Transisi Energi demi Masa Depan Anak Negeri
Mohammad Faizal
Sabtu, 26 Februari 2022, 20:48 WIB
Di tengah segala keterbatasan, Indonesia menegaskan komitmen untuk mendorong percepatan transisi energi guna memenuhi target Net Zero Emission pada tahun 2060.
Cari Solusi, G20 Bahas Beragam Tantangan Transisi Energi
Tiga isu penting terkait transisi energi akan menjadi fokus pembahasan dalam momen Presidensi G20. Ketiga isu ini menjadi kunci guna mencapai target Indonesia nol persen emisi (Net Zero Emission/NZE) pada 2060 mendatang.
"Transisi energi ini mengangkat tiga isu prioritas yaitu akses, teknologi, dan pendanaan. Diharapkan memberi hasil persidangan yang lebih konkret untuk percepatan transisi energi," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam cara Peluncuran Transisi Energi G20, Kamis (10/2/2022).
Arifin menjelaskan, isu akses mengarah kepada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua, terutama energi untuk elektrifikasi dan memasak bersih.
Sementara isu teknologi, kata Arifin, difokuskan untuk membangkitkan lebih banyak energi dengan cara yang lebih efisien atau dengan cara baru. Penyimpanan energi akan menjadi salah satu topik yang diangkat dalam topik ini, termasuk sistem energi rendah karbon, pembangunan industri bersih, integrasi energi terbarukan hingga efisiensi energi.
Isu terakhir yang paling penting adalah soal pendanaan. Transisi energi membutuhkan proyek-investasi jumbo untuk membangun pembangkit listrik bersih sekaligus jaringannya, yang amat dibutuhkan agar dapat berkembang secara masif.
Terkait dengan isu-isu tersebut, Arifin menjelaskan bahwa Indonesia meminta dukungan negara-negara lain agar transisi energi ini berjalan dengan lancar.
"Kami mohon dukungannya untuk kita bisa saling bersinergi untuk bisa menyukseskan pilar transisi energi, sekaligus memperkuat semangat transisi energi yang berkelanjutan di masing-masing forum G20," ujar Arifin.
Presiden Jokowi Tak Ingin Transisi Energi Bebani Rakyat
Transisi energi ditegaskan menjadi salah satu pilar penting dalam tema Presidensi G20 tahun 2022. Bukan hanya untuk Indonesia, namun juga bagi negara-negara G20, komunitas global, korporasi hingga lembaga keuangan.
Namun, untuk berpindah dari penggunaan energi fosil ke energi bersih diakui butuh anggaran tak sedikit. Terkait dengan itu, di acara Peluncuran Transisi Energi G20, Kamis (10/2/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar transisi energi dilakukan secara berkeadilan terutama dari segi pendanaan.
"Transisi energi ini harus berkeadilan. Transisi energi memerlukan biaya yang sangat besar, tentu banyak negara miskin dan berkembang tidak mampu atau tidak mau membebani masyarakat apalagi di pandemi ini. Beban sudah semakin berat," ujar Jokowi dalam sambutannya yang disampaikan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Presiden juga berpesan agar transisi energi ini tidak mengganggu kestabilan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebab, perubahan paradigma dipastikan berdampak pada perubahaan pekerjaan, skenario pembangunan, orientasi bisnis dan lainnya.
"Jadi kita ingin yang berkeadilan, yang bebannya berat harus bantu, yang siap silakan jalan sendiri. Kita harus didukung penuh oleh kerja sama yang kuat. ini yang akan kita bangun di G20," tegas Kepala Negara.
Karena itu, salah satu isu penting yang akan dibawa dalam pembahasan transisi energi pada forum G20 adalah pendanaan. Jokowi mengatakan, di sini perlu peran investasi dan kontribusi sektor swasta, filantropi dan bentuk pendanaan inovatif yang bisa mengafirmasi komitmen pendanaan USD100 miliar (sekitar Rp14.300 triliun) dari negara maju kepada negara berkembang.
Jokowi menegaskan akan meminta komitmen global dari masing-masing pemimpin negara-negara G20 untuk menyepakati langkah konkret dalam percepatan transisi energi.
Transisi Energi Butuh Rp3.500 Triliun, Mampukah APBN RI?
Transisi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan membutuhkan biaya yang sangat besar. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, transisi energi butuh biaya sedikitnya Rp3.500 triliun.
Hal ini diakui menjadi tantangan besar, yaitu bagaimana upaya untuk meraih pendanaan sebesar itu. Terlebih, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipastikan tidak akan mampu menanggung beban tersebut sendirin.
"Kita sekarang sedang membangun fiscal policy untuk climate change work. Tujuannya untuk mengumpulkan dana internasional termasuk green finance," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rangakaian forum G20, di Bali, Kamis (9/12/2021).
Karena APBN tidak akan bisa menanggung beban sebesar itu, kata Sri Mulyani, pihaknya menyiapkan beberapa langkah lain, seperti kebijakan fiskal. Adapun APBN akan difokuskan untuk kegiatan yang mendukung ekonomi berkelanjutan.
