Pejabat hingga Pengusaha Waspada, Sinyal Resesi Kian Nyata
Mohammad Faizal
Senin, 24 Oktober 2022, 15:33 WIB
Proyeksi suram dilontarkan Dana Moneter Internasional (IMF) terhadap perekonomian global, berupa ancaman resesi pada 2023. Kini, sinyal itu semakin nyata.
Kode Keras dari Sri Mulyani: APBN Tidak Boleh Sakit!
Tanda-tanda ekonomi global semakin gelap kian nyata dari tingginya inflasi hingga resesi yang mulai tampak di sejumlah negara. Menghadapi situasi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mewanti-wanti bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh melemah.
"APBN di 2023 harus segera sehat, karena kalau APBN masih bekerja berlebihan atau excessive, Indonesia akan semakin terekspos dengan risiko inflasi tinggi dari global," ujar Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI bertajuk Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Berkelanjutan di Tengah Tantangan Dinamika Global, di Jakarta, Rabu (19/10/2022).
Sri Mulyani menjelaskan, APBN sebelumnya menjadi sebuah instrumen countercyclical sebagai penyerap guncangan yang kemudian menjadi bantalan pelindung masyarakat dari dampak krisis akibat pandemi. Akibatnya, penerimaan negara juga terkontraksi akibat melemahnya aktivitas ekonomi.
"Defisit APBN kala itu sampai melebar hingga 6,09% terhadap PDB di tahun 2020. Di 2021, defisit menyusut menjadi 4.65%, disusul pada target penyusutan jadi 4,5% di 2022. Tapi, dengan tren surplus neraca dagang yang masih berlanjut, kita optimis defisit APBN bisa 3,92% hingga akhir tahun," ungkap Sri.
Dengan latar belakang tersebut, lanjut dia, defisit APBN 2023 ditargetkan hanya sebesar 2,84%. Lagi-lagi, Sri Mulyani mengingatkan bahwa kesehatan APBN 2023 diperlukan agar Indonesia siap menghadapi gejolak global.
"APBN ini perlu dijaga dan dikelola secara kredibel pula untuk menjaga kepercayaan investor, pemegang surat utang negara (SUN), dan lembaga pemeringkat utang. Kita perlu berkaca pada pengalaman Inggris yang tidak kredibel dalam mengelola APBN-nya, sehingga menyebabkan ekonominya terguncang," tandasnya.
Dia menambahkan, kendati negara-negara emerging countries seperti India, Indonesia, Brasil, dan Meksiko relatif dalam situasi cukup baik, bukan berarti aman dari dampak kondisi eksternal. Meski ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh di atas 5% di 2022 dan 2023, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan ketat mewaspadai kondisi eksternal yang akan memengaruhi ekonomi nasional.
Efek Resesi, Inflasi Bisa Ganggu Pembangunan Infrastruktur
Tak hanya pengusaha, Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun khawatir akan ancaman resesi pada tahun 2023. Pasalnya, resesi global juga akan berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot Indonesia.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan peringatan akan kondisi tak pasti ekonomi dunia pada tahun depan. Ekonomi global diproyeksi mengalami perlambatan seiring tingginya ketidakpastian.
"Krisis memang tidak bisa dimungkiri. Hari ini ada negara lain yang sudah krisis. Saya menyikapinya ini bisa jadi warning agar kita lebih hati-hati," ujar Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna di Jakarta, Jumat (21/10/2022).
Biaya pembangunan infrastruktur pada 2020-2024 diestimasikan mencapai Rp2.058 triliun. Namun demikian, kemampuan APBN hanya mampu menutup 30% dari total pembiayaan target tersebut atau sekitar Rp623 triliun.
Herry meyakini, resesi tidak akan terlalu mempengaruhi pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebab, pembangunan infrastruktur di Indonesia basisnya adalah pembiayaan dalam negeri.
