Maju-Mundur Pembicaraan Damai Rusia-Ukraina
Mohammad Faizal
Rabu, 23 Maret 2022, 13:58 WIB
Hingga putaran keempat, perundingan perdamaian antara Kremlin dan Kiev belum juga sampai pada titik temu. Sementara, korban militer dan sipil terus berjatuhan.
Sudah Putaran Keempat, Belum Juga Ada Kemajuan Signifikan
Pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina telah memasuki ronde ke-4. Namun demikian, Kremlin menyatakan bahwa pembicaraan damai antara kedua negara belum membuat kemajuan yang signifikan.
Bahkan, Moskow menuduh Kiev menghentikan pembicaraan damai dengan membuat proposal yang tidak dapat diterima oleh Rusia. Kendati menyatakan bersedia bernegosiasi, Kiev menegaskan bahwa Ukraina tetap tidak akan menyerah atau menerima ultimatum Rusia.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Senin (21/3/2022) mengatakan, kemajuan signifikan dalam pembicaraan masih harus dibuat agar ada dasar bagi kemungkinan pertemuan antara Presiden Vladimir Putin dan timpalannya dari Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
"Bagi kami untuk berbicara tentang pertemuan antara kedua presiden, pekerjaan rumah harus dilakukan. Pembicaraan harus diadakan dan hasilnya disepakati," jelas Peskov seperti dikutip dari Reuters. Namun, tegas dia, sejauh ini belum ada kemajuan yang signifikan.
Kremlin mengklaim bahwa Rusia menunjukkan kesediaan lebih dari negosiator Ukraina untuk bekerja menuju kesepakatan pada pembicaraan.
Namun, berbeda dengan klaim Kremlin mengenai jalannya perundingan, Turki menilai Rusia-Ukraina telah membuat kemajuan dalam negosiasi untuk menghentikan perang. Kedua belah pihak disebut sudahy mendekati kesepakatan.
"Tentu saja, bukan hal yang mudah untuk berdamai saat perang sedang berlangsung, sementara warga sipil terbunuh. Tetapi kami ingin mengatakan bahwa momentum masih diperoleh," kata Menteri Luar Negeri Tuski, Mevlut Cavusoglu, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Turki sebagai mediator menilai para pihak hampir mencapai kesepakatan. Cavusoglu mengatakan, Turki telah melakukan kontak dengan tim perunding dari kedua negara. Namun, dia menolak untuk membocorkan rincian pembicaraan.
Menurut Juru Bicara Kepresidenan Turki Ibrahim Kalin, kedua pihak sedang merundingkan enam poin: 1). Netralitas Ukraina, 2). Perlucutan senjata dan jaminan keamanan, 3). De-Nazifikasi, 4). Penghapusan hambatan penggunaan bahasa Rusia di Ukraina, 5). Status republik yang memisahkan diri di wilayah Donbas, dan 6). Status Krimea yang dianeksasi oleh Rusia pada tahun 2014.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Dmytro Kuleba dari Ukraina bertemu di kota resor Turki Antalya awal bulan ini. Namun, dalam diskusi-diskusi yang dihadiri Cavusoglu tersebut tidak membuahkan hasil yang konkrit.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah berulang kali menyerukan perdamaian, mendesak Rusia untuk menerima pembicaraan "bermakna" untuk mengakhiri invasi.
"Inilah saatnya untuk bertemu, berbicara, waktu untuk memperbarui integritas teritorial dan keadilan bagi Ukraina," katanya, dalam sebuah video yang diposting di media sosial, Sabtu (19/3).
Rusia: Netralitas Ukraina Kunci dalam Pembicaraan Konflik
Bagi Rusia, netralitas Ukraina menjadi pusat perhatian pada pembicaraan yang sedang berlangsung antara Moskow dan Kiev. Netralitas negara tetangganya itu disebut sebagai kunci untuk menemukan solusi diplomatik guna menghentikan konflik.
Negosiator utama Moskow mengatakan delegasinya mendorong Ukraina untuk mengambil status yang sebanding dengan Swedia atau Austria , dua negara netral di Eropa Barat.
Pembicaran terakhir berakhir dengan Kiev menunjuk ke "kontradiksi mendasar" di posisi Rusia dan Ukraina. "Status netral Ukraina sekarang sedang dibahas secara serius, tentu saja, di samping jaminan keamanan," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, kepada outlet berita bisnis RBK dalam sebuah wawancara.
"Inilah yang sekarang sedang dibahas dalam pembicaraan. Ada kata-kata yang benar-benar spesifik dan menurut saya, kedua pihak hampir menyetujuinya," tambahnya seperti dilansir dari Al Araby, Kamis (17/3/2022).
Perunding utama Rusia Vladimir Medinsky menyebutkan bahwa pembicaraan berlangsung "lambat dan sulit". Namun, dia menegaskan bahwa Kremlin menginginkan perdamaian sesegera mungkin.
Dia juga menegaskan bahwa masalah inti dalam pembicaraan adalah netralitas Ukraina, mengacu pada status Austria dan Swedia sebagai contoh yang bisa untuk diikuti.
