Link Copied
Nasihat dan Kisah Para Ulama

Nasihat dan Kisah Para Ulama

By SM Said
Ulama memiliki kedudukan yang terhormat karena adalah pewaris para nabi. Keberadaan ulama turut berperan penting setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW

Nasihat Ulama Harus Dijadikan Pedoman Hidup


Nasihat Ulama Harus Dijadikan Pedoman Hidup


Para ulama menyatakan sesungguhnya nasihat itu hanya bermanfaat bagi orang yang menerimanya dengan hatinya. Dan seseorang tidak bisa dapat menerima nasihat kecuali orang yang bertaubat.

Ulama besar Yaman pengarang Ratib Al-Haddad, Habib Abdullah Al-Haddad (1634-1720) menjadikan perumpamaan orang tidur dan orang yang lupa untuk segera dibangunkan dan diingatkan.

Begitu pula keadaan manusia yang penuh dengan kelalaian, sehingga ia harus diingatkan. Ada yang lalai seperti orang tidur dan ada pula seperti orang lupa. Bahkan ada yang lalai seperti orang mati, tidak bisa lagi diingatkan dan ditegur.

Itu sebabnya Islam menganjurkan umatnya agar saling menasihati. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda: "Addiin An-Nashiihah (agama adalah nasihat)".

Imam Hatim Al-Asham (wafat 237 H), seorang ulama besar Khurasan yang mendapat julukan Al-Asham (yang tuli). Imam Hatim Al-Asham tidak tuli, akan tetapi pernah berpura-pura tuli karena ingin menjaga kehormatan orang lain.

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Rahman Hatim bin Alwan. Imam Hatim Al-Asham pernah mengunjungi Baghdad (Irak) dan menetap di kota itu hingga akhir hayatnya.

Imam Hatim wafat di Wasyjard, dekat Kota Tarmidz, pada tahun 237 H (852 M).

Hatim Al-asham adalah ulama yang sangat santun dan dikenal dermawan. Suatu hari, Imam Hatim Al-Asham ditanya oleh sahabatnya, Syaqiq al-Balkhi. "Engkau telah bersahabat denganku selama 30 tahun, apa yang engkau dapatkan selama ini?" tanya Syaqiq. "Aku telah mendapatkan 8 pelajaran yang kuharapkan dapat menyelamatkanku," jawab Imam Hatim.

Berikut 8 Nasihat Imam Hatim Al-Asham:

1. Kuamati kehidupan manusia, kudapati setiap manusia memiliki kecintaan dan kesayangan. Dari beberapa kecintaannya itu, ada yang menemaninya sampai pada sakit yang menyebabkan kematiannya, dan ada yang mengantarnya sampai ke pekuburan. Setelah itu mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri, tidak ada satu pun orang yang bersedia masuk ke dalam kubur menemaninya. Kurenungkan hal ini lalu kukatakan: "Sebaik-baik kecintaan adalah yang mau menemani seseorang di dalam kubur dan menghiburnya. Aku tidak mendapatkan yang demikian itu kecuali amal saleh". Oleh karena itu, kujadikan amal saleh sebagai kecintaanku agar dapat menjadi pelita kuburku, menghiburku di dalamnya, dan tidak akan meninggalkanku seorang diri.

2. Kuperhatikan bahwa manusia selalu memperuntuhkan hawa nafsunya, dan bersegera dalam memenuhi keinginan nafsunya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya)."(QS an-Nazi'at: 40-41). Aku yakin bahwa Al-Qur'an adalah haq dan benar, maka aku bersegera menentang hawa nafsuku dan menyiapkan diri untuk memeranginya. Tidak sekali pun aku ikuti kehendaknya sampai akhirnya ia tunduk dan taat kepada Allah.

3. Aku melihat setiap orang berusaha mencari harta dan kesenangan duniawi, kemudian menggenggamnya erat-erat. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal". (QS. an-Nahl: 96). Karena itu, kubagi-bagikan dengan ikhlas penghasilanku kepada kaum fakir miskin agar menjadi simpananku kelak disisi-Nya.