Namun, terang dia, yang akan mempengaruhi pembiayaan infrastruktur adalah inflasi. Pasalnya, seiring dengan resesi, inflasi yang meninggi akan berpengaruh terhadap kenaikan harga material pembangunan.
"Kaitan dengan inflasi tentu nanti harga terpengaruh dan ini yang harus kita antisipasi," cetusnya.
Dia berharap dampak resesi yang akan terjadi pada tahun depan tidak terlalu besar terhadap Indonesia. Seperti diketahui, Perlambatan ekonomi terjadi di hampir semua negara dunia. Berbagai negara mencemaskan potensi terjadinya resesi.
IMF dalam laporan economic outlook yang baru dirilis Oktober ini memproyeksikan ekonomi tahun ini yang diperkirakan tumbuh sebesar 3,2% akan merosot tajam menjadi 2,7% di 2023 dan inflasi diperkirakan meningkat menjadi 8,8%.
Kekhawatiran itu diakui Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat acara Pembukaan Capital Market Summit & Expo 2022. "Covid-19 belum selesai, konflik Rusia-Ukraina semakin meningkat, tantangan climate change di beberapa negara termasuk di Indonesia, banjir, longsor," ujarnya.
Dibayangi Resesi Global Rupiah Terdepresiasi ke Rp15.500/USD
Nilai tukar rupiah pada Kamis (20/10/2022) terdepresiasi terhadap dolar AS (USD) ke level Rp15.571/USD. Ancaman resesi dan ketidakpastian global menjadi faktor yang menekan mata uang Garuda.
Kendati demikian, Bank Indonesia (BI) berpendapat bahwa stabilitas nilai tukar masih tetap terjaga di tengah sangat kuatnya dolar dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai tertinggi 114,76 pada tanggal 28 September 2022 dan tercatat 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,10% (ytd) selama tahun 2022.
"Sementara itu, nilai tukar rupiah sampai dengan 19 Oktober 2022 terdepresiasi 8,03% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 10,42%, Malaysia 11,75%, dan Thailand 12,55%," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Berdasarkan pasar spot, rupiah terpantau ambruk semakin dalam hingga sentuh posisi Rp15.570/USD. Berdasarkan data terakhir Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI per 19 Oktober 2022, rupiah berada di level Rp15.491/USD. Angka ini memburuk dari level 18 Oktober 2022 sebesar Rp15.469/USD.
Depresiasi itu sejalan dengan menguatnya dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara.
"Ke depan, BI terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi," pungkas Perry.
Resesi Mulai Terasa, ALFI Sebut Aktivitas Ekspor-Impor Turun
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan sinyal resesi global pada 2023 mulai dirasakan. Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengemukakan, saat ini kalangan pelaku usaha termasuk di sektor logistik terus mencermati fenomena ancaman krisis global tersebut.
Pelaku logistik, kata dia, mulai merasakan sinyal itu lantaran kegiatan perdagangan dunia yang mulai lesu dan biaya kontainer yang kembali pada titik semula. Penurunan aktivitas ekspor-impor menurutnya sudah mulai dirasakan sejak dua bulan lalu.
Untuk mempertahankan kinerja sektor logistik menurutnya perlu strategi jitu dengan memperhatikan indikator-indikator perekonomian global akibat ancaman resesi.
"Apalagi, peringatan pemerintah soal ancaman resesi global juga cukup beralasan, yang mengingatkan bahwa resesi global ditandai dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, melandainya permintaan dari negara maju, melemahnya harga komoditas, dan terjadinya arus pembalikan modal atau capital reserval," ujar Yukki dikutip Senin (17/10/2022).
Yukki pun mengingatkan kepada pelaku logistik agar lebih bijak menyikapinya supaya lebih siap dalam mengantisipasi jika kondisi ketidakpastian ekonomi akibat resesi global itu terjadi. Dia menekankan perlu menciptakan optimisme para pelaku logistik dengan harapan kondisi akan berangsur membaik dimasa-masa mendatang.