Medinsky menambahkan bahwa masalah lain sedang dibahas, termasuk status semenanjung Crimea, yang dianeksasi oleh Rusia pada 2014, serta wilayah yang dikuasai selama bertahun-tahun oleh separatis pro-Moskow.
Harapan Ukraina, Perjanjian Damai dengan Rusia Dicapai pada Mei
Penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Oleksiy Arestovych, percaya bahwa perjanjian damai dengan Rusia dapat dicapai paling cepat dalam satu hingga dua pekan, dan paling lambat bulan Mei nanti.
Sebelumnya, Presiden Zelensky mengajukan kepada parlemen satu undang-undang untuk memperpanjang rezim darurat militer di Ukraina selama 30 hari lagi. Darurat militer diterapkan pada 24 Februari 2022 saat dimulainya operasi militer khusus Rusia.
Dalam wawancara dengan wartawan Rusia Mark Feygin pada Senin (14/3/2022), Arestovych menyatakan, Ukraina dapat mencapai kesepakatan damai dengan Rusia paling lambat Mei, bahkan mungkin jauh lebih cepat.
"Jika kesepakatan gagal, maka pada akhir Mei, setelah putaran (negosiasi) lainnya, permusuhan akan berlanjut," ujar dia, dilansir Sputnik pada Selasa (15/3/2022). Kendati ada kemungkinan kesepakatan damai, Arestovych menyebut pertempuran lokal dapat berlangsung di seluruh negeri selama satu tahun.
Putaran keempat negosiasi antara Moskow dan Kiev diadakan pada Senin melalui konferensi video. Penasihat Zelensky, Mikhaylo Podolyak, mengatakan jeda teknis dalam pembicaraan telah diambil, dan negosiasi akan dilanjutkan pada Selasa.
Tiga putaran pertama negosiasi diadakan di Belarusia pada 28 Februari di wilayah Gomel, pada 3 dan 7 Maret di Belovezhskaya Pushcha, di wilayah Brest.
Setelah itu pembicaraan beralih ke format video. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyebut pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai tugas negosiasi. Israel dan Turki secara sukarela membantu penyelenggaraannya.
Zelensky: Kesepakatan dengan Rusia Harus Lalui Referendum Rakyat
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengisyaratkan kemajuan dalam pembicaraan dengan Rusia. Kendati demikian, dia mengatakan setiap kompromi "bersejarah" yang mungkin disetujui oleh negosiatornya akan tunduk pada persetujuan seluruh negara dalam referendum.
Pernyataan itu diungkapkan Zelensky saat menjawab pertanyaan tentang tuntutan Rusia untuk jaminan keamanan bagi dua republik Donbass dan untuk pengakuan Krimea, semenanjung yang dikuasai kembali oleh Rusia pada 2014 lalu.
Donbass dan Krimea masih dianggap Kiev dan Barat sebagai wilayah Ukraina. "Saya menjelaskan kepada semua kelompok perunding: ketika Anda berbicara tentang semua perubahan ini, dan itu mungkin bersejarah, kami tidak akan pergi ke mana pun, kami akan datang ke referendum," ungkap Zelensky kepada penyiar publik Ukraina dalam sebuah wawancara.
Zelensky menambahkan, "Orang-orang akan memiliki suara mereka dan memberikan jawaban mereka untuk beberapa jenis kompromi atau lainnya. Mengenai apa yang akan terjadi, itu adalah masalah percakapan kami antara Ukraina dan Rusia."
Sebelumnya, Rusia menolak tawaran Zelensky untuk bertemu langsung dengan Presiden Vladimir Putin. Rusia menilai pembicaraan itu tidak membuat kemajuan yang signifikan. "Bagi kami untuk berbicara tentang pertemuan antara kedua presiden, pekerjaan rumah harus dilakukan. Pembicaraan harus diadakan dan hasilnya disepakati," ujar Jubir Kremlin Dmitry Peskov.
Rusia juga menolak seruan untuk gencatan senjata, dengan mengatakan jeda seperti itu telah digunakan oleh Kiev untuk berkumpul kembali dan melancarkan serangan terhadap pasukannya. Senin (21/3/2022) adalah kali pertama Zelensky mengemukakan gagasan mengenai referendum sejak Moskow mengirim pasukan ke Ukraina hampir sebulan lalu.
Kembali pada Desember, setelah panggilan telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, dia mengatakan dia tidak akan mengesampingkan referendum dari semua rakyat Ukraina mengenai republik Donbass yang disengketakan, Krimea, dan mungkin, secara umum, untuk menghentikan perang yang telah berlangsung di timur negara itu sejak 2014.
Moskow menyerang tetangganya pada akhir Februari, menyusul kebuntuan tujuh tahun atas kegagalan Ukraina menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, dan Rusia mengakui kemerdekaan atas kedua republik.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS. Sementara, Kiev menegaskan bahwa serangan Rusia tidak beralasan dan membantah klaim bahwa pihaknya berencana merebut kembali kedua republik itu dengan paksa.