Nestapa Sri Lanka, Politik Dinasti Berujung Bangkrutnya Negara
Nestapa Sri Lanka, Politik Dinasti Berujung Bangkrutnya Negara
Mohammad Faizal
Selasa, 17 Mei 2022, 19:15 WIB

Krisis ekonomi di Sri Lanka belum menampakkan titik terang akan berakhir. Tak mampu impor, rakyatnya terancam kekurangan pangan, bahan bakar dan obat-obatan.

Sri Lanka Bangkrut, Politik Dinasti Jadi Sorotan

Sri Lanka Bangkrut, Politik Dinasti Jadi Sorotan

Sri Lanka menyatakan default alias gagal membayar utang luar negerinya senilai USD51 miliar (lebih dari Rp732,2 triliun). Salah urus, Sri Lanka disebut media internasional sebagai negara bangkrut yang ekonominya kini dibelit krisis paling buruk sejak kemerdekaannya tahun 1948.

Sri Lanka harus melakukan pembayaran utang luar negeri sebesar USD4 miliar tahun ini, termasuk USD1 miliar pada bulan Juli, tetapi cadangan devisanya hanya sekitar USD1,93 miliar pada bulan Maret.

Negara kepulauan ini begitu kekurangan devisa sehingga memohon pada warganya yang ada di luar negeri untuk mengirim uang tunai guna membantu membayar impor penting.

Menyusul krisis ekonomi yang semakin parah dan memicu meluasnya protes anti-pemerintah, Seluruh menteri yang berjumlah 26 orang di Kabinet Sri Lanka mengundurkan diri bersamaan, menyisakan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan kakak laki-lakinya; Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa.

Selain memburuknya krisis ekonomi dengan kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok dan pemadaman listrik secara teratur, pemerintahnya juga jadi gunjingan publik karena politik dinasti dianggap menjadi penyebab kekacauan di negara tersebut.

Mahinda Rajapaksa yang memimpin Partai Kebebasan Sri Lanka pernah berkuasa sebagai presiden sejak 2005. Dia lengser setelah kalah dari Maithripala Sirisena dalam pemilihan presiden tahun 2015 untuk masa jabatan ketiga.

Keluarga Rajapaksa kembali berkuasa tahun 2019 setelah Gotabaya Rajapaksa menjadi terpilih sebagai presiden. Segera setelah itu, politik dinasti terjadi di Sri Lanka dengan Mahinda Rajapaksa menjadi perdana menteri.

Berikut gambaran politik dinasti di pemerintahan Sri Lanka ketika keluarga Rajapaksa kembali berkuasa tahun 2019. Presiden: Gotabaya Rajapaksa (72) Perdana Menteri: Mahinda Rajapaksa (75), Menteri Keuangan: Basil Rohana Rajapaksa (70), Menteri Irigasi: Chamal Rajapaksa (35) yang merupakan putra perdana menteri Mahinda Rajapaksa.

Listrik Padam 13 Jam, Rakyat Serbu Kediaman Presiden Sri Lanka

Listrik Padam 13 Jam, Rakyat Serbu Kediaman Presiden Sri Lanka

Memburuknya krisis ekonomi di Sri Lanka membuat listrik untuk rakyatnya terpaksa dijatah. Setiap hari, listrik di negara tersebut padam selama 13 jam.

Hal itu mengakibatkan rakyat marah hingga mencoba menyerbu kediaman Presiden Gotabaya Rajapaksa. Kemarahan massa membuat polisi akhirnya memberlakukan jam malam di ibu kota. Dalam sebuah pernyataan kepada media pada Kamis malam, Inspektur Jenderal Polisi CD Wickramaratne mengatakan jam malam di sebagian besar distrik Colombo akan berlangsung sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Langkah itu dilakukan setelah ratusan pengunjuk rasa di distrik Mirihana di ibu kota melemparkan batu dan bentrok dengan polisi pada petang hari ketika mereka menerobos barikade baris pertama yang menghalangi jalan menuju kediaman pribadi Presiden Rajapaksa.

Kerumunan massa meneriakkan "Pulang Gota!" dan “Gota adalah seorang diktator”. Video dari lokasi protes, di-posting oleh outlet News Wire di Facebook, menunjukkan sebuah bus polisi terbakar dan pengunjuk rasa merawat seorang pria dengan wajah berlumuran darah.