4. Kuperhatikan sebagaian manusia beranggapan bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pengikut dan famili, lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Yang lain mengatakan terletak pada harta yang melimpah dan anak yang banyak, lalu mereka bermegah-megah dengannya. Sebagian yang lain mengira terletak dalam merampok harta orang lain,menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Dan sebagian lagi menyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak dalam menghambur-hamburkan dan memboroskan harta. Aku lalu merenungkan wahyu Allah Ta’ala: "...sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian." (QS al-Hujurat: 13). Lalu kupilih taqwa karena aku yakin bahwa Qur’an itu haq dan benar, sedang pemikiran dan pendapat mereka keliru dan tidak langgeng.

5. Kuperhatikan manusia sering saling menghina dan bergunjing (ghibah). Perbuatan buruk itu ditimbulkan oleh perasaan dengki (hasad) sehubungan dengan harta, kedudukan, dan ilmu. Kemudian kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "...Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia...(QS az-Zukhruf: 32). Maka tahulah aku, bahwa pembagian itu telah ditentukan oleh Allah sejak di alam azali. Oleh karena itu, aku tidak boleh mendengki siapa pun dan harus rela dengan pembagian yang telah diatur oleh Allah Ta’ala.

6. Kuperhatikan manusia saling bermusuhan satu dengan lainnya karena berbagai sebab dan tujuan. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian)... " (QS Fathir: 6). Maka sadarlah aku, bahwa aku tidak boleh memusuhi siapa pun kecuali setan.

7. Kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara yang dapat menghinakan diri dan mengurangi kehormatannya. Lalu kerunungkan wahyu Allah Ta’ala: "Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan ALLAH-lah yang menanggung rezekinya." (QS Hud :6). Maka sadarlah aku, bahwa sesungguhnya rezeki ada di tangan Allah Ta’ala, dan Ia telah memberikan jaminan. Oleh karena itu, aku lalu menyibukkan diri dengan ibadah dan tidak meletakkan harapan pada selain-Nya.

8. Kuperhatikan sebagian orang yang menyandarkan diri pada benda-benda buatan manusia, sebagian orang bergantung pada dinar dan dirham, sebagian pada harta dan kekuasaan, sebagian pada kerajinan dan industri, dan sebagian lagi pada sesama makhluk. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "....dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu." (QS at-Thalaq: 3). Maka aku pun lalu bertawakal kepada Allah Ta’ala dan mencukupkan diri dengan-Nya, karena Ia adalah sebaik-baik Dzat yang bisa kupercaya untuk mengurus dan melindungi semua kepentinganku".

Setelah mendengar nasihat Imam Hatim , Syaqiq berkata, "Semoga Allah memberimu taufik. Aku telah membaca Taurat, Injil, Zabur dan Furqan ( Al-Qur'an ) ternyata semua kitab itu membahas kedelapan persoalan ini. Oleh karena itu, barang siapa mengamalkannya, maka ia telah mengamalkan keempat kitab tersebut." Subhanallah, demikian nasihat ulama besar Imam Hatim Al-Asham yang menggugah hati.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah beliau dan mengamalkan nasihatnya

Pertolongan Allah Sangat Dekat, Kapan Pertolongan-Nya Datang?

Pertolongan Allah Sangat Dekat, Kapan Pertolongan-Nya Datang?

Sejumlah sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW): "Ya Rasulullah, kapan akan datang pertolongan Allah Ta'ala?". Nabi SAW menegaskan: "Ketahuilah pertolongan Allah sangatlah dekat". "Pertolongan ini tentu tidak datang begitu saja. Tapi bisa diundang dengan kebajikan yang dilakukan hamba-Nya. Sekecil apapun amal ibadah hamba-Nya pasti ada nilai perlindungan dari Allah Ta'ala," kata KH Ahmad Busyairi Nafis dalam khutbah Jumat di Masjid Nurul Hidayah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pekan lalu.

Dalam Hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW mengatakan, penjagaan Allah Ta'ala datang apabila manusia menjaga Allah Ta'ala.

Sayyidina Abdullah bin Abbas dipanggil oleh Rasulullah SAW : "Ya Ghulam, dalam penghilang petaka jagalah Allah, maka kau akan dijaga Allah subhanahu wa ta'ala".