"Kemudian, untuk membangun transportasi seperti LRT, MRT, yang tidak hanya untuk mengurangi kemacetan namun untuk mengurangi emisi C02," jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga akan menggandeng pihak swasta agar mau berinvetasi mengembangan energi baru terbarukan (EBT). "Karena kebutuhannya tadi Rp3.500 triliun nggak mungkin semua dari APBN, pasti dari private sector, dan mereka pasti pinjam. Kalau dia pinjam di bank risiko tinggi dia nggak bisa, sehingga bank sentral dan OJK perlu memberikan sinyal bahwa sekarang investasi climate change risikonya bisa diturunkan. Ini akan didiskusikan," jelasnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat bahwa anggaran jumbo transisi energi berkaitan dengan persepsi investor soal pembangkit hijau di Indonesia. Investasi energi terbarukan di Indonesia menurutnya memiliki persepsi risiko yang masih tinggi.
"Hal ini menyebabkan biaya pendanaan (financing cost) proyek-proyek energi terbarukan cukup mahal. Padahal di negara lain financing cost energi terbarukan jauh lebih rendah dari fosil," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia.
Menurut Fabby, sebenarnya harga energi terbarukan tidak semahal yang dibayangkan. "Memang benar bahwa pengembangan infrastruktur energi terbarukan butuh dana besar, tapi ini sama juga kalau membangun infrastruktur energi fosil yang lain seperti bangun PLTU atau PLTG," ujarnya.
Fabby menegaskan, tidak semua energi terbarukan butuh dana besar. Hal itu antara lain terlihat dari harga listrik dari pembangkit berbasis surya dan angin yang saat ini sudah turun drastis. Tercatat, saat ini harga listrik PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) tanpa baterai telah mendekati USD3,5 sen hingga USD 3,6 sen per kWh, turun dari satu dekade lalu yang nilainya masih USD30 sen per kWh (tanpa baterai).
"Yang mahal itu PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi) yang selama ini justru dapat fasilitas insentif dari pemerintah," katanya.
Terkait dengan itu, Fabby menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan investasi energi hijau yang atraktif agar investor yakin dalam berinvestasi. "Buatlah investasi energi terbarukan lebih mudah, menarik, dengan cara turunkan risiko-risikonya," tandasnya.
Negara-negara Ini Dukung Transisi Energi RI
Langkah Indonesia menjalankan transisi dari energi fosil ke energi bersih mendapat dukungan dari negara-negara lain. Dukungan itu berupa komitmen investasi untuk sejumlah proyek energi baru terbarukan (EBT) yang dikembangkan di dalam negeri.
Salah satunya berasal dari Inggris sebesar USD9,29 miliar atau setara Rp132,8 triliun (kurs Rp14.300/USD) berupak komitmen investasi dalam rangka transisi energi dan ekonomi hijau. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar komitmen investasi ini dikawal sehingga benar-benar terealisasi.
Selanjutnya, dukungan percepatan transisi energi diberikan oleh Pemerintah Jerman. Dukungan tersebut diwujudkan dengan komitmen investasi hijau sebesar USD2 miliar atau setara dengan Rp28,6 triliun.
"Dukungan ini untuk mengembangkan panas bumi, hydropower, minihydro dan pengembangan PLTS," ujar Duta Besar Jerman untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste Ina Lepel dalam rangkaian acara Indonesian German Renewable Energy Day 2021–RE Day 2021 secara virtual, di Jakarta, baru-baru ini.
Tak hanya itu, dukungan juga diberikan melalui berbagai macam pelatihan keterampilan, dialog dan peningkatan kesadaran terhadap energi hijau serta mendorong proses transisi energi yang adil dan seimbang antara ekonomi, lingkungan, dan masyarakat.
Dukungan juga diberikan Denmark yang menjadi salah satu mitra penting dalam perjalanan Indonesia menuju transisi energi. Selain program bilateral yang sedang berjalan seperti Indonesia-Denmark Partnership Program (Indodepp) dan Sustainable Island Initiatives (SII), beberapa perusahaan energi Denmark juga berencana berinvestasi di Indonesia.
Proyek-proyek tersebut akan dilaksanakan oleh Copenhagen Infrasrukture Partners senilai USD700 juta, Vestas (USD400 juta), dan Howden (USD40 juta).
Di bawah kemitraan kerja sama bilateral, Denmark telah menyelesaikan laporan studi mereka tentang RE Pipeline, serta hasil Studi Pra-FS pada Proyek EBT di Sulawesi Utara dan Riau. Studi-studi ini diselesaikan untuk menjembatani kesenjangan antara Rencana Energi Nasional dan Proyek EBT Provinsi.
"Dalam kemitraan tingkat provinsi lainnya, saya mencatat bahwa Pemerintah Denmark juga mendukung transisi energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Saya berharap proyek kemitraan semacam ini dapat direplikasi di provinsi atau daerah lain di Indonesia," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif beberapa waktu lalu.
Indonesia juga telah menandatangani nota kerja sama (memorandum of cooperation/MoC) dengan Pemerintah Jepang mengenai realisasi transisi energi antara kedua negara. Kesepakatan ini ditandatangani oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang, Hagiuda Koichi, bulan lalu di Jakarta.
Menteri Arifin juga mengundang partisipasi investor untuk mendukung program transisi energi Indonesia. Beberapa perangkat kebijakan yang dilakukan antara lain memberikan kemudahan berbisnis dan menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri ESDM terkait tarif EBT.
Pemerintah Indonesia juga membuka diri terhadap lembaga keuangan global untuk memberikan pendanaan dalam proyek transisi energi. Bantuan pendanaan antara lain berasal dari Bank Dunia, UNFCCC, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lembaga komersial lainnya.
Hal itu menunjukkan bahwa transisi energi merupakan tantangan terbesar saat ini. Namun, hal itu diyakini bisa direalisasikan melalui kolaborasi antar negara dan juga lembaga global, termasuk institusi keuangan.