Bukan Jaminan, Larangan Ekspor CPO Dinilai Kebijakan Emosional
Legislator bereaksi atas kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng yang diumumkan Presiden Joko Widodo belum lama ini. Tak tanggung-tanggung, Anggota Komisi VI DPR Rafli menilai kebijakan ini diputuskan berdasarkan pertimbangan emosional jangka pendek sehingga harus dievaluasi.
Rafli menegaskan, jika kegiatan ekspor dilarang, industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi CPO dan minyak goreng.
"Jangan sampai larangan kebutuhan ekspor minyak goreng mengakibatkan kerugian. Pemerintah perlu mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta stop ekspor, itu bukan solusi menyeluruh," tutur Rafli dalam keterangan persnya, ditulis, Selasa (26/4/2022).
Rafli meminta kebijakan itu dievaluasi, berkaca dari pengalaman sebelumnya, dimana pemerintah pernah memutuskan melarang ekspor batu bara. Tujuan kebijakan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan harapan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara.
Berdasarkan informasi yang ia terima, data produksi minyak goreng tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Di antaranya, sebanyak 5,07 ton (25,05%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton (74,93%) diekspor. Dari persentase tersebut, surplus produksi menjadi sangat besar.
Kebijakan ekspor, urai politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sudah diatur. Kebijakan ini pernah dipraktikkan oleh Malaysia, sebagai negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia dengan harga minyak goreng Rp8.500 per kg.
Oleh karena itu, Rafli menyarankan, agar setiap stakeholder yang berkaitan dan terdampak dengan kebijakan soal minyak goreng itu duduk bersama untuk evaluasi.
"Bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa. Untuk menjaga stabilitas harga, setiap daerah penghasil kelapa sawit harus ada pabrik pengolahan minyak goreng. Di sisi lain, ada tiga perusahaan besar BUMN TBK penghasil minyak goreng, semestinya pemerintah mampu bikin harga lebih murah," tandasnya.
Senada, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan larangan ekspor tidak menjamin turunnya harga minyak goreng di masyarakat. Bhima menegaskan, kunci dari mengatasi sengkarut minyak goreng di dalam negeri adalah pengawasan internal.
"Dengan diberlakukan kebijakan ini apakah harga minyak goreng otomatis akan turun? Belum tentu kan?" ucapnya saat webinar kelangkaan minyak goreng, Senin (25/4/2022).
Dia menekankan, permasalahan saat ini terletak pada lemahnya pengawasan terhadap produsen dan distributor. "Ini sekarang masalahnya justru pengawasan di tempat-tempat perbatasan, kebocorannya justru lebih besar dan kemudian ekspor-ekspor ilegalnya meningkat," tambahnya.
Bhima bahkan memperkirakan kebijakan larangan ekspor minyak goreng ini akan gagal sebelum dijalankan pada 28 April 2022. Jika setelah kebijakan diberlakukan dan kemudian dicabut harga minyak diduga akan naik lebih drastis.
"Saya tebak-tebakan nih sebelum tanggal 28 April 2022 ini bisa gagal loh. Karena memang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Dan jika larangan ekspor dicabut, minyak goreng kemasan masih memberlakukan harga sesuai mekanisme pasar, kita enggak tahu lagi kenaikannya nanti akan jadi berapa. Itu yang harusnya dipikirkan lagi oleh pemerintah," tandasnya.