Sengkarut Kebijakan Minyak Goreng, Silih Berganti Tanpa Bukti
Mohammad Faizal
Rabu, 27 April 2022, 16:14 WIB
Kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng ditanggapi beragam. Sebagian mempertanyakan efektivitasnya untuk menurunkan harga dan menambah ketersediaan.
Presiden Jokowi Larang Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng
Berupaya keras menuntaskan masalah ketersediaan dan harga minyak goreng yang belum juga beres, pemerintah mengambil langkah tegas dengan melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau minyak sawit (CPO).
Keputusan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dilakukan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng. Jokowi pun memastikan kebijakan ini mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
"Dalam rapat tersebut telah saya putuskan, pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng per Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian," kata Presiden yang dikutip dari kanal Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (22/4/2022).
Jokowi menegaskan, dirinya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri normal dan harga kembali terjangkau.
Langkah tegas pemerintah tersebut langsung diapresiasi banyak pihak. Pujian salah satunya diberikan Ketua DPP Partai Perindo Bidang Sosial dan Kesejahteraan Rakyat Yerry Tawalujan. Dia mengatakan, sikap tegas Presiden Jokowi tentu akan disambut gembira oleh rakyat, apalagi jika segera terealisasi dengan turunnya harga minyak goreng.
"Larangan ekspor CPO dan minyak goreng oleh Presiden tentu merupakan kabar gembira yang dinantikan rakyat," ujar Yerry di Jakarta, Jumat (22/4/2022).
Namun demikian, lanjut Yerry, akan lebih baik lagi jika larangan ekspor CPO dan minyak goreng itu benar-benar ditaati oleh kementerian terkait, aparat penegak hukum, produsen dan semua stakeholder pelaku usaha CPO dan minyak goreng. "Sehingga harga minyak goreng segera turun dan langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat," ujar Yerry.
Petani Menjerit, Harga TBS Terjun Bebas Pasca Larangan Ekspor CPO
Hanya dalam hitungan hari setelah pemerintah mengumumkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng, para petani kelapa sawit menjerit. Pasalnya, kebijakan tersebut berdampak langsung pada harga Tandan Buah Sawit(TBS) milik petani.
Di Riau, harga TBS yang sebelumnya mencapai Rp4.000 per kg terjun bebas ke Rp1.100 per kg untuk petani swadaya. Hal ini jelas membuat petani sawit kelimpungan.
"Hari ini sawit saya hanya dibayar Rp1.100 per kilogram. Kemarin Rp2.500. Kita pusing dibuatnya," kata Raja Siregar petani Pekanbaru, Selasa (26/4/2022).
Hal senada diucapkan petani di Kabupaten Pelalawan, Suprianto. Dia mengatakan sebelumnya, harga sawit Rp3.700 per kg. Kini hanya Rp2.000. "Saya kemarin jual ke pabrik kelapa sawit (PKS), harga Rp2.300. Sekarang Rp2.150 per kg," cetusnya.
Anggota Kelompok Koperasi Berkah Tani Sawit di Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan, yang menjual sawitnya ke PT PSJ selaku ayah angkat petani tegas menyatakan keberatannya. "Kami keberatan dengan anjloknya harga di tingkat PKS," tegas Suprianto.
Hal senada diungkapkan Adi Saputra, dari Kelompok Tani Srikumla Sakti di Pangkalan Gondai, di mana dia menjual ke PKS PT Agrita Sari dengan harga Rp2.300 per kg.
"Setahu kami harga di Dinas Perkebunan Riau itu kan Rp3.600. Ini PKS sekarang kok beli murah. Kita curiga ada permainan harga di tingkat PKS," katanya.
Dia menuturkan, alasan PKS membeli murah sawit petani karena saat ini stok menumpuk. "Pihak PKS mengaku saat ini tangki minyak di Dumai (kota industri dan pelabuhan ekspor CPO) penuh. Ini alasan pihak PKS membeli murah," keluhnya.
Bukan Jaminan, Larangan Ekspor CPO Dinilai Kebijakan Emosional
Legislator bereaksi atas kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng yang diumumkan Presiden Joko Widodo belum lama ini. Tak tanggung-tanggung, Anggota Komisi VI DPR Rafli menilai kebijakan ini diputuskan berdasarkan pertimbangan emosional jangka pendek sehingga harus dievaluasi.
Rafli menegaskan, jika kegiatan ekspor dilarang, industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi CPO dan minyak goreng.
