengatakan, bahwa individu dan bisnis yang telah menyetor uang ke Silicon Valley Bank akan dapat mengakses semua uang tunai mereka mulai Senin, kemarin setelah pemerintah turun tangan untuk melindungi simpanan mereka secara penuh.
Silicon Valley Bank sebagai bank spesialis pemberi pinjaman kepada perusahaan rintisan teknologi atau startup telah ditutup oleh regulator AS yang menyita asetnya pada hari Jumat. Hal ini menjadi adalah kegagalan terbesar bank AS sejak krisis keuangan pada 2008.
Penutupan itu terjadi ketika SVB mencoba mengumpulkan uang untuk menutup kerugian dari penjualan aset yang dipengaruhi oleh suku bunga yang lebih tinggi. Kabar tentang masalah tersebut membuat pelanggan berlomba untuk menarik dana, yang menyebabkan krisis uang tunai.
Di sisi lain pihak berwenang pada hari Minggu juga mengambil alih Signature Bank di New York, yang memiliki banyak klien terkait kripto dan dipandang sebagai lembaga yang paling rentan.
Biden berjanji, upaya menjaga simpanan tidak akan membebani pembayar pajak, dan sebaliknya bakal didanai oleh biaya yang dibebankan regulator kepada bank.
Sebagai bagian dari upaya untuk memulihkan kepercayaan, regulator AS juga meluncurkan cara baru bagi bank untuk meminjam dana darurat dalam krisis. Namun ada kekhawatiran bahwa kegagalan yang terjadi setelah runtuhnya pemberi pinjaman AS lainnya, Silvergate Bank, pekan lalu, menjadi sinyal adanya masalah di perusahaan lain.
Paul Ashworth dari Capital Economics mengatakan, pihak berwenang AS telah "bertindak agresif untuk mencegah penularan berkembang lebih lajuh". "Tetapi penularan selalu lebih tentang ketakutan irasional, jadi kami akan menekankan bahwa tidak ada jaminan ini akan berhasil," tambahnya.
Sedangkan Kepala analisis keuangan di pialang saham AJ Bell, Danni Hewson mengatakan, "Ada kekhawatiran bahwa era suku bunga tinggi mungkin lebih sulit bagi beberapa bank daripada yang diperkirakan sebelumnya."
"Di AS, saham bank tergelincir meskipun Joe Biden berjanji bahwa 'apa pun yang dibutuhkan' akan dilakukan untuk mencegah lebih banyak efek domino," bebernya.
Kejatuhan Politik Kegagalan SVB telah memicu kembali perdebatan - mirip dengan yang terlihat setelah krisis keuangan 2008 - tentang seberapa banyak yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatur dan melindungi bank.
Ketua Federal Reserve AS, Jerome Powell mengatakan, bakal ada peninjauan menyeluruh dan transparan tentang keruntuhan tersebut. Sedangkan Biden menyerukan aturan yang lebih keras dan menekankan bahwa investor dan pemimpin bank tidak terkecuali.
"Mereka dengan sengaja mengambil risiko ... begitulah cara kerja kapitalisme," katanya. Namun Senator Republik Tim Scott yang dipandang sebagai calon presiden potensial pada 2024 menyebutkan, penyelamatan itu "bermasalah".
"Itu membangun budaya intervensi pemerintah tidak akan menghentikan institusi untuk mengandalkan pemerintah setelah mengambil risiko yang berlebihan," cetusnya.
Silicon Valley Bank Bangkrut, Luhut: Kita Harus Hati-hati
Foto/Reuters
Kebangkrutan bank spesialis pemberi pinjaman bagi usaha rintisan (startup) asal Amerika Serikat (AS) Silicon Valley Bank (SVB) bak petir di siang bolong yang mengagetkan dunia finansial global.
Tak terkecuali di dalam negeri, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan pun mengaku tidak menduga SVB mengalami kebangkrutan. Sebab itu, LUhut mewanti-wanti semua untuk waspada dan berhati-hati meskipun modal kapital perbankan Indonesia relatif kuat dibandingkan AS.
"Saya lihat ini nilai liquidity coverage ratio di Indonesia itu 234%, masih tinggi. AS itu 148%, kemudian Jepang 135%, China 132%, dan Eropa 120%. Jadi Indonesia masih tinggi sekali," ungkap Luhut usai menghadiri acara Indonesia Leading Economic Forum 2023, di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Luhut pun mengingatkan agar pemerintah, Bank Indonesia (BI) bersama sektor perbankan tetap berhati-hati dengan keadaan saat ini dan tidak boleh jumawa meski keadaan Indonesia sedang dalam kondisi baik.
