Wacana Polri di Bawah TNI atau Kemendagri yang Memicu Polemik

Wacana Polri di Bawah TNI atau Kemendagri yang Memicu Polemik

Dzikry Subhanie
Kamis, 05 Desember 2024, 15:16 WIB

Wacana menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri muncul lagi. Kali ini disampaikan politikus PDIP. Sejumlah pihak menentang wacana tersebut.

Alasan PDIP Usulkan Polri di Bawah Panglima TNI atau Kemendagri

Alasan PDIP Usulkan Polri di Bawah Panglima TNI atau Kemendagri
Foto/Dok MPI

TAK sampai sepekan setelah Pilkada 2024, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) gencar mengusulkan agar Polri kembali berada di Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Usulan itu disampaikan Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus.

Menurut Deddy, sekarang kita mengenal istilah 'Partai Cokelat' yang menjadi kosakata baru dalam politik Indonesia. Dia mengatakan, PDIP sedih karena yang dimaksud Partai Cokelat ini adalah oknum kepolisian. Dia pun menilai Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bertanggung jawab atas institusi yang dipimpin.

"Perlu diketahui bahwa kami sudah, sedang mendalami kemungkinan untuk mendoorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ada di bawah Kementerian Dalam Negeri," kata Deddy dalam jumpa pers di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).

Deddy mengusulkan agar tugas Polri direduksi dan difokuskan pada fungsi-fungsi spesifik, seperti penanganan lalu lintas, patroli menjaga suasana kondusif di lingkungan perumahan, serta reserse untuk mengusut dan menuntaskan kasus-kasus kejahatan hingga tahap pengadilan.

Bukan Usulan Baru

Soal penempatan posisi Polri di bawah kementerian memang bukan wacana baru. Pada akhir tahun 2001, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo mengusulkan agar Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan Dewan Keamanan Nasional dibentuk. Nantinya, kata Agus, Polri berada di bawah kementerian tersebut. Sama seperti sekarang, wacana tersebut juga sempat menjadi polemik.

Baca Juga: Heboh Usulan Lemhannas, Ini Sejarah Kedududukan Polri Sejak Proklamasi

Mahfud MD, yang kala itu menjadi Menko Polhukam, tidak banyak bicara soal wacana memasukkan Polri di bawah kementerian. Mahfud menuturkan, pemerintah sama sekali tidak pernah membahas wacana itu dalam beberapa kesempatan. Apalagi, wacana untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri.

"Di pemerintah tidak pernah ada diskusi apalagi agenda tentang itu (Polri gabung ke Kemendagri dan pembentukan lembaga baru), tidak ada," kata Mahfud kepada wartawan, Senin (3/1/2022).

Mahfud mengatakan, Dewan Keamanan Nasioan dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri adalah topik yang sudah lebih dari 20 tahun berlangsung. Mahfud pun tak berkomentar banyak terkait hal itu. Dia mempersilakan untuk bertanya ke DPR karena merupakan ranah legislatif.

"Itu wacana publik yang sudah lama, sudah lebih dari 20 tahun. Di pemerintah sendiri belum pernah ada pembicaraan tentang itu, saya tak punya tanggapan, silakan saja, itu areanya di bidang legislatif," ujarnya..

Benni Irwan, yang kala itu menjadi Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menghargai usulan Polri ditempatkan di bawah kementerian. "Tentunya kita sangat menghargai usulan Lemhannas dimaksud, sebagai sebuah pemikiran yang konstruktif,” kata Benni Irwan saat dihubungi, Minggu (2/1/2021).

Namun, dia mengaku belum mendapatkan informasi yang cukup terkait usulan tersebut. "Hingga saat ini Kemendagri sendiri belum mendapatkan informasi yang memadai tentang wacana tersebut," pungkasnya.

Seiring perjalanan waktu, wacana itu menguap begitu saja hingga kembali dimunculkan oleh politikus PDIP setelah perhelatan Pilkada 2024. Lagi-lagi, usulan itu menuai polemik. Achmad Al Fiqri, Dzikry Subhanie

Polri di Bawah Presiden Itu Kehendak Reformasi

Polri di Bawah Presiden Itu Kehendak Reformasi
Foto/Dok MPI

Munculnya usulan agar Polri berada di bawah Panglima TNI atau Kemendagri direspons Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian . Tito mengaku keberatan dengan usulan PDIP yang menginginkan institusi Polri di bawah TNI atau Kemendagri.