Kata ulama, menjaga Allah yaitu dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dua perkara ini apabila dikerjakan, maka kita senantiasa dijaga Allah Ta'ala.

Dalam riwayat lain, saat Rasulullah SAW berada di depan musuh-musuhnya, beliau mengatakan sesungguhnya rezeki dan pertolongan akan datang disebabkan orang-orang miskin di tengah-tengah kalian yang hari-harinya terpaut doa yang didengar Allah Ta'ala.

Salah satu amalan menjaga syariat Allah yaitu membaca Ayat Kursi selesai salat. Kata Nabi, bacaan itu akan jadi perisai dari hal yang tidak disenangi dan dari godaan syaithan.

Kemudian menjaga wudhu' juga bisa menjadi obat bagi mereka yang memiliki penyakit pernafasan. Sayyidina Bilal bin Rabah saat ditanya Rasulullah SAW : "Ya Bilal apakah perbuatan baik yang paling kau harapkan besar pahalanya di sisi Allah karena sesungguhnya aku mendengar hentakan sandalmu di dalam surga." Kata Bilal: "Ya Rasulullah , sesungguhnya aku tidak berhadats melainkan aku wudhu' dan salat sunnah 2 rakaat wudhu'".

Rasulullaah SAW bersabda: "Dengan sebab itu engkau meraih kedudukan tinggi di sisi Allah Ta'ala".

Menjaga wudhu' adalah sebab diangkatnya Sayyidina Bilal bin Rabah RA sehingga orangnya masih hidup tetapi tempatnya di sisi Allah sudah tampak di dalam surga-Nya.

Ketahuilah, penjaga sesungguhnya yang tak satupun sanggup mengalahkannya ialah penjagaan Allah yang kita dapatkan dari ibadah pada-Nya. Karena itu, mari memanfaatkan kesempatan waktu dan nikmat sehat serta umur panjang ini dengan senantiasa menjaga perintah Allah.

Semoga Allah Ta'ala angkat bala' dan dari ujian ini jadi kafarat. Tidak berakhir ujian ini melainkan Allah Ta'ala telah hapus dosa-dosa kita. Insya Allah.

Hidayah Itu Harus Dijemput, Bukan Ditunggu

Hidayah Itu Harus Dijemput, Bukan Ditunggu

Penggagas Jurus Sehat Rasulullah (JRS), Ustaz Dokter Zaidul Akbar mengajarkan kita tentang hakikat dan berharganya hidayah . Dalam tausiyahnya beliau mengatakan bahwa hidayah itu harus dijemput, bukan ditunggu. Berikut defenisi hidayah menurut Ustaz Dokter Zaidul Akbar yang dipostingnya melalui IG @zaidulakbar.

Hidayah itu bisa jadi dari salat yang dilakukan lalu Allah memberi hidayah. Hidayah itu bisa jadi dari Al-Qur'an yang dibaca dan dibacakan lalu Allah memberi hidayah.

Hidayah itu bisa jadi dari zikir yang terucap dari lisan sehingga hati tergetar dan menjadi lembut. Hidayah itu bisa jadi dari sedekah yang diberikan setiap hari.

Hidayah itu bisa jadi dari silaturahim ke kerabat keluarga lalu Allah melembutkan hati dan memberi taufik. Hidayah itu bisa jadi diberi-Nya saat bencana atau musibah lalu ia menolong orang lain dengan tangannya.

Hidayah itu bisa jadi diberi-Nya saat ada nikmat lalu disyukuri sang hamba. Hidayah itu bisa jadi datang saat merenungkan apa makna hidup yang berlalu dan mau kemana hidup tersebut.

"Kita semua memerlukan hidayah. Hidayah untuk merasakan manisnya iman, hidayah untuk merasakan kasih sayang Allah, hidayah untuk berbaik sangka kepadaNya, hidayah untuk merasakan betapa Maha Pengasih dan Penyayangnya Allah," kata Ustaz Zaidul Akbar.

Selain itu, kita butuh hidayah untuk sibuk dengan kelemahan dan kekurangan diri serta kesalahan yang telah diperbuat sehingga akhirnya hidupnya sibuk dengan ibadah dan memohon ampun kepadaNya atas semua kesalahan tersebut.

