Link Copied
Ancang-Ancang Sri Mulyani Hadapi Ancaman Resesi

Ancang-Ancang Sri Mulyani Hadapi Ancaman Resesi

By Mohammad Faizal
Survei yang dirilis Bloomberg belum lama ini menempatkan Indonesia ke dalam daftar 15 negara yang berpotensi mengalami resesi akibat gejolak ekonomi global.

Bermula di di Amerika, Hantu Resesi Ancam Ekonomi Dunia

Bermula di di Amerika, Hantu Resesi Ancam Ekonomi Dunia


Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati secara terbuka mengakui adanya ancaman yang timbul dari gejolak ekonomi di Amerika Serikat (AS).

Dia menyebutkan, secara historis, tekanan inflasi yang tinggi di AS selalu direspons dengan kenaikan suku bunga acuan yang tinggi. Langkah itu kemungkinan juga diikuti dengan kontraksi balance sheet The Fed yang selanjutnya menyebabkan pengetatan likuiditas yang lebih dalam lagi.

"Pengetatan ini akan memicu kondisi ekonomi yang cukup serius di berbagai negara. Bahkan, resesi di AS sekarang sudah makin dibahas atau kemungkinan terjadi resesi AS makin nyata terlihat dari berbagai pandangan," ujarnya dalam konferensi pers APBN KITA di Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Menurut dia, hal ini menyebabkan Consumer Confidence Index menurun cukup tajam. Inflasi yang tinggi, pengetatan moneter, dan ancaman resesi di AS menjadi salah satu faktor yang akan sangat mempengaruhi outlook ekonomi dunia.

"Kalau kita melihat quotation dari berbagai survei dan prediksi para ahli, menunjukkan peningkatan risiko resesi AS. Misal dari Bloomberg-US Recession This Year is Now More Not Likely Than Not: Nomura pada 20 Juni 2022," tuturnya.

Sri Mulyani mengatakan, para ekonom, pembuat kebijakan, dan para ahli meyakini bahwa pilihan kebijakan AS dalam merespons inflasi yang tinggi dengan menaikkan suku bunga sangat memungkinkan memicu resesi di negara itu pada tahun ini dan bahkan bisa berlangsung hingga 2023.

Terancam Resesi, Sri Mulyani: Kita Aman Tapi Tidak Terlena

Terancam Resesi, Sri Mulyani: Kita Aman Tapi Tidak Terlena


Berdasarkan survei yang dirilis Bloomberg, Indonesia tercatat ke dalam daftar negara yang berpotensi mengalami resesi. Dari 15 negara Asia yang ada di dalam daftar tersebut, Indonesia berada di posisi 14 dengan persentase 3%.

Dalam survei tersebut Sri Lanka berada di posisi pertama dengan persentase 85%, New Zealand 33%, Korea Selatan 25%, Jepang 25%, China 20%, dan Hong Kong 20%. Selanjutnya, Australia 20%, Taiwan 20%, diikuti oleh Pakistan 20%, Malaysia 13%, Vietnam 10%, Thailand 10%, Filipina 8%, Indonesia 3%, dan India 0%.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah mewaspadai potensi resesi akibat gejolak ekonomi global tersebut. Kendati indikator neraca pembayaran dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam kondisi baik, tegas dia, hal itu tidak membuat pemerintah terlena.

"Kita akan tetap waspada. Kita akan gunakan semua instrumen kita, berhati-hati dalam membuat kebijakan, baik itu fiscal atau monetary policy di sektor keuangan dan juga regulasi yang lainnya untuk memonitor situasi," tegas Sri Mulyani di Nusa Dua, Rabu (13/7/2022).

Kendati demikian, Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa kondisi ekonomi nasional saat ini cukup baik. Indikator neraca pembayaran, APBN, dan ketahanan, juga sektor korporasi dan rumah tangga serta sektor lainnya menurut dia relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya. "Angka (potensi resesi) kita 3%, jauh dibandingkan negara-negara lain yang tembus 70%," tutur Sri Mulyani.

Kendati persentase risikonya kecil, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah akan terus waspada dan berhati-hati. Hal itu mengingat masih ada risiko ketidakpastian secara global. Terlebih, kata dia, risiko global terkait inflasi dan resesi, atau stagflasi diperkirakan bakal berlangsung hingga tahun depan.

IMF Sebut Ekonomi Indonesia Aman dari Ancaman Resesi

IMF Sebut Ekonomi Indonesia Aman dari Ancaman Resesi


Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan penilaian Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa ekonomi Indonesia aman dari ancaman resesi. Hal itu dilihat dari berbagai sisi kinerja ekonomi, antara lain pertumbuhan, neraca pembayaran yang mengalami surplus selama 26 bulan berturut-turut, dan inflasi yang masih berada di bawah 5%.