"Kita harus hati-hati menghadapi ini, tidak boleh jumawa dan saya kira Bank Indonesia juga dengan Kementerian Keuangan, saya kenal bapak-ibu berdua itu saya kira sangat kredibel," tuturnya.
Sebagai informasi, Silicon Valley Bank mulai mengalami kebangkrutan ketika para nasabah, yang sebagian besar startup gulung tikar. Runtuhnya Silicon Valley Bank kemudian menjadi sorotan dunia sebab banyak nasabah dengan nilai simpanan yang besar pada bank yang masuk peringkat ke-16 Amerika tersebut.
Kebangkrutan Silicon Valley Bank menjadi kegagalan bank terbesar kedua dalam sejarah Amerika setelah ambruknya Washington Mutual pada 2008.
Soroti Kolapsnya Bank di AS, Menko Airlangga: Alarm Bagi Kita
Foto/MPI
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto turut menyoroti kolpasnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank di Amerika Serikat (AS). Airlangga menilai, krisis tersebut bisa saja berdampak ke Indonesia.
Runtuhnya bank pendukung ekosistem perusahan-perusahaan rintisan teknologi atau startup tersebut, tegas dia, menjadi sebuah tantangan baru.
"Ini tantangan baru. Beberapa hari lalu kita dengar di Amerika beberapa bank yang khusus menangani digital lagi 'batuk'," ujarnya di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Airlangga pun berharap, jangan sampai kasus Silicon Valley Bank dan Signature Bank ataupun yang lainnya di Amerika membawa efek ataupun sentimen negatif ke dalam negeri. Untuk diketahui, kasus yang menimpa Silicon Valley Bank merupakan kegagalan terbesar Bank Amerika Serikat setelah krisis 2008. Pada tahun tersebut Amerika mencatat bangkrutnya Washington Mutual Bank.
"Mudah-mudahan skalanya tidak sebesar tahun 2008 kemarin. Jadi ini juga menjadi alarm bagi kita bahwa yang ‘ajaib-ajaib’ ini akhirnya burst juga. Salah satunya akibat overpriced atau over asset dari (bisnis) digital oleh dua bank yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan startup atau digital ini," bebernya.
Terlepas dari itu, Airlangga mengatakan bahwa pemerintah tetap optimistis dengan kondisi ekonomi dalam negeri. Dibandingkan dengan negara lain, potensi resesi Indonesia menurutnya hanya sekitar 3%. Artinya, ungkap Airlangga, berdasarkan berbagai data yang ada bahwa peluangnya 97% resesi tidak akan mampir ke Indonesia.
"Oleh karena itu optimisme menjadi penting, demikian pula dari berbagai indeks, termasuk indeks keyakinan konsumen," terang dia.
3 Bank AS Kolaps, Jokowi Minta Waspadai Ketidakpastian Global
Foto/MPI
Kabar kebangkrutan 3 bank di Amerika Serikat (AS) tak luput dari perhatian orang nomor satu di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai, hal itu menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi global masih menjadi sebuah ancaman yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Kita tahu baru sehari, dua hari, tiga hari yang lalu hal-hal yang tidak terduga muncul. Ada kebangkrutan bank di Amerika Silicon Valley Bank. Semuanya ngeri begitu ada satu bank yang bangkrut. Belum dua hari muncul lagi, bank berikutnya yang kolaps Signature Bank. Semua negara sekarang ini menunggu efek dominonya akan kemana," ungkap Jokowi.
Jokowi menekankan, bahwa ketidakpastian global sulit diprediksi. Sebab itu, Presiden meminta semua pihak untuk waspada dan terus bekerja keras agar Indonesia terhindar dari segala ancaman dan risiko global.
"Kita semuanya harus menyadari bahwa kegentingan global itu masih merupakan sebuah ancaman yang tidak ringan. Ketidakpastian global juga memunculkan risiko-risiko yang sulit diprediksi dan sulit kita hitung," kata Jokowi dalam sambutannya pada Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri, yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (15/3/2023).
"Oleh sebab itu semuanya harus bekerja keras, untuk mengindarkan negara kita dari ancaman-ancaman dan risiko-risiko global yang ada," sambung Jokowi.