Hidayah untuk merasakan betapa Allah tidak menzalimi hamba-Nya seberat apapun keadaan sang hamba karena itulah bentuk kasih sayangNya. Kemudian hidayah untuk bersiap-siap dengan pertemuan dengan-Nya, hidayah untuk memahami Islam dan apa yang sudah disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Dan hidayah itu harus dijemput bukan ditunggu. Hidayah itu akan diberiNya jika sang hamba bersungguh-sungguh mengejarnya dan jika hidayah itu sudah diberi-Nya maka dunia dan segala isinya tidak akan bisa dibandingkan dengan hidayah yang membuat hidupnya menjadi berharga," kata Ustaz Zaidul Akbar.

Semoga Allah Ta'ala berkenan memberi kita taufik dan hidayah -Nya agar menjadi hamba yang diridhai-Nya.

Allahumma innii As-alukal Hudaa wat Tuqaa wal 'Afaafa wal Ghinaa (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, keterjagaan, dan kekayaan). (HR. Muslim, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan lainnya)

Ibnu Katsir Karyanya Berkuaitas dan Tak Lekang oleh Sejarah

Ibnu Katsir Karyanya Berkuaitas dan Tak Lekang oleh Sejarah

Salah satu sosok ulama yang menguasai beragam bidang keilmuan adalah Ibnu Katsir. Wawasannya sangat luas. Kepakarannya dibuktikan dengan karya-karya berkualitas tinggi, tidak lekang oleh sejarah, dan masih dapat dinikmati hingga kini.

Imad al-Din Abu Fida’ Islam’il ibn al-Khatib Syihab al-Din Abu Hafsah Umar ibn Katsiral Syafi’i al-Dimasyqi adalah nama lengkapnya. Ia sering disebut dengan al-Busrawi, gelar yang dilekatkan pada tanah kelahirannya: Busra atau Basrah.

Selain itu, ia juga diberi gelar al-Dimasyqi karena Kota Basrah yang terletak di kawasan Damaskus. Ya, Ibnu Katsir lahir di Kampung Mijdal, daerah Bushra, sebelah timur Kota Damaskus, Suriah, pada 700 H/1301 M.

Ia lahir dan hidup di tengah keluarga terhormat. Ayah Ibnu Katsir berasal dari Bushra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya, Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir adalah ulama yang faqih dan berpengaruh di daerahnya.

Ia juga terkenal sebagai ahli ceramah. Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H dan wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana.

Ibn Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Sosok ayah sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta teladan sang ayah sangat memotivasi Ibnu Katsir. Bahkan, ia berhasil menandingi bahkan melampaui keulamaan ayahnya.

Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama dan menjunjung nilai-nilai keilmuan, menjadi modal Ibn Katsir dalam menekuni banyak ilmu pengetahuan hingga menjadi sosok ulama yang diperhitungkan.

Sayangnya, Ibnu Katsir tidak mengalami masa indah bersama ayahnya. Ayahnya wafat ketika ia baru berumur tiga tahun. Nilai-nilai cinta ilmu kemudian dilanjutkan oleh kakaknya, Abdul Wahab.

Kakaknya inilah yang mendidik dan mengayomi Ibn Katsir kecil, hingga ia selesai menghafalkan Al-Qur’an pada saat usianya genap sebelas tahun.

Pada tahun 707 H, Ibn Katsir pindah ke Kota Damaskus. Ia pun tumbuh dan berkembang di kota ini.

Ia banyak menimba ilmu dari para ulama besar dan terkenal di masa itu. Ia berguru kepada Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari, Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq ibn Yahya ibn al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Jamaluddin Yusuf ibn Zaki al-Mizzi, dan masih banyak lagi.

Belum puas sampai di situ, Ibnu Katsir juga mengembara untuk belajar dan menimba ilmu hingga ke Mesir dan beberapa negara lain.

Ibnu Katsir dikenal pemberani. Ia tidak gentar berhadapan dengan penguasa. Ia terdepan mendukung kebijakan penguasa yang sesuai dengan petunjuk Ilahi.