"Jangan sampai larangan kebutuhan ekspor minyak goreng mengakibatkan kerugian. Pemerintah perlu mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta stop ekspor, itu bukan solusi menyeluruh," tutur Rafli dalam keterangan persnya, ditulis, Selasa (26/4/2022).
Rafli meminta kebijakan itu dievaluasi, berkaca dari pengalaman sebelumnya, dimana pemerintah pernah memutuskan melarang ekspor batu bara. Tujuan kebijakan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan harapan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara.
Berdasarkan informasi yang ia terima, data produksi minyak goreng tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Di antaranya, sebanyak 5,07 ton (25,05%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton (74,93%) diekspor. Dari persentase tersebut, surplus produksi menjadi sangat besar.
Kebijakan ekspor, urai politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sudah diatur. Kebijakan ini pernah dipraktikkan oleh Malaysia, sebagai negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia dengan harga minyak goreng Rp8.500 per kg.
Oleh karena itu, Rafli menyarankan, agar setiap stakeholder yang berkaitan dan terdampak dengan kebijakan soal minyak goreng itu duduk bersama untuk evaluasi.
"Bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa. Untuk menjaga stabilitas harga, setiap daerah penghasil kelapa sawit harus ada pabrik pengolahan minyak goreng. Di sisi lain, ada tiga perusahaan besar BUMN TBK penghasil minyak goreng, semestinya pemerintah mampu bikin harga lebih murah," tandasnya.
Senada, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan larangan ekspor tidak menjamin turunnya harga minyak goreng di masyarakat. Bhima menegaskan, kunci dari mengatasi sengkarut minyak goreng di dalam negeri adalah pengawasan internal.
"Dengan diberlakukan kebijakan ini apakah harga minyak goreng otomatis akan turun? Belum tentu kan?" ucapnya saat webinar kelangkaan minyak goreng, Senin (25/4/2022).
Dia menekankan, permasalahan saat ini terletak pada lemahnya pengawasan terhadap produsen dan distributor. "Ini sekarang masalahnya justru pengawasan di tempat-tempat perbatasan, kebocorannya justru lebih besar dan kemudian ekspor-ekspor ilegalnya meningkat," tambahnya.
Bhima bahkan memperkirakan kebijakan larangan ekspor minyak goreng ini akan gagal sebelum dijalankan pada 28 April 2022. Jika setelah kebijakan diberlakukan dan kemudian dicabut harga minyak diduga akan naik lebih drastis.
"Saya tebak-tebakan nih sebelum tanggal 28 April 2022 ini bisa gagal loh. Karena memang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Dan jika larangan ekspor dicabut, minyak goreng kemasan masih memberlakukan harga sesuai mekanisme pasar, kita enggak tahu lagi kenaikannya nanti akan jadi berapa. Itu yang harusnya dipikirkan lagi oleh pemerintah," tandasnya.
Pemerintah Sebut Larang Ekspor untuk RBD Palm Olein Bukan CPO
Setelah menjadi polemik, kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng akhirnya diperjelas oleh pemerintah. Pasalnya, sebelumnya industri dan petani menangkap larangan ekspor tersebut berlaku untuk minyak sawit mentah (CPO) sehingga berdampak pada turunnya harga sawit di tingkat petani.
Dalam konferensi pers, Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah tidak melarang ekspor CPO, melainkan bahan baku minyak goreng berupa RBD palm olein.
"Diputuskan pelarangan ekspor RBD palm olein sejak 28 April pukul 00.00 WIB sampai harga minyak goreng curah Rp14.000 per liter," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (26/4/2022) malam.
Untuk diketahui, Refined, Bleached, Deodorized (RBD) Olein merupakan produk hasil rafinasi dan fraksinasi CPO yang digunakan sebagai minyak goreng. Airlangga menerangkan, produk RBD palm olein yang dilarang ekspor berlaku pada nomor Harmonized System (HS) 15119036, 15119037, dan 15119039.
Menko Airlangga menegaskan, larangan berlaku untuk seluruh produsen bahan baku minyak goreng tersebut. "Evaluasi akan dilakukan sesuai dengan kondisi (di lapangan)," tandasnya.
Sebelumnya, presiden Joko Widodo (Jokowi) usai melakukan rapat terbatas pada Jumat (22/4/2022) mengumumkan keputusan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
"Dalam rapat tersebut telah saya putuskan, pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng per Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian," kata Jokowi.
Keputusan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng ditempuh berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng. Jokowi pun memastikan kebijakan ini akan mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
"Saya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau," tandas Presiden.