"Saya berkeberatan," kata Tito di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Tito menjelaskan alasannya keberatan dengan usulan tersebut. Menurutnya, posisi kepolisian sudah di bawah presiden.

"Ya karena dari dulu memang sudah dipisahkan di bawah presiden, itu kehendak reformasi. Sudah itu saja," tegas mantan Kapolri tersebut.

Baca Juga: Usulan Polri di Bawah Kemendagri Berpotensi Rusak Sistem Penegakan Hukum

Diketahui, dalam Pasal 8 (ayat 1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Kemudian, ayat (2) berbunyi Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan, berdasarkan aturan perundang-undangan, kepolisian di bawah langsung presiden.

Ya karena dari dulu memang sudah dipisahkan di bawah presiden, itu kehendak reformasi. Sudah itu saja.
Tito Karnavian


"Undang-undangnya kan mengatur bahwa kepolisian itu ada langsung di bawah Bapak Presiden. Artinya, kalaupun ada perubahan, pasti akan ada proses politik dulu di DPR," kata Bima di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Mantan Wali Kota Bogor ini menambahkan, perlu adanya kajian, data-data, dan pendapat hukum untuk mengubah aturan mengenai posisi kepolisian.

"Karena ada dampaknya juga tidak saja bagi keuangan negara, tapi juga koordinasi antar lembaga atau kementerian, dan yang pasti harus ada proses politik di DPR. Jadi perbincangan itu pasti akan dilakukan di DPR," jelasnya.Raka Dwi Novianto, Dzikry Subhanie

Mereka yang Menentang Polri di Bawah Panglima TNI atau Kemendagri

Mereka yang Menentang Polri di Bawah Panglima TNI atau Kemendagri
Foto/Dok MPI

Wacana Polri di bawah Panglima TNI atau Kemendagri ditentang sejumlah pihak. Di antaranya, para wakil rakyat dan elemen sipil.

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan, usulan PDIP itu ditolak oleh mayoritas fraksi di Komisi III DPR RI.
"Teman-teman udah fix ya. Mayoritas fraksi, di Komisi III menyampaikan 7 dari 8 fraksi menyatakan tidak sepakat dengan usulan tersebut," kata Habiburokhman di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Namun, politikus Partai Gerindra itu tak menyebut fraksi-fraksi mana saja yang menolak dan menyetujui usulan tersebut.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Rano Alfath juga menolak wacana tersebut. "Bagi kami, mengembalikan institusi Polri baik dengan menggabungkannya dengan TNI maupun di bawah Kemendagri bukan merupakan alasan yang tepat untuk meminimalisir intervensi kepentingan di dalamnya," kata Rano saat dihubungi, Jumat (29/11/2024).

Rano pun menyinggung tujuan penghapusan dwifungsi di lembaga militer dan penegakan hukum saat Reformasi 1998, yakni untuk membuat instusi TNI dan Polri bisa independen.

"Dan alhamdulillah, kami melihat bahwa tujuan besar reformasi tersebut saat ini sedikit-banyak telah tercapai. Meskipun belum sepenuhnya baik, evalusasi dan optimalisasi di semua lini tentu harus senantiasa ditingkatkan untuk menjadikan kedua lembaga di kemudian hari semakin unggul dalam melaksanakan tugas amanahnya masing-masing," kata Rano.

Anggota Komisi III DPR Aboebakar Alhabsy menyatakan tidak sepakat dengan wacana mengembalikan Polri ke bawah kendali Kemendagri. Baginya, wacana itu tak sejalan dengan amanat reformasi.

Baca Juga: Habiburokhman Tegaskan Mayoritas Fraksi Tolak Polri di Bawah Kemendagri

"Langkah tersebut merupakan bentuk kemunduran besar dan tidak sejalan dengan amanat reformasi Polri yang telah diperjuangkan," kata Habib Aboe, sapaan akrabnya, dalam keterangan tertulis.

Aboe mengingatkan, pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 2000. Ada juga pemisahan Korps Bhayangkara dari Kemendagri pada tahun 1946 dengan tujuan menjadikannya lembaga yang mandiri dan profesional.

"Kita sudah pernah dibawah Kemendagri, penah juga bareng dengan TNI. Jadi tak perlu kita mengulang masa lalu yang kurang baik," ujarnya.

Quotes: "Langkah tersebut merupakan bentuk kemunduran besar dan tidak sejalan dengan amanat reformasi Polri yang telah diperjuangkan" (Aboebakar Alhabsy)

Namun, Habib Aboe menyarankan untuk melakukan evaluasi atas dugaan keterlibatan oknum Polri dalam pilkada secara proporsional. Ia pun menilai, wacana penggabungan Polri ke TNI atau Kemendagri bukanlah solusi.