Di saat yang sama, ia juga terdepan mengkritik atau memilih berseberangan dengan penguasa yang menyalahi aturan Tuhan dan Undang-Undang yang membawa kemaslahatan untuk umat.

Ia bahkan pernah harus menanggung siksaan karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Sempat juga ia disidang karena menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang mengaku dirinya menyatu dengan Tuhan. Petualangannya menuntut ilmu tidak pernah surut.

Meski sulit dan mengalami banyak hambatan, semangatnya justru semakin membara. Sebut saja, misalnya, peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Bangsa Tartar terhadap ulama dan kaum Muslimin ketika itu.

Secara membabi buta, Bangsa Tartar bahkan memusnahkan buku-buku referensi penting dan situs atau pusat-pusat peradaban Islam. Kondisi ini tidak mempengaruhi mental Ibnu Katsir untuk menerima cahaya ilmu, apa pun kondisi lingkungannya.

Menurut Ibnu Katsir Posisi Sangat Tinggi Ketekunan dan kegigihannya dalam belajar, membuahkan hasil yang luar biasa. Ibnu Katsir kemudian dikenal sebagai ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, tafsir, tokoh Hadits, sejarawan, dan ahli fiqih.

Saat itu, abad ke-8 H, keulamaannya sangat disegani. Kepiawaiannya dalam berbagai bidang tersebut diakui oleh banyak ulama besar.

Muhammad Husain al-Zahabi, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyatakan “Ibnu Katsir telah menduduki posisi yang sangat tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama menjadi saksi terhadap keluasan ilmunya, penguasaan materinya, khususnya dalam bidang tafsir, Hadits, dan tarikh.” Keahliannya dalam berbagai bidang ia tuangkan dalam karya tulis yang sangat mumpuni dan mendalam.

Dalam bidang fikih, misalnya, ia menulis al-Ijtihad Talab al-Jihad dan Kitab Ahkam. Di ranah kajian Hadits, ia menulis Ikhtisr ‘Ulm al-Hads dan Syarah Shahih Bukhari. Adapun kitab al-Bidayah wa al-Nihayah merupakan karangan Ibnu Katsir tentang tema sejarah. Kitab berjumlah 14 jilid ini memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H.

Kitab ini tetap menjadi salah satu rujukan utama hingga kini. Adapun karya yang paling monumental adalah Tafsir Al-Quran al-‘Alim berjumlah 10 jilid atau disebut juga dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. Kitab Tafsir yang pertama kali diterbitkan di Kairo, Mesir pada tahun 1342 H/1933 M. Dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim dan Fadhail Al-Qur’an, Ibnu Katsir menawarkan metode dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Ia menawarkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an mesti melalui empat tahap. '

Pertama, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya. Menurutnya, inilah tahap tafsir yang paling utama. Bahwa sebenarnya makna dan maksud ayat Al-Qur’an dapat dicari dalam ayat-ayat yang lain.

Kedua, menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadits dan informasi Nabi . Maksud dari tahap ini adalah bahwa apabila suatu ketika tidak dapat menemukan adanya penafsiran Al-Qur’an secara gamblang dari ayat-ayat lain, maka Al-Qur’an harus ditafsirkan melalui penjelasan dari Hadits Nabi.

Ketiga, menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan (ijtihad) para sahabat Nabi. Langkah ini ditempuh apabila dua langkah sebelumnya mengalami kebuntuan. Alasannya, para sahabat merupakan orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.

Keempat, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat dari para tabiin. Empat metode itu mesti dilakukan secara bertahap dan sistematis dan, tentu saja, dengan penguasaan kaidah-kaidah Bahasa Arab.

Di antara warisan pengetahuan yang lain, empat tahapan dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an inilah warisan yang sangat berharga dari Ibnu Katsir. Oleh karena itulah Tafsir al-Quran al-‘Azim setebal 10 jilid masih menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami ayat Al-Qur’an. Dari warisan ini pula, kajian tafsir Al-Qur’an makin marak. Itulah salah satu warisan terbesar dari ulama besar yang wafat pada tahun 1372 M di Damaskus, Suriah.
(sms)