Seruan untuk pengunduran diri Rajapaksa datang ketika Sri Lanka berjuang dengan kemerosotan ekonomi yang dipicu oleh krisis valuta asing yang membuat pemerintah tidak mampu membayar impor bahan bakar, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya.

Kekurangan bahan bakar telah mengakibatkan pemadaman listrik hingga 13 jam setiap hari, dan beberapa rumah sakit milik pemerintah menangguhkan operasi rutin.

Sri Lanka coba beralih ke Dana Moneter Internasional dan juga mencari bantuan keuangan dari China dan India. Beijing dan New Delhi dilaporkan masing-masing mempertimbangkan untuk menawarkan fasilitas kredit senilai USD1,5 miliar, di atas pinjaman senilai miliaran dolar yang diminta oleh pemerintah Rajapaksa.

Mohamed Asri, seorang pengunjuk rasa berusia 21 tahun, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia melakukan perjalanan ke Mirihana dari distrik Colombo lainnya setelah melihat liputan protes di saluran televisi lokal. “Ekonomi sangat buruk sehingga kami hampir tidak bisa makan dua kali,” katanya. “Hal-hal tidak pernah seburuk ini dalam hidup saya. Harus pergi.”

Setelah pertemuan massa di Mirihana berubah menjadi kekerasan, protes menyebar ke seluruh kota, di mana demonstran menggunakan kayu bakar untuk memblokir jalan raya utama dari Colombo ke kota terbesar kedua di Sri Lanka, Kandy.

Eks PM Sri Lanka dan Kroninya Dicekal

Eks PM Sri Lanka dan Kroninya Dicekal

Pengadilan Sri Lanka mencekal mantan perdana menteri (PM) negara itu Mahinda Rajapaksa, putranya yang juga seorang politisi Namal, dan 15 kroninya. Mereka dilarang meninggalkan negara itu terkait penyelidikan atas kekerasan terhadap demonstran anti-pemerintah.

Hakim di Ibu Kota Kolombo memerintahkan polisi untuk menyelidiki serangan massa pada hari Senin terhadap pengunjuk rasa damai. Serangan itu menyebabkan kekerasan balasan yang merenggut sembilan nyawa dan menyebabkan kehancuran yang meluas.

Seorang pejabat pengadilan mengatakan sebuah petisi ke pengadilan juga meminta surat perintah penangkapan terhadap Rajapaksa dan kroni-kroninya. "Tetapi hakim menolaknya karena polisi tetap memiliki wewenang untuk menahan tersangka," tambah pejabat itu seperti dilansir dari Channel News Asia, Kamis (12/5/2022).

Para korban kekerasan hari Senin lalu mengatakan bahwa Rajapaksa dan pembantu-pembantu utamanya telah mengangkut sekitar 3.000 pendukung mereka ke ibu kota dan menghasut mereka untuk menyerang para pengunjuk rasa yang menggelar aksi damai.

Massa loyalis Rajapaksa kemudian berhamburan keluar dari kediamannya dan menyerang demonstran anti-pemerintah dengan tongkat serta pentungan. Biksu Buddha dan pendeta Katolik termasuk di antara sedikitnya 225 orang yang dirawat di rumah sakit setelah serangan itu.

Aksi balasan segera menyebar ke seluruh negeri, dengan puluhan rumah loyalis Rajapaksa dibakar. Perdana Menteri Sri Lanka itu kemudian mengundurkan diri dan harus dievakuasi dari rumahnya oleh pasukan bersenjata lengkap.

Mantan pemimpin berusia 76 tahun itu saat ini bersembunyi di fasilitas angkatan laut di sebelah timur negara kepulauan itu. Putra Rajapaksa yang juga mantan menteri, Namal, mengatakan kepada AFP pada hari Selasa bahwa keluarganya tidak berniat meninggalkan negara itu.

Sri Lanka Terkini: Kehabisan Bensin, Mau Impor Tak Punya Uang

Sri Lanka Terkini: Kehabisan Bensin, Mau Impor Tak Punya Uang

Krisis di Sri Lanka terus berlanjut. Terkini, Perdana Menteri (PM) baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan bahwa negaranya sudah kehabisan stok bensin.