"Jika memang terdapat persoalan terkait netralitas dan profesionalitas Polri, terutama dalam pelaksanaan pilkada, maka hal tersebut seharusnya menjadi fokus evaluasi dan pembenahan. Solusi bukan dengan menempatkan Polri di bawah kementerian, melainkan dengan memperkuat akuntabilitas, pengawasan, dan kapasitas internal Polri," ujarnya.

Jika ada oknum yang berpolitik, kata Aboe, memposisikan Polri di bawah Kemendagri bukanlah solusi. "Wacana ini berisiko menempatkan Polri dalam potensi intervensi politik yang lebih besar," tegasnya.Achmad Al Fiqri, Dzikry Subhanie

Pentingnya Membatasi Kepolisian dari Upaya Politisasi Kekuasaan

Pentingnya Membatasi Kepolisian dari Upaya Politisasi Kekuasaan
Foto/Dok MPI

Wacana yang dilontarkan politikus PDIP Deddy Yevri Sitorus terkait peran politik kepolisian dalam pesta demokrasi, pemilu, pilpres, pileg, dan pilkada maupun penempatan kepolisian di bawah kementerian, menarik didiskusikan. Demikian disampaikan pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto.

Menurutnya, wacana penempatan kepolisian tidak langsung di bawah presiden seperti saat ini pasti akan memunculkan resistensi dari Polri yang sangat besar. Padahal, di negara-negara maju penempatan kepolisian di bawah kementerian itu adalah fakta positif yang akan mendorong Polri sebagai lembaga profesional.

"Polri adalah lembaga operasional, pelaksana yang harusnya memang dipisahkan dengan lembaga penyusun anggaran maupun peraturan. Persoalan kementerian mana yang akan membawahi kepolisian itu memang masih perlu didiskusikan. Ada beberapa opsi, masuk Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum, atau di bawah Kementerian Keamanan sendiri," ujarnya, Rabu (4/12/2024).

Sebaliknya, kata Bambang, menempatkan kepolisian di bawah Panglima TNI, merupakan kemunduran dari semangat reformasi. "Polisi bukan militer, dia harus tunduk pada aturan hukum sipil. Bahkan, kalau belajar dari sejarah, Kapolri Pertama Jenderal Raden Said Soekanto, mundur dari jabatan Polri ketika Polri dimasukkan dalam ABRI pada tahun 1959. RS Soekanto sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan saat itu," jelasnya.

Baca Juga: Tito Keberatan Polri di Bawah Kemendagri, Ansor: Langkah Tepat, Sudahi Wacana Iseng Ini

Di era reformasi pascadicabutnya Dwifungsi ABRI dan pemisahan TNI-Polri, lanjut Bambang, diharapkan Polri semakin profesional dengan tidak terlibat politik seperti ABRI di masa Orde Baru. Ironinya, saat ini kepolisian dirasakan semakin besar dalam berperan dalam politik. Wacana penempatan Polri di bawah kementerian adalah upaya membatasi kepolisian secara langsung dari upaya politisasi kekuasaan.

"Tak bisa dipungkiri peran politik Polri saat ini terjadi karena ada perselingkuhan politisi dengan Polri. Upaya menarik-narik polisi dalam politik praktis kekuasaan, adalah dampak dari lemahnya negara membuat sistem kontrol dan lemahnya pengawasan legislatif pada kepolisian sehingga bisa ditarik-tarik dalam politik kekuasaan rezim yang berkuasa," katanya.
Pentingnya Membatasi Kepolisian dari Upaya Politisasi Kekuasaan
Foto/Dok MPI

Menurutnya, ada hegemoni rezim untuk membuat Polri secara tidak langsung harus tunduk pada kekuasaan yang ada di tangannya. Penempatan personel aktif dalam lembaga-lembaga pemerintahan di luar struktur Polri adalah salah satu alat hegemoni kekuasaan pada institusi Polri.

"Siapa pun dan apa pun partai politik pemegang kekuasaan memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan kepolisian sebagai alat politik. Dengan kewenangan sebagai penegak hukum, kepolisian menjadi alat yang sangat efektif untuk menekan musuh politik," katanya.

Dengan struktur organisasi menyebar di seluruh pelosok penjuru negeri dan jumlah anggota 450.000 personel, belum termasuk keluarga, tentu memiliki potensi mempengaruhi suara yang cukup signifikan.