Hal itu disampaikannya seusai mendampingi Presiden Joko Widodo menerima delegasi IMF di Istana Bogor. Delegasi yang hadir yaitu Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan, dan Representatif Senior IMF untuk Indonesia James Walsh.

Melalui pertemuan tersebut Direktur Pelaksana IMF, Kristalina juga menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Indonesia atas penanganan pandemi Covid-19.

"Selanjutnya kita tentu berharap kondisi Indonesia yang membaik ini tetap dijaga karena nanti Presiden akan menjadi tuan rumah (KTT G20) pada bulan November," ujarnya melalui pernyataan tertulis, Senin (18/7/2022).

Sri Mulyani menambahkan, yang terpenting saat ini adalah sinkronisasi dan kerja sama kebijakan fiskal moneter antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi yang tengah berjalan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah hal kepada IMF mengenai situasi perekonomian di Indonesia.

"Ekonomi Indonesia relatif sedang baik di mana inflasi sekitar 4,2%, pertumbuhan 5,01%. Kemudian juga dalam situasi lain Indonesia, ekonomi dibanding negara lain kita punya debt to GDP ratio sekitar 42%, beberapa negara itu mencapai 100%," ujarnya.

Airlangga juga membeberkan data lainnya seperti defisit yang masih sekitar 4% dan neraca berjalan 0,5% dan neraca perdagangan yang selama 26 bulan selalu positif. Selain itu, Indonesia juga memiliki cadangan valas yang mencukupi sebesar USD135 miliar.

Airlangga juga menjelaskan bahwa situasi perekonomian di Indonesia relatif baik dengan potensi resesi lebih kecil jika dibandingkan negara lain yaitu sekitar 3%. Meski demikian, pemerintah berharap IMF akan terus mendukung dan memberikan narasi positif terhadap perekonomian Indonesia terutama dalam menghadapi krisis global.

"Kita sangat mengkhawatirkan dengan kondisi inflasi yang naik di berbagai negara. Tingkat suku bunga akan masuk rezim baru yaitu kenaikan tingkat suku bunga global dan tentu sangat mempengaruhi terhadap investasi yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia," kata dia.

Sri Mulyani Ungkap Strategi Lawan Ancaman Resesi

Sri Mulyani Ungkap Strategi Lawan Ancaman Resesi


Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa ancaman resesi sangat nyata bila melihat gejolak global yang belum tampak ujungnya. Kenaikan suku bunga acuan, lonjakan harga komoditas pangan dan energi, serta ketatnya likuiditas menjadi ancaman yang berpotensi menimbulkan resesi.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, dalam kondisi ini, Indonesia harus bisa bertahan dan menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Maka dari itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi.

"Pertama adalah mengatasi masalah-masalah struktural yang ada, khususnya kualitas sumber daya manusia (SDM), daya saing, infrastruktur, dan produktivitas. Hanya saja untuk masalah SDM seperti pendidikan, riset, dan inovasi, serta kesehatan tentu bukanlah hal mudah yang dapat diwujudkan dengan cepat," ujar Sri Mulyani dalam Launching of the 2022-2025 IsDB Group’s Member Country Partnership Strategy (MCPS) for Indonesia secara virtual di Jakarta, Selasa (19/7/2022).

Untuk menangani hal tersebut, tegas dia, tentunya dibutuhkan konsistensi dalam jangka panjang. Strategi kedua, lanjut dia, adalah reformasi sistem kesehatan. Hal ini mengingat hantaman pandemi Covid-19 yang membuka mata akan pentingnya aspek reformasi yang perlu dilakukan pada sistem kesehatan.

"Indonesia adalah salah satu negara dari beberapa negara di dunia yang berhasil mengelola pandemi jika dilihat pada semua indikator. Namun, ini tidak berarti kita sudah rampung dengan sistem kesehatan kita," ujarnya.

Ancaman pandemi yang belum selesai yang juga ditambah dengan ancaman global yang baru, lanjutnya, tentu bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Inflasi yang terjadi di mana-mana akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi, kenaikan inflasi baik di negara maju dan berkembang, serta kenaikan suku bunga dan ketatnya likuiditas menjadi ancaman tambahan yang juga berat.

"Ancaman-ancaman ini sangat berpotensi mengancam perekonomian, belum lagi di negara-negara yang perekonomiannya rapuh dan belum sepenuhnya pulih," tandasnya.
(fjo)