Sri Lanka tak mampu mengimpor bahan bakar karena tidak miliki cukup uang. Sri Lanka membutuhkan setidaknya USD75 juta (sekitar Rp1,05 triliun) dalam valuta asing untuk beberapa hari ke depan guna membayar impor penting, termasuk obat-obatan.

"Kami kehabisan bensin. Saat ini, kami hanya memiliki stok bensin untuk satu hari," kata Wickremesinghe pada hari Senin dalam sebuah pidato kenegaraan, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (17/5/2022).

Sri Lanka, lanjut dia, menderita kekurangan bahan bakar dan obat-obatan. Pemerintahnya juga tidak dapat mengumpulkan dolar untuk membayar tiga pengiriman minyak, di mana kapal-kapal menunggu di luar pelabuhan Colombo untuk pembayaran sebelum menurunkan muatan mereka.

Wickremesinghe mengambil alih jabatan sebagai PM baru Sri Lanka setelah pendahulunya; Mahinda Rajapaksa, dipaksa mengundurkan diri setelah berminggu-minggu protes atas penanganan pemerintah terhadap krisis ekonomi yang berubah menjadi kerusuhan mematikan.

Presiden Sri Lanka saat ini, Gotabaya Rajapaksa, sebenarnya menggantikan posisi Mahinda, kakak laki-lakinya. Sedangkan Wickremesinghe, seorang anggota Parlemen kubu oposisi, pernah memegang jabatan serupa lima kali sebelumnya. Mereka melakukan upaya putus asa untuk menenangkan para pengunjuk rasa.

Krisis ekonomi dan politik menyebabkan protes luas terhadap Presiden Rajapaksa dan keluarganya, yang berpuncak pada pengunduran diri Mahinda sebagai perdana menteri pekan lalu menyusul kekerasan mematikan.
Pengunjuk rasa telah menolak penunjukan Wickremesinghe sebagai perdana menteri dan terus menuntut pengunduran diri Gotabaya Rajapaksa. Para pengunjuk rasa dan pakar menuduh Rajapaksa salah urus ekonomi yang mengarah ke krisis.

Meskipun mengakui masa-masa sulit di depan, pemimpin baru itu mendesak orang-orang untuk dengan sabar menanggung derita beberapa bulan ke depan dan bersumpah dia akan mengatasi krisis. Dia mengatakan pemerintah juga kehabisan uang tunai untuk menggaji 1,4 juta pegawai negeri pada bulan Mei, dan dia akan beralih ke pencetakan uang sebagai upaya terakhir.

"Melawan keinginan saya sendiri, saya terpaksa mengizinkan pencetakan uang untuk membayar pegawai sektor negara dan untuk membayar barang dan jasa penting," ujarnya.

Dia juga memperingatkan bahwa tarif bahan bakar dan listrik akan dinaikkan secara substansial dan pemerintahnya juga akan menjual maskapai nasional yang kehilangan pendapatan untuk mengurangi kerugian.

Sementara itu, di ibu kota, antrean panjang becak motor, alat transportasi paling populer di kota, terjadi di SPBU dalam penantian bahan bakar yang sia-sia. "Saya telah mengantre selama lebih dari enam jam," kata seorang pengemudi, Mohammad Ali, kepada kantor berita Reuters.

Masyarakat menghabiskan enam sampai tujuh jam di antrean hanya untuk mendapatkan bensin. Pengemudi lain, Mohammad Naushad, mengatakan pom bensin yang dia tunggu kehabisan bahan bakar. "Kami sudah di sini sejak pukul 07.00-08.00. Sampai sekarang masih belum jelas apakah ada bahan bakar minyak atau tidak," katanya.

Terpukul oleh pandemi COVID-19, kenaikan harga minyak dan pemotongan pajak oleh Rajapaksa, negara kepulauan strategis di Samudra Hindia tersebut berada di tengah krisis yang tak tertandingi sejak kemerdekaannya pada tahun 1948.

Wickremesinghe belum mengumumkan menteri-menteri kunci termasuk menteri keuangan, yang akan bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk bantuan keuangan yang sangat dibutuhkan negara.

Mantan Menteri Keuangan Ali Sabry telah mengadakan pembicaraan awal dengan pemberi pinjaman multilateral, tetapi dia mengundurkan diri bersama dengan Mahinda Rajapaksa minggu lalu.
(fjo)