"Penggunaan 'mesin kepolisian' sebagai alat politik bukan terjadi di Pemilu 2024, tetapi sejak di awal Pemilihan Presiden secara langsung tahun 2004, dan berulang di setiap pemilu. Hanya saja semakin signifikan di tahun 2019 dengan dibentuknya Satgas Merah Putih yang ternyata sangat efektif. Dan kemudian dilanjutkan lebih terstruktur dan masif lagi di tahun 2024," ujarnya.

Karena itulah, kata Bambang, perlu upaya untuk membatasi hubungan politik kekuasaan dengan Polri. Membaca pernyataan yang dilontarkan politikus PDIP Deddy Sitorus untuk menempatkan kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri atau di bawah TNI, tentunya harus dicermati.

Memang tak bisa dipungkiri, kepolisian sebagai institusi pelaksana masuk dalam kementerian juga pernah diusulkan oleh mantan Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo, dua tahun lalu. Untuk membangun kepolisian yang profesional ke depan dan yang juga sudah diterapkan di banyak negara-negara maju, lembaga kepolisian ditempatkan di bawah kementerian. Meski Kapolri dipilih dan diangkat oleh presiden, struktur kepolisian berada di bawah kementerian.

Dia menambahkan, peran kepolisian yang sangat strategis di bidang keamanan memerlukan lembaga strategis untuk menentukan arah kebijakan, termasuk perumusan anggaran keamanan minimal setingkat dengan Kapolri. Tidak seperti saat ini, kepolisian sebagai pelaksana teknis juga menjadi perumus strategi kebijakan maupun merumuskan anggaran.

"Problem keamanan juga tidak bisa direduksi hanya menjadi persoalan kepolisian saja. Ada banyak problem keamanan yang ternyata tidak bisa ditangani oleh kepolisian sendiri. Fakta adanya Tragedi Kanjuruhan yang memakan korban jiwa 135 anak bangsa juga harus dijadikan evaluasi," jelasnya.

Gagasan Kementerian Keamanan sesuai dengan amanat TAP VI/MPR/2000 seharusnya juga ditindaklanjuti. Adanya Kementerian Pertahanan, juga tak mengurangi peran Panglima TNI yang dipilih dan diangkat Presiden secara langsung. Adanya Kementerian Keamanan bisa menjadi alternatif bila kepolisian tidak di bawah Kementerian Dalam Negeri.

"Kementerian Keamanan ini pulalah nantinya yang akan membuat strategi soal keamanan dalam secara integral. Sekaligus melakukan koordinasi dengan lembaga keamanan lainnya, misalnya BNN, BNPT, BPOM, Imigrasi, Bakamla, Bea Cukai, dan yang lainnya. Gagasan ini tentu dipandang absurd bila dilihat secara pragmatis. Ada anggaran sangat besar yang akan disedot dalam satu kementerian."

Terlepas dari itu, kementerian mana yang layak untuk membawahi kepolisian memang harus dikaji lebih matang.
Tetapi, bukan menempatkan kepolisian di bawah Panglima TNI. "Penempatan Polri di bawah TNI, selain mengingkari amanat reformasi, melanggar TAP VI/MPR/2000, sekaligus mengingkari kultur dan paradigma Polri sebagai institusi sipil."

Setara Institute juga merespons wacana kelembagaan Polri yang akan dikembalikan di bawah TNI. Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi mengatakan, mengubah posisi kelembagaan Polri menjadi di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan gagasan keliru dan bertentangan dengan konstitusi RI.

"Hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden. Sehingga tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden," kata Hendardi dalam siaran pers, dikutip Selasa (3/12/2024).

Hendardi lantas mengingatkan pemisahan TNI dan Polri seusai Orde Baru melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000. Menurutnya, pemisahan itu merupakan amanat reformasi yang harus dijaga.

"Gagasan pengembalian posisi Polri di masa lalu dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum," ujarnya.

Setara Institute merekomendasikan transformasi kinerja Polri. Salah satunya ialah dengan memperkuat tugas dan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban, dan menjalankan fungsi penegakan hukum.

"Secara paralel, perbaikan hukum pemilu dan pilkada harus terus-menerus dilakukan, baik dilakukan oleh otoritas legislasi maupun melalui Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana, sehingga kualitas demokrasi terus meningkat," tandasnya. Rico Afrido Simanjuntak/Binti Mufarida
Author
Dzikry Subhanie